Wednesday, July 23, 2008

kuliah nglurug

Selengkapnya...

E-COMMERCE

E-COMMERCE
(Perkembangan cara transaksi dalam tinjauan Kaidah Fiqh)


Pendahuluan
Era globalisasi yang ditandai dengan padatnya arus informasi telah menyebabkan semakin dekatnya hubungan antar bangsa di dunia. Hubungan internasional memberikan berbagai pengaruh terhadap negara-negara yang berinteraksi di dalam berbagai bidang kehidupan; ideologi, politik, budaya, ilmu pengetahuanb dan teknologi serta agama.
Perkembangan pesat bidang teknologi dan informasi mempengaruhi perkembanagn pola dan irama kehidupan umat manusia di seluruh belahan dunia. Kemajuan teknologi yang dalam satu sisi menimbulkan dampak negatif yang luar biasa hebatnya, ternyata juga memberikan akses kemudahan pada sisi yang lain. Satu hal yang sangat dominan dalam era informasi adalah teknologi komputer yang menelorkan komunikasi dunia virtual yang biasa disebut internet yang telah merambah pada hampir semua sektor kehidupan.
Dari internet ini lahir bermacam teknologi terapan lainnya. Dia antaranya adalah sistem perdagangan dengan media virtual yang dikenal dengan sebutan e-commerce. Dalam makalah ini akan dikupas analisa akad yang terjadi melalui internet dengan pendekatan kaidah fiqh.
Pengertian e-commerce
Berbicara tentang definisi yang harus memenuhi kaidah jami’ mani ada sedikit kendala ketika diterapkan ke dalam definisi apa itu e-commerce. Ringkasnya e-commerce dapat jelaskan dengan melakukan transaksi atau aktifitas perdagangan/jual-beli dengan menggunakan media elektronik (jaringan internet) atas barang dan jasa dengan sistem pembayaran elektronik pula. E-commerce menggambarkan cakupan yang sangat luas karena berhubungan dengan teknologi, proses transaksi dan praktek perdagangan tanpa tatap muka langsung antara penjual dan pembeli.
Perkembangan e-commerce selangkah di belakang perkembangan jaringan internet yang dimulai dari proyek Amerika Serikat ketika membuka penelitian jaringan komunikasi antara beberapa universitas dan lembaga penelitian pada tahun 1969 yang disebut Arpa Net. Dalam perkembangannya program ini diperluas dengan munculnya jaringan khusus militer yang dinamakan dengan Milnet dan Arpa Net sendiri digunakan untuk komunikasi internet non-militer.
Perkembangan internet yang demikian cepat memberikan pengaruh yang signifikan bagi kehidupan hingga kepada aspek transaksi jual-beli dan memunculkan istilah e-commerce itu. Perkembangan internet yang sangat cepat ini disebabkan apa yang ditawarkan oleh internet mampu menjawab keinginan tidak harus bertemu secara fisik antar satu orang dan lainnya ketika hendak memenuhi suatu keperluan.
Transaksi dalam E-commerce
Jika digambarkan, transaksi di internet hampir sama gammbarannya dengan transaksi jual-beli secara fisik pada pasar swalayan. Pada pasar swalayan pembeli dapat memilih dan mengambil sendiri kebutuhannya dengan meletakkannya pada kereta barang. Selama barang yang akan dibeli tersebut belum dibayar pada kasir, maka barang yang telah diletakkan pada kereta baranag dapat saja dibatalkan atau ditukarkan dengan barang lain.
Demikian halnya berbelanja dengan e-commerce. Untuk memilih barang yang akan dibeli ada kereta barang pada pasar swalayan yang diwakili dengan formulir pembelian (shopping card) yang harus diisi. Ketika item barang yang sudah dipilih dituliskan dalam shopping card, maka statusnya sama dengan memasukkan barang ke kereta barang di mana dapat dibatalkan atau ditukar dengan barang lainnya. Ketika shopping card telah terisi maka langkah selanjutnya adalah mengisikan data ke formulir transaksi berupa identitas pembeli dan nomor kartu kredit sebagai alat pembayaran. Setelah transaksi selesai dengan pembayaran lewat credit card maka pihak pihak pengelola akan mengirimkan barang melalui paket pos ke alamat yang ditunjuk oleh pembeli.
Alat pembayaran yang berlaku dalam transaksi e-commerce adalah virtual money atau uang maya dalam artian hanya melalui perpindahan nominal dana yang dibutuhklan dari pembeli kepada pihak pengelola bukan dengan menggunakan uang cash.
Contoh transaksi dan e-commerce
Secara umum transaksi dalam e-commerce dapat dilihat melalui skema


Find it adalah mode untuk pencarian barang. Selain find it bahasa yang biasa ditemukan adalah search atau browse. Explore it adalah keterangan atau spesifikasi barang yang ingin diinginkan, termasuk di dalamnya product review dari barang dimaksud. Select it merupakan kereta barang yang ada dalam transaksi e-commerce. Buy it merupakan proses transaksi pembayaran. Sedangkan ship it adalah proses yang terjadi setelah transaksi pembayaran disetujui oleh pihak pengelola dan pihak pengelola mengirimkan barang kepada alamat yang ditunjuk oleh pembeli.
Analisa transaksi melalui e-commerce
Transaksi yang terjadi dalam e-commerce dapat dianalisa melalui pengertian transaksi di mana ada dua pihak yang melakukan ijab kabul untuk satu keperluan tertentu. Transaksi dikatakan sah jika terpenuhi unsur pokoknya yaitu sighat, aqid, obyek dan tujuan transaksi termasuk tidak adanya hal-hal yang menghalangi sahnya transaksi.
Dalam akad transaksi dengan e-commerce dapat dilihat adanya empat syarat yang harus terpenuhi dalam akad yang sah, yaitu
syarat in’iqad; yaitu syarat yang harus ada untuk membentuk transaksi tersebut dianggap sah menurut syara’. Seperti kecakapan pihak-pihak yang melakukan transaksi, obyek transaksi dapat menerima hukum, transaksi tersebut membawa faedah dan lain-lain.
syarat sihhah; yaitu syarat yang ditetapkan untuk tercapainya pengaruh dari transaksi. Syarat sihhah dalam transaksi di antaranya adalah tidak adanya sifat juhalah (obyek transaksi tidak jelas), ikroh (paksaan), gharar (penipuan), dan d$arar (bahaya)
syarat nafadz; yaitu transaksi yang dilakukan berlaku sejak transaksi dilakukan dan disetujui oleh kedua belah pihak.
syarat luzum; yaitu berlakunya transaksi setelah lepas dari kaitan khiyar terhadap obyek transaksi. Ketika batas khiyar masih berlaku dan ternyata terjadi penggagalan transaksi maka transaksi yang sudah berlangsung dikatakan sebagai transaksi ghairu luzum (akad yang sah tetapi belum bisa berlangsung).
