Saturday, May 10, 2008

SUMBER-SUMBER PENDAPATAN NEGARA

SUMBER-SUMBER PENDAPATAN NEGARA
oleh: masrokhin

Prolog.
Membahas bagaimana bentuk negara Islam dan mencari formulasi negara Islam sebagai format acuan akan sangat sulit dicapai. Karenanya, unsur–unsur yang membangunnya pun jika didiskusikan akan mengundang pertentangan ilmiah dan beda kepentingan. Sejak semula Al-Qur'an tidak memberikan konsep tentang negara, melainkan konsep tentang masyarakat. Perbedaan ini harus diingat dalam perdebatan tentang negara Islam. Ada perbedaan pandangan tentang konsep negara dan masyarakat politik. Ali Abd al-Raziq berpendapat bahwa Islam tidak pernah mengklaim suatu bentuk pemerintahan duniawi; hal ini diserahkan untuk dipikirkan secara bebas oleh pemeluk-pemeluknya.
Di pihak lain, ada pula pendapat yang umumnya dianut oleh ulama kita, bahwa agama dan politik merupakan dua hal yang tak dapat dipisah-pisahkan dalam Islam. Namun, persoalannya menjadi sangat kompleks dan berjalin dengan berbagai faktor sehingga sangat sulit dipadukan begitu saja dengan pendapat lain.
Karenanya, terlepas dari ada tidaknya format negara Islam beserta sumber-dukung berdirinya suatu negara Islam, tulisan berikut ini akan membicarakan pokok bahasan negara Islam dengan mengambil pokok pembicaraan pada (1) sumber-sumber pendapatan negara menurut Islam (2) pendapatan negara di Indonesia ditilik dari mayoritas rakyat Indonseia yang muslim dan (3) pelopor kebijakan aturan Islam dalam hal APBN.

1. Zakat
Zakat pada ayat Mekah masih bersifat umum tentang tata cara pelaksanaan zakat termasuk juga apa yang dizakati dan berapa nisobnya. Pada ayat Madinah ayat zakat sudah spesifik termasuk menjelaskan siapa yang berhak menerima zakat. Zakat fitrah diwajibkan pada tahun 2 hijrah bersamaan tahun dengan diwajibkannya puasa Romadlan. Berikutnya zakat maal juga diwajibkan.
Zakat mengandung dua dimensi, yaitu ibadah dan sosial. Dengan demikian alasan kewajiban zakat harus rasional (ma`qulat) bukan hanya devosional (ta`abbudi) yaitu setiap yang wajib dikeluarkan zakatnya adalah sesuatu yang dapat berkembang (al-nama’) atau siap dikembangkan.
Syarat zakat: 1) unsur al-maliyah atau al-iqtisodiyah (ekonomis, artinya mempunyai nilai tukar). 2) al-nama’ atau al-istinma’ (produktif atau dapat diproduksikan ) 3) al-milk al-tam 4) al-kharij ‘an al-hawaij al-ashliyah (diluar kebutuhan primer 5) al-salamah min al-dayn (diluar hutang) 6) tamam al-hasad (mencapai satu nisob) 7) hawlan al-hawl aw tamam al-nisab (mencapai satu tahun atau mencapai panen sempurna)
Jika ada pendapatan yang sudah memenuhi tujuh unsur tersebut, baik berupa hasil profesi atau hadiah atau warisan maka wajib zakat.
2. Ghanimah
Sumber pendapatan negara yang kedua adalah ghanimah (rampasan perang) gahnimah adalah harta yang diperoleh oleh orang-orang islam dari orang musyrik melalui peperangan.
Awalnya menurut al-Anfal 41, ghanimah dibagi menjadi lima bagian, yaitu empat bagian diberikan kepada tentara yang ikut berperang dan satu bagian lainnya dibagi menjadi seperlima lagi untuk nafkah rosul, diberikan kepada kerabat rasul, diberikan kepada anak-anak yatim, orang-orang miskin dan ibn sabil. Sepninggal rasul harta bagian ghanimah digunakan untuk kepentingan umum.
Sementara Ibn Abbas membagi ghanimah menjadi enam bagian (1) bagian untuk Allah digunakan untuk kemaslahatam ka’bah. 2) bagian untuk kerabat rasul. 3) bagian untuk anak-anak yatim 4) orang-orang miskin. 5) Ibn sabil dan 6) sokongan kepada ahl al-radkh dan ahl-al-zimmah. Ahl al-radkh adalah mereka yang hadir dalam peperangan akan tetapi tidak memperoleh bagian. Dengan melihat pendapat ulama tentang khums yang variatif maka disimpulkan bahwa hal itu bergantung pada kebijakan negara.
3. Fai’
Sumber pendapatan negara yang kedua adalah fai’. Fai’ adalah harta yang diperoleh dari orang-orang non-muslim tanpa melalui peperangan. Termasuk harta fai’ adalah juga termasuk tanah dan benda tidak bergerak lainnya.
Tentang alokasi fai’, al-Qurtubi mengutarakan pendapat Malik bahwa hal itu terserah kepada kebijakan negara tanpa ada ketentuan pasti.
4. Jizyah
Jizyah diberlakukan sebagai pendapatan negara pasca turunnya al-Tawbah 29. Secara definitif jizyah berartri pajak kepala yang dipungut pemerintahan Islam dari orang-orang bukan Islam.
Jizyah dari non-muslim menyerupai zakat bagi muslim. Hal demikian karena tiap-tiap warga negara yang memberikan bantuan tertentu, abg imbangan dari pada hak-hak yang dinikmatinya dari negara. Apabila warga non-muslim masuk Islam maka gugurlah kewajiban jizyahnya dan ia ganti dikenakan zakat. Dari titik tolak seperti ini, jizyah tidak dapat menyatu bersama zakat pada diri seorang warga negara dalam sistem perpajakan Islam.
5. Kharaj
Sumber pendapatan negara berupa kharaj belum ada pada masa Rasulullah. Ia mulai digali pada masa Umar bin al-Khattab. Kharaj adalah pungutan yang dikenakan atas bumi atau hasil bumi.
Dua istilah kharaj dan jizyah mempunyai arti umum, yaitu pajak dan mempunyai arti khusus dimana kharaj berarti pajak bumi dan jizyah berarti pajak kepala. Arti khusus yang membedakan antara keduanya inilah yang ada pada masa-masa awal Islam. Di Indonesia kharaj termasuk pada pajak bumi dan bangunan.
Umar bin al-Khattab adalah orang pertama yang membangun lembaga kharaj dalam Islam. munculnya lembaga kharaj dalam Islam diaklibatkan dari pandangan umar yang jauh ke depan demi mengantisipasi supaya terpenuhinya kesejahteraan dan kemaslahatan masyarakat.
Penentuan tarif kharaj didasarkan pada faktor-faktor; a) kapasitas tanah, subur dan tidaknya, b) jenis tanaman, c) metode irigasi , d) letak tanah dan e) kemampuan pemilk tanah. Dengan demikian besar kecilnya kharaj diserahkan pada keputusan negara.
6. ‘Ushur: Bea masuk dan Bea keluar
‘Ushur adalah kata jamak dari kata tunggal ushr, sepersepuluh. ‘Ushur adalah pajak yang dikenakan pada harta benda perdagangan, berkenaan dengan perlintasan batas-batas negara. Ia sebanding dengan pajak pabean (daribah al-jumrukiyah) pada masa sekarang.
‘Ushur tiadk sama dengan ushr. ‘Ushur adalah pajak perdagangan sedang ushr adalah zakat yang dikenakan pada hasil bumi yang dikenal dengan zakat zuru’. Perbedaan ‘Ushur dan ‘ushr terletak pada tiga sudut pandang:
a) Dari sudut dalil, ‘ushr berdasar pada al-Qur'an, hadis dan ijma` sedang ‘ushur berdasar pada dalil ijtuhad.
b) Dari segi obyek. Obyek `ushr adalah hasil bumi sedang obyek `ushur adalah barang-barang dagangan.
c) Dari segi subyek. Subyek yang menerima kewajiban `ushr adalah orang Islam sementara subyek `ushur adalah orang Islam, dzimmi dan musta`min.
Sejak zaman jahiliyah sudah ada `ushur yang lazim dilakukan oleh raja-rajadi tanah arab maupun di tanah ‘ajam. Dalam sejarah Islam orang yang pertanma kali melembagakan `ushur adalah Umar bi al-Khattab, yaitu setelah negara berkembang luas dengan banyaknya daerah pendudukan. Diantara penghuninya dl warga negara asing yang menguasai perdagangan, terutama masuknya warga negara asing yang membawa barang operdaganagn yang diperdagangkan dengan negara Islam dan mereka memperoleh keuntungan yang banyak.
Hal ini mengndang pemerintah untuk memungut l\pajak atas dagangan mereka sehingga menigulkan pajak baru. Lahirnya macam pajak baru berarti menambah sumber pendapatan negara. Sistem `ushur inilah yang dipergunakan oleh sitem bea keluar masuk pabean pada masa sekarang ini.
Mengingat kebijakan umar ini adalah untuk menciptakan kemaslahatan umum dan hukumnya tidak ada dalil khusus yang menyebutnya maka maka dasar hukumnya dapat disimpulkan adalah maslahah mursalah.
`Ushur bukan zakat. Ia adalah pajak dengan alasan sebagai berikut: 1) `ushur dipungut dari muslim dan non-muslim. 2) `ushur hanya dipungut dari harta yang kelihatan yang dibawa melewati badan kepabeanan 3) `ushur hanya dipungut dari barang dagangan yang disirkulasikan melalui daerah pabean 4) `ushur dapat dipungut berkali-kali dalam satu tahun 5) jika `ushur adalah zakat maka orang akan berlomba menegluarkannya 6) zakat diterangkan sebagai hal yang fardlu dan dirinci oleh Rasulullah sedang `ushur ditetapkan pada masa Umar bin al-Khattab. Zakat adalah ibadah. Kalau `ushur adalah zakat berarti ia adalah ibadah. Penetapan ibadah tidak bisa menjadi wewenang Umar, karena hal itu hanya menjadi wewenagn Allah dan Rasul-Nya.

Penutup
a) Perolehan sumber-sumber pendapatan negara bergantung pada kebijakan negara disebabkan tidak adanya aturan pasti dalam Islam dan berkembangnya daerah-daerah kekuasaan. Demikian juga pentarifan sumber-sumber pokok kontributor pendapatan negara selain zakat.
b) Di Indonesia, yang juga dikategorikan sebagai negara Islam dilihat dari kwantitas rakyatnya yang memeluk Islam, sumber pendapatan negara jika menganut sebagaimana ketentuan Islam, maka yang termasuk didalmnya hanyalah kharaj yang dipersamakan dengan Pajak Bumi dan Bangunan dan `ushur yang dipersamakn dengan bea cukai kepabeanan. Sementara zakat tidak masuk sebagai kontributor sumber pendapatan negara karena di Indonesia lembaga zakat tidak ditangani oleh negara dan yang umum berlaku hanyalah zakat fitrah yang tarifnya sangat sedikit.
c) Pelopor pengembangan perolehan sumber-sumber pendapatan negara dan peletak tata aturan anggaran pendapatan dan belanja negara dalam Islam adalah karena ijtihadnya yang mengantsiipasi perkembangan pemekaran wilayah negara dan demi kemaslahatan umat.
DAFTAR BACAAN
1. ash-Shiddieqy, Hasbi, Asas-Asas Hukum Tata Negara Menurut Syari’ah Islam, Matahari Masa, 1969.
2. ----------, Ilmu Kenegaraan Dalam Fiqh Islam, Bulan Bintang, Jakarta, cet I.
3. Djazuli, H.A., Fiqh Siyasah, edisi 2, Prenada Media, Jakarta, 2003.
4. Ibn Taimiyah, Ahmad bin Abdul Halim, al-Siyasah al-Syar`iyah, Maktabah Malik Fahd, Riyadh, 1419 H.
5. Khalaf, Abd, Wahab, al-Siyasah al-Syar’iyyah, Dar al-Anshar, Kairo, 1977.
6. al-Mawardi, Abu Hasan, Al-Ahkam al-Sulthaniyah wa al-Wilayah al-Diniyah, Musthafa al-Babi al-Halabi, Mesir, cetakan III.
7. Permono, Sjechul Hadi, Islam Dalam Lntasan Sejarah Perpolitikan Teori Dan Praktek, Aulia, Surabaya, cet-I, 2004.
8. Yafie, Ali, Menggagas Fiqh Sosial, Mizan, Bandung, cetakan I, 1994.
Selengkapnya...

Tuesday, May 06, 2008

PERKAWINAN BEDA AGAMA

Makalah
PERKAWINAN BEDA AGAMA
DALAM PERSPEKTIF SOSIOLOGI HUKUM ISLAM
Oleh : Makinudin & Masrokhin



