Monday, November 07, 2022

 

TEORI-TEORI ILMU UŞŪL AL-FIQH

DALAM MASĀLIK AL-ILLAT

 

A. Iftitah

Penelusuran untuk menemukan illat dalam hukum yang berlaku tidak akan meninggalkan teori qiyas yang diberlakukan oleh sebagian besar ulama. Terma al-ahkam tarbutu bi ’ilaliha la bi hukmiha[1] menuntut konsekuensi bahwa hukum praktis tidak berjalan sendirian dengan apa yang telah ditunjuk oleh dalil hukum atau khusus untuk apa yang disebut saja. Tidak disangkal, qiyas merupakan doktrin dari kaum rasionalis, tetapi ia adalah salah satu doktrin di mana penggunaan pendapat personal (ra’y) tunduk kepada makna-makna wahyu Tuhan[2]

Bidang utama pemakain putusan akal dalam qiyas adalah penemuan illat yang sama antara kasus asal dan kasus baru. Apabila illat ditemukan maka ketentuan-ketentuan analogi mengharuskan agar nas diikuti tnpa perubahan apapun. Penelitian terhadap illat dan tujuan-tujuan dari petunjuk Allah sering melibatkan spekulasi juristik, dan pada sisi ini para penentang qiyas menentangnya karena mempertanyakan validitas essensialnya.

Di sisi lain, dalam menerima dan mengamalkan ajaran agama terdapat dua kubu yang saling berbeda sikap. Kubu pertama tidak tertarik untuk mempersoalkan mengapa agama melarang ini dan menyuruh itu. Ada perintah dilaksanakan dan ada larangan disingkiri, selesai. Tidak penting baginya sebuah nas berada dalam konteks tertentu. Mengamalkan agama tidak harus mengerti rahasia, kronologis serta komunikasi antara nas agama dan gejala sosial budaya yang berkembang. Kubu kedua karena menempatkan akal pada posisi yang strategis, merasa perlu mencari rahasia perintah dan larangan. Baginya terjadi kontak dialogis antara nas agama dengan setting sosial budaya ketika nas agama itu muncul. Dan oleh karena itu,  agama harus dihayati, dimengerti, dan dinikmati.[3]

Dalam kerangka ini maka penting artinya menemukan illat al-hukm untuk kenikmatan menjalankan ajaran agama di samping untuk pengembangannya. Diskusi kali ini akan mengetengahkan masalik al-illat dengan berpegangan pada pokok masalah (a) bagaimana bentuk pencarian illat dalam kajian hukum (b) menemukan illat berarti memaksimalkan daya kerja akal, dan (c) adakah solusi langsung yang diberikan dalam masalik al-illah

B.  Masalik al-illah

Dalam kitab-kitab uşūl al-fiqh, illah sering disebut sebagai manat al-hukm (kausa hukum), amarah al-hukm (tanda hukum) dan sabab.[4] Illat mempunyai banyak pengertian, namun untuk kepentingan pembahasan istilah ini diberikan pengertian  sebagai sifat-lahir yang menetapkan dan sesuai dengan hukum.[5] Jalan yang menunjukkan kepada ditemukan dan diketahuinya biasa di sebut dengan masalik al-illah.[6]

Illat suatu ketentuan hukum bisa jadi pertama telah ditetapkan secara jelas atau ditunjukkan dengan dalil dalil dalam nass. Contoh illah yang jelas telah ditentukan dalam nass terdapat dalam mendekati sholat ketika kamu mabuk (QS al-Nisa’ 4:43), distribusi seperlima rampasan perang kepada orang fakir miskin (QS al-Hasr 59:7). Contoh-contoh juga dijumpai dalam hadits yang illat ketentuaanya telah diidentifikasi sendiri oleh nassnya.

Al-Ghazali dalam al-Mustasfa memberikan beberapa indikasi dalam penentuan illat yang telah disebut oleh nas.[7]

1.   Illat telah disebutkan secara jelas (sharih)

Dalam keadaan ini nas telah menyebut dengan jelas dengan adanya sighot-sighot ta’lil. Pada contoh-contoh ini, ungkapan-ungkapan bahasa Arab tertentu seperti kayla (agar tidak), li-ajli (karena). dan sebagainya, berhubungan dengan konsep rasionalisasi (ta’lil) dan memberikan dalil yang kuat tentang illat dari suatu ketentuan[8].