Dalam transaksi e-commerce tidak terjadi transaksi secara shafahiyah (antar ucapan lisan) melainkan dengan kitabah. Sementara dalam banyak hal disebutkan bahwa al-kitāb ka al-khiţāb (tulisan dapat diperlakukan sebagaimana pembicaraan). Kaidah ini termasuk penjabaran dari al-urf al-lafdzi dimana al-urf dipersamakan dengan al-adat yaitu suatu kebiasaan yang berlaku dan diterima masyarakat umum.
Kaidah al-kitāb ka al-khiţāb merupakan tindak lanjut dari perubahan keadaan dari tradisi lisan yang bergerak kepada tradisi tulisan. Dalam hal ini nabi Muhammad saw ketika diperintahkan menyampaikan risalah pada suatu saat menyampaikan dengan lisan dan pada saat lain dengan tulisan. Begitu pun al-Qur`an yang sampai kepada kita, di samping dengan bacaan lisan yang mutawatirah juga ada dalam bentuk tulisan.
Penggunaan tulisan sebagai pengganti ucapan dapat dianggap sah jika memenuhi syarat bahwa :
tulisan yang ditulis harus jelas
apa yang ditulis memberikan pengertian yang jelas sehingga dapat dipahami oleh kedua belah pihak.
Syarat kejelasan tulisan dan makna yang dikandung tulisan dapat juga melalui bantuan pihak lain di luar transaksi sebagai penjelas tulisan dimaksud tidak terpaku pada dua pihak melakukan transaksi saja.
Dalam fiqh klasik tidak diketemukan penjelasan mengenai transaksi melalui media on-line semacam e-commerce. Tetapi transaksi e-commerce dapat dipersamakan dengan akad salam dengan melihat bahwa barang yang ditransaksikan belum ada (‘adam al-mādat) ketika transaksi terjadi. Salam merupakan praktek jual beli yang dilakukan dengan tanpa wujud barang yang diperjual belikan. Praktek pembelian semacam ini pada dasarnya adalah haram karena menjual barang yang belum ada wujudnya. Akan tetapi, pengecualian dari syari’ dalam praktek jual beli dengan sistem salam menjadikan salam sebagai jual beli yang sah meskipun barang yang dijual belum terwujud ketika terjadi transaksi. Sabda Nabi saw
حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ مُحَمَّدٍ النُّفَيْلِيُّ حَدَّثَنَا سُفْيَانُ عَنْ ابْنِ أَبِي نَجِيحٍ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ كَثِيرٍ عَنْ أَبِي الْمِنْهَالِ عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ قَدِمَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْمَدِينَةَ وَهُمْ يُسْلِفُونَ فِي التَّمْرِ السَّنَةَ وَالسَّنَتَيْنِ وَالثَّلَاثَةَ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ أَسْلَفَ فِي تَمْرٍ فَلْيُسْلِفْ فِي كَيْلٍ مَعْلُومٍ وَوَزْنٍ مَعْلُومٍ إِلَى أَجَلٍ مَعْلُومٍ
Istilah salam mempunyai dua nama populer di mana yang disebut pertama lebih banyak digunakan dari pada yang disebut terakhir, yaitu salam dan salaf. Terma salam digunakan oleh komunitas masyarakat Madinah sedangkan salaf dipakai oleh penduduk Iraq. Dinamakan salam karena melihat penyerahan uang pembelian barang secara tunai ketika terjadi akad sementara barangnya belum tersedia. Dan disebut salaf berdasarkan lebih akhirnya penyerahan barang daripada pembayaran.
Syarat-syarat transaksi dinamakan salam adalah:
pembayaran diserahkan pada majlis akad.
barang yang dipesan belum ada ketika transaksi dilakukan.
barang yang dipesan dapat diserahkan
Dalam akad salam calon pembeli menentukan barang yang akan dibeli dengan menyebutkan spesifikasinya kepada penyedia barang. Ketika akad terjadi barang yang diinginkan belum ada di hadapan kedua belah pihak yang bertransaksi namun pihak penjual mampu menyediakan apa yang dipesan oleh calon pembeli berdasarkan sifat-sifat yang telah disebutkan dan calon pembeli menyerahkan pembayaran lebih dahulu. Kemudian barang akan diserahkan kepada pembeli pada waktu yang telah disepakati.
Mempersamakan transaksi e-commerce dengan salam tidak sepenuhnya dapat dilakukan. Dalam hal ini yang sama hanyalah ketiadaan barang semata, belum kepada sistem pembayarannya. Perbedaan mencolok mengenai sistem pembayarannya dalam salam dan e-commerce adalah pemabayaran pada yang disebut pertama dilakukan dalam serah terima oleh kedua pihak yang bertransaksi. Sedang yang disebut terakhir pembayaran terjadi dengan perantaraan wakil. Aplikasi wakil dalam pembayaran ini mengambil peran pihak bank sebagai penyedia jasa inkaso atau transfer uang.
Penggunaan wakil dalam pembayaran dalam transaski e-commerce dianggap sah karena telah memenuhi:
ada sesuatu yang diwakilkan
sesuatu yang diwakilkan mungkin untuk diwakilkan
ada pihak yang mewakili
akad perwakilan.
Dalam hal ini pihak wakil dan yang diwakili serta sesuatu yang diwakilkan juga harus memenuhi syarat sahnya perwakilan.
Penutup
Perkembangan teknologi banyak mempengaruhi perkembangan fatwa hukum yang mendesak untuk dikeluarkan. Akan tetapi, pada banyak sisi, dengan kaidah-kaidah hukum yang telah dirangkum oleh para ulama terdahulu dengan melihat pada kesamaan illat hukum dapat diketemukan jawaban hukum yang cepat dan tepat untuk status hukum yang belum pernah difatwakan pada masa lampau.
Demikian sekilas tentang e-commerce dalam tinjauan kaidah fiqh. Wallah a’lam.
Selengkapnya...

ISLAM DAN PERUBAHAN SOSIAL

ISLAM DAN PERUBAHAN SOSIAL


A. Iftitah.
Yang tergambar pertama kali ketika bertemu dengan sebutan perubahan adalah pasti ada sesuatu yang berbeda dari sebelumnya. Upaya mempertahankan yang lama yang telah usang dan tidak sesuai serupa dengan upaya merekatkan kembali daun-daun yang telah rapuh agar bertahan pada dahannya, atau mengecat kembali daun-daun yang telah menguning dengan warna hijau agar terlihat segar menghijau kembali. Padahal tidak demikian hakikatnya. Semestinya daun yang telah tua dibiarkan rontok agar muncul daun baru yang lebih segar dan menarik. Dengan demikian pohon tetap tumbuh subur, akarnya menghunjam ke tanah dan pucuknya menghasilkan buah tanpa terlepas dari akarnya.
