Tuesday, May 13, 2008

Selengkapnya...

Sunday, May 11, 2008

TERJEMAH AL-QUR'AN ‎

TERJEMAH AL-QUR'AN ‎


A.‎ Pendahuluan
Al-Qur'an merupakan petunjuk bagi seluruh umat. Al-Qur'an menegskan ‎dirinya bahwa dia adalah bukan hanya petunjuk bagi mereka yang muttaqin (QS ‎al-Baqarah : 2), namun ia juga petunjuk bagi siapa saja yang yang ia harus dapat ‎dipahami oleh umat manusia yang bahasanya berbeda dengan bahasa al-Qur'an, ‎bahasa Arab. Bahkan, tidak sedikit orang-orang yang ada di wilayah Arab dan ‎hidup dengan menggunakan bahasa Arab tetapi mereka tidak mengerti apa yang ‎dimaksud dalam al-Qur'an sebab al-Qur'an mempunyai keindahan bahasa yang ‎sangat tinggi.‎
Al-Qur'an juga berulang kali menekankan supaya pembaca al-Qur'an ‎tidak hanya sekedar membaca teks tanpa memehami isinya, namun juga agar ‎pembaca mampu memahami isi maupun pesan teks tersebut. Penekanan itu dalam ‎bentuk yang sharih berupa afala yatadabbarun (QS Muhammad : 24), afalam ‎yudabbiru (QS al-Mu'minun : 68), dan afala tatafakkarun atau afala ta'qilun pada ‎banyak tempat. Untuk dapat melaksanakan perintah tadabbur, tafakkur, dan lain ‎sebagainya terhadap ayat-ayat al-Qur'an seseorang yang tidak menguasai bahasa ‎Arab terlebih mereka yang berbahasa ibu bahasa Arab tentu membutuhkan sarana ‎terjemah al-Qur'an. Di samping bentuk sharih untuk tadabbur atau memahami ‎pesan al-Qur'an, terdapat juga perintah tidak langsung akan hal tersebut.‎
Dalam makalaha ini akan disajikan terjemah al-Qur'an dalam dua karya ‎besar ilmuwan 'Ulum al-Qur'an dari kitab Manahil al-Irfan karya al-Zarqani dan ‎Mabahith fi 'Ulum al-Qur'an karya al-Qattan.‎