2.   Kemungkinan lain, nass yang menentukan sendiri illatnya bisa jadi merupakan nass yang mudah terbaca (al-nas al-zahir) yang berbentuk kemungkinan atau kiasan (al-ima wal-‘isyarah).

Indikasi-indikasi semacam ini juga bisa dipahami dari bahasa nass dan pengguanaan kata depan-kata depan bahasa Arab tertentu seperti li, fi, bi, anna dan inna, yang diketahui berhubungan dengan ta’lil. Misalnya, hukuman potonglah tangan QS al-Maidah 5:38. Juga dapat ditemukan dalam surat al-Nur [24:2 dan 4] tentang hukuman zina dan tuduhan fitnah secara berurutan.

Illah ketentuan dalam ayat ini tidak dapat dipahami oleh nalar manusia, maka ia disebut dengan sabab tetapi bukan ‘illah. Dari pembedaan ini tampaklah bahwa setiap ‘illah pasti merupakan sabab tetapi tidak setiap sabab adalah ‘illah.[9]

3.   Indikasi adanya sebab yang ditangkap dari alur jawab-syarat yang menggunakan fa jawab.

Kedua ‘illah dari suatau hukum bisa jadi telah ditentukan oleh ijma’. Apabila illat telah ditentukan oleh kesepakatan ulama secara jelas, maka ketidaksepakatan tentang illat itu telah tertutup.[10]

Ketiga, apabila illah tidak disinggung dalam nass atau ditetapkan dengan ijma’, maka satusatunya cara untuk menentukannya adalah dengan jalan ijtihad fiqhiyyah al-sabr wa al-taqsim. Metode ketiga ini menyangkut kemampuan fuqaha memahami sifat-sifat dari kasus asal, dan hanya sifat yang dianggap wajar (munasib) sajalah yang diidentifikasi sebagai illah. Cara ketiga ini dapat terdiri atas tiga proses. Secara berurutan disebut dengan takhrij al-manat (mengeluarkan illat), tahqiq al-manat (memastikan illah) dan secara. tanqih al-manat, atau memisahkan.[11]

Tanqih al-manat menyatakan bahwa suatu ketentuan boleh jadi memiliki lebih dari satu alasan, mujthid harus mengidentifikasi salah satu yang tepat (munasib), sebagai mana dalam contoh di atas. Secara harfiyah, tanqih bermakna “menyucikan”, sementara manat adalah kata lain dari illah. Dari segi teknis tanqih al-manat bermakna “mengaktifkan kasus baru kepada kasus akal dengan menyisihkan perbedaan antara kedua kasus itu (ilhaq al-far’ bi’l-asl bi-ilgha al-fariq).[12]

Mengeluarkan’illah, atau takhrij al-manat, sebenarnya adalah langkah awal dalam melakukan penelitian untuk mengidentifikasi ‘illah, dan sering kali mendahului tanqih al-manat. Dalam semua bidang di mana nas atau ijma’ tidak mengidentifikasi ‘illah, maka fuqaha harus mengeluarkannya dengan melihat pada alasan-alasan yang relevan. Melalui ijtihad, dia dapat mengidentifikasi lebih dari satu alasan, dalam kasus ini telah menempuh langkah takhrij al-manat, dan kemudian harus menempuh langkah selanjutnya, yaitu memilih alasan yang tepat. Perbedaan antara dua penalaran itu adalah bahwa dalam takhrij al-manat fuqaha mengalami situasi di mana ‘illah tidak ditentukan sementara dalam tanqih al-manat lebih dari satu alasan yang ditentukan dan tugasnya adalah memilih ‘illah yang tepat.[13]