A. PENDAHULUAN
Islam sebagai agama samawi terakhir yang dibawa oleh nabi Muhammad ibn Abdillah, merupakan agama pembawa rahmat untuk sekalian alam (rahmat li al’alamin). Islam tidak hanya mengatur ibadah tetapi juga mengatur hubungan manusia dengan manusia (mu’amalah) baik yang objeknya berupa benda (māl) maupun bukan benda (farj). Bahkan mengatur hal-hal yang berkaitan dengan pidana dan peradilan. Karena itu, dalam kitab-kitab klasik sering dijumpai bab-bab yang sesuai dengan pembagian fiqh, yaitu rub’ al-munākahah dan rub’ al-jināyah.
Hukum Islam yang berada di tengah-tengah masyarakat tidak dapat lepas dari sumbernya yaitu naşş al-Qur’an dan al-Sunnah (sumber primer) dan ijtihad (sumber sekunder). Kedua sumber tersebut tidak dapat dipisahkan karena memahami suatu naşş tidak akan lepas dari pemikiran yang sistematis melalui metode ijtihad baik berupa dark al-ahkam (menemukan hukum) maupun taţbiq al-ahkām (penerapan hukum) yang dilakukan secara individual (ijtihād fard) maupun kolektif (ijtihād jamā’i).
Hukum Islam yang dihasilkan melalui istinbāţ dari suatu naşş atau istidlāl tidak dapat lepas dari illah hukum dan hikmat al-tashri’/himat al-shari’ah. Bahkan jumhur al-ulama’ menyatakan bahwa hukum-hukum Allah dibangun (diciptakan) atas dasar memelihara hikmah-hikmah dan kemaslahatan (kemanfaatan hamba-hamba Allah). Artinya, hukum Islam diciptakaan dengan selalu memperhatikan illah yang ada, baik berupa zaman maupun keadaan. Atau dengan istilah lain al-hukm yadur ma’a ’illatih wa ‘adamih.
Sosiologi hukum, termasuk hukum Islam, merupakan kajian hukum ilmu Sosial yang mengkaji penyebab lahirnya hukum di masyarakat. Dalam hal ini, kehadirannya dapat didahului oleh hukum dan sebaliknya oleh masyarakat, yang secara subtansial gejala sosial menjadi bagian penting dari segala hukum di masyarakat, sebagaimana gejala hukum merupakan gejala sosial.
Oleh karena itu dalam pembahasan ini akan mengarah pada dua pendekatan, yakni memahami hukum Islam sebagai gejala sosial dan memahami gejala sosial yang melahirkan hukum Islam. Hal ini tertuju pada masalah perkawinan beda agama dalam perspektif hukum Islam sebagaimana tercantum dalam al-Baqarah : 221 dan al-Maidah : 5.
B. BAHASAN
1. Perkawinan dalam Islam
Istilah perkawinan dalam Islam tidak dapat dilepaskan dengan kata “nikāh” atau “zawāj”. Karena itu, ada sebagian ulama, terutama golongan Syafi’iyah, yang mengharuskan dalam ijab (perkataan wali atau wakilnya) menggunakan lafal yang berasal dari lafal “tazwīj” atau “inkāh”. Dalam pengertian bahasa, nikah (zawaj) identik dengan al-dham wa al-jam’ (berkumpul). Sedangkan dalam pengertian shara’ (pembuat syari’at) adalah cara agar seorang laki-laki dapat memiliki hak istimtā’ (bersetubuh dan sebangsanya) dengan seorang perempuan dan seorang perempuan halal beristimtā’ dengan seorang laki-laki. Artinya, melalui akad nikah seorang laki-laki mempunyai hak milik secara khusus terhadap seorang perempuan, dan laki-laki lain tidak ada hak sama sekali terhadapnya. Sementara itu, seorang perempuan hanya halal beristimtā’ dengan seorang laki-laki, tetapi dia tidak secara khusus memiliki seorang laki-laki tersebut. Artinya, seorang laki-laki boleh beristri lebih dari satu sehingga seorang laki-laki dapat dimiliki oleh beberapa istri (maksimal empat). Oleh karena itu bersuami banyak dilarang oleh shara’, tetapi beristri banyak diperbolehkan.
Al-Qur’an secara tegas memerintahkan seorang laki-laki untuk menikahi seorang perempuan yang disenangi bahkan dalam kondisi tertentu diberi kelonggaran untuk menikahi lebih dari satu (al-Nisā’ : 3). Begitu juga, seorang wali diperintahkan untuk mencarikan jodoh anaknya baik laki-laki maupun perempuan (al-Nūr : 32). Namun demikian, perintah tersebut dibarengi dengan rambu-rambu tertentu yaitu al-Baqarah : 221 (keharaman menikahi perempuan mushrikah), al-Baqarah : 222 (keharaman menikahi laki-laki mushrik), al-Nisā’: 141 (keharaman seorang perempuan muslim dinikahi seorang laki-laki ahli kitab dari Yahudi dan Nasrani). Sementara itu, al-Māidah : 5 mengatur secara khusus tentang pernikahan antara seorang laki-laki muslim dengan seorang perempuan dari ahli kitab. Dalam hal ini walaupun al-Māidah : 5 secara tegas menghalalkan seorang muslim menikahi seorang kitabiyah, tetapi penerapan ayat tersebut menjadi perbedaan di kalangan ulama fiqh. Bahkan, dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) atau fiqh Indonoesia secara tegas tidak memberlakukan ayat tersebut yakni seorang laki-laki muslim dilarang menikahi seorang perempuan yang tidak beragama Islam. Hal ini sebagaimana termaktub dalam pasal 40 sebagai berikut:
Pasal 40 KHI
Dilarang melangsungkan perkawinan antara seorang pria dengan seorang wanita karena keadaan tertentu :
a. Karena wanita yang bersangkutan masih terikat dengan perkawinan dengan pria lain.
b. Seorang wanita masih berada dalam masa iddah dengan pria lain.
c. Seorang wanita yang tidak beragama Islam.
2. Hikmah Perkawinan dalam Islam
Dalam hukum Islam, hikmah dan illah itu berbeda walaupun dalam prakteknya sering hikmat al-hukm dijadikan sebagai illat al-hukm. Hikmat al-hukm adalah dorongan atau tujuan yang dimaksudkan oleh shara’ untuk mencari kemanfaatan yang harus didayagunakan dan kemafsadatan yang harus dihindari atau dikurangi. Sedangkan illat al-hukm adalah perkara yang sudah jelas lagi pasti yang dijadikan dasar pembinaan dan penentuan ada atau tidaknya suatu hukum. Misalnya mengqasar shslat (empat rakaat menjadi dua rakaat) bagi orang yang mengadakan perjalanan mempunyai hikmah dan illat al-hukm. Hikmahnya ialah untuk memberikan keringanan atau menghilangkan kesulitan. Sedangkan, illahnya ialah menggadakan perjalanan (safar). Oleh karena hikmah itu ialah hal hal yang masih dikira-kirakan dan belum pasti serta tidak dapat untuk membina hukum baik dalam mengadakan hukum atau meniadakannya, maka shari’ menjadikan bepergian sebagai illah hukum sebab ia adalah hal yang sudah jelas dan pasti.
Mayoritas ulama sependapat bahwa sesungguhnya Allah tidak sekali-kali menshari’atkan hukum kecuali semata-mata untuk kemaslahatan hamba-Nya. Mendatangkan kemaslahatan atau kemanfaatan dan menolak kemafsadatan (kerusakan). Begitu juga dalam penshariatan hukum nikah, ketika Allah memerintahkan hamba-Nya untuk melakukan perkawinan (pernikahan) pasti mengandung hikmah atau tujuan yang dicapai atau diperoleh hamba-Nya. Dalam al-Rūm : 21 dijelaskan tentang hal-hal yang ingin dicapai dalam perkawinan yaitu :
وَمِنْ آَيَاتِهِ أَنْ خَلَقَ لَكُمْ مِنْ أَنْفُسِكُمْ أَزْوَاجًا لِتَسْكُنُوا إِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُمْ مَوَدَّةً وَرَحْمَةً إِنَّ فِي ذَلِكَ لَآَيَاتٍ لِقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ
“dan di antara tanda-tanda kekuasaannya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikannya di antaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.”
Dalam al-Rūm : 21 tersebut secara jelas dinyatakan bahwa tujuan yang ingin diperoleh dalam perjodohan ialah terciptanya ketenteraman (sakinah) sebagaimana “lam” yang masuk pada fi’il mudhari’ (taskunū). Lafal “li taskunū” merupakan illah perjodohan yang berupa hikmat al-tashri’ yang lafalnya pendek, tetapi mengandung pengertian yang luas atau panjang lebar. Hal ini ditandai dengan munculnya karya-karya para ulama tentang hikmah dan tujuan dalam perkawinan dalam Islam. Misalnya al-Ghazali dalam kitabnya Ihya' ‘Ulum al-Dīn, menjelaskan hikmah perkawinan yaitu (a) mempunyai keturunan (b) menyalurkan syahwat dan membentengi perbuatan-perbuatan syetan (c) memnbina dan mengatur rumah tangga (d) memperbanyak hubungan keluarga dan (e) memerangi hawa nafsu. Begitu juga al-Zuhayli dalam kitabnya al-Fiqh al-Islami wa Adilatuh, menjelaskan hikmah perkawinan yaitu (a) memelihara diri seseorang dan isterinya dari terjerumus pada keharaman, (b) memelihara kelangsungan hidup manusia dari kepunahan, (c) mengekalkan keturunan dan menjaga nasab, (d) menegakkan keluarga yang dapat menyempurnakan teraturanya masyarakat, dan (e) mewujudkan hubungan saling tolon menolong antara individu-individu yang ada dalam masyarakat.
Bahkan M. Quraish Shihab dalam bukunya Untaian Permata Buat Anakku Pesan al-Qur’an untuk Mempelai menjelaskan fungsi-fungsi keluarga yang digaris-bawahi ulama dan cendekiawan yang kemudian dirumuskan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 1994 yaitu fungsi (a) keagamaan (b) sosial budaya (c) cinta kasih (d) melindungi (e) reproduksi (f) sosialisasi dan pendidikan (g) ekonomi dan (h) pembinaaan lingkungan.
3. Perkawinan Beda Agama
Pasal 1 UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan secara jelas menyebutkan :
Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Dengan ini perkawinan tidak hanya sekedar untuk memenuhi kebutuhan biologis, tetapi suatu ikatan (akad) yang sangat kuat (mithaq ghalizan) baik lahir maupun batin untuk membentuk keluarga yang tangguh dan kekal serta bahagia dunia dan akhirat yang didasari nilai-nilai keagamaan. Oleh karena itu, nikah kontrak walaupun sebagian ulama ada yang memperbolehkannya tidak sesuai dengan tujuan perkawinan lebih-lebih jika pasangan suami isteri itu satu jenis. Bahkan dalam hukum Islam sangat diatur tentang perkawinan beda agama melalui al-Qur’an. Hal ini menunjukkan bahwa aqidah dan agama yang dimiliki pasangan suami isteri sangat berpengaruh dalam mengatur rumag tangga atau keluarga yang harmonis.
Perkawinan Intern Pemeluk Agama Islam
Islam telah mengatur perempuan-perempuan yang harus dinikahi seorang laki-laki (sama-sama beragama Islam) baik yang bersifat kekal maupun sementara sebagaimana termaktub dalam al-Nisā’ : 23. Dalam ayat ini perempuan yang haram dinikahi terdiri dari atas haram karena kerabat (nasab), karena sepersusuan, dan karena dimadu (isteri dengan saudara perempuannya).
Sedangkan keharaman memadu antara isteri dengan bibinya atau keponakannya diatur dalam hadis, berbeda dengan golongan Khawarij yang membolehkannya karena al-Qur’an tidak menjelaskannya. Artinya, al-Qur’an hanya mengharamkan memadu antara dua saudari perempuan. Mereka berhujjah dengan al-Nisā’ : 24.
وَالْمُحْصَنَاتُ مِنَ النِّسَاءِ إِلَّا مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ كِتَابَ اللَّهِ عَلَيْكُمْ وَأُحِلَّ لَكُمْ مَا وَرَاءَ ذَلِكُمْ أَنْ تَبْتَغُوا بِأَمْوَالِكُمْ مُحْصِنِينَ غَيْرَ مُسَافِحِينَ
“Dan (diharamkan juga kamu mengawini) wanita yang bersuami, kecuali budak-budak yang kamu miliki (Allah telah menetapkan hukum itu) sebagai ketetapan-Nya atas kamu. dan Dihalalkan bagi kamu selain yang demikian (yaitu) mencari isteri-isteri dengan hartamu untuk dikawini bukan untuk berzina.
Adapun perempuan yang haram dinikahi dan bersifat sementara terdiri atas (1) isteri laki-laki lain, al-Nisā’ : 24, (2) perempuan yang tunggu masa iddah dari laki-laki lain, al-Baqarah : 228 dan 235 (3) perempuan yang bertalak bāin, al-Baqarah : 229 dan (4) perempuan yang tidak beragama samawi al-Baqarah : 221. Dan ini akan dijelaskan berikut sesuai dengan pokok bahasan makalah ini.
Perkawinan antara ummat beragama (beda Agama)
Al-Qur’an secara tegas mengharamkan seorang laki-laki muslim menikahi seorang perempuan mushrikah. Begitu juga seorang muslimah diharamkan dinikahi oleh seorang laki-laki mushrik. Hal ini sebagaimana dijelaskan dalam al-Baqarah : 221.
وَلَا تَنْكِحُوا الْمُشْرِكَاتِ حَتَّى يُؤْمِنَّ وَلَأَمَةٌ مُؤْمِنَةٌ خَيْرٌ مِنْ مُشْرِكَةٍ وَلَوْ أَعْجَبَتْكُمْ وَلَا تُنْكِحُوا الْمُشْرِكِينَ حَتَّى يُؤْمِنُوا وَلَعَبْدٌ مُؤْمِنٌ خَيْرٌ مِنْ مُشْرِكٍ وَلَوْ أَعْجَبَكُمْ أُولَئِكَ يَدْعُونَ إِلَى النَّارِ وَاللَّهُ يَدْعُو إِلَى الْجَنَّةِ وَالْمَغْفِرَةِ بِإِذْنِهِ وَيُبَيِّنُ آَيَاتِهِ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَذَكَّرُونَ
“dan janganlah kamu nikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik walaupun dia menarik hatimu. Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mu’min) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang musyrik walaupun dia menarik hatimu. Mereka mengajak ke neraka, sedang Allah mengajak ke syurga dan ampunan dengan isinya. Dan Allah menerangkan ayat-ayatnya (perintah-perintah-Nya) kepada manusia supaya mereka mengambil pelajaran.”
Ali al-Şabuni mengartikan mushrik/mushrikah dengan seorang laki-laki atau perempuan penyembah berhala, tidak beragama samawi. Kata musyrik dalam bahasa al-Qur’an dan kebiasaan shara’ ditujukan kepada orang yang menyembah selain Allah baik berhala, matahari atau api seperti agama Majusi, termasuk di dalamnya agama Budha dan Hindu. Dengan demikian, dalam hukum Islam masalah agama seseorang sangat diperhatikan secara tegas dalam perkawinan. Karena itu, bagi seorang muslim/muslimah dilarang dijodohkan dengan non-muslim. Bahkan dalam hadis ditegaskan bahwa seorang dilarang menikahi seorang perempuan karena kecantikan dan hartanya, tetapi yang ditekankan adalah agamanya (wankihhunn ‘Ala al din) atau dalam hadis lain (fazfar bi dhat al-din taribat yadak).
