Friday, December 25, 2009

dhomir

Isim dilihat dari kejelasan penentuan maknanya terbagi :
1. Nakiroh : isim yang menunjukkan makna umum atau belum jelas kekhususannya. Isim nakiroh biasanya ditandai dengan tanwin.
2. Ma'rifat : isim yang menunjukkan makna tertentu atau sudah jelas kekhususannya.
Isim marifat ada tujuh terrangkum dalam syair berikut :
إنّ المعارف سبعة فيها سهل (()) أنا صالح ذا ما الفتى ابن يا رجل
Isim yang masuk kategori ma'rifat ada tujuh, yaitu :
1. Isim dhomir (kata ganti)
2. Isim 'alam
3. Isim isyarat
4. Isim mawshul (kata sambung)
5. Marifat sebab kemsukan 'al
6. Diidhofahkan kepada salah satu isim ma'rifat
7. nakiroh maqsudah

Dhomir (kata ganti)

Isim dhomir merupakan kalimat yang mabni.
Dhomir ada dua, yaitu mustatir dan bariz (dhomir yang tersembunyi dan dhomir yang terlihat), ada yang terletak di dalam kalimat fi'il (muttasil) dan ada yang terpisah dari kalimat (munfasil)

Dhomir mustatir adalah dhomir yg tanda adanya dhomir itu tidak terlihat dalam kalimat. Misalnya unshur. Pada kalimat ini ada dhomir (yaitu anta) tetapi dalam kalimat unshur tidak ada tanda adanya dhomir anta
Kedudukan dhomir mustatir pasti dalam posisi mahal rofa' sebagai fa'il atau naibul fa'il.
Dalam dhomir mustatir, tersembunyinya si dhomir ada yang tidak mungkin ditampakkan (mustatir wujub) dan ada yang mungkin ditampakkan (mustatir jawaz)

Yang tersembunyinya tidak mungkin untuk ditampakkan (mustatir wujub) artinya adalah bahwa dhomir yang dimiliki oleh fi'il tidak dapat digantikan kedudukannya dengan isim dhohir. Sedangkan yang tersembunyinya mungkin untuk ditampakkan (mustatir jawaz) artinya adalah bahwa dhomir yang dimiliki oleh fi'il dapat digantikan kedudukannya dengan isim dhohir.

Mustatir wujub ada pada :
1. Fi'il amar mufrod muzakar. Misale: Zaidun, unshur (hey, menolonglah sopo kamu). Ada dhomir anta pada kalimat ini tetapi dalam kalimat unshur tidak ada tanda adanya dhomir anta dan dhomir anta yang dimiliki (kembali pada) Zaidun dari unshur tidak bisa digantikankan oleh isim dhohir menjadi misalnya Zaidun, unshur Muhammadun (Hey, menolonglah sopo kamu sopo Muhammad)
2. Fi'il Mudhori'
mufrod muzakar mukhotob misale tanshuru (akan menolong sopo kamu). Ada dhomir anta pada kalimat ini tetapi dalam kalimat tanshuru tidak ada tanda adanya dhomir anta dan dhomir anta yang dimiliki oleh fi'il tidak bisa digantikankan oleh isim dhohir menjadi misalnya tanshuru Muhmmadun (Menolong sopo kamu sopo bapakmu)
mutakallim wahdah misale anshuru (Menolong sopo inyong). Ada dhomir ana pada kalimat ini tetapi dalam kalimat anshuru tidak ada tanda adanya dhomir ana dan dhomir yang dimiliki oleh fi'il tidak bisa digantikankan oleh isim dhohir menjadi misalnya anshuru abi (Menolong sopo inyong sopo bapake inyong)
mutakallim ma'al ghayr misale nanshuru (menolong sopo kita). Ada dhomir nahnu pada kalimat ini tetapi dalam kalimat nanshuru tidak ada tanda adanya dhomir nahnu dan dhomir yang dimiliki oleh fi'il tidak bisa digantikankan oleh isim dhohir menjadi misalnya nanshuru Muhammad, (Menolong sopo kita sopo bapake kita)

Mustatir jawaz ada pada :
1. Fi'il madhi
mufrod mudzakar ghoib misale nashoro (menolong sopo dia laki-laki satu). Ada dhomir huwa pada kalimat ini tetapi dalam kalimat dhoroba tidak ada tanda adanya dhomir huwa tetapi dhomir yang dimiliki oleh fi'il bisa digantikan oleh isim dhohir menjadi misalnya nashoro Zaidun (Menolong sopo dia Zaid)
Mufrod muannats ghoibah misale nashorot (menolong sopo dia perempuan satu). Ada dhomir hiya pada kalimat ini tetapi dalam kalimat nashorot tidak ada tanda adanya dhomir hiya tetapi dhomir yang dimiliki oleh fi'il bisa digantikan oleh isim dhohir menjadi misalnya nashorot Hindun (Menolong sopo dia Hindun)
2. Fi'il mudhori'
Mufrod mudzakar ghoib misale Zaidun yanshuru. Ada dhomir huwa pada kalimat ini tetapi dalam kalimat yanshuru tidak ada tanda adanya dhomir huwa. Tetapi, dhomir huwa yang dimiliki (kembali pada) Zaidun dari yanshuru bisa digantikankan oleh isim dhohir menjadi misalnya Zaidun yanshuru abuhu (Utawi Zaid iku menolong sopo huwa bapake Zaid)
mufrod muannats ghoibah misale Hindun tanshuru. Ada dhomir hiya pada kalimat ini tetapi dalam kalimat tanshuru tidak ada tanda adanya dhomir hiya. Tetapi, dhomir hiya yang dimiliki (kembali pada) Hindun dari tanshuru bisa digantikankan oleh isim dhohir menjadi Hindun tanshuru ummuha (Utawi Hindun iku menolong sopo hiyaa ibu'e Hindun)
yanshuru zaidun akan menolong sopo dia zaid
tanshuru fatimatu akan menolong sopo dia fatimah

DHOMIR BARIZ
Dhomir bariz adalah dhomir terlihat dalam kalimat atau tanda
adanya dhomir itu terlihat dalam kalimat. Misalnya Qumta. Ta' menunjukkan bahwa dhomir yg tersimpan adalah anta. Akromaka, kaf menunjukkan bahwa dhomirnya adalah anta.

Dhomir bariz ada dua jenis, yaitu muttasil (bersambung dengan kalimat fi'il) dan munfasil (terpisah dengan kalimat fi'il)

Dhomir muttasil adalah dhomir yg tidak bisa dijadikan sebagai kalimat pembuka dan tidak bisa ditempatkan setelah illa. Misale qumta, tidak mungkin dibaca ta qum atau Ja'a attalamidzu illa ta.
Dhomir bariz munfasil adalah dhomir yg bisa dijadikan sebagai kalimat pembuka dan bisa ditempatkan setelah illa. Misale ana muslimun dan ma qama illa ana.

Dhomir bariz muttasil dibaca/berkedudukan dengan mahal rofa' misale nashorta (menolong sopo kamu) dan dibaca/berkedudukan dengan mahal nashob seperti akromani (memulyakan sopo dia ing inyong) dan dan dibaca/berkedudukan dengan mahal jer seperti marro bina (ketemu sopo dia dengan kita)

Dhomir bariz munfasil dibaca/berkedudukan dengan mahal rofa' misale ana-nahnu, hiya-huma dll sejumlah 12 dan dibaca/berkedudukan dengan mahal nashob seperti iyyaya iyyana iyyaka dll sejumlah 12 juga.

Dhomir bariz munfasil dengan mahal rofa' jika berada di awal jumlah, maka berkedudukan sebagai mubtada'. Sedangkan dhomir bariz munfasil dengan mahal nashob hanya berkedudukan sebagai maf'ul bih.
Selengkapnya...

cara baca junior

Bismillah
Bahasa Arab

Kita akan belajar bahasa Arab. Artinya yang akan kita pelajari adalah bahasa Arab. Bahasa Arab adalah salah satu bahasa yang cara menulisnya dari kanan. Bahasa ini pada aslinya ditulis dengan huruf yang dinamakan huruf hija’iyyah. Huruf hija’iyyah adalah kumpulan huruf yang diawali dari hamzah hingga ya` dan berjumlah 28. bahasa Arab yang ditulis dengan huruf hijaiyyah ini adalah bahasa yang unik. Bahkan sangat unik. Penulisan bahasa ini pada bentuk aslinya ditulis dengan tanpa harokat. Harokat adalah tanda yang digunakan untuk menunjukkan bahwa huruf yang diberi tanda itu bisa diucapkan dengan suara a, i, o, atau u. Dalam bahasa latin menjadikan huruf konsonan dalam bentuk bunyi vokal.
Bagi orang Arab asli, atau mereka yang punya bahasa ini, rangkaian huruf tanpa harokat dapat dibaca dan tidak menjadi huruf mati. Sebagai contoh rangkaian huruf ini “هو محمد” akan dibaca huwa muhammad. Huruf yang ada dalam rangkaian di samping adalah huruf mati, dalam arti semua adalah huruf konsonan dan tidak ada huruf vokalnya. Cara memberi harokatnya adalah pasti dan tidak berubah-ubah. Kepastian pemberian harokat ini yang dijadikan kaidah cara membaca bagi orang asing yang hendak belajar bahasa Arab. Kaidah-kaidah cara membaca tulisan Arab ini dipelajari dalam disiplin ilmu yang biasa disebut ilmu Nahwu-Sharaf.
Bidang Nahwu sebagian besarnya akan mempelajari pemberian tanda baca pada bagian akhir dari setiap kata dalam bahasa Arab. Sedangkan bidang Shorof akan mempelajari bagian awal hingga bagian sebelum akhir dari tiap kata. Nama ilmu nahwu diambil dari beberapa contoh tidak berubahnya kaidah untuk membaca bahasa Arab. Nahwu sendiri berarti contoh. Nama ilmu Shorof diambil dari arti kata ini yaitu perubahan. Perubahan yang dimaksud adalah perubahan bentuk dari kata bahasa Arab yang memberikan arti berbeda untuk setiap variasi perubahannya. Shorof sendiri berarti perubahan.
Bagian pertama dari mempelajari cara baca bahasa Arab adalah mengenali kata-kata yang menyusun bahasa Arab. Dalam bahasa ini hanya ada 3 jenis kata yang menyusunnya yaitu isim, fi’il, dan huruf.
• Isim adalah kata yang dipakai untuk menunjuk nama apa saja.
• Fi’il adalah kata yang dipakai untuk menunjuk aktifitas.
• Huruf adalah kata yang dipakai untuk melengkapi.

Cara membaca kalimat isim itu dapat dicermati dari asal usul isim tersebut :
1. Isim Jamid, yaitu isim yang dari sononya memang dijadikan untuk menyebut suatu nama tertentu, bukan diambil dari perubahan bentuk dalam tashrifan. Contohnya كرسي, سبّورة, جدار. Kata-kata ini digunakan untuk menyebut kursi, papan tulis, dinding. Dalam dalam deretan perubahan dalam tashrif tidak akan ditemukan. Ini yang disebut isim jamid. Jamid sendiri artinya keras.
2. Isim musytaq, yaitu isim yang digunakan untuk menyebut suatu nama tertentu, dan diambil dari perubahan bentuk dalam tashrifan. Misalnya كتاب كاتب مكتوب مكتب yang digunakan untuk menyebut tulisan, penulis, yang ditulis, tempat menulis yang terambil dari perubahan dalam tashrifan كتب يكتب كتاب كاتب مكتوب مكتب. Ini yang disebut isim musytaq.Musytaq sendiri terambil dari artinya keras.
Dari dua jenis kalimat isim ini, maka cara membaca kalimat isim adalah :
1. Jika isim itu adalah isim jamid maka cara membacanya hanya bisa diketahui dari dengan harokat apa orang yang punya bahasa itu membaca. Artinya dapat ditelusuri cara membacanya melalui kamus. Atau jika kata itu adalah kata yang sudah sering didengar pengucapannya, maka cara bacanya sesuai apa yang pernah didengar itu. Ini yang disebut sima’i ((سماعيّ, dari dulu yang terdengar pengucapannya ya begitu itu.
Sebagai perbandingan, beras yang sudah dimasak oleh orang jawa disebut dengan sega. Pengucapan sima’i tulisan itu dari orang Cirebon diucapkan dengan sega` tetapi oleh orang Ngawi diucapkan dengan sego. Sebagai perbandingan kata yang tanpa harokat dan dibaca dengan sima’i-nya adalah BLS dalam bahasa sms. Huruf-huruf itu akan dibaca dengan balas bukan dengan blas atau bulus.
2. Jika isim itu adalah isim musytaq maka cara membacanya dapat diketahui dengan melihat bentuk kalimat (sighot) dalam deretan tashrifan. Misalnya tulisan كاتب adalah serupa dengan bentuk فاعل dalam deretan tashrifan sehingga akan dibaca كَاتِبٌ. Kata مكتوب sama dengan مفعول maka akan dibaca مَكْـتُوبٌ. Hanya saja bentuk terbanyak dalam isim musytaq adalah masdar yang variasinya sangat banyak, meski tetap dapat dilacak bentuk dan cara bacanya.
3. Kita buktikan !!!
Selengkapnya...