Langkah untuk memastikan ‘illah, atau tahqiq al-manat, mengikuti dua langkah sebelumnya, di sini ditempuh upaya untuk memastikan adanya ‘illah dalam suatu kasus. Untuk menarik analogi antara khamr dan minum jamu, misalnya, penelitian yang membawa kepada kesimpulan bahwa substansinya mempunyai kualitas yang dapat memabukkan yang sama dengan khamr adalah bentuk tahqiq al-manat. Demikian juga, dalam kasus penarikan analogi antara pencuri dan pencopet, penelitian tentang apakah pencopet termasuk dalam definisi pencuri ataukah tidak adalah dalam bentuk tahqiq al-manat.[14]

C. Menentukan illat dengan menempuh cara yang salah

Al-Ghazali menyebut tiga cara yang keliru dalam menentukan illat al-hukm[15]

1.   Menyebutkan sifat yang berlawanan dari apa yang disebut oleh nash

2.   Menyamakan illat sesuatu dengan yang lain karena ada kesamaan hukum yang berlaku.

3.   Mencari illat dengan teori membuang illat yang menyebabkan illlat tersebut menjadi penyebab berlakunya hukum.

D. Kesimpulan

1.   Menentukan illat jika tidak disebutkan secara sharih dalam nash merupakan pekerjaan ijtihadiyah fiqhiyah yang memerlukan kejelian fuqaha.

2.   Dalam studi masalik al-illat terkesan membawa kepada penggunaan rasio di atas ketentuan nash. Kenyataannya, keadaan ini membimbing penggunaan pendapat personal tunduk kepada makna-makna wahyu Tuhan

3.   Pencarian alasan-hukum dengan meninjau gejala sosial budaya yang berkembang didasarkan pada terjadinya kontak dialogis antara nas agama dengan setting sosial budaya ketika nas agama itu muncul sehingga ajaran agama tidak rigid, dan dapat membawa kepada shalih fi kulli zaman wa makan.

 

DAFTAR BACAAN

Abdul Karim Zaydan, al-Wajis fi Uşūl al-Fiqh, Kairo: dar al-Tauzi’ wa al-Nasr al-Islamiyyah, 1993.

Al-Ghazali, al-Mustasfa fi Uşūl al-Fiqh , Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, 2000.

Abd al-Wahab khalaf, ‘llm Uşūl al-Fiqh, Kuwait: Dar al-Kalam, 1978

Mohammad Hashim Kamali, the Principles of Islamic Jurisprudence, Edisi Indonesia Prinsip dan teori hukum Islam, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996.

Muh. Zuhri, Telaah Matan Hadis, Yogyakarta : LESFI, 2003.

Mohammad Abu Zahrah, Uşūl al-Fiqh, Edisi Indonesia, Jakarta: Pustaka Firdaus, 2000.

Syekh Muhammad al-Khudlari Bik, Uşūl al-Fiqh, edisi Indonesia,  Juz 2, Pekalongan: Raja Murah, 1982.



[1] Abdul Karim Zaydan, al-Wajis fi Uşūl al-Fiqh, Kairo: dar al-Tauzi’ wa al-Nasr al-Islamiyyah, 1993. h. 204

[2] Mohammad Hashim Kamali, the Principles of Islamic Jurisprudence, Edisi Indonesia Prinsip dan teori hukum Islam, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996, h. 256

[3] Muh. Zuhri, Telaah Matan Hadis, Yogyakarta : LESFI, 2003, h. 35.

[4] Mohammad Hashim Kamali, The Principles, h. 267

[5] Mohammad Abu Zahrah, Uşūl al-Fiqh, Edisi Indonesia, Jakarta: Pustaka Firdaus, 2000, h.464.

[6] Abd al-Wahab khalaf, ‘llm Uşūl al-Fiqh, Kuwait: Dar al-Kalam, 1978, h. 75. Abdul Karim Zaydan, al-Wajis, h. 212

[7] Al-Ghazali, al-Mustasfa fi Uşūl al-Fiqh , Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, 2000, h. 308 – 309.

[8] Al-Ghazali, al-Mustasfa, h. 308

[9] Abd al-Wahab khalaf, ‘llm, h. 67-68, Syekh Muhammad al-Khudlaro Bik, Uşūl al-Fiqh, edisi Indonesia,  Juz 2, Pekalongan: Raja Murah, 1982, h. 171.