Adapun rahasia seorang muslim dilarang menikahi seorang mushrik, karena shirk merupakan sesuatu yang berat (taghlid) dan juga tidak diketemukan ketenteraman jiwa sebagaimana diisyaratkan pada lafal “litaskunū”. Bahkan dalam ayat 221 al-Baqarah ditegaskan secara tegas yaitu mereka (orang-orang musyrik) dapat menarik orang-orang Islam ke neraka. Hal ini karena perilaku mereka dapat menjerumuskan ke neraka melalui perbuatan dan ucapannya. Sementara itu hubungan perjodohan sebagai faktor terkuat yang sangat berpengaruh dapat menimbulkan hubungan toleransi dan keharmonisan dalam kebanyakan hal. Adanya toleransi terkadang dapat mempengaruhi akidah seorang mukmin sebagaimana terjadi pada orang-orang Islam yang hidup bersama-sama orang-orang mushrik apalagi dalam hubungan rumah tangga.
Dalam hal seorang laki-laki kitabi (Yahudi/Nasrani) menikahi seorang perempuan (muslimah), Islam menerangkan sebagaimana laki-laki penyembah berhala dan Majusi dengan seorang muslimah. Hal ini karena shara’ telah memutus kekuasaan orang-orang kafir terhadap orang-orang yang beriman sebagaimana al-Nisā’ : 141
وَلَنْ يَجْعَلَ اللَّهُ لِلْكَافِرِينَ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ سَبِيلًا
“Allah sekali-kali tidak akan memberi jalan kepada orang-orang kafir untuk memutuskan orang-orang yang beriman”
Artinya pada ayat ini adanya larangan memberikan kekuasaan kepada orang-orang kafir untuk menguasai atau membawahi orang-orang yang beriman termasuk di dalamnya perjodohan. Hal ini akan berpengaruh pada hilangnya hifz al-dīn yang merupakan maqāşid al-shari’ah yang dharuri. Oleh karena itu, keharaman pernikahan mengandung maslahah mu’tabarah, bukan maslahah mursalah, yaitu maslahah yang sudah ditentukan oleh Shari’ melalui al Qur’an.
Adapun seorang muslim menikahi seorang perempuan kitabiyah (Yahudi/Nasrani), mayoritas ulama membolehkannya. Hal ini sesuai dengan petunjuk yang ada pada al-Māidah : 5. Sedangkan illah dibolehkannya menikahi perempuan ahli kitab adalah memberikan kecintaan kepada mereka agar melihat kebaikan pergaulan (muamalah) kita dan kemudahan yang terkandung dalam shari’at kita. Hal tersebut hanya dapat dilihat melalui pernikahan, karena seorang laki-laki adalah orang yang mempunyai kekuasaan atas seorang perempuan. Dalam hal ini, jika laki-laki muslim muslim tersebut berbuat baik kepada perempuan ahli kitab melalui pernikahan, maka dapat dijadikan dalil bahwa agama Islam adalah mengajak kepada kebenaran, keadilan antara sesama muslim dan non-Muslim, dan memberikan keleluasaan dalam bergaul dengan orang-orang yang berbeda agama. Hikmah yang diusung dalam al-Māidah : 5 merupakan maslahah mu’tabarah. Oleh karena itu, al-Şabuni dalam kitab tafsirnya Rawai’ al-Bayān menjelaskan bahwa al-Māidah : 5 secara jelas menerangkan tentang kebolehan menikahkan perempuan kitabiyah.
Walaupun al-Māidah : 5 dalālahnya qaţ’i, tetapi sebagian sahabat yang tidak membolehkan menikahi perempuan kitabiyah, seperti Umar bin Khattab dan ibn Umar. Dalam hal ini, Umar memarahi Talhah bin Ubayd Allah yang telah menikahi perempuan Yahudi dan Khudayfah bin Yaman yang menikahi perempuan Nasrani, bahkan Umar bermaksud menyergap keduanya. Kemudian keduanya berkata : wahai Amir al-Mukminin, kami akan menceraikannya, dan jangan marah. Selanjutnya Umar berkata : jika halal mereka diceraikan, maka halal dinikahi. Akan tetapi kami melepaskan mereka dari kalian karena khawatir mendapatkan kehinaan. Ahmad al-Ghundur dalam hal ini menyatakan bahwa Umar sangat memperhatikan kemaslahatan para perempuan muslim dan dia tidak senang kepada Talhah dan Khudayfah yang telah menikahi perempuan kitabiyah. Oleh karena itu, larangan Umar itu harus dipahami bahwa Umar khawatir jika umat Islam mengikuti keduanya dan tidak memperhatikan perempuan muslimah. Sementara itu, Ibn Umar menggunakan alasan dengan al-Baqarah : 221, dan dia berkata : tidak ada perbuatan shirk yang lebih besar dari pada ucapan seorang perempuan mushrikah, sesungguhnya Tuhannya adalah ‘Isa. Begitu juga, dia menggunakan dalil (istidlal) bahwa Allah mewajibkan umat Islam untuk menjauhi orang-orang kafir sebagaimana al-Mumtahanah : 1
Ali al-Şabuni memahami perkataan Ibn Umar tersebut dengan pemahaman sebagai berikut : barangkali Ibn Umar tidak senang dan melarang muslim menikahi kitabiyah adalah khawatir menimbulkan fitnah bagi suami dan anak-anaknya, karena kehidupan rumah tangga (perjodohan) itu mendorong untuk saling cinta mencintai. Dalam hal ini terkadang kecintaan itu menjadi kuat yang berakibat sebagai penyebab suami condong pada agama istri dan kebanyakan anak selalu condong dan mengikuti ibunya. Oleh karena itu, adanya kekhawatiran tersebut sebagai dasar pengharaman. Sedangkan jika tidak demikian atau diharapkan istri mengikuti agama suami, maka tidak ada jalan untuk mengatakan haram.
Ulama Shi’ah Imamiyah dalam menyikapi pernikahan muslim dengan kitabiyah terbagi menjadi tiga pendapat,yaitu:
1. Tidak boleh, baik dawām maupun inqiţā’ (kekal atau tidak) dengan berpegang pada al-Mumtahanah: 10 dan al-Baqarah: 221 (jika shirk diartikan dengan kufur dan tidak Islam).
2. Boleh, baik dawām maupun inqiţā’ dengan berpegang pada al-Māidah: 5 yang merupakan naşş muhkam tentang kebolehan menikahi kitabiyah.
3. Boleh secara inqiţā’ tidak secara dawām, dengan memadukan kedua dalil yang yang membolehkan dan yang melarang (dalil yng membolehkan untuk inqiţā’, dalil yang melarang untuk dawām).
Sementara itu, Muhammad Jawad Mughniyyah menjelaskan bahwa Shi’ah Imamiyah saat ini tidak melarang menikahi kitabiyah (boleh secara dawām).
M. Quraish Shihab dalam Tafsir al-Misbah menuturkan bahwa larangan perkawinan antar pemeluk agama yang berbeda itu agaknya dilatarbelakangi oleh keinginan menciptakan sakinah dalam keluarga yang merupakan tujuan perkawinan. Perkawinan baru akan langgeng dan tenteram jika terdapat kesesuaian pandangan hidup antara suami dan istri. Jangankan perbedaan agama, perbedaan budaya bahkan tingkat pendidikan pun tidak jarang menimbukkan kesalahapahaman dan kegagalan perkawinan. Lebih lanjut dijelaskan, memang ayat ini membolehkan perkawinan antara pria muslim dengan wanita ahl kitab, tetapi izin ini adalah sebagai jalan keluar mendesak ketika itu, kaum muslimin sering bepergian jauh melaksanakan jihad tanpa mau kembali kepada keluarga mereka dan sekaligus juga untuk tujuan dakwah.
Muhammadiyah melalui Majlis Tarjih telah mebgambil keputusan tentang keharaman seorang pria muslim menikahi seorang perempuan ahl kitab dengan mnenggunakan metode sad al-dzari’ah. Artinya, keharaman ini bukan haram li al-dzati, tetapi li gahyrih. Dalam hal ini demi memelihara agama suami dan memelihara anak-anaknya agar tidak mengikuti agama ibunya. Begitu juga dapat dilihat dalam pasal 40 huruf c Kompilasi Hukum Islam yang melarang pria muslim menikahi seorang wanita yang tidak beragama Islam, bersifat umum termasuk kitabiyah.
Analisis perkawinan beda agama.
Analisis pembahasan ini menggunakan perspektif Sosiologi Hukum Islam. Artinya, perkawinan beda agama antara laki-laki muslim dengan perempuan non muslim (Yahudi/Nasrani), yang dalam hukum Islam diketemukan hukum boleh (halal) dinikahi dan tidak boleh dinikahi, bahkan dalam KHI secara jelas mengharamkannya.
Dalam Islam, budaya dan perubahan sosial itu sangat jelas pengaruhnya terhadap pemikiran hukum. Perubahan masyrakat muslim dapat mempengaruhi perubahan hukum Islam dan begitu juga sebaliknya. Perubahan ini dimiungkinkan oleh sebuah kaidah fiqh yang menjelaskan bahwa perubahan hukum atau fatwa dapat terjadi karena perubahan waktu, tempat, dan keadaan. Oleh karena itu, walaupun al-Qur’an membolehkan seorang muslim menikahi kitabiyah, tetapi ada sebagian dari umat Islam yang mengharamkannya, baik dari kalangan sahabat maupun ulama yang datang kemudian, termasuk Majlis Tarjih Muhammadiyah dan KHI.
Max Weber mengatakan bahwa perubahan-perubahan hukum adalah sesuai dengan perubahan yang terjadi dalam sistem sosial dari masyarakat yang mendukung sistem hukum yang bersangkutan. Karena itu kemaslahatan yang ingin dicapai oleh masyarakat menjadi pertimbangan hukum. Artinya, suatu perbuatan yang semula hukumnya halal menjadi haram dan begitu pula sebaliknya.
Keharaman menikahi perempuan mushrikah bagi laki-laki muslimm sudah tidak diubah lagi, karena al-Qur’an secara tegas melarangnya. Begitu juga, keharaman perempuan muslimah dinikahi laki-laki mushrik. Sementara itu, walaupun dalam al-Qur’an secara tegas membolehkan seorang muslim menikahi seorang perempuan kitabiyah, tetapi sahahabt Umar telah melarang Talhah bin Ubaydilah dan Hudayfah bin Yaman menikahi kitabiyah. Begitu juga Ibn Umar berpendapat sama dengan Umar, termasuk Majlis Tarjih Muhammadiyah dan Kompilasi Hukum Islam.
Perubahan-perubahan sosial merupakan variasi dari cara-cara hidup yang telah diterima yang disebabkan karena perubahan-perubahan kondisi, geografi, kebudayaan materiil, komposisi penduduk, ideologi maupun difusi ataupun penemuan-penemuan baru dalam masyarakat tertentu. Dalam hal ini al-Qur’an membolehkan menikahi kitabiyah, bukan kafir yang mushrikah, artinya keadaan pada saat itu banyak para sahabat yang meninggalkan keluarganya demi berjihad dan berada di wilayah pemeluk agama Yahudi/Nasrani. Pada saat itu mereka berkehendak untuk menikahi perempuan kitabiyah dalam keadaan darurat/hajat, atau mereka ada niat untuk berdakwah melalui pernikahan dan mereka sangat kuat imannya, sehingga walaupun menikahi kitabiyah mereka tetap memegang agama Islam. Lebih-lebih mereka dapat mengislamkan mereka dapat mengislamkan isteri dan keluarganya. Dengan demikian sangat tepat dibolehkannya pernikahan. Akan tetapi, di sisi lain, dikhawatirkan pernikahan para sahabat tersebut akan diikuti oleh sahabat-sahabat yang imannay kurang kuat. Di samping itu, mereka akan meninggalkan perempuan-perempuan muslim dan memilih kitabiyah. Oleh karena kemaslahatan memelihara ahgama harus didahukukan dari memelihara keturunan (nasab).
Ibn Umar melihat bahwa tidak ada sutau pebuatan shirik yang lebih besar dari pada seorang permepaun berkata “tuhannya adalah Isa”. Hal ini dikhawatirkan akan menyeret kepada suami untuk mengikuti agama istrinya berbuat shirik, termasuk anak-anaknya. Artinya, keadaan suami (muslim) harus dipertimbangkan jika istrinya kitabiyah.
Majlis Tarjih Muhammadiyah pada mulanya membolehkan menikahi kitabiyah dengan berpegang ada al-Maidah : 5 dengan alasan berdakwah, dengan harapan dia menjadi muslimah. Akan tetapi, jika keadaan sebaliknya, suami ikut agama istrinya, maka menjadi haram. Dengan demikian, Majlis Tarjih ini melihat akibat mafsadah/madarah dari pernikahan. Oleh karena itu, jalan yang terbaik adalah haram dengan metode sad al-dzari’ah. Artinya, bukan haram li dhatih, tetapi li ghayrih. Begitu juga, KHI secara tegas melarangnya. Hal ini karena di masyarakat sering diketemukan seorang muslim menikah dengan kitabiyah ternyata dia ikut kepada agama istrinya yang masih tetap berpegangan kepada agamanya (Yahaudi/Nasrani) seperti Jamal Mirdad dan Lydia Kandow. Dalam hal ini, Jamal tidak dapat mengislamkan istri dan anak-nakanya, padahal al-Qur’an ada ayat qu anfusakum wa ahlikum naran, agama istri dan anak-anaknya harus dibentengi dengan agama Islam. Oleh karena itu, perubahan dari halal ke haram dalam menikahi kitabuyah adalah menggunakan paradigma fakta sosial.
Paradigmma fakta sosial merupakan teori soisal dari Emile Durkheim. Dalam hal ini, fakta sosial ada yang berbentuk material dan non material. Fakta sosial yang matreioal berupa barang atau sesuatu yang dapat disimak, ditangkap, dan diobservasi seperti arsitektur dan norma hukum. Sedangkan fakta sosial yang non material merupakan fenomena yang terkandung dalam diri manusia sendiri, yang hanya muncul dalam kesadaran manusia, seperti kelompok dan egoisme. Oleh karena menikah beda agama masuk dalam fakta sosial dalam bentuk material, karena berupa norma hukum yang pada mulanya menikah bagi bagi muslim dengan kitabuyah adalah halal/boleh, kemudian berubah menjadi haram. Artinya, dalam fakta sosial memilki asumsi dasar bahwa terdapat keajegan dalam dunia kehidupan manusia, tetapi terdapat perubahan dalam waktu tertentu, dan tak ada sesuatu fakta yang berdiri sendiri kecuali ada fakta penyebabnya.
Memahami masalah nikah beda agama yang semula boleh, kemudian haram adalah sangat memperhatikan teks al-Qur’an, tetapi sewaktu diterapkan ternyata bertentangan dengan nilai yang bersifat universal, yakni kewajiban memelihara keluarga dari terjerumus pada kekafiran (muhafadhah ‘ala al-din) yang merupakan maqāsid al-shari’ah al-dharuriyah. Artinya, tidak memberlakuka maslahah yang ada nas khusus, tetapi mengunakan naşş lain yang bersifat umum dengan memegangi prinsip dan jiwa shari’at Islam atau ruh al-tashri’ wa ushuluh.
C. PENUTUP
Kehalalan seorang muslim menikahi perempuan ahli kitab bersifat ajeg, karena normanya diatur dalam al-Qur’an yang bersifat kekal. Akan tetapi, sewaktu norma dipraktekkan ternyata tidak sesuai dengan tujuan diberlakukannya hukum Islam, akibatnya hukum nikah tersebut yang pada awalnya boleh menjadi tidak boleh. Dengan demikian, dilihat dari sosiologi hukum paradigma fakta yang berasal dari Emile Durkheim, yang terfokus pada pranata sosial berupa aturan-aturan, norma-norma, dan nilai-nilai yang dijadikan sebagai pedoman untuk melakukan serangkaian tindakan adalah tepat untuk menyoroti perkawinan beda agama tersebut.
Selengkapnya...