nahwu junior

Bahasa Arab
Nahwu dan Shorof
Nahwu : kaidah untuk mengetahui kedudukan, ahrokat akhir, dan i'rob setiap kata yang masuk dalam suatu kalimat.
Shorof : ilmu tentang pembentukan kata dan perubahannya, bai karena penambahan atau pengurangan
Kata dalam bahasa Arab disebut dengan kalimah sehingga jika nanti disebut kalimah maka yang dimaksud adalah kata, bukan kalimat dalam bahasa Indonesia. Kalimah kebanyakan terbentuk dari tiga huruf yang kemudian dibuat rumus ف ع ل (فعل)
Kalimah dalam bahasa Arab terbagi menjadi tiga yaitu :
1. Isim adalah kata benda, kata sifat, keterangan waktu, tempat dan lain-lain.
2. Fi'il atau kata kerja
3. Huruf, kata depan yaitu kata yang tidak punya arti kecuali apabila bersambung dengan isim atau fi'il

MENGENAL KALIMAT ISIM
Kita mengetahui bahwa penyusun kalam ada tiga jenis, yaitu isim, fi'il, dan huruf. Bagian pertama kita akan mengenali kalimat isim. Pengenalan kalimat isim didahulukan karena dari rangkaian dalam kalam, unsur paling banyak adalah kalilmat isim. Mengenali bahwa kalimat itu adalah kalimat isim dapat dilakukan dengan cara dari ciri fisik atau tanda yang ada. Artinya jika ada tanda itu pasti kalimat tersebut adalah kalimat isim. Tanda tersebut berada di depan, di belakang, pada bentuk kalimat, atau pada makna kalimat. Dengan demikian tanda ini mungkin ada berada pada harokat atau pada tambahan kalimat lain.
Isim adalah kata yang menunjukkan ma'na pada dirinya sendiri dan tidak berkaitan dengan waktu. Isim dapat berupa kata benda, kata sifat, keterangan waktu, tempat dan lain-lain. Seperti kitab, shahr, shoghir, nadhif, dan lain-lain.
Di bawah akan ditampilkan banyak tanda yang melekat pada kalimat isim, hanya saja yang perlu dicermati adalah beberapa tanda saja yang paling sering muncul dan digunakan untuk mengenali kalimat isim. Sedangkan yang lainnya sudah otomatis ada bersamaan dengan tanda yang paling sering muncul tersebut. Tanda-tanda yang membedakan isim dengan lainnya adalah :
1. bisa menerima tanwin
2. bisa menerima al
3. bisa kemasukan huruf nida'
4. bisa menerima huruf jer.
5. bisa bersambung dengan isim lain (kata majemuk)
Dengan kata lain, tanda untuk mengenali kalimat isim sering muncul bersamaan dalam satu kalimat. Misalnya Pada lafadh مِنَ الِجنَّـةِ ada huruf jer, al, dan bacaan jer. Pada lafadh و إِلَى رَبِّكَ ada huruf jer, bacaan jer, dan bersambungnya isim dengan isim lain.
A. Tanda di depan kalimat
1. Huruf jer atau huruf qosam
2. Al
3. Huruf nida`
4. Nawasikh
5. Wawu hal

B. Di akhir kalimat
1. Ya` nisbah
2. Tanwin
3. Ta` marbuthah
4. Wawu nun jama’
5. Alif ta’ jama’
6. Dibaca jer

C. Pada bentuk kalimat
1. Nakiroh
2. Tasghir
3. Dhomir
4. Maushul
5. Isyaroh
6. Tafdhil

D. Pada makna kalimat
1. Pelaku/fa’il
2. Korban/maf’ul
3. Pembuka/mubtada`
4. Disifati/mawsuf
5. Nama/’alam
6. Disandarkan/musnad

Mengenali batas kalimat dalam bahasa Arab.
1. Al adalah awal kalimat, maka kalimat sebelum al adalah kalimat lain.
2. I'rob jer (dibaca kasroh) adalah akhir kalimat maka kalimat setelah huruf terakhir yang dibaca kasroh adalah kalimat lain.
3. Tanwin adalah akhir kalimat, maka kalimat setelah tanwin adalah kalimat lain.
4. Ta' marbuthoh adalah akhir kalimat maka kalimat setelah ta' marbuthoh adalah kalimat lain.
5. Hamzah berbetuk alif adalah awal kalimat
6. Dhomir ــه, ــهما, همdan kawan-kawannya adalah akhir kalimat.
7. Alif layyinah adalah akhir kalimat
8. Wawu nun adalah akhir kalimat
9. Alih nun adalah akhir kalimat
10. dan seterusnya
Misalnya منَ المَشْرِقِ إلَى اْلمَغْرِبِ
من adalah satu kalimat sendiri karena setelahnya ada kata yang diawali dengan al
المشرق adalah satu kalimat sendiri karena diawali dengan al
إلَى adalah satu kalimat sendiri karena sebelumnya ada kalimat yang berakhiran kasroh dan setelahnya ada kalimat yang diawali dengan al
اْلمَغْرِبِ adalah satu kalimat sendiri karena diawali dengan al
Dengan demikian dalam susunan di atas terdapat empat kalimat.

A. Isim ditinjau dari bangunan akhirnya.
1. Maqshur, diakhiri dengan alif lazimah (baik tegak atau bengkok), yaitu alif yang ada pada kata dasarnya. Harokat sebelum akhir pada isim maqshur dibaca fathah. Seperti الفتى, الهدى, موسى, المستصفى
2. Manqush, diakhiri dengan ya'lazimah, yaitu ya' yang ada pada kata dasarnya. Harokat sebelum akhir pada isim manqush dibaca kasroh. Seperti الماضى, الراعى, الزانى.
Jika isim manqush tanpa al dan harokat akhirnya bukan fathah, maka huruf ya' dihilangkan. Contoh الداعى menjadi داعٍ, الراعى menjadi راعٍ. الماضى menjadi ماضٍ, الزانى menjadi زانٍ.
3. Mamdud, diakhiri dengan hamzah dan huruf sebelumnya adalah alif tambahan. Seperti إنشاءٌ, ابتداءٌ, سوداءُ, سماءٌ, أقوياءُ
4. Shohih, diakhiri dengan selain ke 3 huruf di atas. seperti qomar, bayt, zaid.

B. Isim ditinjau dari jenis kelaminnya ada dua, yaitu :
1. Mudzakar (menunjuk jenis laki-laki atau dianggap laki-laki)
a. Hakikiy, yaitu isim mudzakar yang menunjukkan manusia atau hewan (benar-benar mempunyai jenis kelamin)
b. Majaziy, yaitu isim mudzakar yang menunjukkan selain manusia atau hewan (tidak mempunyai jenis kelamin)
2. Muannats (menunjuk jenis perempuan atau dianggap perempuan)
a. Hakikiy, yaitu isim muannats yang menunjukkan manusia atau hewan (benar-benar mempunyai jenis kelamin)
b. Majaziy, yaitu isim muannats yang menunjukkan selain manusia atau hewan (tidak mempunyai jenis kelamin)

Penentuan mudzakkar-muannats :
1. Melihat lafadz dan makna :
a. Jika mudzakkar lafadz dan maknanya, maka mudzakkar.
b. Jika muannats lafadz dan maknanya, maka muannats.
2. Melihat makna bukan lafadznya :
a. Jika mudzakkar maknanya, maka mudzakkar.
b. Jika muannats maknanya, maka muannats.
3. Melihat lafadznya, dan ini tidak ada kaidahnya. Jika tidak ada penunjukkan itu muannats atau mudzakkar, maka lihat lafadz tersebut.
Seperti
قلمٌ  مذكَر
قلنسوةٌ  مؤنّث
4. Yang tidak ditunjuk mudzakkar atau muannatsnya, yaaaaaaaa itulah bahasa. Apalno ra usah nyocot. Misalnya
سماءٌ  مؤنّث
أرضٌ  مؤنّث
شمسٌ  مذكَر
قمرٌ  مؤنّث.
Catatan :
a. yang menunjukkan perempuan paling banyak ditandai dengan ta' marbuthah
b. anggota tubuh yang berpasangan dianggap muannats

C. Isim ditinjau dari jumlah yang ditunjuk :
1. Mufrod, menunjukkan makna jumlah tunggal
2. Mutsanna, menunjukkan makna jumlah dua. tandanya adalah adanya alif atau ya dan nun. alif dan ya' tersebut berharokat fathah dan nun selalu kasroh.
3. Jama', menunjukkan makna lebih dari dua.
a. Jama' mudzakkar salim, yaitu hitungan lebih dari dua yang menunjukkan jenis laki-laki. Tanda atau cara membuatnya adalah adanya atau menambahkan ya'-nun atau wawu-nun dari bentuk isim mufrodnya.
b. Jama' muannats salim, yaitu hitungan lebih dari dua yang menunjukkan jenis laki-laki. Tanda atau cara membuatnya adalah adanya atau menambahkan alif-ta'dari bentuk isim mufrodnya.
c. Jama' taksir, yaitu hitungan lebih dari dua yang berubah bentuk dari mufrodnya.
Cara bertasniyyah berjama', taksir juga
Tasniyyah :
- shohih : nambah alif nun/ya' nun
- manqush : kalo ya' dibuang, dikembalikan plus alif nun. ex muhtadin muhtadiyani
- maqshur : jika tsulasi, wawu mbalik wawu dan ya' mbalik ya'. ex ashon ashowani, fatan fatayani, hudan hudayani, ridhon ridhowani/wayni.
jika lebih dari tiga, ganti ya. ex hublaa hublayani, musthofa musthofayani, mustasfa mustasfayani.
- mamdud : hamzah diganti wawu kalo menunjuk muannats. ex sauda-u saudaawaani, sokhro-u sokhrowaani
kalo asli, bukan muannats, ya tetep. quro-u quroaani, wudhho-un wuddho-ani
- mulhaq kila kilta, itsna asyrota itsnata 'asyrota
JAMA
- shohih
- maqshur alif dibuang fathah tetap plus wawu/ya nun mustofaa mustafauna mustofaina
- manqush ya dibuang dhummah qobla wawu kasroh qobla ya, hadin haduuna hadiina
- mamdud mbuh

D. Isim ditinjau dari penyusunannya, terbagi menjadi :
1. Jamid, yaitu isim yang tidak diambil atau tidak disusun dari selainnya.
a. Jamid dzati (kata benda): isim yang tidak muncul darinya fi'il yang semakna (tidak bentuk kata kerjanya). seperti rajulun, nahrun.
b. Jamid ma'nawi (isim makna): isim yang hanya dapat diketahui artinya tetapi tidak terlihat bendanya (kata kerja yang dibendakan). seperti ilmun, kata kerjanya adalah alima. darsun kata kerjanya adalah darasa.
2. Musytaq atau kata jadian, yaitu isim yang diambil atau disusun dari kata lainnya dan mengandung sifat.
Yang termasuk isim musytaq adalah :
a. Isim fail, yaitu isim yang menunjukan makna pelaku. seperti katibun berasal dari kataba.
b. Sighot mubalaghoh, yaitu isim yang menunjukan makna pelaku yang mangansung arti penguatan atau menyangatkan. seperti alim (orang yang pandai) menjadi allamun (orang yang sangat pandai), shobirun (orang yang sabar) menjadi sobburun (sangat sabar)
c. Isim maf'ul, yaitu isim yang menunjukan makna sebagi obyek (yang dikenai pekerjaan). seperti maktubun berasal dari kataba.
d. Sifat musyabbihat bi ismil fail, yaitu isim yang semakna dengan isim fail hanya saja disusun dari fiil yang tidak memerlukan obyek. seperti farihun (yang senang), syarifun (yang mulia), sahlun (yang mudah), syujaun (yang berani).
e. Isim tafdhil, yaitu isim yang menunjukan arti lebih atau paling.Cara menyusunnya dalah (1) diambilkan dari fiil yang tiga huruf, dan (2) diikutkan wazan af'alu. contohnya 'alimun menjadi a'lamu (paling.lebih berilmu)
f. Isim zaman, yaitu isim yang menunjukan makna waktu.
g. Isim makan, yaitu isim yang menunjukan makna tempat.
Seperti maktabun (waktu atau tempat menulis) berasal adari kataba.
h. Isim alat, yaitu isim yang menunjukan makna alat suatu pekerjaan. seperti miftahun (alat pembuka) berasal dari fiil fataha. mimsahat (alat untuk menghapus) berasal dari fiil masaha.