Agar tidak terlepas dari akarnya, manusia sebagai aktor perubahan semestinya tidak melepaskan diri dari bimbingan agama. Agama tidak pernah berubah, yang bisa berubah adalah pemikiran manusia tentang ajaran agama. Pemikiran yang berubah inilah yang memengaruhi perkembangan sejarah manusia dan kemasyarakatan. Dan pilihan untuk perubahan itu diberikan kepada kita, manusia (QS al-Ra’d : 13). Perubahan bisa dibiarkan dinamikanya berkembang sendiri atau diberikan landasan tertentu. Jika dibiarkan dinamika berjalan tanpa dasar, maka akan ada perputaran tanpa bisa kembali. Arus deras perubahan tidak mungkin terelakkan yang melaju tanpa dapat dibendung. Dan dia hanya meninggalkan dua pilihan. Pertama, mandek hingga tergilas olehnya dan mati. Atau kedua, maju bersamanya tanpa melepaskan pelampung yang melindunginya.
Bagaimana Islam menyikapi adanya perubahan dalam hidup dan kehidupan masyarakat? Dapatkah Islam mengawal perubahan yang sedemikian drastis?
B. ISLAM DAN PERUBAHAN SOSIAL
Zaman kita ditandai oleh banyak hal yang antara lain adalah lahirnya aneka perubahan yang menjungkirbalikkan sekian banyak pandangan lama. Kita tentu tidak dapat mengelak dari perubahan, tetapi tidak semua perubahan bersifat positif. Karena itu kita ditantang memilih dan memilah melalui kajian ulang. Islam memandang proses perubahan bukan sebagai hal yang aneh, baru atau luar biasa. Jauh sebelum proses itu ada, Islam sudah diperlengkapi dengan piranti ajaran yang universal sekaligus global, dan eternal, ajaran yang rahmatan lil alalmin. Ajaran Islam bukan ajaran yang anti perubahan. Pedoman pokok ajaran Islam dalam al-Qur`an dan hadis Nabi selalu sesuai untuk semua situasi dan tempat. Ajaran Islam sangat menghargai perubahan, termasuk di dalamnya perubahan karena adanya perbedaan geografis, ekonomi, politis dan sebagainya.
Posisi geografis Indonesia yang berbeda dengan wilayah negara lain, tentu saja, berpengaruh kepada model perubahan di wilayah ini. Kondisi wilayah dengan dua musim dan keadaan alam yang relatif stabil pola hidup bahkan perubahannya jelas berbeda dengan wilayah-wilayah yang ekstrim wilayah kutub, utara-selatan, atau wilayah tandus di benua Afrika misalnya. Begitu pun sistem politk dan ideologi yang dianut tidak kurang memberikan kontribusi yang sangat besar terhadap adanya perubahan. Dalam hal ini syariat Islam bukan tidak dapat diterapkan di tempat-tempat ekstrim ini, karena yang kita tahu bahwa syariat Islam pertama kali muncul di semenanjung Arabia dengan kondisi wilayah yang stabil sehingga berkesan bahwa syariat Islam hanya memberikan pedoman dan hukum untuk wilayah yang normal. Bukan demikian, namun ajaran Islam sanggup mengakomodasi kondisi ekstrim yang ada di mana pun dan kapan pun. Hanya saja kita yang, sedikit-banyak, belum mampu menggali bagaimana ajaran Islam yang sebenarnya karena, sekali lagi, kita tinggal di wilayah yang stabil sebagaimana syariat Islam pertama kali muncul di negara Arab.
Contoh sederhana tentang bagaimana Islam mengakomodasi perubahan dan perbedaan dapat dikemukakan adalah megenai Syariat shalat dan puasa. Syariat “dirikanlah shalat karena adanya pergeseran posisi matahari” dijadikan patokan untuk menandai watu shalat di daerah tropis. Bagaimana di daerah yang bertemu matahari hanya enam bulan sekali seperti di Queensland atau di Rusia yang pada suatu saat dapat melihat matahari dalam waktu 21 jam. Bagaimana syariat shalat di wilayah ini? Syariat shalat dan puasa bukan tidak berlaku, bukan. Pengetahuan tentang ilmu Bumi atau ilmu Geografi dapat menjelaskan di mana posisi lintang dan posisi bujur suatu wilayah. Wilayah dengan posisi lintang yang sama mempunyai waktu yang sama. Sehingga sangat mungkin di penduduk di Irlandia melaksanakan shalat Subuh ketika matahari berada di atas ubun-ubun karena wilayah dengan garis lintang yang sama di daerah tropis menunjukkan waktu shalat Subuh. Demikian seterusnya.
Untuk ajaran-ajaran yang bersifat prinsip dan tidak berubah , al-Qur`an memberikannya dengan gamblang dan tegas. Sedang mengenai persolan yang berkembang dan berubah dari masa ke masa, al-Qur`an hanya memberikan tuntunan umum, berupa prinsip dasar yang dapat dijabarkan umat sepanjang masa sesaui dengan kebutuhan, serta kondisi sosial dan perkembangan masyarakat yang ada. Kita dapat simpulkan bahwa prisnip dasar ajaran Islam adalah pada keyakinan Tauhid, keyakinan adanya prinsip kesatuan. Dari sini lahir prinsip-prinsip bukan saja bidang sosial atau ekonomi semata, namun juga menyangkut segala aspek kehidupan dunia dan akhirat.
Prinsip kesatuan kemanusiaan dalam masalah ekonomi, misalnya, mengantar pengusaha Muslim menghindari eksploitasi terhadap sesama manusia, termasuk kepada non-Muslim. Dari sini dapat dimengerti mengapa Islam mengharamkan riba. Prinsip kesatuan kesinambungan antar generasi mendorong umat untuk berpikir dan mempertimbangkan kepentingan seluruh umat manusia, bukan hanya untuk generasinya namun juga untuk generasi mendatang. Begitu pun dalam sendi kehidupan yang lain, sampai kepada keyakinan kesatuan dunia dan akhirat, mengantar seseorang untuk memilki visi yang jauh ke depan. Tidak hanya berupaya mengejar keuntungan duniawai saja. Dari semua itu dapat melahirkan keyakinan bahwa segala sesuatu bersumber dari Allah dan berkesudahan kepadaNya. Dan karena alllah Maha Adil dan selalu memerhatikan kemaslahatn umat manusia, maka semua ketetapan hukumNya atau produk pemikiran manusia yang dikaitkan dengan namaNya, tentu hgarus bercirikan keadilan dan kemaslahatan.
Dengan prinsip Tauhid ini, proses transformasi sosial budaya, di mana bumi (dunia) dipandang sebagai satu kesatuan sistem yang utuh akibat padatnya arus informasi yang menyebabkan semakin dekatnya hubungan antar bangsa bahkan antar kejadian, dapat disikapi dan diikuti dengan arif dan agama dengan bimbingan Tauhidnya akan memandu manusia menjadi khalifah di muka bumi. Khalifah dalam arti umat yang bergenerasi, satu generasi yang melahirkan generasi berikutnya untuk menjaga amanat memanfaatkan bumi untuk manfaat sebesar-besarnya yang sesuai dengan ajaran Islam.