Monday, May 05, 2008

SHAHADAH DALAM AL-QUR’AN

SHAHADAH DALAM AL-QUR’AN
(Suatu Kajian Tafsir Tematik)
Oleh : Makinudin & Masrokhin
rokhinsadja@gmail.com



Pendahuluan
Al-Qur’an merupakan salah satu dari kitab samawi yang diturunkan kepada nabi Muhammad saw melalui malaikat Jibril yang mempunyai sifat i’jaz terhadap para lawan yang selalu memberikan tantangan. Salah satu keistimewaan al-Qur’an adalah jika dibaca, maka pembacanya akan diberi pahala. Ia disusun dengan susunan yang berbeda dengan kitab-kitab sebelumnya, bahkan ia menghimpun isi-isi dari kitab-kitab tersebut sehingga ia dikenal dengan senitam al-kitāb.
Dalam al-Qur’an, sering diketemukan lafal-lafal yang berulang-ulang penyebutannya, yakni ada berupa lafal yang ringkas (ījāz) dalam satu ayat, ada yang panjang (iţnāb), baik masih dalam satu surat maupun dalam surat yang lain. Hal ini tidak boleh dipahami secara sepotong-sepotong, tetapi harus dipahami secara menyeluruh karena ada kesamaan bahasan dari ayat-ayat tersebut. Oleh karena itu, dalam memahami ayat-ayat tersebut harus menggunakan metode tafsir al-Qur’an mawdhū’i atau tematik. Dengan metode ini, pemahaman terhadap al-Qur’an akan mudah dipahami dengan baik dan utuh karena satu dengan yang lainnya saling menunjang.
Tulisan ini akan membahas shahadah dalam al-Qur’an yang terdapat dalam beberapa ayat dan surat yang berbeda. Ayat-ayat itu tidak jarang mempunyai makna yang berbeda sesuai dengan susunan kalimat.
Bahasan
1. Lafal shahadah dalam al-Qur’an.
Dalam kitab Fath al-Rahmān li Ţālib Āyat al-Qur’ān, disebutkan bahwa lafal yang berasal dari tiga huruf shīn hā` dan dāl yang ada dalam al-Qur’an berjumlah kurang lebih 155 kata. Begitu juga dalam kitab Qur’ān Karīm Tafsir wa Bayān. Sedangkan dalam Mu’jam Alfāz al-Qur’ān al-Karīm terdapat 158 kata, dan 64 kata pada al-Mu’jam al-Mufahras li Alfaz al-Qur’ān al-Karīm.
Makna lafal shahida dalam kamus al-Munawwir adalah hadaruhu (menghadiri), ‘āyanuhu (menyaksikan dengan mata kepala), atau al-shahadah (memberikan kesaksian),…. lahu bi kadza aqarra (mengakui), …. bi kadza = halafa (sumpah), …. Allah = ‘alima (mengetahui). Lafal shahadah bermakna bayyinah (bukti), yamīn (sumpah), ‘alam al-akwan al-zahiran (alam lahir). Lafal al-shāhid mempunyai bentuk jama’ shuhadā’ = al-shāhid (saksi), dan orang yang gugur sebagai shahīd di jalan Allah (al-qātil fi sabīl Allāh). Sementara itu, dalam Mu’jam Alfāz al-Qur’ān al-Karīm diterangkan bahwa shahida al-shay`a yashhaduhu shahādah bermakna hadaruhu atau alima bih (hadir atau mengetahui); shahida yashhadu shahādah adalah menunjukkan secara pasti, baik dengan ucapan atau lainnya, dan shahida bi Allāh bermakna bersumpah. Lafal al-shāhid merupakan ism al-fā’il dari lafal shahida yang jama’nya shuhūd dan ashhād; lafal al-shahīd (ha dipanjangkan) merupakan bentuk mubalaghah (superlative) dari lafal al-shāhid (sha dipanjangkan).
Lafal berbentuk fil al-amr yang menggunakan lafal ishhād terdapat dalam Ali Imrān : 52 dan 64, al-Māidah : 111 dan Hūd : 54; menggunkaan lafal ashhidū terdapat dalam al-Baqarah : 282, al-Nisā’ : 6, dan al-Ţalāq : 2; dan yang lafal ishtashhidū terdapat pada al-Baqarah : 282 dan al-Nisā` : 15.
2. Klasifikasi ayat yang berasal dari lafal shahida
a. Lafal shahida bermakna hadara (hadir)
- al-Baqarah : 185
- al-Naml : 49
- al-Zukhruf : 19
- Al-Hajj : 28
- Al-Mutaffifin : 21
b. Lafal shahida bermakna ‘alima (mengetahui)
- ‘Ali Imrān : 70
- ‘Ali Imrān : 98
- ‘Ali Imrān : 99
- Al-Nisa' : 33
c. Lafal shahida bermakna aqsam (sumpah)
- al-Nūr : 6 dan 8
d. Lafal shahida/shahadah sebagai lawan ghaba (ghayb)
- al-An’ām : 73
- al-Tawbah : 94
- al-Ra’d : 9
- al-Sajdah : 6
- al-Zumar : 46
- al-Taghābun : 18
- al-Muminūn : 92
- al-Jumua’ah : 8.
e. Lafal shahida bermakna menyaksikan
3. Penerapan makna lafal shahida
Lafal-lafal yang berasal dari shahida yang bermakna hadaruhu yaitu pada al-Baqarah : 185, al-Naml : 49, al-Zuhrūf : 19, ‘Ali Imrān : 70, al-Anbiyā : 61, dan al-Isrā : 78. Dari lafal-lafal tersebut akan dibahas makna shahida yang bermakna hadaruhu dalam al-Baqarah : 185 sebagai berikut:
“Barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, Maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu, dan Barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), Maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain.”
Terjemah al-Qur’an tersebut mengikuti pada umumnya kitab-kitab tafsir, yakni shahida = hadara. Sedangkan lafal al-shahr dijadikan sebagai dzaraf (fi al-shahr/Ramadān) dengan mengira-ngirakan lafal al-balād atau baytah yang brmakna tidak bepergian. Artinya, barangsiapa hadir (tidak bepergian) pada bulan itu (Ramadān), maka baginya wajib berpuasa; atau barangsiapa yang hadir (tidak bepergian) pada awal bulan Ramadān, maka wajib baginya berpuasa. Dengan pemahaman ini, adanya kewajiban puasa pada bulan Ramadān tidak lain atau lazimnya adalah karena telah melihat tanggal satu Ramadān, baik secara langsung melihat sendiri atau mendengar informasi dari orang lain. Mayoritas ulama (jumhūr) menjelaskan kewaijiban puasa pada bulan Ramadān itu hanya melihat (ru’yah) tanggal satu bulan Ramadān atau dengan menyempurnakan 30 hari bulan Sha’bān, tidak boleh dengan hitungan (hisāb) atau ilmu Astronomi, sebagaimana sabda nabi Muhammad saw :
صُومُوا لِرُؤْيَتِهِ وَأَفْطِرُوا لِرُؤْيَتِهِ فَإِنْ غُبِّيَ عَلَيْكُمْ فَأَكْمِلُوا عِدَّةَ شَعْبَانَ ثَلَاثِينَ (رواه البخاري و مسلم)
Adapun jika lafal al-shahr dijadikan maf’ūl bih, maka lafal shahida bermakna shāhada yang bermakna ‘ayyana (menyaksikan dengan mata kepala sendiri). Artinya, barangsiapa menyaksikan dengan mata kepalanya sendiri, maka wajib berpuasa. Pemahaman ini masih tetap menggunakan bahwa penentuan awal Ramadān masih tetap dengan ru’yat al-hilāl, bukan dengan hisāb. Dalam hal ini, penyebutan lafal pada lafal al-shahr adalah menggunakan dalālat al-iltizām.
Bahkan, Sayyid Qutb dalam tafsirnya, fi Zilāl al-Qur'ān, menjelaskan tentang makna dari فمن شهد منكم الشهر dengan فمن حضر منكم الشهر dan فمن رأى منكم الشهر. Artinya, lafal shahida dapat bermakna hadir dan dapat bermakna melihat tanggal 1 bulan Ramadan. Lebih dari itu, Sayyid Qutb berpendapat :
والمستيقن من مشاهدة الهلال بأي وسيلة أخرى كالذي يشهده فى إيجاب الصوم عليه عدة أيام رمضان
"orang yang meyakini menyaksikan tanggal satu dengan bantuan sarana apa saja adalah sama dengan orang yang langsung menyaksikan tanggal tersebut dalam hal kewajiban berpuasa"
Dengan pemahaman tersebut, penetapan awal Ramadān dan awal Shawwal hanya dengan ru’yat al-hilāl. Akan tetapi, jika tertutup atau dalam keadaan mendung, maka dalam hadis terdapat redaksi fakmilū al-adad, fa’uddū thalāthiha, dan faqdurū lah. Dalam memahami ketiga redaksi tersebut, yang menjadi perbedaan adalah lafal faqdurū lah. Bagi ulama yang mengharuskan tiga puluh hari, mereka mengartikan dengan “tentukan tiga puluh hari”. Sedangkan bagi yang menggunakan hisāb (perhitungan), mereka melakkukan ta`wīl (qādiru al-manāzil), yakni “tentukan posisi bulan”. Hal ini sebagaimana pendapat Mutarrif bin Abdillah bin al-Shikhyar (tabi’in besar) dan ibn Qutaybah, keduanya dari ulama bahasa. Artinya, walaupun hilāl itu tidak tampak jika cuaca cerah, tidak mendung, maka akan terlihat. Al-Dawudi menyatakan bahwa kami tidak pernah mengetahui seseorang mengatakan boleh dengan hisāb kecuali sebagisn ashhāb al-Shāfi’i. Bahkan, ada riwayat yang menyatakan bahwa ibn Nafi meriwayatkan dari Malik tentang seorang imam yang tidak puasa karena melihat hilāl dan tidak berbuka karena tidak melihat juga, tetapi dia berpuasa dan berbuka melalui hisāb. Pendapat ini tidak dapat dipegangi dan diikuti.
Ulama yang menggunakan ru’yat al-hilāl juga menggunkaan lafal shahida dengan ‘alima (mengetahui) dengan memberi makna “barangsiapa mengetahui hilāl al-shahr, maka dia wajib berpuasa”. Hal ini akan berbeda jika lafal shahida bermakna i’taqada sebagaimana lafal ashhadu pada lafal shahādat al-tawhīd dan shahādat rasūl. Artinya, hilāl al-shahr akan dapat diketahui dengan meyakini bahwa hilāl dapat diketahui melalui hisāb, lebih-lebih sekarang menggunakan peralatan canggih.
Bagi kelompok yang menggunkan ru’yah sebaiknya tidak hanya ru’yah satu kali ketika hendak menentukan awal bulan Ramadan dan Shawwal, tetapi sebaiknya dalam satu tahun lebih dari tiga kali sehingga dapat diketahui ketinggian bulan. Al-Razi menjelaskan bahwa shuhūd al-shahr terkadang dengan ru’yah (melihat hilāl) langsung dan terkadang mendengarkan informasi dari orang lain. Seseorang melihat hilāl bulan Ramadān terkadang sendirian dan terkadang tidak sendirian. Jika ru’yah dilakukan sendiri dan pemerintah menolak, maka ia wajib berpuasa karena Allah telah menjadikan shuhūd al-shahr sebagai sebab dirinya wajib berpuasa. Sedangkan jika shuhūdnya diterima pemerintah atau jika ia tidak sendirian dalam ru’yah, maka tidak perlu membahas kewajiban puasa.
Sementara itu jika shuhūdnya melalui informasi, maka dirinci sebagai berikut :
1. Jika ru’yat al-hilāl disaksikan oleh dua orang yang adil, maka wajib berpuasa dan berbuka.
2. Jika ru’yat al-hilāl disaksikan oleh seorang yang adil, maka tidak dapat ditetapkan. Sedangkan jika untuk penetapan Ramadān, maka ditetapkan karena berhati-hati (ihtiyāt) dalam masalah puasa. Perbedaan antara keduanya adalah bahwa bahwa hilāl Ramadān untuk memasuki ibadah, sedang hilāl Shawwal untuk keluar dari ibadah. Artinya, ucapan satu orang dapat diterima dalam penetapan ibadah, sedang keluar dari ibadah tidak diterima kecuali ucapan dari dua orang. Walaupun demikian, sebenarnya secara hakiki tidak ada perbedaan antara keduanya, yakni diterima ucapan satu orang tentang hilāl Ramadan karena agar orang-orang berpuasa, tidak berbuka (ihtiyāt). Begitu juga ucapan satu orang tidak diterima tentang hilāl Shawwal, karena agar mereka berpuasa, tidak berbuka (ihtiyāt).
Lafal yang berasal dari shahida yang bermakna lafal ‘alima dapat diketemukan pada ‘Ali Imrān : 70, 98, 99, al-Nisā : 33. Dari ketiga ayat ini, hanya ‘Ali Imrān: 70 yang dijelaskan.
Hai ahli Kitab, mengapa kamu mengingkari ayat-ayat Allah, Padahal kamu mengetahui (kebenarannya). Hai ahli Kitab, mengapa kamu mencampur adukkan yang haq dengan yang bathil, dan Menyembunyikan kebenaran, Padahal kamu mengetahuinya?
M. Quraish Shihab dalam tafsir al-Mishbah menjelaskan sebagai berikut:
“Jika demikian latar belakang dan tingkah laku mereka, maka pada tempatnyalah mereka dikecam. Ahli kitab yang mereka seharunya paling mengetahui tentang kebenaran, mengapa kamu terus menerus dan dari saat ke saat, sebagaimana dipahami dari lafal takfurūn yang menggunakan mudāri’/kata kerja masa kini dan mendatang, mengingkari ayat-ayat Allah. Yakni menutup-nutupi kebenaran, padahal kamu menyaksikan (kebenarannya). Maksudnya, mengetahui secara jelas dan pasti. Dalam hal ini lafal tashhadūn bermakna ta’lamūn. Pada ayat 70 ‘Ali imrān, kecaman ditujukan kepada ahli kitab, karena mereka sesat. Sedangkan, pada ayat 71 dari surat yang sama, kecaman ditujukan lagi kepada mereka karena mereka menyesatkan. Dalam hal ini, tokoh dari kelompok Yahudi datang membujuk sahabat-sahabat Nabi, seperti Mu’adh bin Jabal, Hudayfah bin Yaman, dan ‘Ammar ibn Yasir agar mereka meninggalkan agama Islam. Mereka selalu dikecam karena mencampakkan kebenaran dengan kebatilan melalui penta’wilan, aneka dalih, dan menyembunyikan kebenaran dengan penghapusan dan pengubahan kandungan kitab suci padahal mereka mengetahui yakni mereka memiliki pengetahuan atau mengetahui apa yang disembunyikan”.
Lafal yang berasal shahida yang bermakna aqsama (bersumpah) shahida bi Allah dapat diketemukan pada al-Nūr : 6 dan 8 terkait dengan sumpah li’an yang diucapkan oleh suami atau istri karena istri dituduh oleh suaminya berbuat zina dengan tidak ada bukti 4 orang saksi. Dalam hal ini suami bersumpah empat kali dan pada kelimanya diucapkan lafal yang mengandung laknat Allah. Begitu juga jika istri tidak menerima tuduhan suami, maka dia menguacpkan lafal yang sama dengan suami. Jika ia tidak melakukan, maka akan terkena sanksi. Melalui sumpah tersebut, keduanya telah terjadi pisah dengan tanpa mengucapkan ikrar talak dan tidak dapat kembali untuk selama-lamanya. Bunyi ayat tersebut sebagai berikut:
“Dan orang-orang yang menuduh isterinya (berzina), Padahal mereka tidak ada mempunyai saksi-saksi selain diri mereka sendiri, Maka persaksian orang itu ialah empat kali bersumpah dengan nama Allah, Sesungguhnya Dia adalah Termasuk orang-orang yang benar. Dan (sumpah) yang kelima: bahwa la'nat Allah atasnya, jika Dia Termasuk orang-orang yang berdusta. Istrinya itu dihindarkan dari hukuman oleh sumpahnya empat kali atas nama Allah Sesungguhnya suaminya itu benar-benar Termasuk orang-orang yang dusta. Dan (sumpah) yang kelima: bahwa laknat Allah atasnya jika suaminya itu Termasuk orang-orang yang benar”.
Melalui pemaknaan shahida bi Allah dengan sumpah, orang yang bersumpah meyakini bahwa Allah mengetahui dan menyaksikan perbuatannya sesuai dengan apa yang diucapkan melalui sumpahnya.
Lafal shuhadā` bentuk jama’ dari mufrad shāhid yang madinya tetap menggunakan shahida yang bermakna orang yang meninggal dunia dalam keadaan berjuang di jalan Allah. Hal ini sebagaimana dalam al-Hadīd : 19 dan al-Nisā` : 69.
“Dan Barangsiapa yang mentaati Allah dan Rasul(Nya), mereka itu akan bersama-sama dengan orang-orang yang dianugerahi nikmat oleh Allah, Yaitu: Nabi-nabi, para shiddiiqiin, orang-orang yang mati syahid, dan orang-orang saleh. Dan mereka Itulah teman yang sebaik-baiknya.
Sejalan dengan al-Nisā`: 69, al-Hadīd : 19 juga menjelaskan bahwa orang-orang yang beriman kepada Allah dan para rasul-Nya ditempatkan pada tempatnya shiddiqin dan para orang-orang yang mati syahid. Dikatakan shahīd karena disaksikan dan dihadiri oleh para malaikat bahwa dia sebagai orang yang mati membela agama melalui peperangan dengan orang kafir. Begitu juga dia menyaksikan atau mengetahui sesuatu yang telah dijanjikan oleh Allah untuk dirinya, berupa balasan yang besar dan agung.
Adapun lafal shahadah sebagai lawan ghayb dapat juga diketemukan pada al-An’ām : 73, al-Tawbah : 94, al-Ra’d : 9, al-Sajdah : 6, al-Hashr : 22, al-Zumar : 46, al-Taghābun : 18, al-Muminūn : 92, al-Jumua’ah : 8.
Lafal shahadah yang bermakna sesuatu yang diketahuui para hamba (mā ’alimahu al-‘ibād) lawan dari ghayb yang bermakna sesuatu yang tidak dapat diketahuui para hamba Allah (mā ghāba ‘an al-‘ibād) atau juga dengan istilah mā kāna untuk shahadah dan ma yakūnu untuk ghayb. Hal ini sebagaimana dapat diketahui dalam al-An’ām : 73 sebagai berikut :
“Dan Dialah yang menciptakan langit dan bumi dengan benar. dan benarlah perkataan-Nya di waktu Dia mengatakan: "Jadilah, lalu terjadilah", dan di tangan-Nyalah segala kekuasaan di waktu sangkakala ditiup. Dia mengetahui yang ghaib dan yang nampak. dan Dialah yang Maha Bijaksana lagi Maha mengetahui”.
Berdasarkan arti tersebut, shahadah di sini merupakan alam lahir yang dapat disaksikan dan dilihat dengan mata kepala sendiri atau apa yang dapat dilihat di alam dunia.
4. Shahadah dalam ayat ahkām.
Jika shahadah sebagai bagian dari bayinah, maka shahadah dapat diarikan:
a. Shahadah (kesaksian) adalah suatu pernyataan tentang pemberitahuan seseorang yang benar di depan pengadilan dengan ucapan kesaksian untuk menetapkan suatu hak terhadap orang lain.
b. Shahadah (kesaksian) adalah memberitahukan dengan sebenarnya tentang hak seseorang terhadap orang lain dengan ucapan saya bersaksi.
c. Shahadah (kesaksian) adalah pemberitahuan yang benar untuk menetapkan suatu hak dengan ucapan kesaksian di depan sidang pengadilan.
Dari pengertian tersebut dapat dipahami bahwa unsur-unsur dalam kesaksian sebagai berikut:
a. Adanya suatu perkara sebagai suatu obyek.
b. Obyek tersebut mengandung hak yang harus ditegakkan.
c. Ada orang yang memberitahukan tentang obyek tersebut.
d. Orang tersebut benar-benar melihat atau mengetahui.
e. Pemberitahuan tersebut diberikan kepada orang yang berwenang atau berhak untuk menyatakan adanya hak bagi orang yang seharusnya berhak.
Orang yang memberikan kesaksian disebut shāhid. Dalam hal ini al-Jawhari menyatakan bahwa shāhid (saksi) ialah orang yang mempertanggungjawabkan kesaksian dan mengemukakannya karena dia menyaksilan sesuatu yang orang lain tidak menyaksikannya.
Adapun dasar hukum kesaksian dalam al-Qur’an adalah al-Baqarah : 282, al-Nisā`: 135, al-Māidah : 8.
……dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki (di antaramu)………dan persaksikanlah apabila kamu berjual beli…”
“Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang yang benar-benar penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah biarpun terhadap dirimu sendiri atau ibu bapa dan kaum kerabatmu. jika ia kaya ataupun miskin, maka Allah lebih tahu kemaslahatannya. Maka janganlah kamu mengikuti hawa nafsu karena ingin menyimpang dari kebenaran. dan jika kamu memutar balikkan (kata-kata) atau enggan menjadi saksi, Maka Sesungguhnya Allah adalah Maha mengetahui segala apa yang kamu kerjakan”.
“Hai orang-orang yang beriman hendaklah kamu Jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk Berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. dan bertakwalah kepada Allah, Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan”.
….dan hendaklah kamu tegakkan kesaksian itu karena Allah
Redaksi al-Nisā` : 135 serupa dengan redaksi al-Māidah : 8. Perbedaan redaksi tersebut boleh jadi disebabkan karena al-Nisā` dikemukakan dalam konteks ketetapan hukum dalam pengadilan yang disusul dengan pembicaraan tentang kasus seorang muslim yang menuduh sorang Yahudi secara tidak sah. Selanjutnya dikemukakan uraian tentang hubungan pria dan wanita sehingga ada sesuatu yang ingin digarisbhawahi oleh ayat itu. Yaitu pentingnya keadilan kemudian disusul dengan kesaksian. Oleh karena itu, redaksi pada ayat tersebut mendahulukan lafal al-qisţ (adil), kemudian baru lafal shuhadā (saksi-saksi). Adapun redaksi pada al-Māidah : 8 ini ingin mengingatkan perjanjian-perjanjian dengan Allah dan rasul-Nya sehingga yang ditekankan adalah pentingnya melaksanakan secara sempurna seluruh perjanjian itu dan itulah yang dikandung ayat qawwāmin li Allāh. Namun demikian, ada juga yang berpendapat bahwa al-Nisā` dikemukakan dalam konteks kewajiban berlaku adil terhadap diri sendiri, kedua orang tua, dan kerabat sehingga wajar jika lafal al-qisţ yang didahulukan. Sedangkan al-Māidah: 8 dikemukakan dalam konteks permusuhan dan kebencian sehingga yang perlu lebih dahulu diingatkan adalah keharusan melaksanakan segala sesuatu demi karena Allah karena hal ini yang akan mendorong untuk meninggalkan permusuhan.
Al-Nisā` : 135 berupa didahulukannya perintah penegakan keadilan atas kesaksian karena Allah. Hal ini karena tidak sedikit orang yang hanya pandai memerintahkan yang ma’rūf, tetapi ketika tiba gilirannya untuk melaksankan ma’rūf yang diperintahkannya itu, dia lalai. Oleh karena itu, ayat ini memerintahkan mereka bahkan semua orang untuk melaksanakan keadilan atas dirinya baru menjadi saksi yang mendukung atau memberatkan orang lain.
5. Bilangan saksi
Saksi dalam penentuan awal Ramadan
Al-Qur’an tidak menjelaskan tentang jumlah minimal saksi dalam penentuan awal Ramadān. Akibatnya, ulama berbeda pendapat tentang hal tersebut. Imam Malik berpendapat harus dua orang saksi (tidak boleh kurang dari dua), sebagaimana saksi dalalm penentuan hilal Shawwal dan Dzulhijjah. Sedangkan mayoritas ulama berpendapat bahwa penentuan hilāl Ramadān dapat diterima satu orang saksi.
Saksi dalam zina
Dalam hal zina, al-Qur’an telah menentukan batas minimal yaitu 4 orang saksi laki-laki. Hal ini ditegaskan pada al-Nisā’ : 15 tentang wanita yang melakukan perbuatan keji dengan hukuman kurungan rumah sampai ia meninggal dunia. Begitu juga, persaksian tersebut dipakai untuk menentukan fahishah bagi dua orang laki-laki (al-Nisā : 16). Sedangkan jika dilakukan oleh dua orang yang bebeda jenis, maka dikenai sanksi hukuman 100 kali dera dengan melalui pembuktian empat orang saksi laki-laki sebagaimana keharusan membuktikan empat orang saksi laki-laki agar orang yang menuduh zina tidak dikenai sanksi berupa 100 kali dera. Artinya, jika tuduhan tersebut terbukti melalui empat orang saksi, maka pihak tertuduh dikenai sanksi 100 kali dera. Sedangkan jika tidak terbukti, maka penuduh akan dikenai sanksi 80 kali dera. Selain Khawarij, memberlakukan hukum rajam untuk janda atau duda. Sedangkan khawarij tidak memberlakukan hukum rajam yang ketetapan hukumnya melalui hadis. Artinya, Khawarij tidak membedakan antar bujangan/perawan dengan janda/duda yang melakukan zina, yakni sama-sama dikenai hukuman 100 kali dera.
Saksi dalam utang-piutang/bentuk transaksi benda.
Al-Qur’an menentukan secara tegas tentang saksi dalam transaksi utang-piutang, termasuk di dalamnya seluruh bentuk transaksi dengan dua orang saksi laki-laki atau satu orang laki-laki dan dua orang perempuan, sebagaimana dalam al-Baqarah : 282. Termasuk juga dalam penyerahan harta kepada anak yatim setelah baligh dari seorang walinya (al-Nisa’ : 6). Sementara itu akad yang berobyek farj (nikah) persaksiannya tidak diatur dalam al-Qur’an, tetapi dalam hadis yang keberadaannya masih diperselisihkan. Artinya, ada yang mengatakan dalam pernikahan diharuskan ada dua orang saksi laki-laki dan ada pula yang tidak menjadikan saksi sebagai rukun nikah.
Saksi dalam talak dan ruju’
Al-Qur’an telah mengatur secara jelas tentang saksi dalam talak dan ruju’, yaitu dua orang saksi laki-laki yang adil (al-Talaq : 2). Akan tetapi, dalam penerapannya ada yang mengatakan wajib dan ada yang mengatakan sunnah. Dalam hal ini, dapat dirinci sebagai berikut:
a. Seluruh mazhab tidak mewajibkan saksi dalam ruju’, baik mazahib al-arba’ah maupun shi’ah, kecuali pendapat al-shafi’i pada qawl qadim dan al-Zahiri termasuk ibn Hazm (dipakai dalam hukum Indonesia).
b. Seluruh mazhab tidak mewajibkan saksi dalam menjatuhkan talak, kecuali kelompok al-Zahiri dan Shi’ah berdasarkan riwayat dari ahli bayt yang digunakan di Indonesia. Bahkan harus diikrarkan di hadapan sidang pengadilan agama oleh suami. Hal ini sebagaimana pasal 131 (3) KHI, pasal 66 UU No. 7 Tahun 1989, pasal 33 UU No. 1 Tahun 1974, pasal 16 PP No. 9 tahun 1975, dan Permenag No. 3 Tahun 1975.
Saksi dalam wasiat
Al-Qur’an secara tegas mengatur persaksian sewaktu melakukan wasiat, yaitu dua orang laki-laki baik melalui minkum atau min gahyrikum. Adapun yang menjadi perselisihan adalah memahami lafal aw akharani min gahyrikum sebagaimana dalam al-Māidah : 106, yakni min ghayri ahli dinikum atau min ghayri ‘ashiratikum.
Kesaksian seorang laki-laki dan penggugat.
Kesaksian seorang laki-laki dan sumpah penggugat, dan juga kesaksian khusus perempuan tidak diatur dalam al-Qur’an, tetapi diatur dalam hadis dan menjadi bahan kajian dalam fiqh.
Kesaksian dengan alat teknologi
Pada zaman sekarang ini, alat teknologi yang berkaitan dengan informasi telah bekembang dengan pesat sehingga dimungkinkan alat ini dapat dijadikann sebagai alat dalam pembuktian. Misalnya, di tempat-tempat tertentu telah dipasang kamera atau alat yang sebangsa dengannya sehingga jika ada suatu peristiwa, maka akan dapat direkam dan disimpan. Dengan demikian, orang yang berbuat zina atau membunuh seseorang dapat diketahui dengan alat tersebut.
Menyikapi hal tersebut, dalam hukum Islam mempunyai hukum sendiri. Artinya, al-Qur'an telah menentukan bahwa kesaksian harus dilakukan oleh seorang yang cakap bertindak sebagai bukti primer, sedangakn alat teknologi hanya bersifat sekunder. Oleh karena itu, alat teknologi tidak dapat dijadikan alat persaksian karena tidak mukallaf. Artinya, dalam hukum Islam pertanggungjawaban itu tidak hanya sekedar duniawi, tetapi juga ukhrawi. Dengan demikian hanya manusia yang mukallaf (berakal dan baligh) yang dapat menjadi saksi.
PENUTUP
Melalui penelusuran makna-makna yang terkandung di dalam lafal shahida yang jika dipahami betul akan membawa pemahaman bahwa satu lafal dalam al-Qur’an akan membawa pengaruh dalam dalam tafsir al-Qur’an. Karena itu, perlu pendekatan metodologi tafsir mawdū’i yang secara terus menerus sehingga dapat dipahami secara utuh terhadap satu topik pembahasan seperti shahadah dalam al-Qur’an.
Akhirnya, kritik, saran, dan tambahan wawasan sangat dibutuhkan dalam penulisan tafsir mawdū’i.
Selengkapnya...

