Monday, May 05, 2008

BAHTSUL MASAIL I PCNU JOMBANG TAMBAK BERAS 06 APRIL 2008

Bahtsul masail I pcnu jombang
tambak beras 06 April 2008


1. tentang mushaf
- apakah kopian ayat al-qur'an masih disebut mushaf ?
- posisi kopian itu seperti apa ?
Harus disepakati terlebih dahulu apa yang dinamakan mushaf pada kesempatan ini. Syekh Muhammad Nawawi al-Jawi dalam Kashifatus Saja menyebut mushaf adalah media belajar apa saja yang di sana ditulis ayat al-Qur'an. Tulisan itu bukan dimaksudkan sebagai jimat atau sejenisnya. Tidak terbatas hanya menulis dengan kertas, namun juga media kayu, tulang, kulit atau lainnya.[1] Pengertian ini akan dibawa ketika menyebut apa yang dimaksud dengan mushaf. Syekh Nawawi tidak menyebut mushaf pada ayat yang ditulis dengan tujuan bukan sebagai media belajar. Tidak jelas apa yang membedakan yang mana mushaf dan yang mana jimat mengingat apa yang dibuat untuk dirasah disebut mushaf dan yang dibuat untuk tujuan jimat (al-tamimah) tidak disebut sebagai mushaf, sementara pada keduanya sama-sama ditulis ayat al-Qur'an. Untuk yang disebut terakhir tidak ada ketentuan dilarang menyentuh dalam keadaan berhadas. Artinya, dalam karya Syekh Nawawi ini penyebutan apa yang dimaksud sebagai mushaf bergantung kepada tujuan penulisan. Dalam latar belakang kasus yang disampaikan, ini sulit.
Pada masa Rasulullah saw al-Qur'an belum ditulis dalam satu kumpulan, apa lagi untuk ada penyebutan mushaf. Al-Qur'an terkumpul dalam satu bentuk tulisan terjilid terjadi pada masa sahabat. Ketika proses penulisan selesai, Usman selaku penggagas meminta para sahabat lain untuk memberikan nama pada hasil kumpulan tersebut. Sekelompok sahabat menamakan al-kitab, kelompok lain menyebut al-sifr, dan yang lainnya memberi nama al-mushaf.[2]
Penyedia jasa foto copi hanya bermaksud melakukan tugasnya menyediakan jasa menggandakan dokumen, tidak bermaksud menjadikan dokumen sebagai media belajar atau jimat, baik dokumen kopian itu berupa tulisan ayat al-Qur'an atau bukan. Entah juga penyedia jasa foto copi itu menyebut hasil kopian ayat-ayat al-Qur'an sebagai apa, dia hanya bermaksud menyediakan jasa dan memperoleh imbalan atas jasa. Itu saja.
Selanjutnya, sekalipun ada kelompok yang menyebut al-Qur'an adalah hasil budaya, dan kelompok ini ditentang oleh masyarakat, bahkan misalnya al-Qur'an dianggap sebagai buku biasa sekalipun, menjadikannya berada pada tempat yang tidak semestinya adalah tidak tepat. Sudah menjadi kesepakatan sejumlah besar masyarakat dunia bahwa al-Qur'an adalah sesuatu yang dihormati dan dihargai. Oleh karena itu, bentuknya dalam berbagai macam jenis juga harus dihormati. Tentu juga dalam bentuk fotokopiannya.
Pada sudut pandang yang lain, mesin foto kopi ketika dimasukkan dalam jangkuan kaidah الرضا بالشيء رضا بما يتولد منه maka akibat yang ditimbulkannya juga harus menjadi pertimbangan. Salah satunya adalah hasil kopian yang rusak. Sudah menjadi kelaziman bagi orang foto kopi bahwa bahwa tempat kertas yang rusak bersama kertas rusak lainnya, meskipun yang rusak adalah kopian ayat al-Qur'an. Namun, berharganya suatu duplikat tulisan dari surat berharga, misalnya, adalah ketika terdapat padanya stempel legalisir. Dalam masalah al-Qur'an tidak ada kategori asli tulisan ayat al-Qur'an dan tidak ada kategori duplikatnya. Dalam berbagai bentuknya, tulisan ayat al-Qur'an tetap ayat al-Qur'an. Oleh karena itu, membuatnya berada dalam keadaan tidak terhormat adalah hal yang jelek.
2. Tentang campur tangan pemerintah
- posisi campur tangan pemerintah dalam menentukan kewajiban untuk pencatatan nikah, padahal dalam fiqh (katanya) tidak ada kewajiban mencatatkan nikah ?