[10] Abd al-Wahab khalaf, ‘llm, h. 76

[11] Abdul Karim Zaydan, al-Wajis, h. 216

[12] dikutip dari al-Syawkani, Irsyad, h. 221-222. oleh Mohammad Hashim Kamali, the Principles, h. 276

[13] Abd al-Wahab khalaf, ‘llm, h. 78

[14] Abdul Karim Zaydan, al-Wajis, h. 218, Abd al-Wahab khalaf, ‘llm, h. 78

[15] Al-Ghazali, al-Mustasfa, h. 315

Selengkapnya...

Friday, May 01, 2020

Alif Lam Mim

AL-ISM WAL MUSAMMA

Ada banyak yang bisa dicermati dari sudah-paham al-ism dan al-musamma. KTP-ne Islam tapi suka buang sampah sembarangan. Itu ism-nya tetap dia orang Islam tapi bukan begitu yang disebut (al-musamma bil) Islam

Menggunakan al-ism dan al-musamma salah satu pengetahuannya berguna untuk melihat kenapa susunan yaa sin yang di atasnya ada harokatnya itu tidak pernah dibaca yaaa saaa. Iya, tentang cara membaca huruf Hijaiyah dalam ayat al-Qur’an

Sebentar. Hijaiyah itu, haja yahju hajwan hija-an, oleh Mbah Yai Warsun (Allah yarham) dituliskan dengan beberapa makna. Dari Arab ke Indonesia. Dari mulai memfitnah, mencaci, menyindir, mengejek, menjadi, hingga mengeja, mengajar tergantung hubungan syntagmatic-nya dengan siapa dia berpasangan. Misalnya menggigit ketika digandengkan dengan anjing dan dingin, anjing yang menggigit dan dingin yang menggigit, tentu pembaca sudah paham

Hijaiyah, di urusan baca-baca ayat tentu bermakna mengeja. Atau, mengajar mengeja. Nama hijaiyah digunakan untuk sebutan huruf-huruf dalam bahasa Arab seperti alphabet untuk huruf Latin atau Kanji untuk huruf Jepang atau hanacaraka Jawa. Disebut hijaiyah, mungkin, karena memang bisa dieja. Seperti lam dhommah mateni ro diwoco rollll itu. Bodrex tidak bisa dieja b.o bo drex e drex, karena memang tidak tersusun dari huruf hijaiyah

Susunan huruf hijaiyah dalam ayat al-qur’an ada dua cara bacanya. Yang terbanyak dibaca dengan musamma-nya. Gini:
“huruf ta’ itu bagaimana sih?”
“ta’ yang mana. Kalau ada tanda baca fathah, ya dibaca ta. Ada juga yang ti atau tu, atau at jika dihentiikan membacanya. Ta’ ya seperti itu, seperti boto, bukan seperti kethak”
Ini yang disebut dengan membaca dengan musamma-nya. Selain huruf-huruf di awal surat itu, semua huruf dalam ayat dibaca dengan al-musamma-nya

Kalau susunan huruf Hijaiyah di awal surat itu beda. Dia dibaca dengan al-ism-nya. Dengan nama personalnya. Huruf-huruf hijaiyah ada punya nama tunggal seperti alif dan mim, ada yang punya nama ganda seperti ba ta tsa, ada juga yang orang menyebutnya dengan banyak varian seperti za za’ zay ziy

Huruf Hijaiyah sebagai huruf muqoththo’ah (huruf yang mbacanya terputus-putus itu) yang ada di awal surat itu ada empat belas. Semua huruf itu jelas susunan yang indah, dan tentu ada rahasianya (nassun hakiimun qoothi’un, lahu sirrun, nun shod ha’ kaf ya’ mim qof alif tho’ ‘ayn lam ha’ sin dan ro’). Mereka dibaca dengan nama-dirinya