Materi, Tujuan Perkuliahan,

Materi, Tujuan Perkuliahan,
Dan Bentuk Tugas Peserta Mata Kuliah Ulumul Hadis
Ma'had Aly al-Mahfudz Seblak Jombang

Pengampu : Masrokhin
rokhinsadja@gmail.com

Mata kuliah Ulumul Hadis dirancang untuk mengkaji sebagian perangkat pengambilan hadis sebagai landasan agama. Dinamika hadis dilihat secara general. Karenanya, materi perkuliahan merangkum beberapa aspek dalam komponen ilmu Hadis, seperti ilmu dirayat dan riwayat, posisi sunnah dalam syariat islam dan sebagainya. Diharapkan dengan mengkaji aspek-aspek pokok ilmu hadis tersebut, peserta akan memiliki wawasan tentang peran hadis sebagai sumber agama yang telah melahirkan suatu masyarakat. Peserta sekaligus juga diharapkan memiliki pengetahuan tentang para penentang hadis dalam bermacam sebab yang melatarbelakanginya. Mengingat luasnya cakupan materi ilmu hadis, maka materi disajikan dalam bentuk survey untuk menyesuaikan alokasi waktu yang tersedia.
Setiap peserta kelas diharuskan mempresentasikan satu tema bacaan (reading assignment) yang diambilkan dari artikel atau buku yang telah dicantumkan dalam bibliography sebagaimana dalam daftar terlampir. Tema yang dipilih harus sesuai, aik langsung maupun tidak langsung, dengan yang ditetapkan dalam silabi. Di samping itu, setiap peserta diminta untuk menulis paper. Judul paper dibuat dengan menjadikan kisi-kisi dalam silabi sebagai acuan. Mata kuliah ini tidak akan mempresentasikan paper, dan sebagai gantinya judul paper setiap peserta akan dibahas di dalam kelas untuk menentukan kelayakan serta mengamati kesiapan peserta dalam mempersiapkan paper.
Paper ditulis dalam bahasa Indonesia yang baku dengan mengindahkan ketentuan gramatika dan aturan teknis, seperti footnote, transliterasi, dan kutipan. Jumlah halaman paper sekitar 10 (sepuluh) halaman saja yang ditulis dengan ukuran huruf normal (12 pt) serta ukuran margin kiri dan kanan standar.
Komponen nilai akhir terdiri atas 30 % reading assignment, 20 % partisipasi kelas, 30 % paper, dan 20 % kemampuan mempertahankan judul paper.

silabi

1. Ilmu Hadis. Sesi ini akan membahas pengertian Ilmu Hadis termasuk pembagian ilmu hadis dengan sebutan ilmu hadis dirayat dan ilmu hadis riwayat. Dalam sesi ini juga dibahas bagian-bagian yang menjadi obyek kajian kedua ilmu dimaksud, termasuk pertumbuhan keduanya beserta karya-karya tulis yang mengkajinya. Baik ilmu dirayat maupun riwayat mempunyai dasar-dasar yang harus diketahui dan seyogyanya diketengahkan sebagai dasar pengetahuan yang kokoh dalam studi hadis.
2. Hadis Nabi. Sesi ini membicarakan tentang hadis nabi, perbedaan pengertian antara satu ahli dengan ahli lainnya tentang hadis dan sunnah. Kiranya juga perlu diketengahkan munculnya kata sunnah dalam berbagai bidang kajian, seperti sunnah dalam pengertian ahli hadis, sunnah dalam al-Qur'an, sunnah menurut ahli Fiqh dan Usul Fiqh, dan lain sebagainya, termasuk di dalamnya hadis qudsi. Pemilahan atau macam-macam hadis dalam definisi bahwa hadis adalah segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi saw, maka segala sesuatu yang berhubungan dengan Nabi saw sebagai bagian dari definisi hadis akan disinggung.
3. Posisi Sunnah dalam Syariat Islam. Di sini akan dibahas posisi sunnah Nabi saw dalam syariat Islam di mana nabi Muhammad sendiri merupakan teladan yang baik sebagaimana disebut dalam al-Qur'anm, juga Muhammad sebagai Rasul pembawa risalah yang wajib ditatati. Materi juga akan membahas penolakan sebagian kalangan akan otentisitas hadis atau sunnah sebagai sumber ajaran yang benar-benar orisinil, bandingannya dengan tudingan atas Nabi saw dengan setting dan background bagian dari budaya Arab.
4. Kegiatan Tulis Menulis di Jazirah Arab pada Masa Awal Islam. Sesi ini membahas kegiatan tulis menulis di jazirah Arab, di mana pada masa awal ketika Rasulullah diutus untuk menyampaikan risalah diantar dengan pengantar bahwa penyampaian risalah harus disampaikan sedemikian rupa mengingat kaum penerima risalah merupakan kaum ummiyin. Disinggung pula adanya perpustakaan pada masa khalifah-khalifah penerus khulafa' al-rashidun.
5. Penyebaran Hadis. Sesi ini akan membicarakan kajian hadis pada awal Islam yang dimulai dari kegiatan menghafal hadis oleh para sahabat pada masa Nabi dan kegiatan menghafal hadis masa tabi'in sebagai cara pemeliharaan mereka terhadap hadis. Dilanjutkan dengan metode-metode pengajaran hadis. Tenggang waktu yang lama kemunculan hadis, setidaknya sepanjang masa hidup Nabi saw, tentu memunculkan kejenuhan, bagaimana para pengkaji hadis kala itu mensiasati kejenuhan belajar hadis akan disinggung.
6. Kitab-kitab Hadis. Pada sesi akan dibicarakan jenis-jenis kitab koleksi hadis dari musannafat hingga yang mu`allafat. Jenis-jenis musannafat dan mu`allafat layak diperhatikan mengingat kepentinganya dalam pengambilan hadis sebagai dasar-dasar agama kaitannya dengan takhrij hadis. Di samping itu, para kolektor hadis yang mengumpulkan koleksinya dalam suatu bentuk kitab dengan nama-nama tertentu seperti kitab shahih, sunan, mustakhraj, dan lain-lain akan dibicarakan.
7. Klasifikasi Hadis Berdasarkan Transmisinya. Pada sesi ini dibahas klasifikasi hadis berdasarkan transmisinya hingga sampai kepada kita. Tidak ketinggalan pembahasan jalur transmisi para kolektor hadis, hingga pembahasan proses takhrij yang selesai kepada kitab-kitab hadis saja. Termasuk di dalamnya metode periwayatan hadis yang digunakan.
8. Hadis Maqbul. Pada sesi ini diungkapkan kategori hadis-hadis yang maqbul. Artinya, hadis itu dapat diterima kehujjahannya. Untuk dapat diterima, suatu hadis harus memenuhi berbagai syarat yang sangat ketat mengingat kadar orisinalitas hadis yang banyak diperdebatkan orang. Syarat di sini berbeda antara ulama satu dengan ulama lainnya. Karena itu, penyebutan hadis itu sahih sehingga dapat diterima, misalnya, ini kategori menurut pihak mana dan tidak sahih menurut pihak siapa. Di samping, dibahas pula kategorisasi ma'mul bih dan ghairu ma'mul bih dari suatu hadis.
9. Hadis Mardud. Pada sesi ini dibahas berbagai istilah dan sebab yang menjadikan suatu hadis ditolak. Penolakan suatu hadis lebih sering terjadi akibat cacatnya persyaratan periwayatan oleh perawi, namun juga ada kemungkinan karena sisi matan yang meragukan. Karenanya klasifikasinya dapat ditentukan pada kedhaifan hadis dari sisi sanad (transmisi) maupun matannya (transmisinya). Hadis yang dhaif dari satu sisi sangat mungkin ditemukan hadis lain yang isinya mendukung isi hadis yang dinyatakan palsu sehingga kualitas hadis dhaif tersebut dapat meningkat juga dibahas.
10. Cara Penyebaran dan Periwayatan Hadis (Tahammul wal ada`). Pada sesi ini dibicarakan tentang sighat-sighat ada`, periwayatan hadis secara makna, dan kelayakan perawi dalam meriwayatkan hadis.
11. Al-Jarh wa al-Ta'dil. Pada sesi ini akan dibahas tentang kaidah-kaidah penilaian kritikus hadis akan kredibilitas perawi hadis, tentu saja didahului dengan mengetengahkan pengertian dari kritik itu sendiri. Karakteristik kritikus hadis sangat mempengaruhi nilai penilaiannya pada sosok perawi hadis, karenanya pengenalan tentang identitas para pengkritik juga diharapkan dapat disinggung terutama ketika menyikapi nilai ganda antara jarh dan ta'dil yang didapat oleh seorang perawi akibat dinilai oleh orang yang berbeda.
12. Hadis Maudhu'. Pada sesi ini dibicarakan tentang hadis maudhu atau hadis–hadis palsu. Utamanya disinggung tentang masa dan sebab kemunculan hadis palsu serta upaya-upaya ulama melawan hadis palsu, juga karya-karya populer mengenai atau yang berisi hadis-hadis palsu.
13. Seputar Sahabat dan Tabi'in. Di sesi ini akan dibicarakan tentang siapa yang dinamakan, dikategorikan, atau diidentifikasi sebagai sahabat. Juga istilah mukhodhromun yang selalu menyertai pembahasan tentang sahabat dalam disiplin ilmu hadis. Lebih urgen dari itu adalah pernyataan bahwa setiap sahabat adalah adil juga akan dibahas.
14. Studi Buku-Buku Hadis. Pada sesi ini akan didiskusikan review dari salah satu karya ilmiah tentang hadis, baik yang bermaterikan ilmu hadis atau hadis itu sendiri karya penulis lokal. Di antara yang dapat dipilih adalah :
- Hadis-Hadis Bermasalah, karya Ali Mustafa Ya'qub.
- Kritik Matan Hadis, karya Hasjim Abbas.
- Kaedah Kesahehan Hadis, karya Sjuhudi Ismail.
- Perempuan Tertindas, Kajian Hadis-Hadis Misoginis, karya Hamim Ilyas.
- Hadis-Hadis Sekte, karya Sa'dullah Assa'idi.
- Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits. Karya TM. Hasbi Ash Shidiqy,.
- Ilmu Hadis, karya Utang Ranuwijaya.
- Evolusi Konsep Sunnah, karya Musahadi Ham.
bibliography


Abbas, Hasjim. Kritik Matan Hadis. Yogyakarta : Teras. 2004.
al-Khatib, Muhammad 'Ajjaj. Ushul al-Hadis, Ulumuh wa Mustalahuh. Damaskus : Dar al-Fikr, 1989.
Assa'idi, Sa'dullah. Hadis-Hadis Sekte. Yogyakarta : Pustaka Pelajar. 1996
al-A'zami, Muhammad Dhiya` al-Rahman. Dirasat fi al-Jarh wa al-Ta'dil. India: al-Maktabah al-Salafiyah. 1983.
al-A'zami, Muhammad Mustafa. Dirasat fi al-Hadis al-Nabawi wa Tarikh Tadwinih. Beirut : al-Maktab al-Islami. 1980
al-Ghazali, Muhammad. al-Sunnah al-Nabawiyah bayn Ahl al-Fiqh wa Ahl al-Hadis. Kairo :Dar al-Suruq. 1989.
Ham, Musahadi. Evolusi Konsep Sunnah. Semarang : Aneka Ilmu. 2000.
Ilyas, Hamim. Perempuan Tertindas, Kajian Hadis-Hadis Misoginis. Yogyakarta : eLSAQ. 2005.
Ismail, M. Syuhudi. Kaedah Kesahihan Sanad Hadis. Jakarta : Bulan Bintang. 1995.
'Itr, Nuruddin. Manhaj al-Naqd fi Ulum al-Hadis. Beirut : Dar al-Fikr. 1997.
al-Mas'udi, Hafidh Hasan. Minhat al-Mughits fi 'Ilm Mustalah al-Hadis. Terj. H.A. Aziz Masyhuri. Solo : Ramadani. 1993.
al-Maliki, Muhammad Alwi. al-Qawa'id fi 'Ilm Mustalah al-Hadis. t.p. : t.tp. t.t.
al-Qattan, Manna. Mabahits fi 'Ulum al-Hadis. Beirut : Dar al-Fikr. 1997.
Shalih, Subhi. Ulum al-Hadis wa Mushtalahuh. Beirut : Dar al-'Ilm al-Malayin. 1977.
al-Siba`i, Mustafa. al-Sunnah wa Makanatuha min Tasyri' al-Islami. Damaskus : Dar al-Fikr, 1949.
Ash Shidiqy, TM. Hasbi. Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits, Jakarta : Bulan Bintang. 1960.
al-Suyuti, Jalal al-Din. Asbab Wurud al-Hadis. Beirut : Dar al-Fikr al-Ilmiyah. 1984
al-Thahan, Mahmud. Taysir Mustalah Hadis. Surabaya : Bungkul Indah, t.t.
_______________, Ushul al-Takhrij wa Dirasah al-Asanid, Riyadh : Maktabah al-Ma'arif, 1991.
Ranuwijaya, Utang. Ilmu Hadis, Jakarta : Gaya Media Pratama. 2001.
Zuhri, Muh. Telaah Matan Hadis. Yogyakarta : LESFI. 2003.
Selengkapnya...

SOAL UJIAN AKHIR SEMESTER GANJIL MA'HAD 'ALI "AL-MAHFUDZ" SEBLAK JOMBANG TAHUN AKADEMIK 2007/2008

Soal ujian akhir semester ganjil
ma'had 'ali "al-mahfudz" seblak jombang
tahun akademik 2007/2008
Mata Kuliah
: Ilmu Hadis

Bentuk Soal
: Take Home Examination
Dosen Pengampu
: Masrokhin Sadja

Dikumpulkan
: Maks. 3 hari setelah diujikan
Deskripsi
Perjalanan Nabi Muhammad saw membimbing umat melintasi waktu tidak hanya ketika bulan purnama bersinar terang atau di saat matahari mulai menonjolkan kegagahannya, namun juga melewati titik hitam di mana dibutuhkan kejelian seorang pembimbing menunjukkan cara yang tepat di antara jalan-jalan yang paling tepat. Oleh karena itu, sebaran materi hadis Nabi yang mendampingi al-Qur’an sebagai sumber dan pedoman induk dalam kehidupan umat Islam tak terelakkan pasti menaungi segala aspek dan mengandung banyak segi. Otoritas Nabi sebagai pembawa risalah juga membawa serta sisi pribadi yang tentu saja akan dipedomani oleh umatnya.
Dari sini dapat dlihat bahwa materi tema hadis dapat berupa (1) Sabda penuturan Nabi saw (hadis qauli) termasuk pernyataan yang mengulas kejadian atau peristiwa sebelum periode nubuwwah, hikayat Rasul terdahulu maupun norma syari’at yang diberlakukan (syar’ man qablana) (2) Surat-surat yang dibuat atas perintah Nabi termasuk juga fakta perjanjian yang melibatkan Nabi. (3) Firman Allah yang selain al-Qur’an yang disampaikan kepada umat dengan bahasa tutur Nabi atau biasa dikenal dengan Hadis Qudsi (4) Pemberitaan yang berkait dengan al-Qur’an (tafsir nabawiy dan asbab al-nuzul) (5) Perbuatan yang dilakukan Nabi dan diriwayatkan kembali oleh sahabat (hadis fi’ly atau ‘amaliy). (6) Sifat dan ihwal Nabi (hadis khalqiy) (7) Perilaku dan kebiasaan Nabi sehari-hari (hadis khuluqiy) serta pengalaman dalam dinamika kepemimpinan dan kemanusiaan nabi (sirah nabawiyah) termasuk juga acara perang (al-maghaziy) (8) Sesuatu yang direncanakan dan ancaman yang ditujukan kepada orang atau kelompok lain sekalipun tidak dilaksanakan (hadis hammi) (9) Perbuatan atau sikap terbuka sahabat di mana nabi mengetahuinya dan beliau bersikap membiarkan tanpa menegur atau melarangnya (hadis taqririy) (10) Biografi sahabat karena ada data hubungan khusus dengan Nabi (hadis manaqibiy) (11) Prediksi atau ramalan keadaan yang akan terjadi seperti gejala datangnya kiamat. (12) Kejadian dan kebijakan sahabat sepeninggal Nabi yang berpotensi sebagai penjabaran ajaran Nabi atau berkait dengan eksistensi kesumberan ajaran Islam dan pelestarian sunnah nabawiyah[1].
Soal
1. Pilih tiga tema hadis dari 12 materi tema hadis di atas untuk kemudian menuliskan teks hadis lengkap dengan sanad dan matannya dari kitab hadis induk sesuai dengan tema yang dipilih..
2. Ambil salah satu hadis dari jawaban nomor 1 dan tunjukkan dengan menulis lengkap bagian mana yang dinamakan sanad. Tuliskan pula bagian mana yang dinamakan matan dan athraf dengan menyertakan pengertian masing-masing apa yang dinamakan sanad, matan, dan athraf.
3. Jika hadis yang Saudara tulis adalah sahih, maka hadis tersebut pasti memenuhi kriteria hadis sahih yang oleh ulama dirumuskan dengan :
أولها الصحيح وهو ما اتصل * إسناده ولم يشــذ أو يعل
يرويه عدل ضـابط عن مثله * معتمد فــي ضبطه ونقله
Tunjukkan kriteria suatu hadis dikatakan sebagai hadis sahih yang bagiannya dapat berupa hadis mutawatir maupun ahad yang terdiri dari hadis masyhur, 'aziz maupun gharib. Apa yang Saudara ketahui dengan istilah mutawatir ahad, masyhur, 'aziz maupun gharib.
4. Karena berbagai alasan, beberapa pihak sering mendukung tindakannya dengan sandaran dalil yang dikatakannya sebagai hadis. Akan tetapi, ternyata hadis yang dimaksud adalah hadis maudhu' atau hadis palsu. Tuliskan salah satu contoh hadis maudhu' dan sebutkan sebab kemaudhu'annya. Selain sebab kemaudhu'an untuk hadis yang ditulis, tunjukkan sebab lain suatu hadis dinamakan hadis maudhu'.
5. Jika suatu dalil yang dikatakan sebagai hadis benar-benar bersumber dari Nabi saw, maka sering kali dapat ditemukan syahid (syawahid) maupun tab'i (tawabi')nya. Berikan pengertian syahid (syawahid) maupun tabi' (tawabi').

Selamat mengerjakan
rokhinsadja@gmail.com

[1] Hasjim Abbas, Kritik Matan Hadis, (Yogyakarta : TERAS, 2004), p.15.
Selengkapnya...

BAHTSUL MASAIL I PCNU JOMBANG TAMBAK BERAS 06 APRIL 2008

Bahtsul masail I pcnu jombang
tambak beras 06 April 2008


1. tentang mushaf
- apakah kopian ayat al-qur'an masih disebut mushaf ?
- posisi kopian itu seperti apa ?
Harus disepakati terlebih dahulu apa yang dinamakan mushaf pada kesempatan ini. Syekh Muhammad Nawawi al-Jawi dalam Kashifatus Saja menyebut mushaf adalah media belajar apa saja yang di sana ditulis ayat al-Qur'an. Tulisan itu bukan dimaksudkan sebagai jimat atau sejenisnya. Tidak terbatas hanya menulis dengan kertas, namun juga media kayu, tulang, kulit atau lainnya.[1] Pengertian ini akan dibawa ketika menyebut apa yang dimaksud dengan mushaf. Syekh Nawawi tidak menyebut mushaf pada ayat yang ditulis dengan tujuan bukan sebagai media belajar. Tidak jelas apa yang membedakan yang mana mushaf dan yang mana jimat mengingat apa yang dibuat untuk dirasah disebut mushaf dan yang dibuat untuk tujuan jimat (al-tamimah) tidak disebut sebagai mushaf, sementara pada keduanya sama-sama ditulis ayat al-Qur'an. Untuk yang disebut terakhir tidak ada ketentuan dilarang menyentuh dalam keadaan berhadas. Artinya, dalam karya Syekh Nawawi ini penyebutan apa yang dimaksud sebagai mushaf bergantung kepada tujuan penulisan. Dalam latar belakang kasus yang disampaikan, ini sulit.
Pada masa Rasulullah saw al-Qur'an belum ditulis dalam satu kumpulan, apa lagi untuk ada penyebutan mushaf. Al-Qur'an terkumpul dalam satu bentuk tulisan terjilid terjadi pada masa sahabat. Ketika proses penulisan selesai, Usman selaku penggagas meminta para sahabat lain untuk memberikan nama pada hasil kumpulan tersebut. Sekelompok sahabat menamakan al-kitab, kelompok lain menyebut al-sifr, dan yang lainnya memberi nama al-mushaf.[2]
Penyedia jasa foto copi hanya bermaksud melakukan tugasnya menyediakan jasa menggandakan dokumen, tidak bermaksud menjadikan dokumen sebagai media belajar atau jimat, baik dokumen kopian itu berupa tulisan ayat al-Qur'an atau bukan. Entah juga penyedia jasa foto copi itu menyebut hasil kopian ayat-ayat al-Qur'an sebagai apa, dia hanya bermaksud menyediakan jasa dan memperoleh imbalan atas jasa. Itu saja.
Selanjutnya, sekalipun ada kelompok yang menyebut al-Qur'an adalah hasil budaya, dan kelompok ini ditentang oleh masyarakat, bahkan misalnya al-Qur'an dianggap sebagai buku biasa sekalipun, menjadikannya berada pada tempat yang tidak semestinya adalah tidak tepat. Sudah menjadi kesepakatan sejumlah besar masyarakat dunia bahwa al-Qur'an adalah sesuatu yang dihormati dan dihargai. Oleh karena itu, bentuknya dalam berbagai macam jenis juga harus dihormati. Tentu juga dalam bentuk fotokopiannya.
Pada sudut pandang yang lain, mesin foto kopi ketika dimasukkan dalam jangkuan kaidah الرضا بالشيء رضا بما يتولد منه maka akibat yang ditimbulkannya juga harus menjadi pertimbangan. Salah satunya adalah hasil kopian yang rusak. Sudah menjadi kelaziman bagi orang foto kopi bahwa bahwa tempat kertas yang rusak bersama kertas rusak lainnya, meskipun yang rusak adalah kopian ayat al-Qur'an. Namun, berharganya suatu duplikat tulisan dari surat berharga, misalnya, adalah ketika terdapat padanya stempel legalisir. Dalam masalah al-Qur'an tidak ada kategori asli tulisan ayat al-Qur'an dan tidak ada kategori duplikatnya. Dalam berbagai bentuknya, tulisan ayat al-Qur'an tetap ayat al-Qur'an. Oleh karena itu, membuatnya berada dalam keadaan tidak terhormat adalah hal yang jelek.
2. Tentang campur tangan pemerintah
- posisi campur tangan pemerintah dalam menentukan kewajiban untuk pencatatan nikah, padahal dalam fiqh (katanya) tidak ada kewajiban mencatatkan nikah ?

