Saturday, November 06, 2010

MBAH MARIDJAN

KEMATIAN MBAH MARIDJAN, LEBIH BAIK
Ketika nonton berita Merapi di televisi bareng keluarga, ada korban berjatuhan, lalu keberadaan mbah Maridjan belum bisa diketahui pasti, sementara rumah dan masjid sudah luluh dan banyak korban mati diketemukan, padahal mereka bersama si mbah, Penulis nyeletuk :’ mbah Maridjan ini, kalau ikut mati, lebih baik”. Spontan istri nyengap :” yo ojo ngono pak, gak apik.. “.
Penulis : “ lho Bu’, aku nggak dongakno wong ciloko. Tapi kalau mbah Maridjan selamat, sedangkan yang lain podo mati, maka makin dikultuskan. Bisa-bisa malah disembah-sembah. Ini Jogya lho Bu’, bukan Tebuireng. Bisa-bisa banyak orang yang tersesat”. “ yo embuh nek ngono”. Gumam Istri dan anak perempuan yang terdiam memahami. “
Masih segar ingatan kita tentang kesaktian mbah Marijan yang dipuja dan dikeramatkan. Orang tua yang disaktikan setelah keyakinannya, bahwa gunung Merapi tahun 2006 silam tak jadi meletus. Hamengku Buwono, raja Jogyakarta yang memberi tugas kepadanya sebagai juru kunci Merapi tak digubris, setelah memerintahkan si mbah agar turun mengungsi. Bahkan nasehat presidenpun disepelekan, apalagi imbauan BMKG yang sekedar teknolog dan ilmuwan. Dan, ternyata, mbah Maridjan yang benar. Merapi tidak jadi meletus.
Nama mbah Marijan langsung mencuat dan mendatang banyak rejeki. Si mbah menjadi ikon iklan sebuah minuman suplemen dan kerap tampil di televisi dengan sejuta pemujian sebagai mbah waskito dan “Roso”. Si mbah menikmati itu dengan gayanya sendiri, kemudian dikultuskan dan banyak pengikutnya. Hal ini membuatnya makin pede dan makin mengandalkan “roso”nya, sehingga makin yakin dengan apa yang dimiliki.
Para pengkikut memandang apa yang dilakukan si mbah dulu sebagai kebenaran hakiki dari seorang sepuh yang waskito. Tidak dipandang sebagai hal kebetulan. Lalu, mereka manut dan berkerumun di sekitar si mbah ngalap barokah lan keselametan, meski sudah dirayu-rayu agar cepat turun megungsi. Kultus begini ini mungkin karena tradisi kejawen yang ugem-ngugemi, ditambah kultur NU yang kental.
Sudah diberitahu sejelas-jelasnya, bahwa Merapi pasti bakal meletus karena tanda-tandanya sudah nyata. Sudah diberi tahu bahwa Merapi sekarang serius dan akan meletus sungguhan, tidak sama dengan dulu yang sekedar beraksi.
Kini si mbah dalam dilema besar, mau ngungsi atau bertahan. Rupanya pilih bertahan dengan segala resikonya. Hal itu terbukti dari komentar si mbah beberapa hari sebelum Merapi meletus :”..kuatir kecewa kalau terlanjur mengungsi, lalu nggak jadi meletus”. Lalu melunak, setelah dibujuk sedemikian gencar. Sayang terlambat dan akhirnya mati terkena debu volkanik saat pamitan mau shalat dulu di masjid. Kali ini, si mbah benar-benar salah dan kalah.
Mati Sujud atau Tersungkur ?
Demi Tuhan, Penulis sngat sadar sesadarnya, bahwa membicarakan orang yang sudah meninggal, apalagi sampai mengomentari sisi negatifnya sungguh tidak etis. Namun sebagai seorang muslim, Penulis merasa punya dua kewajiban. Pertama, wajib berbaik sangka dan berdoa semoga Allah SWT mengampungi segala dosa dan menempatkan si mbah di sisiNya. Kedua, wajib arif memahami, mana sikap yang dibenarkan agama dan yang tidak dibenarkan, lalu mengambil pelajaran.
Analisis tentang mbah Maridjan ini murni karena tanggung jawab akademik seorang muslim yang membaca keadaan berdasar referensi agama islam, seperti tersirat dalam al-Qur'an dan al-Hadis. Tidak dari sisi politik maupun sosiologis murni.
Pertama, memang dari perspektif sosiologis, mbah Maridjan adalah sosok hebat yang gigih mengemban tugas hingga titik darah terakhir yang perlu diteladani. Seorang abdi dalem yang mituhu, lugu dan bhekti. Tapi dari perspektif agama islam tidak demikian.
Orang bertugas semulia apapun tidak boleh sampai mengorbankan nyawanya secara sia-sia (al-Baqarah:195). Itu sama dengan bunuh diri, kecuali dengan perhitungan sangat bermaslahah atau sangat terpaksa. Meski dalam perang suci atas nama agama, fi sabilillah, tetap ada kalkulasi. Tuhan memerintahkan kita menyelamatkan diri dengan segala cara bila nyata-nyata tidak mampu dan pasti kalah. Itu lebih baik, karena masih punya kesempatan menyusun kekuatan dan strategi berikutnya lebih bagus, ketimbang hari itu mati sia-sia dan habis. Penyelamatan diri pada keadaan demikian bukan tindakan desersi. Desersi adalah pengkhianatan murni, pembelotan karena kepentingan atau lari tanggung jawab saat dia sesungguhnya mampu mengatasi tantangan.