E. Isim dilihat dari perubahan harokat akhir
1. Mu'rob, yaitu isim yang bisa berubah harokat akhirnya karena kemasukan amil.
2. Mabni, yaitu isim yang tidak bisa berubah harokat akhirnya meskipun kemasukan amil
Amil adalah sesuatu yang mempengaruhi harokat/huruf akhir suatu kalimah.
Isim mabni ada delapan, yaitu :
1. Isim dhomir (kata ganti)
2. Isim isyaroh (kata tunjuk)
3. Isim mawshul (kata sambung)
4. Isim syarat (isim yang memerlukan fi'il syarat dan jawabannya). yang termasuk isim syarat adalah man, ma. mata, aynama, anna, haytsuma, kayfama, ayna, ayyana.
ayyun (apapun) termasuk isim syarat akan tetapi tidak terasuk mabni sehingga bisa berubah harokat akhirnya apabila kemasukan amil.
5. Isim istifham (kata tanya), yaitu man, ma, ma dza, ayna, kayfa, kam, mata, ayyana.
6. Asmaul af'al (isim yang menunjukkan ma'na fi'il tetapi tidak menerima tanda fi'il. Asmaul af'al terbagi menjadi tiga, yaitu :
b. berma'na fiil madhi (isim fi'il madhi), seperti هيهات (bermakna= بَعُدَ/telah jauh), شتّانَ (bermakna افترق/telah bercerai), sur'an (bermakna= /telah mempercepat)
c. berma'na fiil mudhari' (isim fi'il mudhari'), seperti قط (bermakna= يكفى /cukup), وى (bermakna = أتعَجُّب/ wow !!), أفّ bermakna أتضجَّر /huss)
d. berma'na fiil amar (isim fi'il amar), seperti صه (bermakna= اسكت /diamlah), عليك(bermakna= اعتصم . berpegangteguhlah), حيّ (bermakna marilah), أمين (bermakna = استجب /kabulkanlah), إيّاك (bermakna = اتق /waspadalah), دونك (bermakna = خذ /ambillah)
7. Sebagian dharaf (isim yang menunjukkan waktu atau tempat)
8. Bilangan 11-19, kecuali 12.

F. Isim dilihat dari kejelasan penentuan maknanya terbagi :
1. Nakiroh : isim yang menunjukkan makna umum atau belum jelas kekhususannya. Isim nakiroh biasanya ditandai dengan tanwin.
2. Ma'rifat : isim yang menunjukkan makna tertentu atau sudah jelas kekhususannya.
Isim marifat ada tujuh terrangkum dalam syair berikut :
إنّ المعارف سبعة فيها سهل (()) أنا صالح ذا ما الفتى ابن يا رجل
Isim yang masuk kategori ma'rifat ada tujuh, yaitu :
1. Isim dhomir (kata ganti)
2. Isim 'alam
3. Isim isyarat
4. Isim mawshul (kata sambung)
5. Marifat sebab kemsukan 'al
6. Isim isyaroh (kata tunjuk)
7. nakiroh maqsudah

Dhomir (kata ganti)

Isim dhomir merupakan kalimat yang mabni.
Dhomir ada dua, yaitu mustatir dan bariz (dhomir yang tersembunyi dan dhomir yang terlihat), ada yang terletak di dalam kalimat fi'il (muttasil) dan ada yang terpisah dari kalimat (munfasil)

Dhomir mustatir adalah dhomir yg tanda adanya dhomir itu tidak terlihat dalam kalimat. Misalnya unshur. Pada kalimat ini ada dhomir (yaitu anta) tetapi dalam kalimat unshur tidak ada tanda adanya dhomir anta
Kedudukan dhomir mustatir pasti dalam posisi mahal rofa' sebagai fa'il atau naibul fa'il.
Dalam dhomir mustatir, tersembunyinya si dhomir ada yang tidak mungkin ditampakkan (mustatir wujub) dan ada yang mungkin ditampakkan (mustatir jawaz)

Yang tersembunyinya tidak mungkin untuk ditampakkan (mustatir wujub) artinya adalah bahwa dhomir yang dimiliki oleh fi'il tidak dapat digantikan kedudukannya dengan isim dhohir. Sedangkan yang tersembunyinya mungkin untuk ditampakkan (mustatir jawaz) artinya adalah bahwa dhomir yang dimiliki oleh fi'il dapat digantikan kedudukannya dengan isim dhohir.

Mustatir wujub ada pada :
1. Fi'il amar mufrod muzakar. Misale: Zaidun, unshur (hey, menolonglah sopo kamu). Ada dhomir anta pada kalimat ini tetapi dalam kalimat unshur tidak ada tanda adanya dhomir anta dan dhomir anta yang dimiliki (kembali pada) Zaidun dari unshur tidak bisa digantikankan oleh isim dhohir menjadi misalnya Zaidun, unshur Muhammadun (Hey, menolonglah sopo kamu sopo Muhammad)
2. Fi'il Mudhori'
mufrod muzakar mukhotob misale tanshuru (akan menolong sopo kamu). Ada dhomir anta pada kalimat ini tetapi dalam kalimat tanshuru tidak ada tanda adanya dhomir anta dan dhomir anta yang dimiliki oleh fi'il tidak bisa digantikankan oleh isim dhohir menjadi misalnya tanshuru Muhmmadun (Menolong sopo kamu sopo bapakmu)
mutakallim wahdah misale anshuru (Menolong sopo inyong). Ada dhomir ana pada kalimat ini tetapi dalam kalimat anshuru tidak ada tanda adanya dhomir ana dan dhomir yang dimiliki oleh fi'il tidak bisa digantikankan oleh isim dhohir menjadi misalnya anshuru abi (Menolong sopo inyong sopo bapake inyong)
mutakallim ma'al ghayr misale nanshuru (menolong sopo kita). Ada dhomir nahnu pada kalimat ini tetapi dalam kalimat nanshuru tidak ada tanda adanya dhomir nahnu dan dhomir yang dimiliki oleh fi'il tidak bisa digantikankan oleh isim dhohir menjadi misalnya nanshuru Muhammad, (Menolong sopo kita sopo bapake kita)

Mustatir jawaz ada pada :
1. Fi'il madhi
mufrod mudzakar ghoib misale nashoro (menolong sopo dia laki-laki satu). Ada dhomir huwa pada kalimat ini tetapi dalam kalimat dhoroba tidak ada tanda adanya dhomir huwa tetapi dhomir yang dimiliki oleh fi'il bisa digantikan oleh isim dhohir menjadi misalnya nashoro Zaidun (Menolong sopo dia Zaid)
Mufrod muannats ghoibah misale nashorot (menolong sopo dia perempuan satu). Ada dhomir hiya pada kalimat ini tetapi dalam kalimat nashorot tidak ada tanda adanya dhomir hiya tetapi dhomir yang dimiliki oleh fi'il bisa digantikan oleh isim dhohir menjadi misalnya nashorot Hindun (Menolong sopo dia Hindun)
2. Fi'il mudhori'
Mufrod mudzakar ghoib misale Zaidun yanshuru. Ada dhomir huwa pada kalimat ini tetapi dalam kalimat yanshuru tidak ada tanda adanya dhomir huwa. Tetapi, dhomir huwa yang dimiliki (kembali pada) Zaidun dari yanshuru bisa digantikankan oleh isim dhohir menjadi misalnya Zaidun yanshuru abuhu (Utawi Zaid iku menolong sopo huwa bapake Zaid)
mufrod muannats ghoibah misale Hindun tanshuru. Ada dhomir hiya pada kalimat ini tetapi dalam kalimat tanshuru tidak ada tanda adanya dhomir hiya. Tetapi, dhomir hiya yang dimiliki (kembali pada) Hindun dari tanshuru bisa digantikankan oleh isim dhohir menjadi Hindun tanshuru ummuha (Utawi Hindun iku menolong sopo hiyaa ibu'e Hindun)
yanshuru zaidun akan menolong sopo dia zaid
tanshuru fatimatu akan menolong sopo dia fatimah

DHOMIR BARIZ
Dhomir bariz adalah dhomir terlihat dalam kalimat atau tanda
adanya dhomir itu terlihat dalam kalimat. Misalnya Qumta. Ta' menunjukkan bahwa dhomir yg tersimpan adalah anta. Akromaka, kaf menunjukkan bahwa dhomirnya adalah anta.

Dhomir bariz ada dua jenis, yaitu muttasil (bersambung dengan kalimat fi'il) dan munfasil (terpisah dengan kalimat fi'il)

Dhomir muttasil adalah dhomir yg tidak bisa dijadikan sebagai kalimat pembuka dan tidak bisa ditempatkan setelah illa. Misale qumta, tidak mungkin dibaca ta qum atau Ja'a attalamidzu illa ta.
Dhomir bariz munfasil adalah dhomir yg bisa dijadikan sebagai kalimat pembuka dan bisa ditempatkan setelah illa. Misale ana muslimun dan ma qama illa ana.

Dhomir bariz muttasil dibaca/berkedudukan dengan mahal rofa' misale nashorta (menolong sopo kamu) dan dibaca/berkedudukan dengan mahal nashob seperti akromani (memulyakan sopo dia ing inyong) dan dan dibaca/berkedudukan dengan mahal jer seperti marro bina (ketemu sopo dia dengan kita)

Dhomir bariz munfasil dibaca/berkedudukan dengan mahal rofa' misale ana-nahnu, hiya-huma dll sejumlah 12 dan dibaca/berkedudukan dengan mahal nashob seperti iyyaya iyyana iyyaka dll sejumlah 12 juga.

Dhomir bariz munfasil dengan mahal rofa' jika berada di awal jumlah, maka berkedudukan sebagai mubtada'. Sedangkan dhomir bariz munfasil dengan mahal nashob hanya berkedudukan sebagai maf'ul bih.


MENCERMATI TANWIN
Harokat tanwin yang tiga (fathatayn, dhommatayn, dan kasrotayn) dan menjadi tanda kalimat isim, dalam prakteknya dapat dikelompokkan ke dalam beberapa jenis sesuai bertempatnya si tanwin. Yaitu :
1. Tanwin tamkin, yaitu tanwin yang berada pada isim mu'rob.
Seperti tanwin pada lafadz زيد yang dapat berubag menjadi زيدٍ, زيداً, زيدٌ
2. Tanwin tankir, yaitu tanwin yang berada pada isim mabni
Seperti سيبويه و سيبويهٍ yang memberi arti pada nama Sibawayh yang satu dan Sibawayh yang lain.
3. Tanwin muqobalah, yaitu tanwin yang berada pada jama' muannats salim.
Muqobalah atau pembanding di sini adalah pembanding suara nun mati pada jama' mudzakkar salim yang bertempat pada jama' muannats salaim yng diwujudkan dalam bentuk tanwin.
Misalnya مسلمون ketika dibaca diakhiri dengan suara nun, maka مسلمات ketika dibaca juga sama-sama bersuara nun diakhirnya sebab ditanwinkan.
4. Tanwin iwadh, pengganti, yaitu tanwin yang menggantikan sesuatu yang dibuang dari kalimat. Tanwin ini dapat menggantikan isim, jumlah, atau huruf sehingga dinamakan :
- awdhun anil ism

- awdhun anil jumlah
Tanwin ini bergandeng dengan dhorof, misalnya يومئذٍ yang bermakna يوم إذا...., حينئذٍ yang bermakna حين إذا.... de el es be dan lainnya saya bingung.
Misalnya يومئذٍ تحدث أخبارها yang bermakna إذا زلزلت الأرض زلزالها يوم تحدث أخبارها
- awdhun anil harf