Pengakuan terhadap pemerintah yang sah berkonsekuensi adanya kewajiban keataatan. Pihak yang mengakui pemerintah artinya mengakui produk pemerintah. Dalam kasus Indonesia, pihak yang tidak mengakui sahnya pemerintah Indonesia berada di luar jangkaun pernyataan ini. Di antara mereka adalah pihak yang mengharuskan urusan umat Islam diatur dalam sistem kekhalifahan.
Produk pemerintah tentunya mengacu pada kemaslahatan untuk semua yang termuat dalam kaidahتصرف الإمام على الرعية منوط بالمصلحة . Memenuhi kemaslahatan untuk semua secara bersama dapat dirasakan oleh semua pihak tentu sulit tercapai.
Upaya pemerintah menertibkan tarik-ulur antar kepentingan masyarakat dan upaya mengakomodasi berbagai cara menuju ketertiban adalah menerbitkan undang-undang yang diberlakukan dalam negara sebagai hukum positif. Di antaranya adalah tentang pernikahan.
Dalam ketentuan syariat Islam, tentang pernikahan yang disebutkan dalam undang-undang pernikahan beberapa di antaranya terlihat ada penambahan dan campur tangan pemerintah. Misalnya adanya kewajiban harus mencatatkan pernikahan, prosedur perceraian yang harus dilakukan di muka pengadilan, persyaratan pernikahan, dan lain-lain.
Upaya pemerintah dalam hal ini adalah حكم الحاكم يرفع و يلزم (apa yang telah ditetapkan oleh pemerintah adalah demi menyelesaikan permasalahan dan bersifat mengikat). Artinya, termasuk dalam masalah poligami, kebijakan pemerintah bersifat sah dan tentu juga keabsahan memberikan sanksi bagi pelanggarnya.
Poligami merupakan salah satu syariat yang diatur dan dinyatakan keberadaannya dalam al-Qur'an. Oleh karena itu, mengingkari sebagian isi al-Qur'an adalah sama dengan mengingkari keseluruhannya. Dalam Islam, jelas status apa yang dapat dikenakan bagi mereka yang mengingkari al-Qur'an. Dalam al-Qur'an sendiri, kemungkinan untuk dapat melakukan poligami terlihat sangat sulit mengingat apa yang disyaratakan adalah barang yang abstrak, yaitu kemampuan berbuat adil. Sementara di sisi lain, al-Qur'an sering membuat sesuatu yang abstrak digambarkan dalam bentuk riil untuk dapat lebih mudah dipahami dan dilaksanakan. Dengan demikian, apa yang dianggap mempersulit berdasar keputusan pemerintah dalam masalah poligami, sebenarbnya tidak jauh dari apa yang ditunjukkan oleh al-Qur'an.
Dalam hal ini, sesuatu yang sulit bukanlah sesuatu yang tidak dapat dilaksanakan. Sesuatu yang telah jelas keberadaannya meskipun sulit tidak dapat disebut dengan peniadaan. Maksudnya, poligami adalah ada dan boleh sehingga anti-poligami merupakan aksi yang tidak dilarang selama aksi ini bukan dinyatakan sebagai menganggap bahwa poligami adalah tidak boleh.
Sebagaimana disebutkan di atas, kebijakan pemerintah adalah bersifat mengikat, ketika dalam perceraian disyaratkan baru dapat dilakukan di muka pengadilan, maka betapapun telah dilakukan perceraian di luar pengadilan, baik dalam bentuk qawliyyan atau fil'iyan, tetap tidak berlaku.
3. Tentang sarung sutra
- bagaimana hukum memakai sarung yang bertuliskan 100 % sutera ?