Huruf yang punya nama ganda, ro, misalnya, yang biasa disebut ro atau ro’, dibaca lepas dan dihentikan, saat sebagai huruf muqotho’ah dia dibaca dalam nama-lepasnya, ro bukan ro’. Huruf ini ketika ditulis namanya terdiri dari dua huruf ro dan alif yang dibaca ro, atau ditulis dengan ro’ alif hamzah yang dibaca ro’. Karakter huruf ini dibaca dengan durasi dua gerakan, ro-o

Huruf yang punya nama tunggal, seperti shod, ketika ditulis namanya terdiri tiga huruf yaitu shod alif dan dal; seperti juga mim yang ketika ditulis namanya terdiri mim ya’ mim. Karakter huruf ini dibaca dengan durasi seperti membaca akhir ayat dengan huruf hidup yang dimatikan, diwaqafkan. Dibaca panjang, shoood, miiiim

Ketika huruf-huruf itu bertemu dengan huruf setelahnya, aturan bacaan tetap berlaku. Misalnya alif lam ro, alif laaaam ro. Ada mim mati di akhir nama lam yang bersanding dengan ro, maka bacanya tetap harus dibaca jelas sebagaimana aturan idzhar safawi, alif laaaaam ro, tidak boleh dibaca alim laaammm (tidak boleh mendengung mingkem) ro.
Misal lagi, alim lam mim. Ada mim mati di akhir nama huruf lam bertemu mim di awal nama huruf mim, maka membacanya menjadi panjang dan mingkem lama dulu, alif laaaammmmm mmmmm miiim
Kalau ada dua karakter huruf dengan nama tunggal dan nama ganda bertemu, aturan tetap berlaku untuk masing-masing. Yaasin, dibaca ya siiiin, tidak yaaaaaaaa sin, tidak boleh juga dengan ya’ siiin. Hamim, dibaca ha miiiim, bukan ha’ mim, tidak juga dengan haaaaaaaa miiiimmm, kedawan, Tadz

Kaf ha ya ‘ayn, ya begitulah dibacanya. Kaaaaf ha ya ‘ayyyyyyyyngggggg shooodd, jangan lupa ada nun di akhir nama ‘ayn yang bertemu shod. Ini tidak boleh dibaca ka ha ya ‘aa shooo, walaupun di atas huruf-huruf itu ada harokatnya. Harokat-harokat itu bukan difungsikan sebagai tanda baca seperti membaca dengan musamma-nya, tetapi tanda itu difungsikan sebagai seberapa panjang mesti dibacanya

Jika ada harokat berdiri di atas huruf, maka segeralah lari pindah. Seperti ha, ro, ya. Jika ada harokat seperti tanda tak terhingga dalam Matematika, itu tandanya kudu alon-alon, mbacanya panjang, ojo mlayu-mlayu kesusu, ono harokat turu.
Kalau tanda harokat di ‘ayn sin qof dibaca sebagai tanda fathah dan membaca aa sa qoo, maka alif lam mim akan dibaca alaaaaaaaammmmmaaaaaa’.
Selengkapnya...

Tuesday, November 28, 2017

SOAL UJIAN AKHIR SEMESTER GANJIL MA'HAD 'ALI "AL-MAHFUDZ" SEBLAK JOMBANG TAHUN AKADEMIK 2007/2008

Soal Ujian Akhir Semester Gasal
Ma'had 'Ali "al-Mahfudz" Seblak Jombang
Tahun Akademik 2007/2008

Mata Kuliah : Ilmu Hadis              Bentuk Soal   : Take Home
Dosen         : Masrokhin Sadja      Dikumpulkan : Maks. 3 hari

Deskripsi

Perjalanan Nabi Muhammad saw membimbing umat melintasi waktu tidak hanya ketika bulan purnama bersinar terang atau di saat matahari mulai menonjolkan kegagahannya, namun juga melewati titik hitam di mana dibutuhkan kejelian seorang pembimbing menunjukkan cara yang tepat di antara jalan-jalan yang paling tepat.

Oleh karena itu, sebaran materi hadis Nabi yang mendampingi al-Qur’an sebagai sumber dan pedoman induk dalam kehidupan umat Islam tak terelakkan pasti menaungi segala aspek dan mengandung banyak segi. Otoritas Nabi sebagai pembawa risalah juga membawa serta sisi pribadi yang tentu saja akan dipedomani oleh umatnya.