FIIL
Mengenali kalimat fiil tidak dapat dilakukan sebagaimana mengenali kalimat isim. Dalam kalimat isim ada beberapa tanda yang menjadi ciri khas bahwa kalimat tersebut adalah kalimat isim, sementara sebagian besar dari fiil malah tidak memiliki tanda yang melekat sebagaimana yang terjadi pada kalimat isim. Artinya pada setiap kalimat isim pasti terdapat salah satu tanda yang menunjukkannya, tetapi dalam kalimat fiil tidak demikian. Dalam kalimat fiil, jika tidak ada tanda yang melekat pada kalimat tersebut, maka tanda itu harus dipasang pada kalimat, tidak serta merta ada pada kalimat.
Katakanlah misalnya kita menggunakan ciri-ciri kalimat isim dengan
فالفعلُ يُعْرَفُ بِقَدْ وَالسِّيْنِ وَسَوْفَ وَتَاءِ التأنيثِ السَّاكِنَةِ
(Fi‘il dapat diketahui dengan adanya qad, sin, saufa, dan tâ’ ta’nîts sâkinah) yang artinya jika ada salah satu tanda di atas, maka dipastikan bahwa kalimat tersebut adalah kalimat fiil. Tetapi jka tidak ada, maka kita harus "memasang" salah tanda itu. Jika tanda bisa dipasang, itu adalah kalimat fiil. Hanya saja memasang dan tidak memasang, sesuai atau tidak jika dipasang tidak selamanya dapat dilakukan.
Misalnya lafadh tanpa harokat أدخل tidak segera dapat ditunjuk dari tanda yang ada pada kalimat bahwa kalimat tersebut adalah fiil. Tanda fiil harus dipasangkan untuk mengatahui kalimat fiil menjadi misalnya سأدخل atau سوف أدخل atau قد أدخل. Atau menjadi أدخلت atau قد أدخل. Belum lagi jika yang dimaksud dengan ادخل adalah ُادْخُلْ. Oleh karena itu, untuk mengetahui kalimat fiil, cermati dengan sangat tentang tanda kalimat isim saja. Jika tidak ada tanda kalimat isim maka itu adalah kalimat fiil.
Adapun terhadap kalimat huruf yang belum dibicarakan tanda khasnya, demi mudahnya, maka apapun yang bukan kalimat isim dan jumlah hurufnya penyusunnya hanya sedikit dianggap sebagai kalimat huruf sehingga jelas bukan kalimat fiil.
Fiil, kata kerja, yaitu kata yang menunjukkan ma'na pada dirinya sendiri dan berkaitan dengan salah satu dari 3 zaman (sekarang, lampau, dan akan datang) dan setiap fi'il pasti mengandung kata ganti orang pertama, kedua atau ketiga.
A. Fiil ditinjau dari waktu terjadinya terbagi menjadi :
1. Fiil madhi, yaitu fiil yang menunjukkan pekerjaan atau kejadian pada waktu lampau. Misalnya قال إبراهيم (Ibrahim telah berkata), إذا جاء نصر الله (apabila telah datang pertolongan Allah)
2. Fiil mudhari', yaitu fiil yang menunjukkan pekerjaan atau kejadian yang sedang terjadi atau akan terjadi. Fiil mudhari selalu diawali oleh salah satu huruf ء ن ي ت atau biasa dibaca أنيت. Misalnya لا أعبد ما تعبدون (aku tidak sedang/akan menyembah apa yang sedang/akan kalian sembah)
3. Fiil amar, yaitu fiil yang menunjukkan perintah setelah waktu pembicaraan. Misalnya اقرأ باسم ربك (bacalah dengan nama Tuhanmu)
B. Fiil dilihat dari bangunan hurufnya terbagi menjadi :
1. Fiil shohih, yaitu fiil yang tidak terdapat huruf illat di dalamnya.
Fiil shohih dapat berupa :
a. Salim, jika tidak terdapat hamzah atau tadh'if dalam kalimat. Misalnya نصر
b. Mahmuz, jika terdapat hamzah dalam kalimat. Misalnya سأل, قرأ
c. Mudho'af, jika terdapat tadh'if (huruf bertasydid) dalam kalimat. Misalnya مدّ, فرّ
2. Fiil mu'tal, yaitu fiil yang pada huruf aslinya terdapat huruf illat di dalamnya.
a. Jika huruf illat itu berada pada awal kalimat disebut mitsal. Seperti وعد, يسر
b. Jika huruf illat itu berada pada tengah kalimat disebut ajwaf. Seperti باع, قام
c. Jika huruf illat itu berada pada akhir kalimat disebut naqish. Seperti دعا, رمى
d. Jika huruf illat itu lebih dari satu dan letaknya terpisah disebut lafif mafruq. Seperti وقى, وفى
e. Jika huruf illat itu lebih dari satu dan letaknya bersebelahan disebut lafif maqrun. Seperti روي, قوي
C. Fiil ditinjau dari penyusun huruf pada fiil madhinya terbagi menjadi :
1. Fiil mujarrod, yaitu fiil yang semua huruf penyusunnya asli. Misalnya غفر
2. Fiil mazid, yaitu fiil yang ditambah pada huruf penyusunnya dengan 1, 2, atau 3 huruf. Huruf yang ditambahkan berupa hamzah, sin, ta, alif, tasydid, nun. Misalnya غافر, غفّر, اغتفر, استغفر
D. Fiil ditinjau dari obyeknya terbagi menjadi :
1. Fiil lazim, yaitu fiil yang tidak membutuhkan obyek. Misalnya حسن زيد
2. Fiil Muta'addi, yaitu fiil yang membutuhkan obyek. Misalnya دخل زيد المسجد
E. Fiil ditinjau dari pelakunya tebagi menjadi :
1. Ma'lum, yaitu fiil yang ada/diketahui pelakunya (kata kerja aktif). Misalnya إذا جاء نصر الله
2. Majhul, yaitu fiil yang tidak diketahui pelakunya (kata kerja pasif). Misalnya خلق الإنسان
Sebab dan cara memajhulkan

F. Fiil ditinjau dari tasrifnya terbagi menjadi :
1. Jamid, yaitu fiil yang tidak bisa dirubah menjadi fiil lain.
Fiil jamid ada dua bentuk, yaitu :
b. Selalu hanya berupa fiil madhi, seperti ليس, ما دم, عسى, نعم.
c. Selalu hanya berupa fiil amar, seperti هب, تعال.
2. Mutasorrif, yaitu fiil yang bisa dirubah menjadi fiil lain.
Mutasorrif terbagi menjadi :
a. Mutasorrif sempurna; bisa madhi, mudhori, dan amar
Misalnya كتب يكتب اكتب
b. Mutasorrif naqish; hanya bisa madhi dan mudhori saja.
Misalnya ما زال – ما يزول , أوشك - يوشك
G. Fiil ditinjau dari perubahan harokat akhirnya, terbagi menjadi :
1. Fiil mabni, yaitu fiil yang tetap tidak berubah harokatnya walaupun kemasukan amil. Fiil mabni ada tiga, yaitu :
a. Semua fiil madhi
b. Semua fiil amar
c. Fiil mudhori ketika bersambung dengan nun niswah atau nun taukid.
2. Fiil mu'rob, yaitu fiil yang berubah harokatnya karena kemasukan amil.
Fiil yang mu'rob hanya fiil mudhori' ketika tidak bersambung dengan nun niswah atau nun taukid.
Amil adalah penyebab yang menjadikan harokat suatu kata mempunyai status tertentu dalam kalimah (jumlah).


HURUF
adalah kata yang tidak mempunyai fungsi dan arti yangs sempurna kecuali setelah bersambung dengan kata lain. Huruf adalah kata depan.
Dalam hubungannya dengan kata lain huruf dibedakan menjadi tiga, yaitu :
Huruf yang masuk pada fiil saja.
Huruf yang masuk pada isim saja.
Huruf yang masuk pada fiil dan isim.
Selengkapnya...

Wednesday, May 13, 2009

Sighot

Perubahan bentuk kalimat (sighot) dan pengaruh terhadap maknanya.

A. Fi'il madhi.


Fi'il madhi mempunyai makna bahwa perbuatan yang dilakukan telah terjadi.
Kasus :
Saya kemarin makan pagi dengan nasi pecel plus krupuk kentang. 100 % organik dari kebun sendiri, tanpa pupuk kimia.
Yang saya makan kemarin adalah nasi pecel plus krupuk kentang, hari ini saya sudah tidak bisa merubah menu makan pagi saya kemarin dengan nasi soto karena kejadian makan nasi pecel plus krupuk kentang sudah terjadi.
Fi'il madhi digunakan untuk menceritakan peristiwa kemarin dan otomatis pasti tidak bisa berubah lagi.
Kasus :
Falamma wadho'atha qolat robbi inni wadho'tuha untsa.......wa inni sammaytuha maryam.
Tata krama dari al-Qur'an, untuk memberikan nama kepada anak adalah setelah anak lahir. Tampak jelas dari bentuk berita tentang pemberian nama Maryam oleh ibunya dari kata wadho'at. Wadho'at adalah fi'il madhi sehingga memberikan makna telah terjadi proses kelahiran kemudian baru diberi nama. Samma (fi'il madhi) digunakan oleh ibunya Maryam karena dia menceritakan ulang apa yang telah dilakukannya, bukan dia telah menyiapkan nama (samma, fi'il madhi) sebelum anaknya lahir. Ketika Maryam lahir, bapaknya sudah duluan meninggal dunia sehingga yang memberi nama adalah ibunya.
Dari sini kita ambil sebagai kata kunci untuk mengingat bahwa madhi adalah tidak berubah-ubah yang dalam bahasa Nahwu disebut dengan mabni. Oleh karena itu, jelas semua fi'il madhi adalah tidak berubah atau mabni.
Untuk menentukan mabninya fi'il madhi, kita lihat jumlah huruf penyusun fi'il madhi yang minimal tiga huruf.
Misalnya kataba. Kalimat ini terdiri atas tiga huruf yaitu kaf ta' ba'. Yang dilihat yang mana mabninya adalah harokat pada huruf ba', apa pun huruf dan harokat pada huruf yang ada setelah huruf ba' itu. Oleh karena itu :
Kataba adalah mabni fathah (ba' berharokat fathah)
Katabaa adalah mabni fathah (ba' berakhiran fathah) sekalipun ada alif setelah ba'.
Katabuu adalah mabni dhommah (ba' berakhiran dhommah) sekalipun ada wawu dan alif setelah ba'.
Katabat adalah mabni fathah (ba' berakhiran fathah) sekalipun ada ta' sukun setelah ba'.
Katabataa adalah mabni fathah (ba' berakhiran fathah) sekalipun ada ta' berharokat fathah dan ada alif setelah ba'.
Katabna adalah mabni sukun (ba' berharokat sukun) sekalipun ada nun setelah ba'.

B. Fi'il Mudhari'


Fi'il Mudhari
' mempunyai makna bahwa perbuatan yang dilakukan sedang atau akan terjadi, boleh jadi masih berupa rencana. Karena perbuatan baru berupa rencana, sangat mungkin perbuatan dirubah atau gagal dilaksanakan. Dari sini kita ambil sebagai kata kunci untuk mengingat bahwa mudhori' adalah berubah-ubah yang dalam bahasa Nahwu disebut dengan mu'rob.
Sekalipun mudhori' bersifat rencana, kalo keinginan sudah dikuatkan hingga menjadi semacam janji, maka pekerjaan harus benar-benar (pasti) dilakukan. Atau rencana itu berkaitan dengan kelompok kaum wanita, rencana itu tidak layak untuk digagalkan. Rencana yang naik pangkat menjadi janji dalam bahasan ini adalah mudhori' yang disertai dengan nun taukid. Sedangkan yang berhubungan dengan perempuan, dalam bahasan ini adalah mudhori' yang disertai dengan nun niswah (nun yang menunjukkan makna perempuan). Dalam dua kasus ini, janji dan berurusan dengan perempuan, rencana tidak boleh digagalkan. Dalam bahasa nahwu disebut dengan mabni.
Makna mudhori adalah pekerjaan yang nanti akan dikerjakan. Kasus dalam hadis :
Idza qulta.... wal imamu yakhtubu faqod laghout. Siapa yang berhak jadi imam ? Mari kita artikan hadis ini." Kalo kamu berbicara kepada temanmu.... sementara orang yang akan menjadi imam (nanti) saat ini sedang berkhutbah.... Ini adalah makna yakhtubu, kalimat fi'il mudhori' yang bermakna sedang-akan.

C. Masdar

Masdar
kata yang mempunyai arti tersendiri dan tidak disertai waktu. Pengertian mudahnya, masdar adalah istilah untuk sesuatu yang merupakan hasil perbuatan.
Contoh Kasus:
Nabi Nuh adalah seorang nabi yang hebat. Namun sering dituduh sebagai orang tua yang gagal mendidik anak. Al-Qur'an bercerita tentang permohonan Nuh untuk dapat menyelamatkan sesorang yang dia katakan sebagai anaknya. Kata Tuhan, seseorang yang dia katakan sebagai anaknya adalah bukan anaknya. Al-Qur'an menceritakan bahwa si bocah yang nyaris tenggelam itu amalun ghoyru sholih (hasil perbuatan yang tidak sholeh), bukan si bocah perbuatannya tidak sholeh. Iya, umpama perbuatane si bocah memang tidak sholeh, ya, tidak salah. Tetapi salah satu makna masdar adalah hasil perbuatan. Jadi, Kan'an adalah hasil perbuatan yang ghairu sholeh. Perbuatan ghoiru sholeh apa yang sampai dapat menghasilkan anak... ? ini maknanya masdar.
Karena masdar bukan perbuatan maka dia tidak mempengaruhi i'rob (kecuali nanti pada bab masdar yang beramal sebagaimana fi'ilnya) sehingga masdar dipengaruhi oleh pekerjaan yang mengakibatkan i'robnya mudah terpengaruh atau mu'rob.