Harus diakui bahwa tidak mudah menggabungkan antara yang lama dan yang baru. Tidak mudah pula mempertemukan nilai-nilai lama dengan kemajuan kontemporer. Seperti dikatakan oleh Zaki Najib Mahmud, seorang ulama dan filosof dari Mesir, salah satu sebabnya adalah bahwa kemajuan kontemporer bukan produk kita (kaum Muslim), tetapi produk orang lain yang yang masuk ke rumah kita, atau kita persilahkan masuk dan kita menemuinya sebagai raksasa. Kita bingung apa yang harus dilakukan dengan isi rumah kita. Apakah isi rumah kita buang agar sang raksasa dapat masuk, ataukan kita mengatur kebali perabot rumah sehingga sang tamu dapat masuk dan dapat tinggal dengan nyaman serta di saat yang sama tidak ada perabot rumah yang penting yang kita buang.
Agama dalam pengertiannya sebagai wahyu Tuhan tidak akan berubah, tetapi pemikiran manusia tentang ajarannya, terutama dalam hubungan dengan penerapannya di dalam dan di tengah-tengah masyarakat, mungkin berubah. Artinya, perubahan yang dimaksud adalah bukanlah perubahan secara tekstual tetapi perubahan secara kontekstual. Dalam kaitan ini, Fazlur Rahman seorang ilmuwan Pakistan yang kini tinggal di Amerika, menyatakan bahwa suatu penafsiran yang telah diterima tidak harus diterima terus; selalu ada ruang maupun kebutuhan bagi penafsiran-penafsiran baru, karena hal ini sebenarnya adalah proses yang terus berlanjut.
Dalam meyikapi dan mengawal perubahan, sebagaimana dikemukakan, ajaran Islam selalu sanggup menghadapinya. Namun yang perlu diingat tidak semua ajaran Islam dapat dirasionalisasikan. Tayamum sebagai pengganti wudlu. Kalau misalnya kenapa tayamum dengan tanah debu yang dijadikan pengganti wudlu untuk memudahkan, maka kenapa untuk lebih memudahkan syariat wudlu ditiadakan saja dalam kondisi darurat? Ini ghairu ma’qulil ma’na. Atau seperti kata sayyidina Ali :
لو كان الدينُ بالعقل لكان أسفلُ الخُفِّ أولى بالمسح مِن أعلاه, لقد رأيتُ رسولَ الله صلى الله عليه وسلّم يمسح ُخفَّه
“Seandainya agama itu berdasar pertimbangan akal, maka pastilah bagian bawah sepatu lebih pantas diusap dari pada bagian atasnya. (Tetapi) aku melihat Rasulullah saw mengusap (bagian atas) sepatunya”
Penting dikemukakan juga, bahwa upaya rasionalisasi dan reaktualisasi ajaran nabi Muhammad saw di sini adalah dengan selalu memegang nilai-nilai moral al-Qur'an dan ditafsirkan secara kontekstual. Namun bukan berarti meninggalkan begitu saja warisan-warisan ulama terdahulu. Suatu kekeliruan besar dari cendekiawan kontemporer bila mereka meniru secara utuh dan rinci semua pendapat para ilmuwan terdahulu. Ini dapat dinilai sebagai mengingkari amanat ilmiah yang ditinggalkan mereka terdahulu untuk kita pelihara. Memelihara amanah itu adalah memelihara dasar-dasar ilmiah dan metode yang mereka gunakan untuk memandang permasalahan, dan menggunakannya untuk melihat persoalan masa kini. Metodologi dari generasi terdahulu tidak boleh diabaikan walau boleh disempurnakan atau direvisi.
C. Penutup
Kembali kepada al-Qur`an dan al-Sunnah, itulah semboyan yang sering kita dengar walaupun dalam pemahaman dan penerapannya tidak jarang kita saling berbeda atau bahkan berkelahi. Daun yang berguguran mempunyai sisi keindahannya sendiri. Begitu pun putik-putik bunga yang mekar tidak kalah indahnya. Satu yang pasti adalah adanya perubahan dan perubahan tidak mengenal siapa yang di hadapannya. Melawan dan menentang arus untuk kemudian mati tergerus atau maju bersamanya tanpa meninggalkan prinsip ajaran. Demikian sekilas pandang mengenai Islam dan perubahan sosial. Wallahu a’lam.
Selengkapnya...

TAFSIR AL -QUR’AN DAN PARADIGMA SOSIAL

TAFSIR AL -QUR’AN DAN PARADIGMA SOSIAL


Pengertian tafsir al-Qur`an.
Dalam ilmu Tafsir dan Ulum al-Qur’an, tafsir Al-Qur`an diartikan sebagai berikut, di antaranya :
al-Zarkashi dalam kitabnya, al-Burhan fi’ Ulum al-Qur`an menjelaskan bahwa tafsir adalah ilmu yang digunakan untuk mengetahui tentang cara-cara memahami kitab Allah yang diturunkan kepada Nabi-Nya, Muhammad saw, menerangkan makna-maknanya, dan menggali hukum-hukum dan hikmah-hikmahnya.
Sulaiman al-Jamal dalam kitabnya, al-Futuhat al-Ilahiyat menjelaskan bahwa tafsir ialah ilmu yang membahas tentang keadaan al-Qur'an al-Majid dari segi petunjuknya sebagaimana yang dikehendaki Allah menurut ukuran kemampuan manusia”.
Kedua pengertian tafsir tersebut sudah memberikan wawasan bahwa objek yang dikaji dalam tafsir adalah al-Qur`an yang diturunkan kepada Nabi Muhammad dari segi dalalah (petunjuk lafal) terhadap makna-makna yang terkandung di dalamnya menurut kemampuan manusia (mufassir). Dalam hal ini, tidak semua manusia berhak melakukan penafsiran tetapi hanya manusia yang mempunyai persyaratan tertentu, yaitu (a) berpengetahuan tentang bahasa Arab dalam berbagai bidangnya, (b) berpengetahuan tentang ilmu-ilmu al-Qur`an, sejarah turunnya, hadis dan Usul al-Fiqh, (c) berpengetahuan tentang disiplin ilmu yang menjadi materi bahasan ayat, dan (d) berpengetahuan tentang prinsip-prinsip pokok keagamaan. Artinya, jika persyaratan tersebut tidak terpenuhi maka tidak dibenarkan menafsirkan al-Qur`an.