B.‎ Terjemah al-Qur'an dalam Karya al-Qattan
Bab ini diawali oleh al-Qattan dalam kitabnya Mabahits fi Ulum al-‎Qur'an, dengan paparan bahwa al-Qur'an yang bi lisanin 'arabiyyin mubin namun ‎tidak dikhususkan hanya bagi mereka yang bercakap dengan bahasa Arab. Al-‎Qur'an ditujukan kepada siapa saja mereka "yang mau" dengan al-Qur'an, baik ‎Arab maupun 'ajam. Juga paparan mengenai bahasa Arab yang kemudian menjadi ‎‎"bahasa Islam" mengingat al-Qur'an yang diturunkan dalam bahasa itu. ‎
Bahasan terkemudian adalah tentang maksud dari terjemah al-Qur'an, ‎baik terjemah harfiyyah maupun tafsiriyyah.‎
Terjemah harfiyyah menurut al-Qattan adalah memindah bahasa dari ‎bahasa satu ke bahasa lainnya dengan kosa kata yang semaksud sesuai dengan ‎susunan bahasa asalnya. Sedang terjemah tafsiriyyah adalah menjelaskan makna ‎al-Qur'an dengan bahasa yang berbeda tanpa terikat dengan susunan bahasa ‎aslinya. Terjemah seperti ini dikenal pula dengan terjemah ma'nawiyyah. ‎Menterjemah al-Qur'an ke dalam bahasa lain adalah hal yang mungkin, namun al-‎Qattan mengingatkan bahwa terjemah al-Qur'an tetap bukan al-Qur'an.‎
Dalam terjemah ma'nawiyyah, al-Qattan sebagaimana al-Zarqani nanti ‎juga menunjukkan bahwa bahasa Arabnya al-Qur'an mempunyai dua makna, ‎makna asliyyah dan makna tsanawiyah. Ini disebabkan bahwa al-Qur'an ‎merupakan kalam yang baligh. Untuk terjemah ma'nawiyyah, secara hakiki juga ‎dimungkinkan sebagaimana juga terjemah harfiyyah, namun terjemah ini tetap ‎tidak mencukupi dalam mewakili pengungkapan kemu'jizatan al-Qur'an meski ‎hanya dalam sisi susunan bahasa manusia, dalam arti bahasa Arab. Tekanan ‎uatama al-Qattan sekalipun setuju dengan terjemah adalah mengupayakan al-‎Qur'an disampaikan dalam bahasa aslinya mengingat kandungan huruf-hurf al-‎Qur'an yang seluruhnya adalah mu'jizat.‎
Bahasan selanjutnya adalah membaca al-Qur'an berbentuk terjemah ‎dalam sholat. Dalam kaitan ini, al-Qattan meunujuk pendapat yang pro dan ‎kontra, seperti biasa dan ikhtilaf fiqh. Terlepas kepada pendapat yang pro atau ‎yang kontra tentang ini al-Qattan setuju, namun bahasan al-Qattan tentang ‎terjemah tidak sedetail apa yang diungkapkan oleh al-Zarqani. ‎
C.‎ Terjemah al-Qur'an dalam Karya al-Zarqani
Panjang sekali al-Zarqani membahas bab terjemah dalam kitab Manahil ‎al-'Irfan ini. Tertampung dalam juz terakhir dalam karya 2 juz ini, bab terjemah ‎mendapat porsi sekian puluh halaman dan dibahas pada mabhas ketiga belas. ‎
Sebelum memulai bahasannya, al-Zarqani mengantarkan bahwa pembahasan ‎tentang terjemah adalah pembahasan yang penting mengingat bahasan terjemah ‎menjadi perdebatan para pakar, dahulu hingga kini, utamanya berkaitan dengan ‎hukum menterjemah kitab suci termasuk juga kaitannya dengan hukum membaca ‎al-Qur'an sebagai kitab suci dalam versi terjemahnya, apalagi dibaca sebagai ‎bacaan shalat di antara mereka yang pro dan mereka yang kontra. Menunjukkan ‎pula ragam variasi terjemahan al-Qur'an dalam sekian banyak bahasa, di ‎antaranya dalam bahasa Inggris, Perancis, Jerman, dan Itali sebagai versi terjemah ‎al-Qur'an yang paling banyak diterbitkan. Juga bahasa Persia, Turki, China, Latin, ‎Urdu, bahkan dalam bahasa Jawa. Hanya saja terjemah bahasa Jawa ditunjukkan ‎baru diterbitkan dalam satu terbitan, seperti juga yang lain tidak ditunjuk karya ‎siapa dan kapan-dimana diterbitkan.‎