Dari sini dapat dlihat bahwa materi tema hadis dapat berupa :
  1. Sabda penuturan Nabi saw (hadis qauli) termasuk pernyataan yang mengulas kejadian atau peristiwa sebelum periode nubuwwah, hikayat Rasul terdahulu maupun norma syari’at yang diberlakukan (syar’ man qablana) 
  2. Surat-surat yang dibuat atas perintah Nabi termasuk juga fakta perjanjian yang melibatkan Nabi. 
  3. Firman Allah yang selain al-Qur’an yang disampaikan kepada umat dengan bahasa tutur Nabi atau biasa dikenal dengan Hadis Qudsi 
  4. Pemberitaan yang berkait dengan al-Qur’an (tafsir nabawiy dan asbab al-nuzul) 
  5. Perbuatan yang dilakukan Nabi dan diriwayatkan kembali oleh sahabat (hadis fi’ly atau ‘amaliy). 
  6. Sifat dan ihwal Nabi (hadis khalqiy) 
  7. Perilaku dan kebiasaan Nabi sehari-hari (hadis khuluqiy) serta pengalaman dalam dinamika kepemimpinan dan kemanusiaan nabi (sirah nabawiyah) termasuk juga acara perang (al-maghaziy) 
  8. Sesuatu yang direncanakan dan ancaman yang ditujukan kepada orang atau kelompok lain sekalipun tidak dilaksanakan (hadis hammi) 
  9. Perbuatan atau sikap terbuka sahabat di mana nabi mengetahuinya dan beliau bersikap membiarkan tanpa menegur atau melarangnya (hadis taqririy) 
  10. Biografi sahabat karena ada data hubungan khusus dengan Nabi (hadis manaqibiy) 
  11. Prediksi atau ramalan keadaan yang akan terjadi seperti gejala datangnya kiamat. 
  12. Kejadian dan kebijakan sahabat sepeninggal Nabi yang berpotensi sebagai penjabaran ajaran Nabi atau berkait dengan eksistensi kesumberan ajaran Islam dan pelestarian sunnah nabawiyah[1].


Soal
1. Pilih tiga tema hadis dari 12 materi tema hadis di atas untuk kemudian menuliskan teks hadis lengkap dengan sanad dan matannya dari kitab hadis induk sesuai dengan tema yang dipilih..

2. Ambil salah satu hadis dari jawaban nomor 1 dan tunjukkan dengan menulis lengkap bagian mana yang dinamakan sanad. Tuliskan pula bagian mana yang dinamakan matan dan athraf dengan menyertakan pengertian masing-masing apa yang dinamakan sanad, matan, dan athraf.

3. Jika hadis yang Saudara tulis adalah sahih, maka hadis tersebut pasti memenuhi kriteria hadis sahih yang oleh ulama dirumuskan dengan :
أولها الصحيح وهو ما اتصل * إسناده ولم يشــذ أو يعل
يرويه عدل ضـابط عن مثله * معتمد فــي ضبطه ونقله
Tunjukkan kriteria suatu hadis dikatakan sebagai hadis sahih yang bagiannya dapat berupa hadis mutawatir maupun ahad yang terdiri dari hadis masyhur, 'aziz maupun gharib. Apa yang Saudara ketahui dengan istilah mutawatir ahad, masyhur, 'aziz maupun gharib.

4. Karena berbagai alasan, beberapa pihak sering mendukung tindakannya dengan sandaran dalil yang dikatakannya sebagai hadis. Akan tetapi, ternyata hadis yang dimaksud adalah hadis maudhu' atau hadis palsu. Tuliskan salah satu contoh hadis maudhu' dan sebutkan sebab kemaudhu'annya. Selain sebab kemaudhu'an untuk hadis yang ditulis, tunjukkan sebab lain suatu hadis dinamakan hadis maudhu'.