Dalam pengertian tafsir tersebut terdapat kata dalalah (petunjuk lafal atas makna), yang berarti dalam menafsirkan al-Qur`an harus memahami dalalat al-alfaz yang dalam paradigma jumhur ulama’ (Shafi’iyah) dikenal dengan dalalat al-mantuq dan dalalat al-mafhum. Sedangkan dalam paradigma Hanafiyah dikenal dengan dalalat al-‘ibarat, dalalat al-isharat, dalalat al-iqtida dan dalalat al-dalalat (dalalat al-nas). Dengan demikian pendekatan fenomologi sangat dibutuhkan dalam memahami al-Qur`an. Artinya, toeri verstehen Weber dan teori meaning full Schultz, termasuk fenomologi Husserl dan konstruksi sosial Peter L. Berger dapat diterapkan dalam menafsirkan al-Qur`an sebagai pendekatan paradigma sosial. Hal ini karena dalam menafsirkan al-Qur`an tidak hanya terfokus pada makna lahir lafal al-Qur`an tetapi juga makna yang tersembunyi.
Paradigma penafsiran al-Qur`an
Al-Qur`an sering menyebutkan kalimat tanya tetapi maksudnya tidak untuk dijawab seperti أفلا تعقلون, أفلا تتفكرون, أفلا تتدبرون. kalimat tersebut menunjukkkan bahwa al-Qur`an diturunkan untuk setiap manusia dan masyarakat kapan dan di manapun. Artinya, mereka yang hidup sekarang dan yang akan datang dituntut untuk memahami al-Qur`an sebagaimana tuntutan yang diajukan kepada masyarakat yang menyaksikan turunnya Al-Qur`an. Dari sini seseorang tidak dihalangi untuk merenungi memahami dan menafsirkan al-Qur`an karena hal ini merupakan perintah al-Qur`an itu sendiri. Selama penafsiran al-Qur`an tersebut dilakukan secara sadar dan bertanggung jawab sesuai dengan persyaratan mufassir.
Dalam melakukan penafsiran al-Qur`an terdapat beberapa paradigma yaitu legalistis leteralis dan tekstualis atau skriptualis, kontektualis, modernis atau demitologis dan egoistis. Artinya, dalam konteks penafsiran al-Qur’an, pemakaian paradigama tertentu akan akan menghasilkan sikap tertentu terhadap al-Qur`an.
Paradigma literalistis
Kaum literalis berpendapat bahwa al-Qur`an merupakan kitab suci yang berasal dari wahyu Allah baik redaksi (lafal) maupun subtansinya. Karena itu, mustahil ada kesalahan atau kekurangan. Walaupun al-Qur`an dari Tuhan tetapi bahasa al-Qur`an merupakan bahasa manusia di mana ia turunkan. Oleh karena itu, bahasa al-Qur`an adalah bahasa yang terang dan mudah dipahami, bukan puisi gelap atau misterius. Huruf-huruf dan kata-kata (kalimat) dalam al-Qur`an bersifat suci dan merupakan hakikat dari wahyu itu sendiri. Pesan atau kehendak Tuhan melekat dalam huruf atau kata itu sendiri. Karena itu, untuk mengetahui kehendak Tuhan harus mengetahui huruf-huruf yang tertulis. Dalam hal ini, hanya penafsiran yang paling benar. Artinya, mereka beranggapan bahwa semua kata, kalimat, ayat, surat dan seluruh al-Qur`an dibaca dan dimengerti sebagaimana tertulis dengan arti apa adanya.
Kaum literalistis kurang memperhatikan bentuk-bentuk sastra, konteks bagian-bagian dalam keseluruhan, struktur teks, konteks sosiologis atau situasi historis, baik sewaktu teks diturunkan maupun konteks kekinian dan kedisinian, kesempatan dan maksud teks (maqasid al-tashri’), kondisi subyektif penulis teks seperti pergumulan hidupnya, kejiwaan dan pengalaman sewaktu menulis.
Dalam memahami huruf atau ayat per ayat dalam al-Qur`an timbullah bentuk-bentuk penafsiran literalistis sebagai berikut :
huruf atau ayat al-Qur`an ditafsiri dengan huruf atau ayat al-Qur`an lainnya.
Al-Qur`an sebagai petunjuk bagi manusia (hudan) dan lampu penerang (sirajan muniran), mustahil jika al-Qur`an menimbulkan kebingunan akibat bahasanya yang misterius. Dengan demikian, tidak perlu tafsir karena sudah jelas, bahkan jika ditafsirkan justru akan membuat yang terang menjadi gelap.
Penafsiran model ini sebenarnya menafsirkan antara satu ayat dengan ayat yang lainnya,baik dalam rangka melengkapi, menjelaskan dengan yang lainnya, mengkhususkan pengertian satu dengan yang lainnya maupun menghapuskan satu dengan yang lainnya. Model ini dalam istilah lain dikenal dengan tafsir al-mujmal, takhsis al-am, taqyid al-mutlaq, dan al-naskh. Dalam model ini, mufassir yang hendak menafsirkan ayat al-Qur`an terlebih dahulu melihat al-Qur`an, mengumpulkan ayat-ayat yang bersama-sama membahas satu topik dan merujuk silangkan (cross referencing) satu ayat kepada lainnya untuk mendapatkan keterangan mengenai sesuatu yang hanya disebutkan secara ringkas dengan bantuan berbagai ayat tersebut.
Al-Qur`an dengan Nabi (Sunnah atau Hadis), karena Nabilah yang paling mengetahui makna-makna huruf atau ayat per ayat sebagaimana dikehendaki Tuhan.
Model ini menempatkan Nabi Muhammad saw sebagai mufassir baik berfungsi sebagai penguat (ta’kid) al-Qur`an, pentakhsis lafal-lafal yang masih umum dalam al-Qur`an, pembatas atau penentu lafal mutlaq al-Qur`an maupun sebagai naskh al-Qur`an. Untuk fungsi nasakh ini masih diperdebatkan para ulama. Dalam hal ini, posisi Muhammad sebagai nabi dan rasul tentunya beliau merupakan tumpuan segala permasalahan dalam kehidupan keagamaan masyarakat. Karena itu nabi bukan saja menjadi penjelas, tetapi juga sumber otoritas agama yang kedua setelah Allah swt.
Al-Qur`an dengan perkataan sahabat dan tabi’in walaupun sebagian mufassir masih mempermasahkan menafsirkan ayat dengan perkataan tabi’in.
Para sahabat tidak hanya sekedar sebagai orang yang intens bergaul dengan nabi Muhammad dan berjuang bersama beliau, melainkan juga sebagai mujtahid yang memiliki kapasitas intelektual dan moral yang diragukan. Karena itu, sejalan dengan kompleksnya permasalahan dalam umat Islam para sahabat berperan penting dalam memberikan konfirmasi bahka elaborsi ajaran atau nuansa keberagaman itu sendiri. Begitu juga kedudukan para tabi’in sangat penting dalam kondifikasi tafsir al-Qur`an karena tafsir dibukukan pada masa tabi’in. Bahkan, para ulama sekarang pun memiliki peranan penting dalam menafsirkan al-Qur`an karena al-Qur`an bukan dokumen sejarah yang mati melainkan sebuah fenomena yang hidup yang senantiasa berdialog dengan zaman.