Pengakuan terhadap pemerintah yang sah berkonsekuensi adanya kewajiban keataatan. Pihak yang mengakui pemerintah artinya mengakui produk pemerintah. Dalam kasus Indonesia, pihak yang tidak mengakui sahnya pemerintah Indonesia berada di luar jangkaun pernyataan ini. Di antara mereka adalah pihak yang mengharuskan urusan umat Islam diatur dalam sistem kekhalifahan.
Produk pemerintah tentunya mengacu pada kemaslahatan untuk semua yang termuat dalam kaidahتصرف الإمام على الرعية منوط بالمصلحة . Memenuhi kemaslahatan untuk semua secara bersama dapat dirasakan oleh semua pihak tentu sulit tercapai.
Upaya pemerintah menertibkan tarik-ulur antar kepentingan masyarakat dan upaya mengakomodasi berbagai cara menuju ketertiban adalah menerbitkan undang-undang yang diberlakukan dalam negara sebagai hukum positif. Di antaranya adalah tentang pernikahan.
Dalam ketentuan syariat Islam, tentang pernikahan yang disebutkan dalam undang-undang pernikahan beberapa di antaranya terlihat ada penambahan dan campur tangan pemerintah. Misalnya adanya kewajiban harus mencatatkan pernikahan, prosedur perceraian yang harus dilakukan di muka pengadilan, persyaratan pernikahan, dan lain-lain.
Upaya pemerintah dalam hal ini adalah حكم الحاكم يرفع و يلزم (apa yang telah ditetapkan oleh pemerintah adalah demi menyelesaikan permasalahan dan bersifat mengikat). Artinya, termasuk dalam masalah poligami, kebijakan pemerintah bersifat sah dan tentu juga keabsahan memberikan sanksi bagi pelanggarnya.
Poligami merupakan salah satu syariat yang diatur dan dinyatakan keberadaannya dalam al-Qur'an. Oleh karena itu, mengingkari sebagian isi al-Qur'an adalah sama dengan mengingkari keseluruhannya. Dalam Islam, jelas status apa yang dapat dikenakan bagi mereka yang mengingkari al-Qur'an. Dalam al-Qur'an sendiri, kemungkinan untuk dapat melakukan poligami terlihat sangat sulit mengingat apa yang disyaratakan adalah barang yang abstrak, yaitu kemampuan berbuat adil. Sementara di sisi lain, al-Qur'an sering membuat sesuatu yang abstrak digambarkan dalam bentuk riil untuk dapat lebih mudah dipahami dan dilaksanakan. Dengan demikian, apa yang dianggap mempersulit berdasar keputusan pemerintah dalam masalah poligami, sebenarbnya tidak jauh dari apa yang ditunjukkan oleh al-Qur'an.
Dalam hal ini, sesuatu yang sulit bukanlah sesuatu yang tidak dapat dilaksanakan. Sesuatu yang telah jelas keberadaannya meskipun sulit tidak dapat disebut dengan peniadaan. Maksudnya, poligami adalah ada dan boleh sehingga anti-poligami merupakan aksi yang tidak dilarang selama aksi ini bukan dinyatakan sebagai menganggap bahwa poligami adalah tidak boleh.
Sebagaimana disebutkan di atas, kebijakan pemerintah adalah bersifat mengikat, ketika dalam perceraian disyaratkan baru dapat dilakukan di muka pengadilan, maka betapapun telah dilakukan perceraian di luar pengadilan, baik dalam bentuk qawliyyan atau fil'iyan, tetap tidak berlaku.
3. Tentang sarung sutra
- bagaimana hukum memakai sarung yang bertuliskan 100 % sutera ?

Nabi saw dengan tegas melarang kaum laki-laki memakai pakaian yang terbuat dari sutra dengan sabdanya. Semua kolektor hadis yang tergolong dalam kutub al-tis'ah meriwayatkan hadis tentang larangan mengenakan pakaian sutra untuk laki-laki kecuali dalam keadaan tertentu. Oleh karena itu, jika yang dikenakan sebagai pakaian adalah sutra, maka jelas ketentuan tidak bolehnya. Sedangkan, pada apa yang menjadi latar belakang pertanyaan dan pertanyaan hanyalah adanya tulisan 100 % sutra. Apakah yang dimaksudkan adalah sarung yang keseluruhan benangnya adalah benang sutra. Tentu saja jika demikian, sifat larangannya adalah jelas.
Hanya saja, penulis menyangka bahwa meskipun bertuliskan 100 % sutra, satu kain tidak akan hanya terdiri dari sutra namun ada campuran benang lain. Dan ini dizinkan.
4. Tentang undian
- hukum membeli barang yang menjanjikan hadiah bagi pembeli

Dalam ketentuan jual beli, yang tidak diperkenankan adalah jual beli di mana di dalamnya terjadi ghurur (unsur tipu daya). Dalam hal jual beli di mana produsen menyediakan hadiah bagi siapa yang beruntung, di sana tidak terdapat ghurur. Produsen menjual barangnya dengan harga sekian dan konsumen mau membeli dengan harga tersebut. Ketika membeli, konsumen telah memperoleh haknya mendapatkan barang yang telah ia bayar dan produsen mendapatkan keuntungan dari penjualan barangnya. Dari sini, pihak produsen berkehendak menyisihkan sebagian keuntungannya untuk mengungkapkan rasa terima kasih atas berkenannya konsumen menggunakan produknya sehingga perusahaan produsen tetap eksis.
Kasus ini berbeda dengan pembelian kupon untuk mendapatkan hadiah. Dalam kasus ini konsumen tidak mendapatkan apapun, baik berupa barang konsumsi ataupun produk jasa, dari apa yang telah ia bayarkan. Hal ini dikarenakan pihak produsen sebenarnya juga tidak membuat satu produk apapun. Yang semacam ini jelas tidak boleh.
Ketika konsumen tidak mendapatkan hadiah setelah membeli barang, konsumen tetap tidak dirugikan sebab dia telah mendapatkan haknya, baik ketika membeli barang karena tergiur hadiah atau tidak. Jika dia membeli barang sampai jumlah yang amat banyak hanya karena hadiah, padahal sebenarnya dia tidak membutuhkan barang yang ia beli, maka yang salah bukan karena adanya hadiah itu, tetapi yang salah adalah sifat isrof dan sifat tidak hemat serta sifat tidak mampu menempatkan sesuatu pada tempatnya dari konsumen tersebut. Dan dalam kategori ini terdapat kemungkinan untuk dimasukkan ke dalam mahjur alaih sebagai muflis.
5. Tentang walet
- bagaimana hukum piara walet di masjid, bagaimana penjagaan kesucian masjid ?

Masjid adalah tempat suci sehingga di sana terdapat hukum haram pada apa-apa yang tidak semestinya berada. Misalnya, larangan memasuki masjid untuk orang yang junub, menggunakan masjid bukan sebagai sarana ibadah, mengotori masjid dan lain-lain. Dalam hal ini, hukum masjid dan apa yang menjadi bagian dari masjid adalah sama. الحريم له حكم ما هو حريم له (bagian dari sesuatu berada dalam satu ketentuan hukum dengan pokoknya).
Menara masjid adalah bagian dari masjid sehingga hukumnya sama dengan masjid. Sifat kesucian yang harus dijaga adalah kesucian yang sekiranya tidak ada dapat mengganggu acara ibadah. Dalam hal ini, masjid yang terdapat kotoran burung misalnya bukan merupakan halangan untuk dapat dipakai sebagai beribadah.
Untuk contoh misalnya ada sarang burung walet di menara masjid, atau sengaja memelihara sarang walet di menara masjid, pada akhirnya juga bukan halangan menjadikan masjid sebagai sarana ibadah. Demikian juga halnya dapat dipersamakan dengan larangan perempuan yang sedang haid atau nifas berada dalam masjid karena dikhawatirkan mengotori atau menyebabkan najis. Pada keduanya dapat dilakukan tindakan antisipatif untuk mencegah terjadinya penajisan atau pengotoran.
Di samping itu, mengingat nilai ekonomis yang tinggi yang ada pada walet, memelihara walet yang telah terlanjur berada pada menara masjid untuk diambil manfaat ekonomisnya adalah dimungkinkan. Dan hal-hal yang dapat mengakibatkan masjid menjadi kotor atau najis sejak dini jelas dapat diambil tindakan pencegahan.
6. Tentang mayat bangkit dari kubur
- kalau ada mayyat hidup lagi, apa yang seharusnya berlaku untuk ahli warisnya ?

Dalam syarat-syarat pembagian pewarisan terdapat ketentuan
a. Meninggalnya orang yang mewariskan (muwarrits) dengan nyata maupun oleh hukum dinyatakan meninggal, seperti orang hilang.
b. Hidupnya ahli waris (warits) dengan nyata maupun oleh hukum dinyatakan hidup ketika mayit meninggal sekalipun sebentar, seperti anak yang masih dalam kandungan, dan
c. Dapat diketahui kedudukannya dalam pembagian harta warisan seperti sebagai bapak maupun ibunya mayit.
Dan dalam rukun-rukun dalam pembagian harta peninggalan adalah:
a. Adanya orang yang mewariskan (muwarrits atau mayit) atau orang yang disamakan dengan mayit seperti orang hilang.
b. Adanya ahli waris (warits) yang masih hidup ketika mayit meninggal atau orang yang disamakan dengan orang hidup, seperti anak dalam kandungan.
c. Adanya harta peninggalan (mauruts) yaitu harta yang siap dibagikan kepada ahli waris yang berhak menerima.
Jika dilanjutkan pada sebab-sebab kepemilikan akan ditemukan kepemilikan dapat terjadi melalui :
ihroz (إحراز ) atau eksplorasi kekayaan alam. Dari laut atau hasil hutan misalnya.
b. al-aqd (العقد) atau transaksi seperti jual-beli, sewa.
c. al-tawallud min al-milk (التولد من الملك) seperti buah dari tanaman, anak dari hewan piaraan.
d. al-khilafah (الخلافة) atau meneruskan kepemilikan dari pemilik terdahulu dengan cara :
- ijbariyah (penerusan pasti) seperti harta warisan dari orang yang meninggal dunia
- ikhtiariyah (penerusan kepemilkikan karena pilihan) seperti wasiat, hibah, shodaqoh dll.
Menafikan salah satu rukun dan syarat di atas sudah pasti tidak dilakukan pembagian waris. Sedangkan tentang status istri, dapat dilihat melalui ketentuan apa yang menyebabkan putusnya penikahan. Salah satunya adalah sebab kematian. Dalam hal ini suami belum mati. Dalam kasus putusnya pertalian akad nikah sebab ditiggal mati, mantan istri terkena aturan beriddah selama empat bulan sepuluh hari. Dalam ketentuan iddah akibat perceraian, mantan suami dapat kembali kepada istrinya dengan akad yang lama bukan dengan akad baru selama masih berada dalam masa iddah. Demikian halnya iddah pada putusnya akad nikah sebab ditinggal mati ketentuan iddah tetap berlaku. Tetapi, adakah kemungkinan orang yang mati dapat bangkit dari kubur lagi setelah dikubur dalam tempo empat bulan sembilan hari, misalnya, untuk dapat kembali menghirup udara dunia yang tidak lagi bersih ini ?????
7. Tentang sholat Subuh
- jika mampu ketemu waktu sholat subuh pada waktu yang berbeda di tempat yang berbeda, apakah kudu sholat lagi ?

Perintah dalam sholat jelas, baik yang global dalam al-Qur'an maupun yang terrinci dalam al-sunnah. Mukallaf hanya wajib sholat lima waktu dalam satu hari satu malam ketika dia terpenuhi ahliyatul ada` dan ahliyatul wujubnya . Tidak ada sholat yang wajib selain sholat lima waktu. Artinya sholat sehari semalam hanya lima kali.
حَدَّثَنَا أَبُو عَاصِمٍ الضَّحَّاكُ بْنُ مَخْلَدٍ عَنْ زَكَرِيَّاءَ بْنِ إِسْحَاقَ عَنْ يَحْيَى بْنِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ صَيْفِيٍّ عَنْ أَبِي مَعْبَدٍ عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَعَثَ مُعَاذًا رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ إِلَى الْيَمَنِ فَقَالَ ادْعُهُمْ إِلَى شَهَادَةِ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَأَنِّي رَسُولُ اللَّهِ فَإِنْ هُمْ أَطَاعُوا لِذَلِكَ فَأَعْلِمْهُمْ أَنَّ اللَّهَ قَدْ افْتَرَضَ عَلَيْهِمْ خَمْسَ صَلَوَاتٍ فِي كُلِّ يَوْمٍ وَلَيْلَةٍ فَإِنْ هُمْ أَطَاعُوا لِذَلِكَ فَأَعْلِمْهُمْ أَنَّ اللَّهَ افْتَرَضَ عَلَيْهِمْ صَدَقَةً فِي أَمْوَالِهِمْ تُؤْخَذُ مِنْ أَغْنِيَائِهِمْ وَتُرَدُّ عَلَى فُقَرَائِهِمْ[3]
Di samping itu, sholat subuh merupakan fardhu 'ain. Fardhu yang tolok ukurnya adalah kewajiban menjadi gugur jika person yang terkena kewajiban telah melaksanakanya. Berbeda halnya dengan fardhu kifayah yang merupakan merupakan suatu hal yang wajib dilakukan dan tidak menjadi gugur atas dasar ukuran person yang telah melaksanakan kewajiban tetapi diukur pada perbuatan yang harus dikerjakan. Jika perbuatan telah dikerjakan oleh siapapun, maka kewajiban menjadi gugur. Sedang dalam fardhu 'ain, bukan pekerjaannya tetapi orangnya telah mengerjakan atau belum.
Dalam kaidah mengerjakan satu perintah, jelas di sana bahwa terdapat ketentuan إن الامر المطلق يقتضي التكرار. Dalam hal ini orang telah melaksanakan sholat subuh pada hari itu jika dia melaksanakan sholat subuh lagi, maka sholat itu adalah sholat yang keenam. Sementara jelas tersebut sholat wajib hanya lima kali.
Wa Allah A'lam wa Ahkam
rokhinsadja@gmail.com
[1] Muhammad Nawawi al-Jawi, Kashifatus Saja, (Surabaya : Toko Kiab al-Hidayah, t.th), hal. 28.
[2] Muhammad Maki Nasr, Nihayat al-Qawl al-Mufid fi 'Ilm al-Tajwid, (t.tp : Dar 'Ulum al-Islamiyyah, t.th), hal. 190.
[3] Al-Bukhari, Sahih al-Bukhari, no indeks 1308.
Selengkapnya...

resensi irshadul fukhul

Resensi Kitab
IRSHĀD AL-FUHŪL ILA TAHQĪQ AL-HAQ MIN ‘ILM AL-USŪL
KARYA AL-SHAWKANI
Oleh : Makinudin* & Masrokhin **