Apa yang dilakukan mbah Maridjan perlu dilihat lebih arif, apa motifnya. Yang jelas karena taggung jawab sebagai juru kunci yang dipercaya keraton, disumpah dan dinobatkan. Dan ketahuiah, di lingkugan keraton, itu jabatan prestesius dan mbah Maridjan menikmati jabatan itu. Lalu dibuktikan meski dengan membayar nyawanya sendiri. Ada dua pertanyaan di sini :
Pertama, apakah Keraton, Sri Sultan, abdi-abdian zaman sekarang ini layak untuk dibela hingga mengorbannya nyawa?. Dari tinjauan sosiologi dan budaya, mungkin ya. Tapi dari sisi agama islam jelas tidak. Keraton hanyalah tradisi dan budaya biasa yang dilestarikan karena kepentingan manusia, bukan karena kemaslahatan agama. Keraton zaman sekarang tidak sama dengan negara atau pemerintahan yang menentukan martabat dan kehidupan bangsa.
Kedua, Merapi itu apa ?.Atau, tugas asasi mbah Maridjan itu apa ?. Atau, adakah kekuatan hebat yang dimiliki mbah Marijan sehingga yakin bisa menundukkan Merapi ?. Merapi bukanlah musuh agama, bukan musuh umat islam dan bukan pula musuh Tuhan yang harus dihadapi dengan kekuatan jihad dan angkat senjata. Merapi adalah alam ciptaanNya yang meletus atas kehendakNya karena ada hikmah yang digagas. Maka wajib disikapi, termasuk dengan menyelamatkan diri sesegera mungkin.
Lagian, Merapi tidak bisa dihentikan – maaf – hanya dengan seorang Marijan yang tetap tinggal di lokasi. Maridjan tidak punya kekuatan signifikan, baik karamah apalagi teknologi tinggi. Dan nyatanya begitu. Bahkan menghindar dari debu vulkanik yang menimpa dirinya saja tak mampu, apalagi lahar panas. Inilah bukti nyata kelemahan seorang Maridjan. Di sinilah, nyata sekali bahwa mbah Maridjan over acting dalam bertugas. Hanya ditugasi sebagai juru kunci yang menyiapkan acara keraton di lereng itu, bukan menundukkan Merapi.
Perkara apakah mbah Marijan mati demi tugas atau demi gensi, atau mati dalam keadaan bersujud seperti wali pilihan atau mati tersungkur seperti umat terdahulu yang diadzab (al-Haqqah: 7), maka hanya Tuhan yang Maha mengerti. Sekali lagi, kita wajib berbaik sangka dan berdoa, allahumm ighfir lah.
Pelajaran kedua, bahwa ilmu dan tehnologi lebih valid dari pada ramalan, meski semua tetap ada di tangan Allah. Memang sunnatullah itu tidak satu arah, ada yang rasional, seperti ilmu dan tehnologi dan ada yang suprarasional seperti mukjizat dan karamah. Namun kebanyakan yang berlakukan Tuhan adalah SunnahNya yang rasional dan tehnis. Hal itu karena Tuhan melayani semua ciptaan secara universal dan umum. Sedangkan SunnahNya yang supra tetap tersedia dan bisa diunduh sewaktu-waktu oleh orang-orang tertentu dan berkemampuan khusus, seperti nabi dan para wali pilihan.
Ketiga, semua kejadian alam adalah kehendakNya secara mutlak, termasuk kematian mbah Maridjan. Pasti ada hikmahnya. Andai mbah Maridjan selamat, sementara para pengkutnya pada mati, sudah bisa dipastikan akan terjadi pengkultusan lebih dahsyat terhadap si mbah. Maka Tuhan bersikap lebih arif dan lebih baik.
Nyi Roro Kidul Makin Runyam
Jika ada pihak yang boleh disalahkan, maka Keraton Jogyakartalah yang paling utama dipersalahkan. Mereka harus bertanggtung jawab, meski kurang cukup kuat untuk diseret ke pengadilan. Keratonlah yang membuat mbah Maridjan hingga over acting dalam mengemban tugas. Mungkin tidak ada kejelasan tugas yang harus dilakukan, atau sudah ada tapi kurang difahami oleh si mbah. Lha wong gunung kok diberi juru kunci, kayak makam dan pepunden. Juru kunci gunung ya BMKG dan jawatan terkait, bukan dukun dan perewangan.
Orang-orang keraton kan sudah banyak yang sarjana, berada di kota sarjana, mestinya berpikir logis, walau tetap pakai magis. Hari gini kok masih ratu-ratuan. Sesungguhnya itu kepentingan siapa ? Cukuplah mbah Maridjan saja yang menjadi tumbal, tidak usah diangkat juru kunci lagi dan usah ada sesaji. Entar Merapi malah makin menjadi-jadi dan nyi Roro Kidul makin runyam. Ya, karena dimanjakan dan dipuja.
Dari tinjauan agama Islam, justeru adanya juru kunci, sesajen, ritual yang berbau kemusyrikan dan nafsu itu yang malah mengundang bencana. Tuhan sangat tersinggung dan murka, karena merasa disyirikkan dengan alam ciptaanNya sendiri. Buanglah sesaji dan sapalah Merapi dengan istighfar dan membaca kitab suci.