Al-Qur`an dengan tradisi, yaitu tradisi masyarakat baik sebelum atau sesudah Islam, karena pada dasarnya bahasa merupakan simbol dari tradisi atau budaya setempat,
Al-Qur`andengan ahli bahasa Arab
Tafsir kaum literalistis ini dikenal dengan sebutan tafsir bi al-ma`thur, tafsir bi al-manqul atau tafsir bi al-riwayat.
Paradigma demitologis
Demitologis bermakna membersihkan kitab suci dari unsur cerita dan dongeng serta nilai-nilai mistisnya yang terdapat dalam teks atau peristiwa yang menyertai teks dalam rangka menemukan pesan aslinya. Dalam hal ini kaum demitologis lebih menekankan isi pesan daripada struktur bahasa atau media yang dipergunakan dalam kitab suci. Bahasa atau teks hanya sebagai simbol, tanda, isyarat, ayat (sign) yang membawa pesan tertentu sebagaimana dikehendaki. Bahasa Arab bukan satu-satunya bahasa Tuhan juga bukan bahasa surga, ia hanya sekedar alat atau media yang secara kebetulan al-Qur`an diturunkan pada nabi dan lingkungan sosial yang berbahasa Arab. Al-Qur`an yang hakiki berada di lawh al-mahfuz, berbeda dengan teksnya itu sendiri. Beragama yang benar adalah beragama yang mampu menangkap pesan atau ide moralnya, bukan terjebak dalam simbolisme. Hal ini dapat dilakukan jika mitos-mitos seputar kitab suci dihilangkan agar tidak menjadi penghalang dalam upaya menangkap makna hakikinya.
Sesudah pesan atau ide moral “asli” atau “hakiki” dari al-Qur`an ditemukan, pesan itu kemudian diungkapkan dalam bahasa yang dapat di pahani dalam semangat zaman. Kemudian muncullah tafsir kontekstual, tafsir maqasid al-shar’i, tafsir bi al-ilmi, tafsir al-mawdu’i. Tafsir Demitologis ini dikenal dengan istilah tafsir bi al ra’y. Istilah ini sebenarnya kurang tepat karena dalam kenyataannya tafsir bi al-mathur juga bi al-ra’y sebab yang namanya tafsir adalah upaya untuk menerangkan atau menjelaskan agar dipahami. Sedangkan aktivitas menerangkan atau memahami itu merupakan aktifitas intelektual, bagaimanapun caranya.
Paradigma legalistis
Kaum legalistis memandang hidup beragama sebagai melaksanakan hukum Allah itu tercapailah kebahagiaan dunia dan akhirat. Dalam hal ini al-Qur`an terutama dan pertama-tama dipahami berisi hukum agama. Sedangkan isi lainnya dipandang bersifat melengkapi hukum agama tersebut. Sementara itu kesalehan diukur dengan ketaatan melaksanakan hukum agama. Dalam konteks metode tafsir ini, muncullah tafsir al-ahkam baik dalam bidang ibadah maupun mu’amalah.
Paradigma Egoistis
Jika tiga kelompok sebelumnya menafsirkan al-Qur`an bertitik tolak dari al-Qur`an itu sendiri, maka kaum egoistis menafsrikan al-Qur`an tidak harus berdasarkan iman terhadap Tuhan atau kebenaran al-Qur`an sebagai doktrin atau norma suci. Mereka memahami kitab suci tidak lebih dari dokumen sejarah atau buku-buku lainnya karangan manusia yang bisa benar dan bisa salah. Akan tetapi mereka menyadari bahwa eksistensi al-Qur`an memiliki pengaruh besar dan diterima sebagai sumber kewibawaan dalam ajaran dan moral.
Kaum egoistis ini menafsirkan al-Qur`an untuk kepentingan si penafsir atau kelompoknya. Misalnya untuk mendukung pendapatnya sendiri, untuk mendapatkan popularitas, untuk membenarkan tindakannya membenakan mazhab, partai politik atau untuk menjatuhkan atau mencari kelemahan al-Qur`an itu sendiri. Dalam kampanye politik, sering seorang politisi membawa-bawa ayat al-Qur`an untuk dijadikan pembenar atau komoditas dagangan politiknya walaupun penafsirannya jauh menyimpang. Al-Qur`an dan Tuhan diperalat demi tujuan tertentu. Dalam hal ini tafsir-tafsir sektarian dan tafsir-tafsir non-muslim (orientalis dan islamis) dapat dikategorikan dalam tafsir kaum egoistis. Metode tafsir kaum egoistis ini sangat bervariasi dan bisa jadi sebagaimana yang digunakan tiga kelompok sebelumnya.
Pendekatan penafsiran Al-Qur`an
Tujuan tafsir al-Qur`an adalah menjelaskan, menerangkan, menyingkap kandungan kitab suci serta pesan yang terkandung di dalamnya, baik hukum, moral, spiritual, perintah maupun larangan sehingga dapat dipahami, dihayati dan diamalkan. Oleh karena itu, dalam rangka menjelaaskan isi kitab suci, tafsir menggunakan beberapa pendekatan sesuai dengan disiplin ilmu.
Pendekatan sastra dan bahasa, timbul akibat banyaknya orang non-Arab yang memeluk agama Islam serta akibat kelemahan-kelemahan orang Arab itu sendiri di bidang sastra sehingga dirasakan kebutuhan untuk menjelaskan kepada mereka tentang keistimewaan dan arti kedalaman arti kandungan al-Qur`an di bidang ini.
Pendekatan filosofis dan teologi, akibat penerjemahan kiab filsafat yang mempengaruhi sementara pihak serta akibat masuknya penganut agama-agama lain kepada Islam yang dengan sadar atau tidak sadar masih mempercayai beberapa hal dari kepercayaan lama mereka. Kesemuanya menimbulkan pendapat setuju atau tidak setuju yang tercermin dalam penafsiran mereka.
Pendekatan ilmiah, akibat kemajuan ilmu pengetahuan dan usaha penafsir untuk memahami ayat-ayat al-Qur`an sejalan dengan perkembangan ilmu.
Pendekatan Fiqh atau hukum, akibat berkembangnya ilmu Fiqh dan terbentuknya mazhab-mazhab Fiqh di mana setiap golongan berusaha membuktikan kebenaran pendapatnya berdasarkan penafsiran-penafsiran mereka terhadap ayat-ayat hukum.
Pendekatan tasawuf, akibat timbulnya gerakan-gerakan sufi terhadp reaksi dari kecenderungan berbagai pihak terhadap materi atau sebagai kompensasi terhadap kelemahan yang dirasakan.