BIOGRAFI PENULIS
Kelahiran al-Shawkani
Nama lengkapnya Muhammad bin Ali ibn Muhammad ibn Abd Allah al-Shawkani al-Şan’ani. Al-Shawkani lahir di Shawkan, suatu desa di dekat kota Şan’a, Yaman Utara, pada hari Senin 28 Zulqaidah 1173 H/1759 M dan meninggal di Şan’a pada hari Rabu 27 Jumadil Akhir 1250 H/1834 M. Sebelum kelahirannya, orang tuanya tinggal di Şan’a. Ketika musim gugur, mereka pulang ke Shawkan, kampung asal mereka, dan ketika itu al-Shawkani lahir. Namun, tidak berapa lama ia dibawa kembali ke Şan’a.
Ayahnya, Ali ibn Muhammad al-Shawkani, (1130-1211 H) adalah seorang ulama yang terkenal di Yaman. Dia bertahun-tahun dipercaya oleh pemerintahan imam-imam Qasimiyah, sebuah dinasti Zaydiyyah di Yaman, untuk memegang jabatan hakim (qadhi). Ia tidak lagi memegang jabatan itu dua tahun menjelang ajalnya karena mengundurkan diri.
Ketika al-Shawkani lahir, kondisi dan pengaruh dunia Islam sedang berada pada titik nadir di mana tiga kerajaan besar Islam, yaitu Turki Usmani, Safawi, dan Mughal berawal dari abad ke-12 H tidak lagi menghirup napas kejayaannya. Selepas pemerintahan Sulayman al-Qanuni (1566 M), Turki Usmani memasuki masa kemundurannya. Pemerintah tidak mampu lagi mengendalikan wilayah dan kekuasaan yang demikian luas. Berbagai wilayah yang berada di bawah kekuasaan Turki Usmani seperti Suriah, Lebanon, Mesir, Palestina dan tempat lain mulai mengadakan pemberontakan disebabkan ketidak-puasan mereka kepada pemerintah pusat. Wilayah Turki Usmani semakin menciut dengan kekuasaan yang semakin terdesak.
Yaman yang juga berada di bawah kekuasaan Turki Usmani ketika itu juga tidak berdiam diri melihat dunia Islam yang kian tidak menentu. Di bawah pimpinan al-Imam al-Manshur al-Qasim ibn Muhammad pada tahun 1006 H/1598 M, Yaman berhasil melepaskan diri dari kekuasaan Turki Usmani dan berdiri sendiri di bawah pemerintahan dinasti Qasimiyah yang didirikan oleh al-Manshur al-Qasim. Pemerintah Turki Usmani berulang kali melakukan serangan kepada pemerintahan dinasti Qasimiyah yang beraliran Zaydiyyah, namun tidak pernah berhasil. Sekalipun demikian, pemerintah Turki Usmani tetap memandang bahwa Yaman adalah wilayahnya sehingga pada masa pemerintahan dinasti Qasimiyah selalu terjadi konfrontasi antara Yaman dan Turki Usmani. Al-Shawkani sendiri merekam seluruh kejadian itu dalam ingatannya. Dalam kondisi berada dalam lingkar lingkungan pejabat pemerintahan dan situasi politik yang demikian itulah al-Shawkani hidup dan tumbuh. Dan seringkali seorang tokoh besar muncul dari lingkungan yang sedang bergolak.
Kehidupan intelektual al-Shawkani.
Ayah al-Shawkani adalah seorang ulama Zaydiyyah yang sangat populer dan mempunyai reputasi besar dalam kerajaan. Sangat wajar jika dia mengarahkan puteranya untuk menjadi ulama besar Zaydiyyah dan mampu melanjutkan reputasi dan prestasinya sebagai qadi. Oleh karena itu, catatan sejarah pendidikan al-Shawkani menceritakan bahwa al-Shawkani tidak pernah belajar keluar dari Şan’a. Sangat mungkin hal ini disebabkan oleh arahan, bahkan keinginan, ayahnya agar al-Shawkani mempelajari mazhab Zaydiyyah sebagaimana yang dianut ayahnya sedalam-dalamnya. Jika ini benar, maka tentu ayah al-Shawkani akan memfokuskan pendidikan al-Shawkani kepada fiqh mazhab Zaydiyyah yang berpusat di kota Şan’a.
Al-Shawkani sendiri sejak kecil dikenal sebagai anak yang gemar belajar dan aktif mendalalmi berbagai macam ilmu pengetahuan. Di samping fiqh, Uşūl al-Fiqh, bahasa, sastra, sejarah dan sebagainya yang ia dapatkan dari para gurunya, al-Shawkani juga tekun mempelajari dan memperdalam Matematika, pengetahuan alam, Astronomi, dan lain-lain secara otodidak.
Al-Shawkani mendapatkan bimbingan dari banyak guru pada berbagai cabang keilmuan. Orang pertama yang menjadi guirunya adalah ayahnya sendiri, Ali al-Shawkani, yang membimbingnya mendalami fiqh, uşūl al-fiqh dan hadis. Selain itu, ia juga belajar kepada guru-guru yang lain, di antarnya adalah:
1. ‘Abd al-Rahman ibn Qasim al-Madani (1121 – 1211 H) yang membimbing mempelajari fiqh.
2. Ahmad ibn Muhammad ibn al-Harazi yang mengajarnya fiqh dan uşūl al-fiqh.
3. Isma’il ibn Hasan ibn Ahmad ibn al-Imam al-Qasim (1120 – 1206 H) yang mengajarnya nahwu.
4. ‘Abd Allah ibn Isma’il al-Nahmi (w. 1228 H) yang membimbingnya belajar nahwu, mantik, hadis, mustalah hadis, fiqh, Uşūl al-Fiqh dan lain-lain.
5. Al-Qasim ibn Yahya al-Khaulani (1162 -1209 H) yang membimbingnya mempelajari berbagai ilmu, seperti mustalah hadis, hadis, mantik, fiqh, uşūl al-fiqh, adab al-bahth wa al-munazarah (metodologi penalaran dan diskusi) dan lain-lain.
6. Al-Hasan ibn Isma’il al-Maghribi (1140 - 1207 H) yang menjadi guru ilmu mantik, hadis, mustalah hadis, mantik, fiqh, uşūl al-fiqh dan tafsir.
7. ‘Ali ibn Hadi ‘Urhab yang mengajarnya uşūl al-fiqh.
8. ‘Abd al-Qadir ibn Ahmad al-Kaukabani (1135 – 1207 H) yang mengajarnya ilmu kalam, fiqh, uşūl al-fiqh, hadis, bahasa dan sastra Arab, dan sebagainya.
9. Hadi ibn Husain al-Qarini yang membimbingnya membaca Syarh al-Jazariyah yang berisi tentang bermacam qira`at al-Qur’an).
10. ‘Abd al-Rahman ibn Hasan al-Akwa’ (1135 – 1206 H) yang membimbingnya membaca bagian awal kitab al-Shifa’ karya al-Amir al-Husain.
11. ‘Ali Ibrahim ibn ‘Ali ibn Ibrahim ibn Ahmad ibn ‘Amir (1143 – 1207 H) yang membimbingnya membaca beberapa kitab hadis.
12. Yahya ibn Muhammad al-Hautsi (1160 – 1247 H) yang mengajarinya ilmu Faraid, ilmu hitung dan ilmu ukur.
Selain guru-guru yang disebutkan di atas, masih banyak lagi guru al-Shawkani yang lain. Guru yang paling banyak disebut al-Shawkani dan paling banyak memberikan pelajaran kepadanya adalah al-Qasim ibn Yahya al-Khaulani, ‘Abd al-Qadir ibn Ahmad al-Kaukabani, ‘Abd Allah ibn isma’il al-Nahmi, dan al-Hasan ibn Isma’il al-Maghribi.
Dari sekian banyak gurunya, dapat dipahami bahwa ia adalah seorang pemuda yang sangat tekun. Al-Shawkani sendiri menyebutkan bahwa dalam sehari-semalam ia dapat mengikuti tiga belas mata pelajaran. Sebagian berupa pelajaran yang ia terima dari guru-gurunya dan sebagian yang lainmrp pelajaran yang ia ajarkan kepada murid-muridnya.
Di antara murid-murid al-Shawkani yang berhasil memainkan peranan di tengah-tengah masyarakat adalah:
1. Al-Sayyid Muhammad ibn Muhammad Zabarah al-Hasani al-Yamani al-Şan’ani (w. 1381 H) yang menulis biografi para tokoh Yaman abad ke-13 H yang berjudul Nail al-Wathar min Tarajim Rijal al-Yaman fi al-Qarn al-Tsalits ‘Ashar. Murid al-Shawkani yang satu ini termasuk generasi kedua dan turut berperan menyebarkan karya-karya al-Shawkani di Mesir.
2. Muhammad ibn Ahmad al-Sudi (1178 – 1226 H) yang mendapat pujian dari al-Shawkani sebagai salah seorang muridnya yang cemerlang.
3. Muhammad ibn Ahmad Mushhim al-Sa’di al-Şana’ni (1186 – 1223 H) pernah memegang jabatan qadi di Şan’a dan dipuji oleh gurunya.
4. Al-Sayyid Ahmad ibn ‘Ali ibn Muhsin ibn al-Imam al-Mutawakkil ‘ala Allah Isma’il ibn Qasim (1150 – 1223 H) yang belajar kepada al-Shawkani ketika usianya hampir mencapai lima puluh tahun dan menyertai gurunya hampir sepuluh tahun.
5. Al-Sayyid Muhammad ibn Muhammd Hashim ibn Yahya al-Shami (1178 – 1251 H).
Ketekunan al-Shawkani dalam membaca dan belajar telah mengantarkannya menjadi seorang ulama. Pada usia yang masih sangat muda, kurang dari dua puluh tahun, ia telah diminta oleh masyarakat Şan’a dan sekitarnya untuk memberikan fatwa dalam berbagai masalah keagamaan, padahal pada waktu itu guru-guru al-Shawkani masih hidup. Lalu pada usia tiga puluh tahun ia mampu melakukan ijtihad secara mandiri, terlepas dari ikatan mazhab Zaidi yang dianutnya sebelum itu.
Kemampuan intelektual al-Shawkani mengantarnya kepada kedudukan yang terhormat sebagai al-qādi al-kabīr (hakim agung) ketika ia masih berusia 36 tahun pada masa pemerintahan al-Imam al-Manshur bi-Allah ‘Ali ibn Abbas (1151 – 1224 H). Jabatan ini ia duduki hingga pemerintaan dua imam setelah al-Manshur. Sekalipun ia sibuk dengan urusan pemerintahan, di luar jam dinasnya ia tetap melaksanakan tugas keilmuannya dengan mengajar dan menulis. Produktifitas al-Shawkani dapat dilihat dari karya tulisnya yang amat banyak. Karya-karyanya ia sebutkan dalam kitab al-Badr al-Ţāli ada sebanyak sembilan puluh lima judul, di antaranya:
1. Al-Badr al-Ţali’ bi Mahāsin Man ba’d al-Qarn al-Sabi’ sebuah karya tentang biografi sejumlah ulama yang hidup sesudah abad ke-8 H sampai abad ke-12 H. Di dalam karyanya tersebut pengarang juga menuliskan otobiografinya sendiri. Karya ini telah diterbitkan oleh Mathba’ah al-Sa’adah Kairo 1348 H. penulis sendiri menggunakan al-Badr al-Ţali’ yang diberi anotasi oleh muridnya Muhammmad Zabarah al-Yamani dan diterbitkan oleh penerbit Dar al-Ma’rifah Beirut tanpa keterangan tahun terbit.
2. Al-Darari al-Mudhi’ah karya ini merupakan karya fikih berupa komentar al-Shawkani atas karyanya yang lain yang berjudul al-Durar al-Bahiyyah. Buku ini telah diterbitkan oleh Dar al-Kutub al-Ilmiyah Beirut pada 1987.
3. Al-Daw’ al-Ajil fi Daf’ al-‘Aduww al-Şā’il. Karya ini mengandung pandangan-pandangan penulisnya tentang kemerosotan dunia Islam pada masanya serta formula yang diperlukan untuk membangkitkannya kembali, yakni dengan membersihkan aqidah dan menghidupkan kembali ijtihad. Karya ini diterbitkan oleh Dar al-Kutub al-Ilmiyah, Beirut 1930 dan dijadikan satu jilid dengan karyanya yang lain.
4. Al-Durr Nadhid fi Ikhlas Kalimah al-Tauhid. Buku ini adalah karya al-Shawkani yang monumental dalam membicarakan tentang akidah salaf dan tentang kemusyrikan. Karya ini telah pernah pula diterbitkan oleh al-Mathba’ah al-Muniriyyah, Kairo 1351 H.
5. Al-Durar al-Bahiyyah. Buku fikih ringkas yang diterbitkan bersama komentarnya, al-Darari al-Muthi’ah oleh Mathba’ah Mishr al-Hurrah. Kairo 1328 H. Karya ini telah dikomentari pula oleh Sayyid Muhammmad Shiddiq Hasan Khan Bahadur (w.1307 H/1889 M) dengan karyanya al-Raudhah al-Nadyah Syarh al-Durar al-Bahiyyah.
6. Fath al-Khalaq fi Jawab Masā`il Abd al-Razzaq. Karya ini merupakan jawaban al-Shawkani terhadap seratus masalah menyangkut ilmu mantiq yang dikemukakan oleh seorang yang bernama ‘Abd al-Razzaq. Sampai sekarang naskah buku ini belum diterbitkan.
7. Fath al-Qadir al-Jami’ bain Fannai al-Riwayah wa al-Dirayah min ‘Ilm al-Tafsir. Tafsir ini mulai ditulis al-Shawkani pada bulan Rabi’ul Akhir 1223 H dan selesai bulan Rajab 1229 H. Telah diterbitkan oleh beberapa penerbit di antaranya: Mathba’ah Mushthafa al-Babi al-Habibi, Kairo 1349 H dan Dar al-Fikr, Beirut tanpa keterangan tahun terbit. Karya ini telah diringkas oleh sarjana Kuwait Muhammad Sulaiman ‘Abd Allah al-Asyqar dengan judul Zubdah al-Tafsir min Fath al-Qadir diterbitkan oleh Jam’iyah Ihya’ al-Turats al-Islami Kuwait 1414 H/1994 M.
8. Al-Fawa’id al-Majmu’ah fi al-Ahadits al-Maudhu’ah. Sebuah koleksi hadis-hadis maudhu’ (palsu) yang disertai kritikan penulisnya. Karya ini pernah diterbitkan di India tahun 1203 H kemudian diterbitkan di Kairo oleh Mathba’ah al-Sunnah al-Muhammadiyah, 1380 H/1960 M.
9. Irshād al-Fuhūl ila Tahqiq al-Haq min ‘Ilm al- Uşūl. Karya uşūl al-fiqh al-Shawkani yang monumental ringkas tetapi padat. Berbeda dengan karya-karya uşūl al-fiqh sebelumnya dalam karya ini al-Shawkani memaparkan dalili-dalil fikih secara komparatif yang diiringi dengan kritik-kritiknya terhadap pandangan-pandangan para ahli uşūl al-fiqh terdahulu. Karya ini telah diterbitkan oleh beberapa penerbit di Mesir dan Lebanon.
10. Irshād al-Tsiqat ila Tafalluq al-Syara’i’ala al-Tauhid wa al-Mi’ad wa al-Nubuwwat. Karya ini memaparkan kesamaan persepsi agama-agama Samawi tentang tauhid, eksistensi kenabian dan hari berbangkit. Karya ini telah diterbitkan oleh Dar al-Nahdhah al-Arabiyyah Kairo 1395 H.
11. Kashf al-Syubuhat ‘an al-Musytabihat. Karya al-Shawkani yang membicarakan tentang halal dan haram. Diterbitkan oleh Dar al-Kutub al-‘ilmiyyah, Beirut, 1348 H/1930 M.
12. Nail al-Auţār (dalam satu edisi berjumlah empat jilid tebal dan dalam edisi yang lain terdiri atas sembilan juz delapan volume). Merupakan komentar al-Shawkani atas kitab hadis hukum al-Muntaqā al-Akhbār oleh Abu al-Mubarakat ‘Abd al-Salam ibn Taymiyah (w. 652 H). Karya ini merupakan kajian komprehensif tentang hukum Islam.
13. Al-Qawl al-Mufid fi Adillah al-Ijtihad wa al-Taqlid. Karya ini ditulis oleh al-Shawkani dalam bentuk dialog yang menyangkut hukum ijtihad dan taqlid. Telah diterbitkan oleh Mathba’ah al-Ma’ahid Kairo 1340 H dan oleh Musthafa al-Babi al-Halabi Kairo 1347 H.
Lingkungan Kehidupan al-Shawkani
Al-Shawkani tumbuh dan dididik dalam tradisi Zaidi. Mazhab Zaidi berasal dari Zaid ibn ‘Ali Zain al-‘Abidin ibn al-Husain ibn ‘Ali ibn Abi Talib (80 – 122 H) dan kemudian dikembangakn oleh beberapa mujtahid dari kalangan anak-cucunya sendiri atau keturunan ‘Ali dan Fatimah pada umumnya. Mazhab Zaidi merupakan salah satu cabang dari Syi’ah dan biasa disebut aliran Zaydiyyah. Dalam bidang fiqh, mazhab Zaidi lebih dekat kepada mazhab-mazhab fiqh ahl al-sunnah daripada kepada mazhab-mazhab fiqh Syi’ah. Muhammad Abu Zahrah menyebutkan bahwa dalam bidang mu’amalah, mazhab Zaidi dekat dengan mazhab Hanafi. Ringkasnya, diakui bahwa fiqh Zaidi sebagai suatu bentuk fiqh yang memiliki ciri-ciri tersendiri, namun dalam pandangan-pandangannya tidak jauh berbeda dengan fiqh mazhab empat. Suatu hal yang istimewa dalam mazhab Zaidi adalah bahwa mazhab ini tidak pernah menutup pintu ijtihad selamanya, kendati bentuk ijtihad yang mereka lakukan bukan ijtihad mutlak. Dan al-Shawkani tumbuh dalam tradisi mazhab ini.
Meski demikian, al-Shawkani juga mempelajari beberapa buku di luar tradisi mazhab Zaidi. Dalam bidang fiqh, sejak berusia kurang dari tiga puluh tahun, al-Shawkani telah merasa mampu untuk melakukan ijtihad sendiri. Oleh karena itu, ia tidak merasa terikat dengan mazhab Zaidi maupun mazhab-mazhab lain dalam menetapkan suatu hukum. Baginya yang mengikat seorang nujtahid dalam berijitihad hanyalah al-Qur’an dan sunnah. Dari pandangan di atas, tidak mengherankan kalau dalam beberapa masala furu’ (fiqh), al-Shawkani terlihat berbeda pendapat dengan mazhab Zaidi dan bahkan dengan jumhur.
CAKUPAN KITAB IRSHĀD AL-FUHŪL
Irshād al-Fuhūl merupakan salah satu kitab Uşūl al-Fiqh yang dapat dijadikan rujukan dalam kajian perbandingan Uşūl al-Fiqh. Dalam kitab ini tidak hanya dijelaskan tentang kaidah-kaidah Uşūl al-Fiqh dalam satu mazhab, tetapi juga mengungkap kaidah-kaidah dan pengertian berkaitan dengan metode istinbāţ dan istidlāl dari banyak mazhab.
Al-Shawkani, penulis kitab Irshād al-Fuhūl ini, membuat sitematika penyusunannya atas (1) muqaddimah atau pendahuluan, (2) maqāşid atau kelompok pembahasan semacam bab yang terdiri atas tujuh maqāşid, dan (3) khatimah atau penutup. Dalam muqaddimah, terdapat empat pasal yang terdiri atas beberapa pembahasan dan beberapa permasalahan. Pasal pertama berkaitan dengan definisi (pengertian) Uşūl al-Fiqh, obyek (mawdū’), kegunaan (faedah) mempelajari, dan sumber pengambilan Uşūl al-Fiqh. Pasal kedua berkaitan dengan hukum yang terdiri atas bahasan hukm, hākim, dan mahkūm bih. Pasal ketiga berkaitan dengan prinsip-prinsip kebahasaan (al-mabādi` al-lughawiyyah). Pasal keempat berkaitan dengan pembagian lafal (lafal mufrad dan murakkab).
Maqāşid kitab ini terdiri atas maqāşid atau bab yang membicarakan tentang (1) al-kitāb, (2) al-sunnah, (3) al-ijma’, (4) amr, nahy, ‘ām, khāşş, muţlaq dan muqayyad, mujmal dan mubayan, zāhir dan muawwal, manţūq dan mafhūm, dan naskh, (5) qiyās dan hal-hal yang berkaitan dengan istidlāl (6) ta’adul dan tarjih. Sedangkan pada penutup terdiri atas dua masalah, yaitu mengenai apakah sesuatu itu asalnya boleh atau dilarang, dan perbedaan ulama atas kewajiban bersyukur secara rasio.