D. Fi'il Amar

Amar artinya perintah. Karena perintah maka harus dilakukan sesuai dengan apa yang diperintahkan. Tidak boleh menyalahi perintah. Dari sini dapat diambil sebagai patokan bahwa fi'il amar beri'rob tetap (dalam bahasa Nahwu dia dinamakan mabni).
Selengkapnya...

jamaah

Pilih Ngendi
JAMA’ATAN NOPO MUNFARIDAN

Lebih utama mana sholat sendirian di awal waktu atau sholat berjama’ah pada akhir waktu ? Ndak tahu. Kita pilih saja sendiri salah satu di antaranya. Hanya saja pilihan itu atas dasar alasan yang meyakinkan dan bertanggung jawab. Beragama berdasar ilmu. Pilihan untuk itu adalah masalah afdholiyyah, pilihan bagus yang mana. Artinya tidak ada pilihan jelek. Yang jelas dengan melaksanakan dengan cara salah satunya kita sudah melakukan perintah mendirikan sholat dari bunyi instruksi Tuhan…. wa aqimus sholat… Instruksi ini bersifat kewajiban. Apapun-siapapun jika membebankan suatu kewajiban tidak mungkin beban itu tidak dapat dilaksanakan. Kewajiban harus dapat dilaksanakan, bahkan pemberi beban harus menyediakan seperangkat sarana bantu sehingga kewajiban itu terselesaikan. Jika ada instruksi yang bersifat wajib dan kewajiban itu mustahil dapat dilaksanakan karena alokasi waktu, sarana, pelaksana yang bukan porsinya dan kemungkinan lain dari dapat dilaksanakannya instruksi itu, maka bukan salah calon pelaksana yang tidak merealisasikannya.
Sebuah contoh, sebagai satu pilihan permisalan. Anak usia TK ketika dia masuk sekolah diwajibkan membawa minuman dalam botol sendiri. Jika botol minuman yang diinstruksikan untuk dibawa adalah ukuran 500 ml tiap anak, maka perintah ini dapat dan menjadi harus dilaksanakan si anak. Sebaliknya, jika si anak harus membawa botol minuman seukuran satu galon 19 liter/anak, perintah ini adalah perintah yang bukan salah si anak jika dia tidak membawa air minum dalam botol. Berbeda jika anak ini diwajibkan membawa air minum dalam botol ukuran 19 liter dan pihak sekolahan memfasilitasi dengan fasilitas keterangan bahwa air itu akan dijadikan air minum bersama setelah acara senam pagi seluruh siswa TK Permata Bunda tempat dia bersekolah. Kewajiban ini menjadi tetap wajib dilaksanakan sebab si anak hanya berkewajiban menyampaikan permintaan pihak sekolahan ke orang tuanya untuk membelikan air minum satu galon untuk dibawa ke sekolahan sebagai giliran mingguan dia untuk itu.
Instruksi melaksanakan sholat adalah instruksi wajib dilaksanakan. Dan instruktur (pemberi perintah) memberikan fasilitas atau sarana bantu untuk itu. Orang sholat wajib bersuci. Berwudlu. Jika tidak bisa, ganti dengan tayammum. Jika tidak bisa disholatilah dia. Sholat harus dilaksanakan pada range waktu yang telah ditentukan. Laksanakan pada awal waktunya. Jika tidak, laksanakan sebelum waktu habis. Jika pada range waktu yang ditentukan tetap tidak bisa melaksanakan karena ada sebab yang dapat diterima, kumpulkan (jama’) sholat itu dengan sholat lain. Jika tidak, laksanakan sholat itu di luar range waktu yang telah ditentukan (diqadla’). Jika tetap tidak bisa melaksanakan, sudah gilirannya dia disholatkan. Sholat kudu menghadap kiblat. Jika karena sebab tertentu musholli tidak tahu arah kiblat, sholatlah dia ke arah mana saja. Tugasnya adalah melaksanakan sholat sesuai ketentuan. Jika ada yang ketentuan dan prosedur yang betul-betul tidak dapat dia penuhi, ini di luar kekuasaan dan kemampuan dia. Selesai.
Yang begini ini disebut dengan kewajiban melaksanakan (ahliyatul wujub) dan kemungkinan bisa melaksanakan kewajiban sesuai prosedur (ahliyatul ada’). Ini istilah sangat teknis. Artinya, biarlah orang di bidangnya yang tahu istilah itu. Akan tetapi dalam setiap sesuatu, dua hal ini selalu terbawa. Gambaran awamnya adalah, wanita muslimah baligh sehat jasmani rohani tidak sedang bepergian dan dalam keadaan haidh pada bulan romadlon dia tetap sebagai orang yang wajib melaksanakan puasa romadlon. Wajib, tidak bisa ditawar. Mau atau tidak mau. Kondisi muslimah yang sedang haidh ini yang menyebabkan dia tidak harus melaksanakan puasa bulan romadlon, bahkan wajib tidak melakukan. Puasa romadlon tetap wajib bagi muslimah karena muslimah ini adalah ahliyyatul wujub (yang dibebani kewajiban) sedangkan kemampuan-ketidakmampuan dia melaksanakan pada waktunya menjadi dasar pelaksanaannya. Saya muslim, wajib melaksanakan ibadah haji. Tetapi itu belum mungkin saya lakukan sekarang karena kemampuan saya melaksanakan sekarang (ahliyyatul ada’) tidak memungkinkan. Hajinya tetap wajib untuk saya, hanya saja saya-nya belum mampu. Yang disebut pertama adalah karena saya adalah ahliyyatul wujub (memenuhi kriteria kudu melaksanakan) dan yang disebut terakhir saya berada di luar kondisi kemampuan melaksanakan sekarang (bukan ahliyyatul ada’).
Pada jam 15.00 sampai jam 17.20 waktu Tebuireng setiap muslim di Tebuireng wajib melaksanakan sholat Ashar. Tetapi Kang Paydjo tidak wajib sholat sekalipun alokasi waktunya tersedia karena dia mengidap penyakit gila. Ahliyyah ada’-nya ada tetapi ahliyyah wujubnya yang bermasalah. Jam 15.00 sampai jam 17.20 adalah jatah orang untuk sholat Ashar, hanya saja dia punya kewajiban atau tidak.
Ketemu dech jawabannya dari opsi sholatnya mau berjamaah atau mau sholat sendirian. Afdhol yang mana ? Nilainya tinggi mana ? Yo takono panitiane. Aku dudu panitia penilai. Aku mung iso ngakal-ngakali.
Ketika Nabi Muhammad ditanya aktifitas apa yang paling disenangi Allah dari hambanya. Jawabnya adalah sholat pada waktunya, al-sholat ‘ala waqtiha. Bandingannya adalah bahwa sholat pada waktunya lebih bernilai dari pada birrul walidayn dan jihad fi sabilillah.
Ditinjau dari rutinitas pelaksanaan sholat lima kali sehari semalam kesanggupan menunaikannya dengan baik dari segi pemenuhan syarat/rukun/cara dan mengupayakan kondisi jiwa yang benar-benar konsentrasi serta out put yang dihasilkannya berupa ketahanan mental terhadap segala perilaku nahi ‘an fahsya’ dan munkar, nilai usaha keras yang rutin dan nilai hasil yang luar biasa itu menjadikan sholat dengan disiplin waktu layak dinomorsatukan. Lagi pula tuntutan menunaikan sembahyang menjadi beban setiap muslim/muslimah sepanjang hayat dikandung badan sampai dengan kondisi jasmani teramat kritis sehingga harus melaksanakn bil isyarah. Jihad jauh dari gambaran pra-syarat kondisional pencapain hasil yang mampu dilahirkan oleh disiplin sholat.
Berbakti kepada kedua orang tua mirip dalam hal rutinitas pelaksanannya dengan rentang waktu yang bukan saja berakhir ketika keduanya meninggal, tetapi masih berlanjut sesudah itu sekalipun mengambil bentuk manifestasi yang lain. Pelaksanaan ajaran birul walidain harus ditangani sendiri secara individual menuntut pengerahan dana/tenaga/perhatian yang relatif besar dan target sasaran yang harus dicapai merupakan hal yang nisbiy ridho (sikap puas dalam ukuran psikologi dan perasaan) kedua orang tua. Ukuran yang tidak dapat diukur. Uluran tangan oleh anak kandung dalam hal melayani kebutuhan kesejahteraan lahir bathin, dukungan moral (doa) dan ketekunan menjalin hubungan kedua ibu bapak hanya didambakan datangnya dari anak kandung. Seorang anak bertanggung jawab sepenuhnya pelaksanaan birul walidain dengan bertumpu kepada kemampuan dirinya. Kemampuan pribadi, diri sendiri. Berbeda dengan jihad yang nilai hukum tuntutannya adalah kifayah , insidentil, diupayakan ramai-ramai dengan perangkat dana segenap umat Islam, target kemenangan dicapai secara kolektif sekalipun sasarann akhirnya berat namun bersifat kongkrit dan orang boleh berperasaan optimis walau tidak ambil bagian dalam jihad fisik karena unsur uzur syar’i. Selain itu kepatutan orang mengikuti jihad fi sabilillah bergantung pada rekomendasi dari kedua orang tua yang beragama Islam. Karenanya wajar bila birul walidain bersanding dengan ibadah lillah. Dalail persandingan dimaksud dapat ditelusuri melalui maksud QS al-Isra’ 23 dan informasi hadis semacam “ridhollahi fi ridhal walidain” serta riwayat “fa inn al-jannata tahta rijlaiha”.
Betapa hebatnya ibadah sholat yang dilaksanakan pada waktunya. Bagaimana kalau sholat berjamaah di akhir waktu ? Pertanyaan ini hanya bermasalah jika penanya mengemukakan hadis yang menyebut ayyul a’mal afdholu (amal apa yang paling hebat nilanya?) Dijawab oleh Nabi al-sholat fi ‘awwali waqtiha. Pada kesempatan lain nabi memberi support bahwa sholat berjamaah mempunyai 27 level lebih tinggi daripada sholat sendirian. Sholat yang berjamaah berarti mendapat 27 + 1. Nilai 27 dari nilai berjamaah. Nilai 1 dari nilai sholat dia. Belum lagi ada unsur lain yang harus dipertimbangkan. Bagaimana kalau jamaahnya banyak orang. Bagaimana kalau berjamaahnya di masjid, bukan di rumah. Bagaimana kalau masjidnya masjid jami’, bukan musholla. Bagaimana kalau masjidnya masjidil haram. Bagaimana kalau yang jamaah suami-istri-anak-anak. Bagaimana kalau qur’an yang dibaca dalam sholat panjang-panjang. Bagaimana kalau ….
Apapun, sholat jama’ah jelas lebih hebat dengan ngakali bahwa kita hanya diperintah untuk sholat pada waktunya. Mau di awal atau di tengah atau di akhir waktu yang tersedia, silahkan saja. Hanya itu. Selesai.
Selengkapnya...