Pendekatan sosiologis dan kultural, pendekatan yang menjelaskan petujuk-petunjuk ayat-ayat Al-Qur`an yang berkaitan langsung dengan kehidupan masyarakat serta usaha-usaha untuk menanggulangi penyakit-penyakit atau masalah-masalah mereka berdasarkan petunjuk-petunjuk ayat dengan mengemukakan petunjuk-petunjuk tersebut dalam bahasa yang mudah dimengerti.
Melalui pendekatan-pendekatan tafsir tersebut dapat dipahami bahwa ayat yang sama jika ditafsiri dengan pendekatan yang berbeda, maka akan menghasilkan isi pesan yang berbeda pula.
Adapun metode penafsiran al-Qur`an yang berkembang dalam tradisi intelektual Islam dan cukup populer sebagai berikut:
Tafsir tahlili, yaitu metode penafsiran al-Qur`an dengan cara menguraikan secara detail kata demi kata, ayat demi ayat dan surat demi surat yang ada dalam al-Qur`an dari awal hingga akhir. Metode ini memadukan antara tafsir bi al-mathur dan tafsir bi al-ra’yu.
Tafsir ijmali, yaitu metode penafsiran al-Qur`an dengan cara menafsirkan ayat-ayat dalam kitab suci dengan cara menunjukkan kandungan makna kitab suci secara global dan penjelesannya pun biasanya secara global pula.
Tafsir muqaran, yaitu metode penafsiran al-Qur`an dengan cara membandingkan ayat al-Qur`an dengan ayat lainnya yang memiliki kemiripan redaksi, baik dalam kasus yang sama maupun berbeda. Metode ini juga dapat berarti membandingkan ayat al-Qur`an dengan hadis, hadis dengan hadis atau pendapat para ulama tafsir.
Tafsir mawdu’i (tematik), yaitu metode penafsiran al-Qur`an dengan cara menghimpun ayat-ayat al-Qur`an dari berbagai surat yang berkaitan dengan persoalan atau topik yang ditetapkan sebelumnya. Bahkan M. Quraish Shihab membagi metode tafsir mawdu’i menjadi dua, yaitu,
a. penafsiran menyangkut satu surat dalam al-Qur`an dengan menjelaskan tujuan-tujuannya secara umum dan yang merupakan tema sentralnya serta menghubungkan persoalan-persoalan yang beraneka ragam dalam surat tersebut antara satu dengan lainny dan juga dengan tema tersebut sehingga satu surat tersebut dengan berbagai masalahnya merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan.
b. Penafsiran yang bermula dari menghimpun ayat-ayat al-Qur`an yang membahas satu masalah tertentu dari berbagai ayat atau surat al-Qur`an dan yang sedapat mungkin diurut sesuai dengan urutan turunnya, kemudian menjelaskan pengertian menyeluruh dari ayat-ayat tersebut, guna menarik petunjuk al-Qur`an secara utuh.
Paradigma sosial dan metode tafsir
Klasifikasi model tafsir berdasarkan pandangan-dunia mufassir terhadap al-Qur’an berwujd literalistus, demitologis, legalistis, dan egoistis adalah lebih bersifat analisis intelektual, bukan berdasarkan polarisasi sosial. Hal ini karena dalam realitas sosialnya, bisa jadi semua metode digunakan, termasuk metode kaum egostis. Dalam ilmu Sosial terdapat multi paradigma yang dijadikan weltanschuung yang dijadikan frame terhadap realitas sosial. Dalam hal in dapat dilihat pendapat Ritzer mengenai tiga paradigma dalam ilmu-ilmu sosial khususnya Sosiologi, yaitu paradigma sosial, paradigma definisi sosial, dan paradigma fakta sosial. Bahkan, ada juga yang memasukkan paradigma terpadu.
Paradigma fakta sosial
Paradigma fakta sosial dalam sosiologi dipelopori oleh Emile Durkheim. Dia mengatakan bahwa realitas sosial itu memiliki daya paksa dan menentukan perilaku. Realitas sosial itu meliputi pranata sosial –seperti institusi, norma hukum, adat, agama (kitab suci)- dan struktur sosial – seperti organisasi yang di dalamnya terdapat jaringan hubungan sosial dan interaksi berproses dan menjadi terorganisir dan dengannya posisi-posisi sosial, individu, dan kelompok sosial dapat dibedakan. Aliran teori yang dapat dikelompokkan dalam paradigma ini meliputi teori fungsionalisme struktural, teori konflik, teori sistem, dan teori sosiologi makro.
Secara umum mufassir yang menganut paradigma ini beranggapan bahwa (1) al-Qur’an memiliki daya paksa terhadap perilaku manusai, (2) al-Qur’an adalah fenomena “mati” atau pasif. Karena itu mufassir berusaha semaksimal mungkin agar al-Qur’an itu diakui apa adanya. Kebenaran adalah sesuainya kehidupan manusia dengan fakta huruf-huruf al-Qur’an. Hubungan al-Qur’an dan manusia dipahami secara kaku, diibaratkan seperti jalan dengan mobil. Dalam hal ini, bukan jalan yang menyesuaikan dengan mobil, tetapi sebaliknya. Bukan al-Qur’an yang menyesuaikan dengan kehidupan manusia, tetapi manusia yang harus menyesuaikannya.
Dalam paradigma fakta sosial, paling tidak ada empat teori yang mendukungnya, yaitu teori struktural fungsional, teori sistem, dan teori sosiologi makro.
Teori struktural fungsional
Dalam teori ini, agama dan kitab suci merupakan pranata sosial yang melingkupi kehidupan manusia, baik sebagai individu maupun sebagai masyarakat. Agama menjadi fungsional ketika agam itu menjadi dan norma kultural bersama dalam suatu masyarakat sehingga memiliki daya paksa terhadap perilaku anggota-anggotanya. Sebagai pranata sosial, agama berperan sebagai penjaga ketertiban (order) dan keseimbangan (equiblrium) dalam kehidupan masyarakat. Dalam hal ini, selama dua peran itu dapat dimainkan oleh agama, berarti agama masih berfungsi. Sedangkan jika tidak berfungsi, niscaya agama akan ditinggalkan. Karena itu, dalam konteks ilmu Tfasir, aliran struktural fungsional senantiasa menerjemahkan al-Qur’an sebagai pranata sosial yang fungsional bagi masyarakat. Agar fungsional, diperlukan intrepretasi kontekstual dengan dinamika masyarakatnya.
