Thursday, January 08, 2009

SARJANA SYARI’AH MENJADI ADVOKAT

SARJANA SYARI’AH MENJADI ADVOKAT




Negara Republik Indonesia sebagai negara hukum berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, bertujuan mewujudkan tata kehidupan bangsa yang sejahtera, aman, tenteram, tertib, dan berkeadilan. Kekuasaan kehakiman yang bebas dari segala campur tangan dan pengaruh dari luar memerlukan profesi advokat yang bebas, mandiri, dan bertanggung jawab untuk terselenggaranya suatu peradilan yang jujur, adil, dan memiliki kepastian hukum bagi semua pencari keadilan dalam menegakkan hukum, kebenaran, keadilan, dan hak asasi manusia.
Penegakan hukum di Indonesia pelaksanaannya ada di tangan hakim, jaksa, polisi, advokat, dan petugas lapas. Hukum yang diberlakukan di Indonesia di samping hukum yang diadopsi dari Eropa dan hukum adat yang sedikit banyak menjadi lapangan sarjana hukum umum, juga diberlakukan hukum Islam yang menjadi lapangan studi sarjana syariah. Oleh karena itu, sarjana yang menguasai hukum Islam sekaligus hukum acaranya sudah seharusnya berperan dalam penegakan hukum di Indonesia, selain sebagai hakim, jaksa, polisi, dan petugas lapas harus ada yang berposisi sebagai advokat.
Sarjana syari’ah dan kesetaraannya dengan sarjana hukum dalam profesi advokat, di samping merupakan hasil puncak perjuangan para pejuang UU Advokat yang dengan berdarah-darah berusaha memasukkan sarjana syariah sekaligus organisasi advokat syariah ke dalam UU Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat, di sisi lain justru awal dari perjuangan kita civitas akademika perguruan tinggi Islam utamanya fakultas syariah. Perjuangan awal dimaksud bukan hanya di bidang profesi advokat, tapi juga merupakan perjuangan awal bagi kesetaraan untuk menjadi penegak hukum mengingat dalam peraturan perundang-undangan yang lain selain UU Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat masih ada perlakuan diskriminatif terhadap sarjana syari’ah. Sebagai contoh seorang sarjana hukum yang menguasai hukum Islam bisa menjadi hakim di lingkungan Peradilan Agama (Pasal 13 (g) UU No. 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama), sebaliknya seorang sarjana syari’ah yang menguasai hukum umum tidak bisa menjadi hakim di lingkungan Peradilan Umum. (Pasal 14 (f) UU Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum).
Kini, undang-undang Advokat sudah memberi kesempatan kepada sarjana syari’ah tanpa diskriminasi untuk menjadi advokat. Pertanyaan kita adalah mau dan mampukah sarjana syari’ah menjawab semua tantangan ini dan sekaligus memiliki competitive advantage (daya saing yang handal) terhadap sarjana lain yang berpendidikan tinggi hukum ? Untuk menjawab pertanyaan ini, maka perlu identifikasi beberapa peluang dan sekaligus tantangan yang dihadapi oleh sarjana syari’ah untuk memasuki wilayah profesi advokat. Dan ini menjadi tugas yang sangat tidak ringan.
Kesempatan menjadi pegawai negeri sipil selama sistem rekruitmen berjalan sebagaimana sistem yang selama ini santer didengar masyarakat umum, seorang sarjana yang bagus intelektualitasnya tanpa bekal lobi dan koneksi kuat relatif sulit mengabdikan ilmunya kepada negeri melalui jalur pegawai negeri sipil. Oleh karena itu, sekalipun sangat baik seorang sarjana menjadi pegawai negeri sipil, kenapa tidak seorang sarjana berteriak "sarjana tidak harus menjadi pegawai negeri sipil !!!"
Alumnus fakultas syariah memiliki kemampuan lebih dari pada alumnus fakultas hukum dalam penguasaan ilmu hukum dan ilmu agama. Kini, alumnus fakultas syariah setara posisi dan kesempatannya dengan alumnus fakultas hukum untuk meniti karir dalam profesi yang berkaitan dengan ilmu hukumnya selain sebagai hakim, polisi, dan jaksa yang harus didapat melalui jalur pegawai negara yaitu sebagai advokat.
Menjadi advokat, kata mereka yang telah menjadi advokat, lebih mudah diraih daripada bercita-cita menjadi pegawai negeri sipil. Menjadi advokat, asal mau dan berani pasti jadi. Pasti, kata mereka. Jalan yang harus ditempuh untuk menuju menjadi advokat disebutkan oleh Pasal 2 UU Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat :
(1) Yang dapat diangkat sebagai Advokat adalah sarjana yang berlatar belakang pendidikan tinggi hukum dan setelah mengikuti pendidikan khusus profesi Advokat yang dilaksanakan oleh Organisasi Advokat.
Dalam penjelasan dari Pasal 2 ayat (1) disebutkan :