(T-Center, Madrasatul Qur an Tebuireng. Tulisan ini telah diizini oleh penulis pertama untuk dipublikasikan)
Selengkapnya...

Sunday, May 16, 2010

Ghoyru Munsorif

Isim Ghoyru Munshorif

Yang dimaksud dengan ghayru munsorif dalam isim adalah kalimat tersebut tidak dapat menerima tanwin dan tidak dapat menerima tanda jer dengan kasroh. Bentuk ghayru munshorif dalam isim dapat terjadi dikarenakan ada beberapa sebab.
Kalimat isim pada dasarnya dapat menerima tanwin (mutamakkin) tetapi karena sebab tertentu tanwin tidak dapat masuk pada kalimat dimaksud. Begitu pun kalimat isim pada dasarnya ketika beri'rob jer ditadai dengan kasroh. Hanya, karena sebab tertentu kasorh tidak dapat dipasang sebagai tanda i'rob jer. Sebabnya adalah kalimat tersebut :
a. 'Alam (nama) yang :
1. Mengikuti wazan fi'il : contoh _________________
2. Terbentuk dari kalimat lain ('Udul) : contoh _________________
3. Diakhiri ta' tanda ta'nits : contoh _________________
4. Bersusun (Tarkib mazji) : contoh _________________
5. Ada tambahan (ziyadah) alif dan nun : contoh _________________
6. berbahasa non-Arab ('Ajam) : contoh _________________
b. Sifat yang :
1. Mengikuti wazan fi'il : contoh _________________
2. Terbentuk dari kalimat lain ('Udul) : contoh _________________
3. ada tambahan (ziyadah) alif dan nun : contoh _________________
c. Bentuk yang menunjuk jumlah paling banyak (sighot muntahal jumu')
Sighot = bentuk, muntaha = tertinggi, jumu, jama' = jumlah lebih dari dua.
Dari kombinasi di atas, jika tidak diulang maka penyebab ghoiru munshorif ada 9 yang terkumpul dalam syair :
اجمع وزن عادلا أنث بمعرفة (_) ركب وزد عجمة فالوصف قد كملا
1. اجمع Sighot muntahal jumu'
2. زن Mengikuti wazan fi'il
3. عادلا Terbentuk dari kalimat lain ('Udul)
4. أنث Diakhiri ta' atau alif tanda ta'nits, atau ta’nits bil ma’na.
5. معرفة 'Alam
6. ركب Bersusun (Tarkib mazji)
7. وزد Ada tambahan (ziyadah) alif dan nun
8. عجمة berbahasa non-Arab ('Ajam)
9. الوصف Sifat

Jika isim ghoiru munshorif kemasukan al atau disandarkan, maka isim tersebut menjadi munsorif. Artinya tanda jernya kembali dengan kasroh.
Misalnya
وَلا تُبَاشِرُوهُنَّ وَأَنْتُمْ عَاكِفُونَ فِي الْمَسَاجِدِ
لَقَدْ خَلَقْنَا الْإِنْسَانَ فِي أَحْسَنِ تَقْوِيمٍ

Muntahal jumu’ artinya tertinggi. Dia akan bisa sombong kalu dia sendirian. Jika sudah diketemukan dengan orang lain, dia sudah tidak berani sombong lagi.
Ketika sendiri dan sombong, dia tidak mau menerima harokat kasroh. Tetapi, ketika dia diketemukan dengan orang lain diidhofahkan, dia harus mau menerima kasroh sebagai tanda hilangnya sombongnya.
Atau, ketika dia tidak dikenal, dalam kalimat berbentuk nakiroh (tanpa al atau tidak berrangakai), ghoyru munsorif juga akan sombong tidak mau menerima kasroh. Tetapi ketika identitasnya sudah diketahui (menjadi isim ma’rifat) dia harus mau menerima kasroh.
Selengkapnya...