Nabi saw dengan tegas melarang kaum laki-laki memakai pakaian yang terbuat dari sutra dengan sabdanya. Semua kolektor hadis yang tergolong dalam kutub al-tis'ah meriwayatkan hadis tentang larangan mengenakan pakaian sutra untuk laki-laki kecuali dalam keadaan tertentu. Oleh karena itu, jika yang dikenakan sebagai pakaian adalah sutra, maka jelas ketentuan tidak bolehnya. Sedangkan, pada apa yang menjadi latar belakang pertanyaan dan pertanyaan hanyalah adanya tulisan 100 % sutra. Apakah yang dimaksudkan adalah sarung yang keseluruhan benangnya adalah benang sutra. Tentu saja jika demikian, sifat larangannya adalah jelas.
Hanya saja, penulis menyangka bahwa meskipun bertuliskan 100 % sutra, satu kain tidak akan hanya terdiri dari sutra namun ada campuran benang lain. Dan ini dizinkan.
4. Tentang undian
- hukum membeli barang yang menjanjikan hadiah bagi pembeli

Dalam ketentuan jual beli, yang tidak diperkenankan adalah jual beli di mana di dalamnya terjadi ghurur (unsur tipu daya). Dalam hal jual beli di mana produsen menyediakan hadiah bagi siapa yang beruntung, di sana tidak terdapat ghurur. Produsen menjual barangnya dengan harga sekian dan konsumen mau membeli dengan harga tersebut. Ketika membeli, konsumen telah memperoleh haknya mendapatkan barang yang telah ia bayar dan produsen mendapatkan keuntungan dari penjualan barangnya. Dari sini, pihak produsen berkehendak menyisihkan sebagian keuntungannya untuk mengungkapkan rasa terima kasih atas berkenannya konsumen menggunakan produknya sehingga perusahaan produsen tetap eksis.
Kasus ini berbeda dengan pembelian kupon untuk mendapatkan hadiah. Dalam kasus ini konsumen tidak mendapatkan apapun, baik berupa barang konsumsi ataupun produk jasa, dari apa yang telah ia bayarkan. Hal ini dikarenakan pihak produsen sebenarnya juga tidak membuat satu produk apapun. Yang semacam ini jelas tidak boleh.
Ketika konsumen tidak mendapatkan hadiah setelah membeli barang, konsumen tetap tidak dirugikan sebab dia telah mendapatkan haknya, baik ketika membeli barang karena tergiur hadiah atau tidak. Jika dia membeli barang sampai jumlah yang amat banyak hanya karena hadiah, padahal sebenarnya dia tidak membutuhkan barang yang ia beli, maka yang salah bukan karena adanya hadiah itu, tetapi yang salah adalah sifat isrof dan sifat tidak hemat serta sifat tidak mampu menempatkan sesuatu pada tempatnya dari konsumen tersebut. Dan dalam kategori ini terdapat kemungkinan untuk dimasukkan ke dalam mahjur alaih sebagai muflis.
5. Tentang walet
- bagaimana hukum piara walet di masjid, bagaimana penjagaan kesucian masjid ?