Bahasa yang dipakai al-Shawkani dalam sistematika penyususnan terkesan kurang teratur karena di dalamnya ia menggunakan kata al-maqşad, al-bahth, al-bab, al-fasl dan al-masalah. Hal ini dapat dimaklumi mengingat bahwa yang ditekankan dalam kitab ini adalah pembahasan materi Uşūl al-Fiqh, bukan pembahasan bahasa.
Jika dilihat dari materi pembahasan yang ada dalam kitab Irshād al-Fuhūl, maka dapat diperoleh gambaran sebagai berikut:
1. al-Shawkani sangat peduli terhadap kaidah-kaidah kebahasaan (Qawāid al-Lughawiyah) sebagai kaidah istinbāţ yaitu istikhraj al-ma’āni min al-nusūs bi farţ al-dhihn wa quwwat al-qarīhah (menggali makna-makna yang terkandung dalam nas dengan hati yang semangat dan akal yang kuat). Kaidah ini sangat berguna dalam memahami nas al-Qur’an dan al-sunnah. Artinya, jika penguasaan sesorang dalam kaidah ini lemah, maka akan sulit baginya dalam beristinbāţ. Kaidah-kaidah yang ada dalam kitab ini banyak dijadikan rujukan dalam mata kuliah kaidah Uşūl al-Fiqh walaupun terkadang penulis tidak menyebutkan bahwa pengambilannya berasal dari kitab Irshād al-Fuhūl, tetapi dari kitab yang isinya berasal dari kitab tersebut, seperti kitab yang ditulis oleh Abd al Hamid Hakim, yaitu Mabādi` Awwaliyah, al-Sulam, dan al Bayān. Karena itu, sebagian isi dari kitab ini sudah memasyarakat bagi sebagian santri walaupun bernama salafiyah melalui karya Abd al-Hamid Hakim tersebut.
2. al-Shawkani dalam kitab ini tidak memasukkan metode petunjuk lafal atas suatu makna dari kelompok Hanafiyah (‘ibārat al-naşş, ishārat al-naşş, dalālat al-naşş, dalālat al-naşş). Akan tetapi, hanya memasukkan metode dari Shafi’iyah (mutakallimin), yaitu mantūq dan mafhūm. Karena itu pengertian lafal naşş dan zahir yang merupakan bagian mantūq tidak sama dengan lafal naşş dan zahir dalam pengertian Hanafiyah. Begitu juga, dalam kitab ini tidak dibahas tentang maqāşid al-sharī’ah, tujuan diundangkannya suatu hukum secara berdiri sendiri, yakni hanya mengikuti pembahasan masālik al-‘illah yang berupa al-munasabah.
3. Al-Shawkani dalam kitab ini menjelaskan tentang pengertian istidlāl (ma laysa bi naşş wa la ijma’ wa la qiyas), mencari dalil dengan tidak menggunakan nas al-Qur’an dan al-Sunnah, ijma’ dan qiyās. Misalnya istihsān, istishāb dan maslahah mursalah. Hal ini menunjukkan bahwa al-Shawkani membedakan istinbāţ dengan istidlāl. Hal ini berbeda dengan Abu Zahrah dalam kitabnya, ‘ilm Uşūl al-Fiqh, yang menjelaskan metode istinbāţ dari nas itu ada metode ma’nawiyah dan metode lafziyyah. Metode ma’nawiyyah, yaitu beristidlāl dengan tanpa melalui nas, seperti qiyas, istihsān, masālih mursalah dan sad dharai’. Sementara itu metode lafziyyah yaitu berpijak pada mengetahui makna-makna dari lafal-lafal nas dan makna-makna yang ditunjukkan oleh lafal tersebut serta metode penunjukannya.
MATERI KITAB IRSHĀD AL-FUHŪL
Nama lengkap kitab ini adalah Irshād al-Fuhūl ila Tahqiq al-Haq min ‘Ilm al- Uşūl. Jika kitab ini dibahas secara utuh, maka tidak akan selesai hanya beberapa pertemuan pada program pasca sarjana. Oleh karena itu, di sini hanya akan dibahas sebagian isi kitab tersebut, terutama sebagian isi dari muqaddimah, maqāşid, dan khatimah.
1. Bagian muqaddimah
Dalam pasal pertama dari muqaddimah dibahas mengenai ta’rīf (definisi) Uşūl al-Fiqh, obyek Uşūl al-Fiqh (mawdhu’), kegunaan mempelajari Uşūl al-Fiqh (faedah), dan sumber pengambilan Uşūl al-Fiqh (istinbāţ).
Kata “uşūl al-fiqh” dapat dilihat dari dua segi, yakni segi idāfah (gabungan antara mudāf dan mudāf ilayh) dan dari segi ilmiyah. Dilihat dari segi idāfah, lafal Uşūl al-Fiqh terdiri atas dua lafal atau kata, yaitu lafal “uşūl” dan lafal “al-fiqh”. Lafal “uşūl”, berupa mudāf, merupakan bentuk jama’ dari lafal “aşl”, bentuk mufrad (tunggal). Sedangkan lafal al-fiqh berupa mudāf ilayh. Kedua lafal tersebut masing-masing harus diketahui maknanya karena untuk memahamai lafal berbentuk tarkīb tidak akan dapat diketahui tanpa mengetahui masing-masing kata.
Lafal aşl dalam pengertian bahaaa berarti sesuatu yang diatasnya dibangun (ditetapkan) sesuatu yang lain, baik berupa sesuatu yang dapat diindra seperti membangun atap di atas tembok, maupun sesuatu yang tidak dapat ditangkap oleh akal seperti ditetapkannya hukum berdasarkan atas dalil. Sedangkan dalam pengertian istilah, lafal aşl mempunyai beberapa arti, yaitu al-rājih (makna yang kuat/maknk hakiki), al-mustashab, al-qāidah al-kulliyah, dan al-dalīl. Bahkan, pada kitab lain ada yang menambah dengan al-maqīs alayh. Dari makna-makna tersebut yang sesuai dengan bahasan ini adalah aşl dengan makna dalil.
Lafal al-fiqh dalam pengertian bahasa bermakna al-fahm (mengerti). Bahkan dalam tulisan lain ditambah dengan al-fahm al-daqīq (mengerti sesuatu secara mendalam). Sedangkan lafal al-fiqh dalam pengertian istilah bermakna suatu ilmu tentang hukum shara’ yang diperoleh dari dalil-dalil secara rinci (tafşili) dengan menggunakan metode istidlāl. Bahkan dalam tulisan lain ditambahkan lafal al-amaliyah, bersifat praktis, sebagai sifat dari al-ahkām al-shar’iyyah. Dan kata istidlāl berarti fiqh itu didapatkan berdasar ijtihad yang berakibat hasil fiqh bersifat zann, bukan qaţ’i (pasti).
Adapun pengertian Uşūl al-Fiqh secara ilmiyah yang berupa kesataun antara dua lafal uşūl dan al-fiqh adalah memahami kaidah-kaidah yang dijadikan sarana untuk menggali (istinbāţ) hukum-hukum shara’ yang bersifat far’i (al-ahkām al-shar’iyyah al-far’iyyah) dari dalil-dalil yang rinci (tafşili). Adapun yang dimaksud dengan masalah tertentu beserta hukumnya, al-adillah al-muta’aliqah bi masalah wahidah ma’a hukmiha.
Al-Shawkani menyebutkan bahwa obyek bahasan uşūl al-fiqh adalah kembali kepada penetapan sifat-sifat yang essensial bagi dalil dan dari segi menetapkan dalil untuk memperoleh (menggali) hukum dan tetapnya (adanya) hukum berdasarkan dalil. Artinya, obyek uşūl al-fiqh adalah al-ithbāt wa al-thubūth. Bahkan, ada sebagian pendapat yang mengatakan bahwa obyek ‘ilm uşūl al-fiqh adalah dalil samā’i, dari segi bahwa ilmu ini dapat dijadikan sarana untuk mengetahui keadaan dari dalil tersebut pada kemampuan menetapkan hukum bagi perbuatan orang mukallaf. Dalam hal ini, al-Shawkani berpendapat bahwa pendapat yang terdahulu lebih utama, yakni al-ithbāt dan al-thubūth merupakan mawdū’ uşūl al-fiqh.
Al-Shawkani menjelaskan bahwa kegunaan memeplajari uşūl al-fiqh adalah mengetahui hukum-hukum Allah secara qaţ’i/yakin atau zann (tidak pasti). Sedangkan sumber/pengambilan uşūl al-fiqh ini diambil dari tiga komponen, yaitu (1) ilmu kalam (tauhid) karena dalil-dalil shara’ bergantung dari pengetahuan dan kepercayaan kepada Allah (al-bāri) dan membenarkan orang yang menyampaikan (nabi Muhammad saw), (2) bahasa Arab, karena untuk memahmai al-kitab dan al-sunnah dan beristidlāl dengan keduaya bergantung kepada bahasa tersebut sebab keduanya berbahasa Arab, dan (3) hukum-hukum shara’ dari segi pendiskripsian, karena tujuan dari ilmu ini adalah menetapkan atau meniadakan hukum-hukum shara’ tersebut sebagaimana perkataan al-amr li al-wujūb (setiap perintah menunjukkan wajib), al-nahy li al-tahrīm (setiap larangan menunjukkan haram) shalat adalah wajib dan riba adalah haram.
2. Al-maqşad al-khams
Al-Shawkani dalam kitabnya menjelaskna qiyās pada bahasan kelima dalam lingkup al-maqāşid. Kata qiyās dalam pengertian bahasa bermakna mengukur sesuatu atas sesuatu yang lain dan menyamakan sesuatu atas sesuatu yang lain (taqdir shay’ ‘ala shay’ ākhar wa taswiyyatuh bih). Karena itu, timbangan (mikyāl) disebut miqyas (alat menimbang). Sedangkan dalam pengerian istilah, al-Shawkani mengemukakan beberapa definisi yang dirumuskan oleh para ulama sebagai berikut:
a. qiyās ialah membawa (menghadapkan) sesuatu yang ma’lūm (obyek diketahui) kepada obyek yang lain untuk menetapkan hukum atau meniadakannya bagi keduanya dengan memperhatikan sesuatu yang menghimpun keduanya (‘illah yang berupa hukum atau sifat) rumusan Abu al-Bayhaqi). Dalam definisi ini ada kata haml ma’lūm ‘ala ma’lūm kata ma’lūm kedua bukan ma’lūm pertama (pengulangan isim nakirah). Ma’lūm yang perama sama dengan far’/maqis dan ma’lūm kedua sama dengan aşl/maqīs alayh/mushabbah bih (penjelasan pemakalah).
b. Qiyās adalah menerapkan hukum yang terdapat pada aşl/pokok untuk far’ (cabang) karena terdapat kesamaan ‘illah hukum atara keduanya (rumusan Abu Husayn al-Basri).
c. Qiyās ialah menyamakan maskūt ‘anh (peristiwa yang tidak ada nasnya) dengan mantūq bih (ada nasnya). Di sini tidak disebutkan kesamaan antara keduanya (‘illah hukum).
Selain definisi yang dikemukakan oleh para ulama uşūl al-fiqh, al-Shawkani juga membuat definisi yang dianggap paling baik, yaitu istikhrāj mithl al-hukm al-madhkūr li ma lam yudkar bi jami baynahuma (suatu usaha mengeluarkan hukum atas sesuatu yang belum ada hukumnya sebanding dengan sesuatu yang telah ada hukumnya dengan memeperhatikan kesamaan sifat antara keduanya/‘illah hukum) . Kata al-madkūr sama dengan aşl/maqīs alayh/musabbah bih/mahmūl bih. Sedangkan ma lam yudkar adalah sama dengan far’/maqis/musabbah/ mahmul; kata jami’ sama dengan ‘illah hukum.
‘Illah merupakan unsur pokok dalam qiyās. Artinya, selama ia belum diketemukan, metode penetapan hukum melalui qiyās tidak dapat dilaksanakan. Al-Shawkani mengemukakan beberapa definisi ‘illah dari para ulama uşūl al-fiqh tetapi ia tidak menyebutkan secara jelas tentang definisinya, yaitu hanya menyebut syarat-syarat ‘illah. Hal ini berbeda dengan penulis kitab lain seperti Fadil Abd al-Wahid ‘Abd al-Rahman dalam kitab al-Anmuzaj fi Uşūl al-Fiqh yang menyebutkan bahwa qiyās adalah al-wasf al-zahir al-mundabit al-mushramil ‘ala al-ma’na al-munāsib li shar’iyyat al-hukm (sifat yang jelas, dapat ditentukan tolok ukrunya, dan mengandung sifat yang sesuai dengan diundangkannya hukum).
Al-Shawkani dalam kitabnya menjelaskan tentang beberapa metode pencarian ‘illah hukum dalam qiyās sebanyak sebelas metode. Sementara al-Razi dalam al-Mahşūl menyebutkan sepuluh metode. Adapun kesebelas metode tersebut sebagai berikut:
Pertama, ijma’, baik ijma tentang ‘illah yang sudah ditentukan maupun ijma’ tentang sumber menetukan ‘illah.
Kedua, nas al-Qur’an/al-sunnah yang menunjukkan ‘illah, biak secara pasti (qaţ’iyyah) maupun secara tidak pasti (muhtamilah). Lafal yang menunjukkan pasti seperti li ‘illah kadha, li ajl kadha, sebagaimana dalam al-Qur’an min ajl zālik. Sedangkan lafal yang tidak jelas ada tiga, yaitu lam seperti … li ya’budun, lafal inna seperti innahā min al-tawwāfin, dan ba’ seperti bi annahum shāqqu Allah.
Ketiga, al-imā` wa al-tanbīh (isyarat dan peringatan), yang terdiri atas;
(1) Menggantungkan adanya hukum melalui ‘illah dengan menggunakan huruf fa’ yang caranya:
a. huruf fa’ masuk pada ‘illah dan penyebutan hukum lebih dahulu, sebagaimana tentang orang ihram yang meninggal dunia akibat terinjak unta dengan lafal fa innahu yushar yamw al-qiyāmah mulabbiya.
b. huruf fa’ masuk pada hukum dan penyebutan ‘illah lebih dahulu. Terdiri atas huruf fa’ masuk pada kalam al-shari’ seperti firman Allah … faqta’u sebagaimana hadis nabi sahā rasūlullah salla Allah alayh wa sallam fa sajada.
(2) shari tidak menyebut sifat berbarengan dengan hukum, jika sifat ini tidak menjadi ‘illah, maka tidak ada gunanya. Hal ini sebagaimana perkataan orang Badui waqa’tu ahli fi ramadān fa qāla a’tiq raqabah.
(3) Adanya pemisahan sifat antara dua hukum, seperti sabda nabi saw li al-rajil sahm wa li al-faris sahman.
(4) Al-sabr wa al-taqsīm, yaitu menghimpun sifat-sifat yang dapat dijadikan ‘illah pada maqīs alayh. Kemudian sifat-sifat tersebut dilakukan pengujian untuk maqīs yang dianggap tepat dan membatalkan yang tidak tepat.
(5) Al-munāsabah, ada juga yang menyebut al-ikhalah, al-maslahah, istidlāl, ri’āyat al-maqāsid (memelihara tujuan diundangkannya hukum).
Pada bagian al-munāsabah, kemaslahatan dapat dijadikan ‘illah. Artinya, ‘illah yang berupa memelihara maqāşid al-sharī’ah (tujuan diundangkannya hukum).
3. Khatimah (Penutup) Kitab Irshād al-Fuhūl
Al-Shawkani dalam mengakhiri uraian dari tujuan-tujuan (maqāshid) yang terdapat dalam kitab Irshād al-Fuhūl yaitu dengan membahas dua masalah sebagai berikut :
1. المسألة الأول هل الأصل فيما وقع الخلاف و لم يرد فيه دليل يخصه أو يخص نوعه الإباحة أو المنع أو الإباحة ؟
2. المسألة الثانية اختلفوا فى وجوب شكر النعم عقلا ؟
Sebelum menjelaskan tentang dua masalah tersebut, al-Shawkani memberikan penjelasan tentang khatimah li maqāsid hādhā al-kitāb sebagai berikut :
(1) Ketahuilah bahwa sesungguhnya kami telah menjelaskan, pada permulaan kitab ini tentang khilāf (perbedaan) mengenai keberadaan akal sebagai hakim atau tidak. Dalam hal ini kami telah menjelaskannya bahwa sesungguhnya tidak ada perbedaan pendapat mengenai bahwa sebagian dari sesuatu itu dapat diketemukan atau dipahami oleh akal, dan akal dapat menetapkannya seperti sifat-sifat yang sempurna dan yang kurang, sesuatu yang sesuai dengan tujuan dan yang tidak sesuai.
(2) Berdasarkan atas sumbernya, hukum yang dapat dipahami oleh akal ada lima, sebagaimana pembagian hukum shara' (hukum Islam) menjadi lima bagian yaitu (a) wujub, seperti membayar utang, (b) tahrim, seperti perbuatan penganiayaan (dhulm), (c) nadb, seperti berbuat baik kepada orang lain (ihsan) (d) karāhah, seperti budi pekerti (akhlak) yang jelek, dan (e) ibāhah, seperti pemilik barang yang menggunakan barang dimilikinya.
Masalah pertama
Apakah hukum asal tentang sesuatu yang diperselisihkan oleh ulama dan tidak diketemukan dalil yang mentakhsisnya atau mentakhsis macamnya adalah boleh (ibahah) atau dilarang (mamnu') atau didiamkan (waqf) ?
Dalam menjawab masalah tersebut terdapat tiga pendapat, yaitu :
(1) Kelompok ahli fiqh, Shafi'iyah, dan Muhammad bin Abdillah bin Abd al-Salam, serta sebagian ulama muta`akhirin menghubungkan pendapat tersebut kepada pendapat jumhur (mayorits ulama) berpendpat bahwa hukum asal dari sesuatu adalah boleh.
(2) Mayoritas ulama (jumhur) berpendapat bahwa sesungguhnya hukum tentang sesuatu adalah tidak dapat diketahui kecuali dengan dalil yang mentakhsisnya atau mentakhsis macamnya. Sedangkan, jika tidak diketemukan dalil, maka hukum asal dari sesuatu tersebut adalah dilarang.
(3) Abu Bakar al-Syarafi dan sebagian Shafi'iyah berpendapat bahwa asal dari sesuatu adalah tertunda (waqf). Artinya, di sini tidak dapat diketahui apakah sesuatu itu ada hukumnya atau tidak. Dalam hal ini, al-Razi dalam kitabnya al-Mahsul, menjelaskan bahwa hukum asal dari sesuatu yang bermanfaat adalah dibolehkan (diizinkan), sedangkan hukum asal dari sesuatu yang berbahaya adalah dilarang.
Masalah kedua
Para ulama berbeda pendapat mengenai kewajiban bersyukur bagi orang yang telah diberi nikmat menurut akal. Dalam hal ini, terdapat pendapat sebagai berikut :
(1) Golongan Mu'tazilah dan orang yang sepaham dengan mereka mewajibkan bersyukur bagi orang yang telah diberi nikmat dan ditujukan kepada orang yang belum tersentuh aturan shara, belum ada ajakan dar rasul (muballigh).
(2) Mayoritas Ash'ariyah dan orang yang sepaham dengan mereka berpendapat bahwa akal tidak dapat memberikan atau menetapkan hukum terhadap orang yang belum tersentuh ajakan kenabian. Karena itu, mereka tidak berdosa jika mereka tidak bersyukur.
Perbedaan kedua kelompok tersebut ditujukan bagi orang-orang yang belum terkena ajakan seorang wali atau rasul yang membawa shari'at. Sedangkan, jika sudah datang shari'ah, maka tidak ada perbedaan antara mereka. Hal ini, al-Qur'an telah menjelaskan mengenai perintah bersyukur bagi hamba kepada tuhannya. Bahkan, bersyukur merupakan sebab ditambahkannya nikmat bagi mereka, kebahagiaan berupa kebaikan dunia dan akhirat.
PENUTUP
Apa yang ditulis dalam tulisan ini hanya sebagian dari apa yang penulis mampu sampaikan pada forum ini berkaitan dengan kitab Irshād al-Fuhūl karya al-Shawkani. Mudah-mudahan membawa manfaat. Amin.
Selengkapnya...