Teori konflik
Konflik dalam masyarakat akan muncul dengan sendirinya jika pranata dan struktur sosial yang dianggap tidak memadai lagi. Norma-norma lama perlu diganti dengan yang baru, struktur sosial yang lama juga perlu diganti atau direformasi, dalam rangka menciptakan tatanan baru dan keseimbangan baru. karena itu, konflik dalam sebuah masyarakat atau negara diperlukan agar masyarakat dan negara itu tidak lengyap. Dalam suatu kelompok yang memiliki wewenang dan posisi (penguasa) dan yang dikuasai, baik secara politik maupun ekonomi. Dua kelompok itu senantiasa melakukan pergumulan semacam the struggle of life and survival of the fittestnya Darwin. Pertentangan dua kubu ini membuat perubahan dan kemajuan, yaitu tatanan sosial yang lebih seimbang (adil). Mufassir yang mengembangkan teori konflik ini akan lebih peka terhadap nasib kaum tertindas (mustadh’afin) dan rakyat jelata (dhu’afa) yang seringkali menjadi korban keserakahan para penguasa dan orang-orang kaya (mutrafin). Agama secara normatif idealistik senantiasa memihak orang-orang lemah, tetapi dalam realitas sejarahnya justru agamalah yang mengabsahkan tindakan represif terhadap orang-orang yang tak berdaya.
Teori Sistem
Sistem sering diartikan sebagai bersatunya komponen-komponen yang memang saling bergantung dalam rangka menghasilkan sesuatu. Teori sistem mengatakan bahwa kehidupan adalah sistem, baik dalam konteks mikro (mikrokosmos/manusia) mapum makro (makrokosmos/alam jagad raya). Sebagai makhluk individu manusia terikat oleh sistem dan sebagai makhluk sosial manusia juga terikat oleh sistem, bahkan berbagai sistem.
Perilaku sosial manusia pada dasarnya digerakkan oleh sistem. Dalam hal ini, mufassir dengan teori sistem akan berpendapat bahwa agama merupakan komponen atau bagian dari sistem. Al-Qur’an adalah bagian dari sistem kehidupan dunia yang keberadaannya harus senantiasa harmoni dan serasi dengan komponen-kompoenen lainnya seperti kebudayaan, sains dan teknologi, politik dan ekonomi. Karea penafsiran al-Qur’an sebagai salah satu komponen, tidak dapat dilepaskan dari keterkaitan dengan komponen lainnya. Al-Qur’an tidak dapat disterilkan dari hiruk pikuk kehidupan yang sistematik itu.
Paradigma definisi sosial
Paradigma definisi sosial dipelopori oleh Weber. Weber mengartikan Sosiologi sebagai sutau studi tentang tindakan sosial “penuh arti” antar hubungan sosial. Adapun yang dimaksud tindakan sosial adalah tindakan individu sepanjang tindakannya itu mempunyai makna ataua arti subyektif bagi dirinya dan diarahkan bagi tindakan orang lain.
Teori yang termasuk dalam paradigma definisi sosial antara lain teori aksi, interaksionisme simbolik, dan fenomenologi. Hal ini berbeda dengan paradigma fakta sosial, paradigma definisi sosial akan memandang bahwa al-Qur’an sebagai fenomena yang dinamis, “hidup” sehingga dapat terjadi interaksi dialogis antara manusia dan al-Qur’an. Perilaku manusia dianggap benar apabila didasarkan atas hubungan dialogis dengan al-Qur’an. Al-Qur’an dan manusia saling berinteraksi, saling memberikan aksi dan reaksi yang pada gikirannya terdapat “makna” dan “tindakan penuh arti” atau penghayatan agama secara mendalam. Weber dalam hal ini mengedepankan interpretative understanding atau verstehen.
Dalam paradigma fakta sosial, al-Qur’an dipahami sebagai pranata sosial (norma) yang keberadaannya digunakan sebagai frame untuk membaca/menilai suatu masyarakat. Pranata sosiallah yang melingkupi pandangan dunia manusia dan keberadaannya memiliki daya paksa terhadap manusia. Manusia adalah korban dari struktur yang dibuatnya sendiri. Sedangkan, dalam definisi sosial justru sebaliknya. Manusia merupakan makhluk yang aktif dan kreatif yang kesadarannya menentukan perbuatan dan dunia sosialnya. Bukan dunia sosial yang membentuk pribadinya, tetapi kepribadiannyalah yang membentuk dan menentukan dunia sosial.
Paradigma sosial benar-benar menghendaki tafsir yang kontekstual da fungsional. Tafsir yang kontekstual adalah tafsir yang tidak fungsional. Tafsir yang terasing dari konteksnya tidak akan mampu berfungsi sebagai tafsir. Tafsir yang hidup adalah tafsir yang mampu mendialogkan kitab sci dengan kehidupan itu sendiri. Itu sebabnya, ketika konteks kehidupan berubah, maka diperlukan tafsir baru. Karena itu tafsir harus kreatif dan dinamis, dan dialogis dengan realistis.
Tafsir yang kontekstual dan fungsional bukan hanya sekedar merk tafsir sebagaimana tafsir tekstual atau lainnya, melainkan tafsir itu sendiri. Dalam hal ini, sia-sialah melakukan penafsiran terhadap kitab suci jika penafsirannya tidak kontekstual, tidak fungsional. Sebab sebuah tafsir [ada hakikatnya adalah sebagai upaya mempertemukan secara dialektis, kreatif serta seksistensial antara “teks” dan “konteks”, antara “dalil” yang universal dan “dalalahnya” yang kontekstual. Tafsir harus memperhitungkan teks dan konteks secara seimbang dan bersama-sama.
Sebuah tafsir kontekstual harus berangkat dari keyakinan tentang posisi teks itu, yaitu sebagai simbolisasi firman Tuhan yang berlaku universal dan kontekstual. Sedangkan yang menjadi permasalahan, bagaimana umat beriman menangkap kemudian merumuskan semangat dari kehendak Tuhan itu dalam konteks ruang dan waktu tertentu, mengingat bahwa kehendak dan tindakan Tuhan senantiasa kontekstual. Wahyu al-Qur’an meiliki konteks kesejarahannya (asbab al-nuzul) walaupun dalil (teks) dari wahyu itu berlaku universal. Mufassir yang mempelajari al-Qur’an berarti menghdapkan teks ayat al-Qur’an yang universal di dalam konteks tertentu. Konteks itu bersifat tematik (ekonomi, politik, budaya, iptek) atau area (kondisi wilayah atau masyarakat tertentu). Karena itu, “teks” senantiasa berada dalam “konteks”.
Mufassir berparadigma definisi sosial berpendapat bahwa “teks” dalam kitab suci al-Qur’an bukan akhir dari firman dan kehendak Tuhan. Allah yang berfirman dan menyatakan kehendakNya adalah Allah yang berkenan untuk berfirman dan menyatakan kehendakNya terus menerus pada setiap zaman dan tempat. Allah bisa berfirman dan menyatakan kehendakNya lewat hati nurani dan pikiran para ulama yang bijaksana, lewat fenomena sosial dan fenomena alam. Karena itu, kebenaran bukan hanya diukur dengan teks, tetapi juga dengan konteks sehingga terjadi inter-tekstualitas antara teks dan konteks. Dari sini, seorang mufassir bukan lagi to learn aboaut the people berdasarkan kitab suci, melainkan to learn from the people.
Selengkapnya...