Masjid adalah tempat suci sehingga di sana terdapat hukum haram pada apa-apa yang tidak semestinya berada. Misalnya, larangan memasuki masjid untuk orang yang junub, menggunakan masjid bukan sebagai sarana ibadah, mengotori masjid dan lain-lain. Dalam hal ini, hukum masjid dan apa yang menjadi bagian dari masjid adalah sama. الحريم له حكم ما هو حريم له (bagian dari sesuatu berada dalam satu ketentuan hukum dengan pokoknya).
Menara masjid adalah bagian dari masjid sehingga hukumnya sama dengan masjid. Sifat kesucian yang harus dijaga adalah kesucian yang sekiranya tidak ada dapat mengganggu acara ibadah. Dalam hal ini, masjid yang terdapat kotoran burung misalnya bukan merupakan halangan untuk dapat dipakai sebagai beribadah.
Untuk contoh misalnya ada sarang burung walet di menara masjid, atau sengaja memelihara sarang walet di menara masjid, pada akhirnya juga bukan halangan menjadikan masjid sebagai sarana ibadah. Demikian juga halnya dapat dipersamakan dengan larangan perempuan yang sedang haid atau nifas berada dalam masjid karena dikhawatirkan mengotori atau menyebabkan najis. Pada keduanya dapat dilakukan tindakan antisipatif untuk mencegah terjadinya penajisan atau pengotoran.
Di samping itu, mengingat nilai ekonomis yang tinggi yang ada pada walet, memelihara walet yang telah terlanjur berada pada menara masjid untuk diambil manfaat ekonomisnya adalah dimungkinkan. Dan hal-hal yang dapat mengakibatkan masjid menjadi kotor atau najis sejak dini jelas dapat diambil tindakan pencegahan.
6. Tentang mayat bangkit dari kubur
- kalau ada mayyat hidup lagi, apa yang seharusnya berlaku untuk ahli warisnya ?

Dalam syarat-syarat pembagian pewarisan terdapat ketentuan
a. Meninggalnya orang yang mewariskan (muwarrits) dengan nyata maupun oleh hukum dinyatakan meninggal, seperti orang hilang.
b. Hidupnya ahli waris (warits) dengan nyata maupun oleh hukum dinyatakan hidup ketika mayit meninggal sekalipun sebentar, seperti anak yang masih dalam kandungan, dan
c. Dapat diketahui kedudukannya dalam pembagian harta warisan seperti sebagai bapak maupun ibunya mayit.
Dan dalam rukun-rukun dalam pembagian harta peninggalan adalah:
a. Adanya orang yang mewariskan (muwarrits atau mayit) atau orang yang disamakan dengan mayit seperti orang hilang.
b. Adanya ahli waris (warits) yang masih hidup ketika mayit meninggal atau orang yang disamakan dengan orang hidup, seperti anak dalam kandungan.
c. Adanya harta peninggalan (mauruts) yaitu harta yang siap dibagikan kepada ahli waris yang berhak menerima.
Jika dilanjutkan pada sebab-sebab kepemilikan akan ditemukan kepemilikan dapat terjadi melalui :
ihroz (إحراز ) atau eksplorasi kekayaan alam. Dari laut atau hasil hutan misalnya.
b. al-aqd (العقد) atau transaksi seperti jual-beli, sewa.
c. al-tawallud min al-milk (التولد من الملك) seperti buah dari tanaman, anak dari hewan piaraan.
d. al-khilafah (الخلافة) atau meneruskan kepemilikan dari pemilik terdahulu dengan cara :
- ijbariyah (penerusan pasti) seperti harta warisan dari orang yang meninggal dunia
- ikhtiariyah (penerusan kepemilkikan karena pilihan) seperti wasiat, hibah, shodaqoh dll.
Menafikan salah satu rukun dan syarat di atas sudah pasti tidak dilakukan pembagian waris. Sedangkan tentang status istri, dapat dilihat melalui ketentuan apa yang menyebabkan putusnya penikahan. Salah satunya adalah sebab kematian. Dalam hal ini suami belum mati. Dalam kasus putusnya pertalian akad nikah sebab ditiggal mati, mantan istri terkena aturan beriddah selama empat bulan sepuluh hari. Dalam ketentuan iddah akibat perceraian, mantan suami dapat kembali kepada istrinya dengan akad yang lama bukan dengan akad baru selama masih berada dalam masa iddah. Demikian halnya iddah pada putusnya akad nikah sebab ditinggal mati ketentuan iddah tetap berlaku. Tetapi, adakah kemungkinan orang yang mati dapat bangkit dari kubur lagi setelah dikubur dalam tempo empat bulan sembilan hari, misalnya, untuk dapat kembali menghirup udara dunia yang tidak lagi bersih ini ?????
7. Tentang sholat Subuh
- jika mampu ketemu waktu sholat subuh pada waktu yang berbeda di tempat yang berbeda, apakah kudu sholat lagi ?