Yang dimaksud dengan “berlatar belakang pendidikan tinggi hukum” adalah lulusan fakultas hukum, fakultas syariah, perguruan tinggi hukum militer, dan perguruan tinggi ilmu kepolisian.
Dua lulusan pendidikan tinggi hukum terakhir telah dihapus oleh mahkamah konstitusi dari undang-undang ini sehingga sarjana syariah setara dan hanya bersaing dengan sarjana hukum.
Pasal 3 ayat (1) UU Nomor 18 Tahun 2003 Tentang Advokat menyebutkan :
"Untuk dapat diangkat menjadi Advokat harus memenuhi persyaratan sebagai berikut :
a. warga negara Republik Indonesia;
b. bertempat tinggal di Indonesia;
c. tidak berstatus sebagai pegawai negeri atau pejabat negara;
d. berusia sekurang-kurangnya 25 (dua puluh lima) tahun;
e. berijazah sarjana yang berlatar belakang pendidikan tinggi hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1);
f. lulus ujian yang diadakan oleh Organisasi Advokat;
g. magang sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun terus menerus pada kantor Advokat;
h. tidak pernah dipidana karena melakukan tindak pidana kejahatan yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih;
i. berperilaku baik, jujur, bertanggung jawab, adil, dan mempunyai integritas yang tinggi.
Syarat ini relatif lebih mudah diraih dibandingkan dengan jika bercita-cita mengenakan seragam dinas korps pegawai negeri sipil pada departemen apapun di muka bumi Indonesia jika perekrutan PNS masih mengunakan tata cara seperti saat ini. Belum lagi berita tentang beberapa depatemen yang over load pegawai sehingga banyak pegawai yang menganggur, atau minimal, jam kerja yang ada tidak terfungsikan maksimal disebabkan pekerjaan sedikit dengan banyak pekerja.
Alumnus fakultas syariah hanya harus mengikuti ujian nasional advokat yang dilaksanakan oleh KAI atau Peradi dan jika lulus harus mengikuti PKPA (Pendidikan Khusus Profesi Advokat) sebelum resmi diambil sumpah oleh pengadilan tinggi sebagai seorang advokat. Selesai. Dan jadilah dia seorang advokat. Urusan mendapat klien atau tidak adalah urusan setelahnya.
Ujian nasional calon advokat oleh KAI atau Peradi kemungkinan besar dilaksanakan lebih dari satu kali dalam satu tahun oleh masing-masing organisasi menjadikan kesempatan lebih terbuka lebar.
Berdasar tukar informasi dan pengalaman dari arena workshop di Ponorogo yang telah lalu, mengikuti ujian nasional calon advokat yang dilaksanakan oleh KAI relatif lebih mudah mencapai passing grade yang ditetapkan dari pada mengikuti ujian nasional calon advokat yang dilaksanakan oleh PERADI. KAI mematok nilai 59 untuk lulus sedangkan PERADI memasang angka 70 untuk lulus. Di samping itu, latar belakang perpecahan organisasi induk advokat Indonesia menjadi dua itu barangkali turut menyumbangkan perannya atas jalan sarjana syariah menuju profesi advokat. Karena mungkin saja layak disegarkan dalam ingatan bahwa masih banyak pihak yang tidak legawa ketika ada kaum muslim tampil.
Dalam sejarahnya pengesahan UU Nomor 18 Tahun 2003 ini sangat tendensius dalam banyak sisi. Di antaranya adalah advokat tidak mengenal usia pensiun. Oleh karena itu sangat dimungkinkan para mantan hakim dan jaksa atau siapapun akan membidik profesi advokat pada masa pensiunnya. Artinya, tidak ada kata terlambat bagi sarjana syariah.
Berkaca kepada advokat senior yang telah lebih dahulu berkiprah, ternyata dapat dilihat ahwa mereka menguasai seluruh materi keadvokatannya dari belajar di bangku kuliah. Berjalannya waktu dan bertambahnya pengalaman yang menjadikan advokat semakin matang. Sebagai contoh pengacara kondang seperti Adnan Buyung Nasution, OC Kaligis, Juan Felix Tampubolon pasti belum pernah mendapatkan pelajaran cara menangani kasus korupsi di Indonesia sebelum disahkannya UU tentang tindak pidana korupsi. Begitu seterusnya.
Terakhir, hakim pengadilan agama sedikit banyak mengeluh ketika ruang sidang pengadilan agama terisi oleh advokat yang minim latar belakang ilmu syariahnya. Penguasaan hukum acara dan hukum materi tidak cukup untuk digunakan beracara di pengadilan agama. Oleh karena itu, ketika menjadi advokat sarjana syariah harus diusahakan tidak dibalas menjadi bahan keluhan hakim pengadilan umum, hakim pengadilan tata usaha negara, dan hakim pengadilan militer karena minimnya penguasaan terhadap hukum acara persidangan.
Bi'awnilllah azza wa jal walhamdulillahirabbil'alamin.
Selengkapnya...