5. Jika suatu dalil yang dikatakan sebagai hadis benar-benar bersumber dari Nabi saw, maka sering kali dapat ditemukan syahid (syawahid) maupun tab'i (tawabi')nya. Berikan pengertian syahid (syawahid) maupun tabi' (tawabi').

Selamat mengerjakan
rokhinsadja@gmail.com

(muroja'ah posting)

[1] Hasjim Abbas, Kritik Matan Hadis, (Yogyakarta : TERAS, 2004), p.15.
Selengkapnya...

Sunday, June 23, 2013

pasangan hidup : mudzakkar muannats


Mudzakkar – Muannats

Semua yang ada di dunia ini berpasangan. Tetapi, yang dikatakan berpasangan itu tidak harus laki-laki dan perempuan. Mudzakkar – munnnats dalam bahasa tidak harus berkonsekuensi dengan jenis kelamin.
Muannats yang dapat dibedakan jenis kelaminnya dengan yang laki-laki disebut muannats haqiqi. Jika muannats tidak dapat dibedakan laki-laki perempuannya disebut dengan muannats majazi.
Tanda muannats adalah :
1.        
ta’ mutaharrik (hidup, berharokat)
ناصرةٌ


2.        
alif maqshuroh
سلْمى


3.        
alif mamdudah
اسماء


Cara menentukan mudzakkar muannats suatu lafadh :
1.      Melihat lafadh dan maknanya :
a.     Makna & lafadh mudzakkar        = mudzakkar
b.     Makna & lafadh muannats          = muannats
2.      Melihat makna, bukan lafadhnya:
a.     Makna mudzakkar                    = mudzakkar
b.     Makna muannats                      = muannats
3.      Melihat lafadhnya. Tidak ada petunjuk itu muannats atau mudzakkar. Lihat saja potongan lafadh tersebut. Anggota badan yang berpasangan, dikategorikan muannats.
4.      Tidak bisa ditentukan jenis kelaminnya ?? ya itulah bahasa. Apalno, ojo nyocot !!


No
Contoh
Lafadh
Makna
Hence
1.        
زيد
ذ
ذ
مذكر

فاطمة
ث
ث
مؤنث
2.        
طلحة
ث
ذ
مذكر

زينب
ذ
ث
مؤنث
3.        
قلم
-
-
مذكر

مسطرة
-
-
مؤنث

يد
-
-
مؤنث

رجْل
-
-
مؤنث

رأس
-
-
مذكر

بطن
-
-
مذكر

فم
-
-
مذكر
4.        
السماء
-
-
مؤنث

الأرض
-
-
مؤنث

الشمس
-
-
مؤنث

النار


مؤنث

القمر
-
-
مذكر
والشمس وضحاها ,والقمر إذا تلاها, والنهار إذا جلاها ,والليل إذا يغشاها , والسماء وما بناها ,والأرض وما طحاها ,ونفس وما سواها
Lafdhiy dan maknawiy
1.         Muannats lafdhiy - maknawiy : lafadh yang ada tanda ta’nitsnya dan menunjuk makna perempuan. Seperti : عائشة, مسلمة
2.         Muannats lafdhiy : lafadh yang ada tanda ta’nitsnya dan menunjuk makna bukan perempuan. Seperti طلحة, حمزة.
3.         Muannats maknawiy : lafadh yang tidak ada tanda ta’nitsnya namun menunjuk makna perempuan. Misalnya : زينبُ, هندُ
Jika hendak menambahkan atau menggantikan sesuatu pada lafadh, seperti dhomir, isyaroh, mausul, sifat atau lainnya, perhatikan makna lafadh. Misalnya :
ولا تنكحوا المشركات حتى يؤمن ولأمة مؤمنة خير من مشركة ولو أعجبتكم ولا تنكحوا المشركين حتى يؤمنوا ولعبد مؤمن خير من مشرك ولو أعجبكم
يا أيها الناس اتقوا ربكم الذي خلقكم من نفس واحدة وخلق منها زوجها
يا أيتها النفس المطمئنة , ارجعي إلى ربك راضية مرضية , فادخلي في عبادي , وادخلي جنتي
Lafadh-lafadh yang secara praktek hanya terjadi pada perempuan, dikategorikan sebagai muannats sekalipun bentuk lafadhnya adalah mudzakkar.
No
Contoh
Makna
1.      
مؤنث
Perempuan
2.      
مرضِع
Yang menyusui
3.      
حائض
Yang haidh
4.      
طالق
Yang diceraikan
5.      
ثيّب
Janda
Bandingkan dengan yang ini :
زيد جنب
 لونا ميا جنب,
 فرطا و عزيز جنب 
 لونا ميا و ديان سزطرا جنب,  
فرطا و عزيز و لونا ميا و ديان سزطرا جنب
Perhatikan juga lafadh جنازة, ميّت, ميتة