Perintah dalam sholat jelas, baik yang global dalam al-Qur'an maupun yang terrinci dalam al-sunnah. Mukallaf hanya wajib sholat lima waktu dalam satu hari satu malam ketika dia terpenuhi ahliyatul ada` dan ahliyatul wujubnya . Tidak ada sholat yang wajib selain sholat lima waktu. Artinya sholat sehari semalam hanya lima kali.
حَدَّثَنَا أَبُو عَاصِمٍ الضَّحَّاكُ بْنُ مَخْلَدٍ عَنْ زَكَرِيَّاءَ بْنِ إِسْحَاقَ عَنْ يَحْيَى بْنِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ صَيْفِيٍّ عَنْ أَبِي مَعْبَدٍ عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَعَثَ مُعَاذًا رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ إِلَى الْيَمَنِ فَقَالَ ادْعُهُمْ إِلَى شَهَادَةِ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَأَنِّي رَسُولُ اللَّهِ فَإِنْ هُمْ أَطَاعُوا لِذَلِكَ فَأَعْلِمْهُمْ أَنَّ اللَّهَ قَدْ افْتَرَضَ عَلَيْهِمْ خَمْسَ صَلَوَاتٍ فِي كُلِّ يَوْمٍ وَلَيْلَةٍ فَإِنْ هُمْ أَطَاعُوا لِذَلِكَ فَأَعْلِمْهُمْ أَنَّ اللَّهَ افْتَرَضَ عَلَيْهِمْ صَدَقَةً فِي أَمْوَالِهِمْ تُؤْخَذُ مِنْ أَغْنِيَائِهِمْ وَتُرَدُّ عَلَى فُقَرَائِهِمْ[3]
Di samping itu, sholat subuh merupakan fardhu 'ain. Fardhu yang tolok ukurnya adalah kewajiban menjadi gugur jika person yang terkena kewajiban telah melaksanakanya. Berbeda halnya dengan fardhu kifayah yang merupakan merupakan suatu hal yang wajib dilakukan dan tidak menjadi gugur atas dasar ukuran person yang telah melaksanakan kewajiban tetapi diukur pada perbuatan yang harus dikerjakan. Jika perbuatan telah dikerjakan oleh siapapun, maka kewajiban menjadi gugur. Sedang dalam fardhu 'ain, bukan pekerjaannya tetapi orangnya telah mengerjakan atau belum.
Dalam kaidah mengerjakan satu perintah, jelas di sana bahwa terdapat ketentuan إن الامر المطلق يقتضي التكرار. Dalam hal ini orang telah melaksanakan sholat subuh pada hari itu jika dia melaksanakan sholat subuh lagi, maka sholat itu adalah sholat yang keenam. Sementara jelas tersebut sholat wajib hanya lima kali.
Wa Allah A'lam wa Ahkam
rokhinsadja@gmail.com
[1] Muhammad Nawawi al-Jawi, Kashifatus Saja, (Surabaya : Toko Kiab al-Hidayah, t.th), hal. 28.
[2] Muhammad Maki Nasr, Nihayat al-Qawl al-Mufid fi 'Ilm al-Tajwid, (t.tp : Dar 'Ulum al-Islamiyyah, t.th), hal. 190.
[3] Al-Bukhari, Sahih al-Bukhari, no indeks 1308.

No comments:

Post a Comment