Sabili Rabbik

ud'u ila sabili rabbika bil hikmati wal maw'idhatil hasanati wajadilhum billati hiya ahsan
Kita diformat untuk menjadi makelar, calo, broker, dan sejenisnya. Calo tiket di terminal Bungurasih, misalnya, tidak akan menunjukkan bahwa Semarang itu ke arah barat dari Surabaya kepada calon penumpang. Tidak. Si calo hanya akan menunjuk bis yang bertrayek Surabaya-Semarang. Jika si calon penumpang menuruti kata si calo dan naik bis jurusan Semarang dia pasti akan sampai di tujuan. Yang ditunjuk oleh calo hanya sabil-nya atau cara menuju ke Semarang. Calon penumpang yang naik bis jurusan Semarang akan sampai di Semarang jika ketika dia naik sudah membawa tiket. Tiket akan menunjukkan bahwa dia betul-betul akan bepergian ke arah yang ditunjukkan oleh tiket. Jika calon penumpang hendak menuju ke suatu tujuan dan menaiki bis yang menuju tujuan tersebut sesuai petunjuk si calo sebelum bis berangkat dia akan dikeluarkan dari mobil tersebut. Atau di tengah jalan dia akan diturunkan bahkan dalam keadaan kendaraan sedang melaju. Jika begini, nomor satu dia akan terluka berikutnya mungkin dia akan tertabrak oleh mobil lain. Relevansi dengan ayat adalah bahwa kita diinstruksikan untuk menunjukkan kepada sabil menuju tuhan, bukan menunjukkan kepada tuhan.
Jalan menuju Tuhan amat beragam, segaris dengan jalan menuju Semarang, misalnya dalam kasus di atas. Jika sudah sesuai arahan penunjuk arah, ketika dia menemui sabil menuju Semarang terserah pilihan dia kalo mau naik bis super ekonomi dengan tarif amat ekonomis dengan fasilitas berkonsekuensi. Atau naik bus super executive dengan harga tarif paling mahal untuk mendapat fasiltas ternyaman. Begitu juga setelah berada di sabil-Nya. Bolehlah dia menuju kepada-Nya dengan tarif ekonomi misalnya dengan jarang bersedekah, tidak sholat dan puasa sunnah. Atau dengan tarif agak mahal bahkan juga harus membayar DP misalnya sudah mulai booking surga dengan bersodaqoh jariyah, membiayai anak untuk dicetak menjadi anak sholeh dengan dipondokkan disekolahkan dan lain-lain. Terserah. Sabil-Nya terserah situ asal sesuai arahnya.
Tugas mengajak (ud'u) adalah tugas yang ditunjuk dengan bentuk murni fi'il amar, bukan mudhori dengan lam amar atau bentuk amar lainnya. Entah juga dampak hukumnya. Yang jelas amar berkonsekuensi wujub. Hanya saja jadinya wajib 'ayn atau kifayah. Jika wajib 'ayn seperti bentuk fi'il amarnya yang menunjuk waqi' mufrod muzakkar mukhottob adalah tugas per satu orang. Atau mungkin juga wajib kifayah seperti terindikasi dari cara ud'u-nya yang variatif. Namun keduanya, baik wajib 'ayn atau kifayah, tetap harus dilaksanakan. Wajib 'ayn ukurannya adalah kewajiban itu gugur jika person yang berkewajiban melaksanakan sudah melaksanakan kewajibannya. Jadi, ukurannya adalah pelaku. Wajib kifayah ukurannya adalah kewajiban menjadi gugur jika sudah ada person yang melaksanakan. Ukuran gugurnya kewajiban adalah perbuatannya. Pekerjaan itu sudah dilaksanakan atau belum, bukan orangnya sudah melaksanakan atau belum. Sama dengan mengebumikan jenazah yang berhukum kifayah. Jika jenazah sudah ada yang menguburkan, ya sudah gugur kewajiban semua orang karena sudah terwakili. Jika tidak, jenazah siapa lagi yang harus dipendem ? Kalo sholat ? Ya jangan ngomong untuk diwakili
Ayat menunjuk cara mengajak yang pertama dengan hikmah. What the meaning of hikmah ? Al-Qur'an menggambarkan wa man yu'tal hikmata faqod utiya khoiron katsiro. Apa itu khoiron katsiro ? Yo mbuh. Cara kedua adalah maw'idhoh hasanah. Grand contextnya, maw'idhoh hasanah jelas ditujukan untuk orang yang belum berada pada sabil-Nya, kafir kepet-kepet itu. Untuk muslim tentunya bukan bertitel maw'idhoh hasanah, tetapi wa innaha latadzkirotun lil muttaqin. Tarik saja penjelasan kedua hal hikmah dan maw'idhoh hasanah pada cerita Musa dan Harun ‘alayhimas sholatu was salam.
Cerita Musa dan Harun ditampilkan Allah sewaktu keduanya harus menghadapi model yang bernama Fir'aun, laknatullah 'alayh. Musa terkenal dengan ketidakfasihannya dalam berbicara. Sedang Harus ditunjuk oleh Musa dengan huwa afsohu minni lisanan. Porsi berdakwah mereka berbeda dan saling melengkapi. Musa tidak pandai bicara sehingga ketika harus menyampaikan wahyu termasuk melayani ajakan berdebat pasti Musa selalu mendelegasikan kepada Harun. Musa wiridannya sangat kuat, tidak bisa untuk dihadapkan dalam arena perdiskusian. Umat yang telah menerima penjelasan wahyu dari Harun, mereka akan taat kepada Musa dan Harun. Jika mereka tidak taat, maka acungan kepalan tangan Musa akan ditunjukkan. Hanya kepalan tangan walaupun pernah sekali waktu kepalan tangan meninju seseorang dan akibatnya sudah jelas, knock out untuk yang ditinju. Kepalan tangan Musa sangat ditakuti walaupun tidak sampai berfungsi meninju. Umat sudah sangat takut kepalan tangan itu mengarah kepadanya karena kepalan tangan penuh dengan aura wiridan yang sangat hebat.
Ketika Musa harus beraudiensi dengan Tuhan di bukit Thursina, Musa meninggalkan kampung selama 40 hari dan kepemimpinan umat didelegasikan kepada Harun, sang orator itu. Sekembalinya ke kampung, di sana sudah ada tuhan baru karya Samiri. Ternyata sang orator tidak mampu membendung njagani ketaatan umat. Beda dengan Musa, si ahli hikmah, yang begitu ditaati. Pelajarannya adalah : jika tidak bisa wiridan kuat ya belajarlah menjadi orator untuk mengambil peran sebagaimana Harun. Jika tidak berbakat orasi, ya belajar wiridan yang kuat untuk mengambil peran sebagaimana Musa. Dan ini punya peran masing-masing.
Cara ud'u ketiga adalah wa jadilhu, ajak mereka berdebat berdiskusi. Ini bukan porsi untuk tukang wirid atau porsi untuk orator. Wa jadilhum adalah porsi untuk ilmuwan, meskipun ilmuwan yang mengambil jatah berdikusi haruslah ahli wirid dan juga orator. Bayangkan jika tukang diskusi tidak berwirid dan dia dikerjai lawannya yang kebetulan tukang wirid, mandeglah dia dari kemampuan berbicara. Atau tukang diskusi tidak pandai berorasi menyampaikan ide di fikirannya, kacaulah struktur kata dari lisannya. Bayangkan juga jika yang diajukan untuk diskusi adalah pure tukang wirid. Pengaplah arena diskusi. Atau yang diajukan untuk berdiskusi adalah pure orator, jadilah arena diskusi seperti riuh ramainya calo di terminal. Debat kusir, dan penumpang harus minggir.
Wa jadilhum yang porsi ilmuwan ditunjuk dengan perintah baru. Perintah yang tidak digandeng disamakan dengan perintah sebelumnya meski muncul huruf penyambung di antaranya. Jika digandeng disamakan dengan perintah sebelumnya, akan berbunyi bil hikmah wal maw'idhoh hasanah wal mujadalah al-husna. Al-Qur'an yang karya Tuhan ini menunjuk dengan perintah baru. Apa konsekuensinya ?
Selengkapnya...

Tuesday, March 24, 2009

Kata Ganti

DHOMIR (KATA GANTI)
Pembuka
Sekedar pengingat, ini salah satu bagian dari ilmu yang kian hari kian dilupakan orang. Dilupakan. Dilupakan. Dilupakan. Tidak menarik, gitu-gitu aja, buat apa, susah dipelajari dan ungkapan-ungkapan lain yang tidak kurang relatif seragam dengan inti kata : males nyinauni. Bukan orang “umum” yang melupakan, tetapi mereka, kita, me and us, yang berlatar pesantren.

Dan ini sangat tidak wajar (atau wajar ?) untuk kita yang sudah sampai pada jenjang konsentrasi pendidikan dengan judul JURUSAN “Pemikiran” yang nota bene sudah memikirkan apa yang di awang-awang. Hampir-hampir sudah sangat lupa pondasi ilmu alat seperti ini. Yang prodi pemikiran hukum Islam apalagi. Mahasiswa perguruan tinggi Islam apalagi. Mikirnya sudah hampir nyundul bintang, ketika kena “ketahuan kropos pondasinya” pada ilmu alat, entheng mengelak “itu tidak penting”. “Tidak penting gundulmu” kata saya. Kalo pondasimu keropos, bangunanmu yang (maunya) menjulang pasti rapuh. Seingate inyong, al-Qur’an mengingatkan kudune muslim itu ka syajarotin thoyyibatin, ashluha tsabit wa far’uha fis sama’ akarnya kuat menghunjam, manfaatnya nyata ke mana-mana.
Kali ini tentang isim dhomir, tulisan berikutnya tentang manfaat belajar sighot. Insya Allah, karena ini menjadi hiburan di sela-sela menyelesaikan thesis.

ISIM DHOMIR
Saya katakan isim dhomir itu seperti intelejen atau reserse. Tidak selamanya tugas dapat diselesaikan dengan isim dhohir yang artinya berseragam dinas. Kadang harus melepas seragam untuk dapat berhasil. Begitu pun isim dhomir. Dia harus ada karena mungkin saja isim dhohir tidak boleh muncul di situ.

Reserse yang melepas seragam ketika melakukan penyelidikan sama dengan dhomir mustatir, harus melepas seragam (mustatir wujub) atau boleh melepas dan boleh tetap berseragam (mustatir jawaz). Dhomir bariz muttasil mirip dengan reserse yang melepas seragam. Meskipun dia tida berseragam polisi tetapi dia tetap polisi. Sedangkan orang yang bukan polisi kemudian direkrut untuk membantu tugas polisi mirip dengan dhomir bariz munfashil. Tidak punya hubungan, tetapi kudu melapor.
Isim dhomir merupakan kalimat yang mabni. Dhomir ada dua, yaitu mustatir dan bariz (dhomir yang tersembunyi dan dhomir yang terlihat), ada yang terletak di dalam kalimat fi'il (muttasil) dan ada yang terpisah dari kalimat (munfasil)
Dhomir mustatir adalah dhomir yang tanda adanya dhomir itu tidak terlihat dalam kalimat. Misalnya unshur. Pada kalimat ini ada dhomir (yaitu anta) tetapi dalam kalimat unshur tidak ada tanda adanya dhomir anta

Sedikit persoalan tentang “tanda adanya dhomir itu tidak terlihat”. Ini istilah yang saya pake untuk menjabarkan arti mustatir = tidak terlihat. Penggambaran dengan “tidak terlihat” betul-betul tidak disetujui oleh pak Hada’. Seharusnya adalah tanda dhomir terucapkan atau tidak terucapkan (talafudz), bukan terlihat-tidak terlihat. Argumennya adalah:

Nahwu itu berurusan dengan apa yang diucapkan oleh orang Arab -yang punya bahasa yang kita sedang bicarakan. Jadi, urusannya adalah talafudz atau tidak talafudz.
Argumennya saya yang menggunakan “terlihat - tidak terlihat adalah:
Nahwu itu urusan pembacaan tulisan, bahkan sampai bagaimana tulisan tanpa harokat bisa dibaca dengan benar. Dan ini adalah kaidah, jika dalam ulumul qur’an dikaji dalam bab, rasm atau sedikitnya dibicarakan dalam khat. Artinya, tentang tulisan bukan tentang suara. Rasm dalam bahasa saya adalah memindah bahasa audio ke bahasa visual, minal manthuqoh ilal mar`iyyah. Misalnya adalah ketika orang mengucap “meja” (dan ini audio), maka jika dirasmkan (divisualkan) dengan huruf latin akan terlihat M E J A.

Karena itu ketika orang melihat isim mufrod dengan i’rob nashob, maka akan “melihat” tanda alif dipasang untuk menunjukkan bahwa ini dibaca nashob. Alif dalam nashob jelas dilihat, bukan diucapkan. Begitu pula dalam ilmu tajwid. Saya bisa mengatakan di sana bahwa ini adalah alif mad (tanda bacaan untuk diucapkan dengan lebih panjang) dan ini adalah alif nahwu (tanda untuk dilihat bahwa ini adalah kalimat anu). Sayang, diskusi tentang dilihat atau diucapkan ini belum selesai. Inilah tradisi Tebuireng : dalam satu meja perdiskusian berbeda pendapatlah. Tetapi ketika keluar dari forum, sudah menemukan “satu” yang dihasilkan. Eh, ternyata saya belum menemukan yang satu itu.

Lanjut. Kedudukan dhomir mustatir pasti dalam posisi mahal rofa' sebagai fa'il atau naibul fa'il. Dalam dhomir mustatir, tersembunyinya si dhomir ada yang tidak mungkin ditampakkan (mustatir wujub) dan ada yang mungkin ditampakkan (mustatir jawaz)
Yang tersembunyinya tidak mungkin untuk ditampakkan (mustatir wujub) artinya adalah bahwa dhomir yang dimiliki oleh fi'il tidak dapat digantikan kedudukannya dengan isim dhohir. Sedangkan yang tersembunyinya mungkin untuk ditampakkan (mustatir jawaz) artinya adalah bahwa dhomir yang dimiliki oleh fi'il dapat digantikan kedudukannya dengan isim dhohir.