Ta’ marbuthoh tidak selamanya menandai muannats. Kadang-kadang ta’ itu berfungsi untuk :
1.    Menyatakan satu, seekor, sebuah dan sejenisnya
شجرة
Sebatang pohon
بقرة
Seekor sapi
وردة
Sekuntum mawar
2.    Menyatakan mubalaghoh (bermakna lebih)
نابغة
Sangat mahir
علامة
Sangat alim
3.    Mengganti fa’, ‘ayn, atau lam fi’il
Kalimat
Asalnya
Artinya
زنة
وزن
Bobot, timbangan
سنة
سنو
Tahun
نية
نوي
Niat
4.    Menunjuk muntahal jumu'
أشعري
أشاعرة
Pengikut al-Ash’ari

 


___________________________________________________________
Nambahi sadja (08-08-2017)




Di kitab al-mudzakar wal muannats-nya Abu bakar al-Anbari ada penjelasan lebih lengkap tentang mudzakar muannats. Ada lima belas ciri bagi bentuk muannats. Mafhum mukholafahnya, jika tidak ada diantara lima belas ini beraryi dia kategori mudzakar. Dari lima belas, delapan diantaranya tanda muannats bagi kalimat isim, empat di fi’il dan tiga di huruf.
A.   Bagi isim yang muannats dapat dilihat dari delapan tanda ini :
1.     الألف المقصورة الممالة إلى الياء؛ كقولك                    : ليلى وسلمى وسُعدى.
2.     والألف الممدودة؛ كقولك              : حمراءُ وصفراءُ، والسراء والضراء
3.     والتاء؛ كقولك                         : أخت وبنت.
4.     والهاءُ؛ كقولك                         : طلحةٌ وحمزةٌ، وقائمةٌ، وقاعدةٌ، وهي تكون هاءٌ في الوقف.
5.     والألف والتاء في الجمع؛ كقولك       : المسلمات والصالحات والهندات والجُملات.
6.     والنون، كقولك                        : هُن وأنتن.
7.     والكسرة؛ كقولك                      : أنتِ.
8.     والياء؛ كقولك                         : هذي قامت، وفيه اختلاف

B.    Bagi fi’il yang muannats dapat dilihat dari empat tanda ini :
1.     التاء؛ كقولك                          : قامت وقعدت، وتقوم وتقعد.
2.     والياءُ؛ كقولك                         : تضربين زيداً، واضربي زيدا.
3.     والكسرةُ في الحرف المختلطِ بالفعل الذي قد صار كأنه من الفعل؛ كقولك: قُمتِ، وقَعدتِ، وأعطيتِ، وأحسنتِ، وأجملتِ،
4.     والنون التي اختلطت بالفعل، فصارت كبعضِ حُروفه، كقولك: قُمن، وقعدنَ.

C.    Bagi huruf yang muannats dapat dilihat dari tiga tanda ini :
1.     التاء؛ كقولك: رُبت رجل ضربتُ، وقمتُ ثُمت قعدت.
2.     والهاء؛ كقولك- في الوقت على هيهات-: هيهاه،
ومثله: (ولات حين مناص). كان الكسائي يقف عليها ولاه.
3.     والهاءُ والألفُ؛ كقولك: إنها قامت هندٌ، وإنها جلست جُملٌ. قال الله تعالى ذكره: (فإنها لا تعمى الأبصار).
Selengkapnya...