Mustatir wujub terletak pada :
1. Fi'il amar mufrod muzakar. Misale: Zaidun, unshur (hey, menolonglah sopo kamu). Ada dhomir anta pada kalimat ini tetapi dalam kalimat unshur tidak ada tanda adanya dhomir anta dan dhomir anta yang dimiliki (kembali pada) Zaidun dari unshur tidak bisa digantikankan oleh isim dhohir menjadi misalnya Zaidun, unshur Muhammadun (Hey, menolonglah sopo kamu sopo Muhammad). Dalam arti jelas salah karena yang dimaksud diperintah adalah Zaid tetapi terganti oleh Muhammad. Maunya anta tetapi dhomir si Muhammad adalah huwa. Dari sisi susunan juga salah. Kalimat fi’il jika sudah ketemu rafa’nya, maka selanjutnya adalah nashobnya bukan rofa’ ketambahan rofa’ lagi.

2. Fi'il Mudhori'
Mufrod muzakar mukhotob misale tanshuru (akan menolong sopo kamu). Ada dhomir anta pada kalimat ini tetapi dalam kalimat tanshuru tidak ada tanda adanya dhomir anta dan dhomir anta yang dimiliki oleh fi'il tidak bisa digantikankan oleh isim dhohir menjadi misalnya tanshuru Muhmmadun (Menolong sopo kamu sopo Muhammad). Maunya anta tetapi dhomir si Muhammad adalah huwa. Begitu seterusnya untuk contoh selainnya.
Mutakallim wahdah misale anshuru (Menolong sopo inyong). Ada dhomir ana pada kalimat ini tetapi dalam kalimat anshuru tidak ada tanda adanya dhomir ana dan dhomir yang dimiliki oleh fi'il tidak bisa digantikankan oleh isim dhohir menjadi misalnya anshuru abi (Menolong sopo inyong sopo bapake inyong)

Mutakallim ma'al ghayr misale nanshuru (menolong sopo kita). Ada dhomir nahnu pada kalimat ini tetapi dalam kalimat nanshuru tidak ada tanda adanya dhomir nahnu dan dhomir yang dimiliki oleh fi'il tidak bisa digantikankan oleh isim dhohir menjadi misalnya nanshuru Muhammadun (Menolong sopo kita sopo Muhammad). Jika misalnya Muhammadun yang seorang diganti dengan Muhammadun, Kholidun, Zaidun dan teman-teman sekalipun, maka dhomirnya adalah hum padahal yang seharusnya adalah nahnu.
Mustatir jawaz ada pada :

1. Fi'il madhi
Mufrod mudzakar ghoib misale nashoro (menolong sopo dia laki-laki satu). Ada dhomir huwa pada kalimat ini tetapi dalam kalimat nashoro tidak ada tanda adanya dhomir huwa tetapi dhomir yang dimiliki oleh fi'il bisa digantikan oleh isim dhohir menjadi misalnya nashoro Zaidun (Menolong sopo dia Zaid). Yang diminta adalah huwa Zaid juga berdhomir huwa¸ dan ini betul.

Mufrod muannats ghoibah misale nashorot (menolong sopo dia perempuan satu). Ada dhomir hiya pada kalimat ini tetapi dalam kalimat nashorot tidak ada tanda adanya dhomir hiya tetapi dhomir yang dimiliki oleh fi'il bisa digantikan oleh isim dhohir menjadi misalnya nashorot Hindun (Menolong sopo dia Hindun)

2. Fi'il mudhori'
Mufrod mudzakar ghoib misale Zaidun yanshuru. Ada dhomir huwa pada kalimat ini tetapi dalam kalimat yanshuru tidak ada tanda adanya dhomir huwa. Tetapi, dhomir huwa yang dimiliki (kembali pada) Zaidun dari yanshuru bisa digantikankan oleh isim dhohir menjadi misalnya Zaidun yanshuru abuhu (Utawi Zaid iku menolong sopo huwa bapake Zaid)

Mufrod muannats ghoibah misale Hindun tanshuru. Ada dhomir hiya pada kalimat ini tetapi dalam kalimat tanshuru tidak ada tanda adanya dhomir hiya. Tetapi, dhomir hiya yang dimiliki (kembali pada) Hindun dari tanshuru bisa digantikankan oleh isim dhohir menjadi Hindun tanshuru ummuha (Utawi Hindun iku menolong sopo hiyaa ibu'e Hindun)

DHOMIR BARIZ
Dhomir bariz adalah dhomir terlihat dalam kalimat atau tanda adanya dhomir itu terlihat dalam kalimat. Misalnya Qumta. Ta' menunjukkan bahwa dhomir yang tersimpan adalah anta. Akromaka, kaf menunjukkan bahwa dhomirnya adalah anta.
Dhomir bariz ada dua jenis, yaitu muttasil (bersambung dengan kalimat fi'il) dan munfasil (terpisah dengan kalimat fi'il)

Dhomir muttasil adalah dhomir yang tidak bisa dijadikan sebagai kalimat pembuka dan tidak bisa ditempatkan setelah illa. Misale qumta, tidak mungkin dibaca ta qum atau Ja'a attalamidzu illa ta.

Dhomir bariz munfasil adalah dhomir yang bisa dijadikan sebagai kalimat pembuka dan bisa ditempatkan setelah illa. Misale ana muslimun dan ma qama illa ana.
Dhomir bariz muttasil dibaca/berkedudukan dengan mahal rofa' misale nashorta (menolong sopo kamu) dan dibaca/berkedudukan dengan mahal nashob seperti akromani (memulyakan sopo dia ing inyong) dan dan dibaca/berkedudukan dengan mahal jer seperti marro bina (ketemu sopo dia dengan kita)

Dhomir bariz munfasil dibaca/berkedudukan dengan mahal rofa' misale ana-nahnu, hiya-huma dll sejumlah 12 dan dibaca/berkedudukan dengan mahal nashob seperti iyyaya iyyana iyyaka dll sejumlah 12 juga.
Dhomir bariz munfasil dengan mahal rofa' jika berada di awal jumlah, maka berkedudukan sebagai mubtada'. Sedangkan dhomir bariz munfasil dengan mahal nashob hanya berkedudukan sebagai maf'ul bih.

Penutup
Semoga bermanfaat.
Selengkapnya...

Tuesday, February 24, 2009

WAHYU TAK TERBACA

WAHYU TAK TERBACA

سَيَقُولُ السُّفَهَاءُ مِنَ النَّاسِ مَا وَلَّاهُمْ عَنْ قِبْلَتِهِمُ الَّتِي كَانُوا عَلَيْهَا قُلْ لِلَّهِ الْمَشْرِقُ وَالْمَغْرِبُ يَهْدِي مَنْ يَشَاءُ إِلَى صِرَاطٍ مُسْتَقِيمٍ (142) وَكَذَلِكَ جَعَلْنَاكُمْ أُمَّةً وَسَطًا لِتَكُونُوا شُهَدَاءَ عَلَى النَّاسِ وَيَكُونَ الرَّسُولُ عَلَيْكُمْ شَهِيدًا وَمَا جَعَلْنَا الْقِبْلَةَ الَّتِي كُنْتَ عَلَيْهَا إِلَّا لِنَعْلَمَ مَنْ يَتَّبِعُ الرَّسُولَ مِمَّنْ يَنْقَلِبُ عَلَى عَقِبَيْهِ وَإِنْ كَانَتْ لَكَبِيرَةً إِلَّا عَلَى الَّذِينَ هَدَى اللَّهُ وَمَا كَانَ اللَّهُ لِيُضِيعَ إِيمَانَكُمْ إِنَّ اللَّهَ بِالنَّاسِ لَرَءُوفٌ رَحِيمٌ (143) قَدْ نَرَى تَقَلُّبَ وَجْهِكَ فِي السَّمَاءِ فَلَنُوَلِّيَنَّكَ قِبْلَةً تَرْضَاهَا فَوَلِّ وَجْهَكَ شَطْرَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ وَحَيْثُ مَا كُنْتُمْ فَوَلُّوا وُجُوهَكُمْ شَطْرَهُ وَإِنَّ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ لَيَعْلَمُونَ أَنَّهُ الْحَقُّ مِنْ رَبِّهِمْ وَمَا اللَّهُ بِغَافِلٍ عَمَّا يَعْمَلُونَ (144)
142. Orang-orang yang kurang akalnya di antara manusia akan berkata: "Apakah yang memalingkan mereka (umat Islam) dari kiblatnya (Baitul Maqdis) yang dahulu mereka telah berkiblat kepadanya?" Katakanlah: "Kepunyaan Allah-lah timur dan barat; Dia memberi petunjuk kepada siapa yang dikehendaki-Nya ke jalan yang lurus"
143. Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (umat Islam), umat yang adil dan pilihan agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu. dan Kami tidak menetapkan kiblat yang menjadi kiblatmu (sekarang) melainkan agar Kami mengetahui (supaya nyata) siapa yang mengikuti Rasul dan siapa yang membelot. dan sungguh (pemindahan kiblat) itu terasa Amat berat, kecuali bagi orang-orang yang telah diberi petunjuk oleh Allah; dan Allah tidak akan menyia-nyiakan imanmu. Sesungguhnya Allah Maha Pengasih lagi Maha Penyayang kepada manusia.
144. Sungguh Kami (sering) melihat mukamu menengadah ke langit, Maka sungguh Kami akan memalingkan kamu ke kiblat yang kamu sukai. Palingkanlah mukamu ke arah Masjidil Haram. Dan dimana saja kamu berada, palingkanlah mukamu ke arahnya. dan Sesungguhnya orang-orang (Yahudi dan Nasrani) yang diberi al-kitab (Taurat dan Injil) memang mengetahui, bahwa berpaling ke Masjidil Haram itu adalah benar dari Tuhannya; dan Allah sekali-kali tidak lengah dari apa yang mereka kerjakan.
Ayat ini mengandung dua pengertian:
1. bahwa pada mulanya ada kiblat bagi umat Islam di mana mereka menghadap pada waktu shalat. Kemudian Nabi diperintah untuk menghadap kiblat yang ditunggu-tunggu, yaitu kiblat kedua (ka`bah). Meskipun Nabi sudah ingin menghadap ka`bah, namun –sebelum diperintah- Nabi tetap menghadap kiblat pertama (Baitul Maqdis). Dan hal ini tidak mungkin dilakukan tanpa adanya perintah.
2. kiblat pertama diwajibkan dan ditetepkan oleh Allah seperti juga kiblat kedua. Sebab Allah berfirman وَمَا جَعَلْنَا الْقِبْلَةَ الَّتِي كُنْتَ عَلَيْهَا Di mana Allah menegaskan bahwa yang menjadikan kiblat pertama adalah Allah sendiri. Namun apabila kita membaik-balik al-Qur`an tidak akan kita dapati satu ayat pun yang berisi perintah untuk menghadap kiblat pertama. Bila demikian halnya, maka perintah untuk mengahdap kiblat pertama adalah berdasarkan wahyu tidak terbaca dalam al-Qur`an.
وَإِذْ أَسَرَّ النَّبِيُّ إِلَى بَعْضِ أَزْوَاجِهِ حَدِيثًا فَلَمَّا نَبَّأَتْ بِهِ وَأَظْهَرَهُ اللَّهُ عَلَيْهِ عَرَّفَ بَعْضَهُ وَأَعْرَضَ عَنْ بَعْضٍ فَلَمَّا نَبَّأَهَا بِهِ قَالَتْ مَنْ أَنْبَأَكَ هَذَا قَالَ نَبَّأَنِيَ الْعَلِيمُ الْخَبِيرُ (3)
3. Dan ingatlah ketika Nabi membicarakan secara rahasia kepada salah seorang isterinya (Hafsah) suatu peristiwa. Maka tatkala (Hafsah) menceritakan Peristiwa itu (kepada Aisyah) dan Allah memberitahukan hal itu (pembicaraan Hafsah dan Aisyah) kepada Muhammad lalu Muhammad memberitahukan sebagian (yang diberitakan Allah kepadanya) dan Menyembunyikan sebagian yang lain (kepada Hafsah). Maka tatkala (Muhammad) memberitahukan pembicaraan (antara Hafsah dan Aisyah) lalu (Hafsah) bertanya: "Siapakah yang telah memberitahukan hal ini kepadamu?" Nabi menjawab: "Telah diberitahukan kepadaku oleh Allah yang Maha mengetahui lagi Maha Mengenal."
Ayat ini menunjukkan bahwa Rasululah saw berbicara hal yang rahasia kepada sejumlah istrinya. Tetapi istri yang diajak bicara itu mengira bahwa hal itu bukan rahasia, atau paling tidak, tidak ada salahnya kalau dicereritakan kepada orang lain. Dan begitulah ia menceritakannya kepada orang lain. Kemudian Allah memberitahu Nabi tentang hal ini. Nabi juga diberitahu kalimat-kalimat yang dibocorkan. Ketika istri tadi ditegur Nabi, ia bertanya “siapakah yang memberitahukan hal itu kepadamu?” Nabi menjawab : “Allah-lah yang memberitahukan hal itu kepadaku”.
Kejadian ini menunjukkan bahwa Allah memberitahukan Nabi tentang pembicaraan rahasia yang dibocorkan oleh sebagian isterinya. Padahal al-Qur`an sama sekali tidak menyebutkan apa yang diceritakan Nabi kepada istrinya sebagaimana juga tidak menjelaskan apa yang dibocorkan oleh istrinya itu. Bayangkan, apakah ada ayat yang tertinggal sehingga tidak termaktub dalam al-Qur`an, atau Nabi diberitahu melalui wahyu yang tidak tertulis. Apabila kita mengatakan ada ayat al-Qur`an yang tertinggal, maka ini bertentangan dengan maksud ayat yang menyatakan bahwa ayat-ayat al-Qur`an dipelihara oleh Allah. إِنَّا نَحْنُ نَزَّلْنَا الذِّكْرَ وَإِنَّا لَهُ لَحَافِظُونَ Kalau begitu Nabi mesti diberitahu melalui wahyu yang tidak terbaca.
مَا قَطَعْتُمْ مِنْ لِينَةٍ أَوْ تَرَكْتُمُوهَا قَائِمَةً عَلَى أُصُولِهَا فَبِإِذْنِ اللَّهِ وَلِيُخْزِيَ الْفَاسِقِينَ (5)
5. Apa saja yang kamu tebang dari pohon kurma (milik orang-orang kafir) atau yang kamu biarkan (tumbuh) berdiri di atas pokoknya, maka (semua itu) adalah dengan izin Allah; dan karena Dia hendak memberikan kehinaan kepada orang-orang fasik.
Ayat ini dengan jelas diturunkan setelah penebangan pohon kurma, dan dari al-Qur`an pula kita memahami bahwa izin penebangan itu dari Allah. Tetapi kita tidak menemukan ayat yang menerangkan penebangan itu.
إِنَّ عَلَيْنَا جَمْعَهُ وَقُرْآَنَهُ (17)
17. Sesungguhnya atas tanggungan kamilah mengumpulkannya (di dadamu) dan (membuatmu pandai) membacanya.
Seperti diketahui bahwa al-Qur`an tidak diturunkan seketika, dan ini juga diterangkan sendiri oleh al-Qur`an. Sejarah turunnya ayat-ayat al-Qur`an juga tidak menjadi faktor yang mempengaruhi urutan ayat-ayatnya. Tetapi Nabi maenyuruh para Sahabat untuk menyusun dan membuat urutan ayat-ayat itu. Apakah penentuan urutan itu berdasakan wahyu dari Allah kepada Nabi, atau didasarkan ijtihad Nabi sendiri ?
Selengkapnya...

Thursday, January 08, 2009

SARJANA SYARI’AH MENJADI ADVOKAT

SARJANA SYARI’AH MENJADI ADVOKAT




Negara Republik Indonesia sebagai negara hukum berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, bertujuan mewujudkan tata kehidupan bangsa yang sejahtera, aman, tenteram, tertib, dan berkeadilan. Kekuasaan kehakiman yang bebas dari segala campur tangan dan pengaruh dari luar memerlukan profesi advokat yang bebas, mandiri, dan bertanggung jawab untuk terselenggaranya suatu peradilan yang jujur, adil, dan memiliki kepastian hukum bagi semua pencari keadilan dalam menegakkan hukum, kebenaran, keadilan, dan hak asasi manusia.
Penegakan hukum di Indonesia pelaksanaannya ada di tangan hakim, jaksa, polisi, advokat, dan petugas lapas. Hukum yang diberlakukan di Indonesia di samping hukum yang diadopsi dari Eropa dan hukum adat yang sedikit banyak menjadi lapangan sarjana hukum umum, juga diberlakukan hukum Islam yang menjadi lapangan studi sarjana syariah. Oleh karena itu, sarjana yang menguasai hukum Islam sekaligus hukum acaranya sudah seharusnya berperan dalam penegakan hukum di Indonesia, selain sebagai hakim, jaksa, polisi, dan petugas lapas harus ada yang berposisi sebagai advokat.
Sarjana syari’ah dan kesetaraannya dengan sarjana hukum dalam profesi advokat, di samping merupakan hasil puncak perjuangan para pejuang UU Advokat yang dengan berdarah-darah berusaha memasukkan sarjana syariah sekaligus organisasi advokat syariah ke dalam UU Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat, di sisi lain justru awal dari perjuangan kita civitas akademika perguruan tinggi Islam utamanya fakultas syariah. Perjuangan awal dimaksud bukan hanya di bidang profesi advokat, tapi juga merupakan perjuangan awal bagi kesetaraan untuk menjadi penegak hukum mengingat dalam peraturan perundang-undangan yang lain selain UU Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat masih ada perlakuan diskriminatif terhadap sarjana syari’ah. Sebagai contoh seorang sarjana hukum yang menguasai hukum Islam bisa menjadi hakim di lingkungan Peradilan Agama (Pasal 13 (g) UU No. 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama), sebaliknya seorang sarjana syari’ah yang menguasai hukum umum tidak bisa menjadi hakim di lingkungan Peradilan Umum. (Pasal 14 (f) UU Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum).
Kini, undang-undang Advokat sudah memberi kesempatan kepada sarjana syari’ah tanpa diskriminasi untuk menjadi advokat. Pertanyaan kita adalah mau dan mampukah sarjana syari’ah menjawab semua tantangan ini dan sekaligus memiliki competitive advantage (daya saing yang handal) terhadap sarjana lain yang berpendidikan tinggi hukum ? Untuk menjawab pertanyaan ini, maka perlu identifikasi beberapa peluang dan sekaligus tantangan yang dihadapi oleh sarjana syari’ah untuk memasuki wilayah profesi advokat. Dan ini menjadi tugas yang sangat tidak ringan.
Kesempatan menjadi pegawai negeri sipil selama sistem rekruitmen berjalan sebagaimana sistem yang selama ini santer didengar masyarakat umum, seorang sarjana yang bagus intelektualitasnya tanpa bekal lobi dan koneksi kuat relatif sulit mengabdikan ilmunya kepada negeri melalui jalur pegawai negeri sipil. Oleh karena itu, sekalipun sangat baik seorang sarjana menjadi pegawai negeri sipil, kenapa tidak seorang sarjana berteriak "sarjana tidak harus menjadi pegawai negeri sipil !!!"
Alumnus fakultas syariah memiliki kemampuan lebih dari pada alumnus fakultas hukum dalam penguasaan ilmu hukum dan ilmu agama. Kini, alumnus fakultas syariah setara posisi dan kesempatannya dengan alumnus fakultas hukum untuk meniti karir dalam profesi yang berkaitan dengan ilmu hukumnya selain sebagai hakim, polisi, dan jaksa yang harus didapat melalui jalur pegawai negara yaitu sebagai advokat.
Menjadi advokat, kata mereka yang telah menjadi advokat, lebih mudah diraih daripada bercita-cita menjadi pegawai negeri sipil. Menjadi advokat, asal mau dan berani pasti jadi. Pasti, kata mereka. Jalan yang harus ditempuh untuk menuju menjadi advokat disebutkan oleh Pasal 2 UU Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat :
(1) Yang dapat diangkat sebagai Advokat adalah sarjana yang berlatar belakang pendidikan tinggi hukum dan setelah mengikuti pendidikan khusus profesi Advokat yang dilaksanakan oleh Organisasi Advokat.
Dalam penjelasan dari Pasal 2 ayat (1) disebutkan :
Yang dimaksud dengan “berlatar belakang pendidikan tinggi hukum” adalah lulusan fakultas hukum, fakultas syariah, perguruan tinggi hukum militer, dan perguruan tinggi ilmu kepolisian.
Dua lulusan pendidikan tinggi hukum terakhir telah dihapus oleh mahkamah konstitusi dari undang-undang ini sehingga sarjana syariah setara dan hanya bersaing dengan sarjana hukum.
Pasal 3 ayat (1) UU Nomor 18 Tahun 2003 Tentang Advokat menyebutkan :
"Untuk dapat diangkat menjadi Advokat harus memenuhi persyaratan sebagai berikut :
a. warga negara Republik Indonesia;
b. bertempat tinggal di Indonesia;
c. tidak berstatus sebagai pegawai negeri atau pejabat negara;
d. berusia sekurang-kurangnya 25 (dua puluh lima) tahun;
e. berijazah sarjana yang berlatar belakang pendidikan tinggi hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1);
f. lulus ujian yang diadakan oleh Organisasi Advokat;
g. magang sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun terus menerus pada kantor Advokat;
h. tidak pernah dipidana karena melakukan tindak pidana kejahatan yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih;
i. berperilaku baik, jujur, bertanggung jawab, adil, dan mempunyai integritas yang tinggi.
Syarat ini relatif lebih mudah diraih dibandingkan dengan jika bercita-cita mengenakan seragam dinas korps pegawai negeri sipil pada departemen apapun di muka bumi Indonesia jika perekrutan PNS masih mengunakan tata cara seperti saat ini. Belum lagi berita tentang beberapa depatemen yang over load pegawai sehingga banyak pegawai yang menganggur, atau minimal, jam kerja yang ada tidak terfungsikan maksimal disebabkan pekerjaan sedikit dengan banyak pekerja.
Alumnus fakultas syariah hanya harus mengikuti ujian nasional advokat yang dilaksanakan oleh KAI atau Peradi dan jika lulus harus mengikuti PKPA (Pendidikan Khusus Profesi Advokat) sebelum resmi diambil sumpah oleh pengadilan tinggi sebagai seorang advokat. Selesai. Dan jadilah dia seorang advokat. Urusan mendapat klien atau tidak adalah urusan setelahnya.
Ujian nasional calon advokat oleh KAI atau Peradi kemungkinan besar dilaksanakan lebih dari satu kali dalam satu tahun oleh masing-masing organisasi menjadikan kesempatan lebih terbuka lebar.
Berdasar tukar informasi dan pengalaman dari arena workshop di Ponorogo yang telah lalu, mengikuti ujian nasional calon advokat yang dilaksanakan oleh KAI relatif lebih mudah mencapai passing grade yang ditetapkan dari pada mengikuti ujian nasional calon advokat yang dilaksanakan oleh PERADI. KAI mematok nilai 59 untuk lulus sedangkan PERADI memasang angka 70 untuk lulus. Di samping itu, latar belakang perpecahan organisasi induk advokat Indonesia menjadi dua itu barangkali turut menyumbangkan perannya atas jalan sarjana syariah menuju profesi advokat. Karena mungkin saja layak disegarkan dalam ingatan bahwa masih banyak pihak yang tidak legawa ketika ada kaum muslim tampil.
Dalam sejarahnya pengesahan UU Nomor 18 Tahun 2003 ini sangat tendensius dalam banyak sisi. Di antaranya adalah advokat tidak mengenal usia pensiun. Oleh karena itu sangat dimungkinkan para mantan hakim dan jaksa atau siapapun akan membidik profesi advokat pada masa pensiunnya. Artinya, tidak ada kata terlambat bagi sarjana syariah.
Berkaca kepada advokat senior yang telah lebih dahulu berkiprah, ternyata dapat dilihat ahwa mereka menguasai seluruh materi keadvokatannya dari belajar di bangku kuliah. Berjalannya waktu dan bertambahnya pengalaman yang menjadikan advokat semakin matang. Sebagai contoh pengacara kondang seperti Adnan Buyung Nasution, OC Kaligis, Juan Felix Tampubolon pasti belum pernah mendapatkan pelajaran cara menangani kasus korupsi di Indonesia sebelum disahkannya UU tentang tindak pidana korupsi. Begitu seterusnya.
Terakhir, hakim pengadilan agama sedikit banyak mengeluh ketika ruang sidang pengadilan agama terisi oleh advokat yang minim latar belakang ilmu syariahnya. Penguasaan hukum acara dan hukum materi tidak cukup untuk digunakan beracara di pengadilan agama. Oleh karena itu, ketika menjadi advokat sarjana syariah harus diusahakan tidak dibalas menjadi bahan keluhan hakim pengadilan umum, hakim pengadilan tata usaha negara, dan hakim pengadilan militer karena minimnya penguasaan terhadap hukum acara persidangan.
Bi'awnilllah azza wa jal walhamdulillahirabbil'alamin.
Selengkapnya...