Diawali dengan pembahasan makna terjemah dari sisi bahasa dan ‎kemudian dalam pengertian 'urf. Bahwa terjemah dalam bahasa Arab tarjamah ‎setidaknya memiliki empat makna yang terfokus pada makna menjelaskan, ‎namun ternyata makna terjemah berbeda dengan makna tafsir, juga ta`wil, yang ‎bermakna menjelaskan pula. Dalam pengertian 'urf, tafsir di sini merupakan ‎bagian dari terjemah di mana dalam terjemah terdapat terjemah harfiyah dan ‎terjemah tafsiriyah. Terjemah dalam pengertian 'urf sendiri bermakna penjelasan ‎atas makna suatu kalimat dari satu bahasa dengan bahasa yang lain tanpa ‎meninggalkan tujuan utama atas makna sempurna kalimat yang dijelaskan.‎
Dengan pengertian ini, maka menurut al-Zarqani terjemah tafsiriyah ‎merupakan penjelasan atas makna suatu kalimat dengan penjelasan yang ‎memadai sekalipun harus menyalahi kalimat asal demi memenuhi tercapainya ‎maksud penjelasan. Hal ini berbeda dengan terjemah harfiyah yang berusaha ‎menjelaskan dengan tetap terikat susunan kalimat asal.‎
Dalam kedua cara terjemah, terdapat hal-hal yang mesti dipenuhi yaitu :‎
‎1.‎ Penterjemah mutlak harus memahami penggunaan kedua bahasa.‎
‎2.‎ Memahami karakter susunan kalimat.‎
‎3.‎ Terjemahan harus memenuhi makna termaksud dalam susunan kalimat.‎
‎4.‎ Terjemahan harus terpisah dari kalimat asal.‎
Meskipun sama-sama bermaksud menjelaskan, terdapat perbedaan ‎mencolok di antara keduanya, yaitu ;‎
‎1.‎ Dalam terjemah pengguanaan kalimat terjemahnya merupakan susunan ‎tersendiri, lepas dari kaidah kalimat asal. Berbeda dengan tafsir yang masih ‎berusaha menjaga, setidaknya mempertimbangkan, kesesuaian dengan ‎kalimat asal.‎
‎2.‎ Dalam terjemah tidak mungkin terjadi istidrod (pembuangan kalimat) ‎sehingga jika dalam kalimat asal terjadi kesalahan, maka dalam terjemahan ‎juga mengikuti. Sementara dalam tafsir, memungkinkan adanya istidrod demi ‎memenuhi maksud dari tafsir dari sisi fiqhnya saja, akidahnya saja, sastranya ‎saja atau lainnya sehingga apa yang tidak ingin dibahas dalam tafsir tidak ‎dihiraukan.‎
‎3.‎ Dalam terjemah harus memenuhi kesempurnaan makna termaksud. Sedang ‎dalam tafsir hanya mengacu pada keinginan menjelaskan maksud kalimat ‎sesuai dengan sudut pandang penafsir meskipun harus meninggalkan sudut ‎yang lain.‎
‎4.‎ Dalam terjemah diusahakan kesesuaian dengan seluruh makna kalimat asal.‎
Al-Zarqani mengingatkan tentang terjemah dan tafsir dengan bahasa yang ‎jauh berbeda dengan bahasa asal. Dalam hal ini, antara tafsir yang menggunakan ‎bahasa asing dengan terjemah tafsiriyah cenderung sama. Akan tetapi, kata al-‎Zarqani, perlu juga disampaiakan bahwa :‎
‎1.‎ Tidak ada perbedaan yang urgen antara terjemah harfiyyah dan terjemah ‎tafsiriyah secara hakikat, di mana keduanya berusaha menjelaskan makna.‎
‎2.‎ Tafsir dengan bahasa yang sesuai dengan bahasa asal tidak berbeda dengan ‎tafsir dalam bahasa asing.‎
Mengingat al-Qur'an adalah kalam suci, maka seperti apapun usaha ‎penterjemahan dan penafsiran tentu bukanlah kalam suci. Terjemah tetap ‎terjemah dan tafsir tetap tafsir pula. Kalam al-Qur'an adalah mu'jizat dan terjemah ‎maupun tafsir bukanlah mu'jizat. Kedua usaha dalam terjemah dan tafsir adalah ‎usaha menangkap makna al-Qur'an yang terdiri atas makna asli dan makna ‎tsanawi. Usaha ini adalah dalam rangka menemukan hidayah al-Qur'an yang oleh ‎al-Zarqani terdiri atas hidayah 'ammah, hidayah tammah, dan hidayah wadhihah. ‎Bahasan hidayah ini mengungkap nilai tingginya usaha terjemah dan tafsir bagi ‎pemahaman umat manusia, bahkan jin, atas al-Qur'an.‎
Pembahasan terpanjang dalam karya al-Zarqani tentang terjemah ini ‎setelah mengemukakan tentang segala sesuatu yang berkaitan dengan terjemah ‎dan tafsir beserta sedikit contohnya adalah pembahasan tentang pro-kontra ‎terjemah dan pembacaanya dalam shalat atau dalam kesempatan lain. Hal ini ‎mengingat bahwa apa yang ada dalam al-Qur'an yang ditunjuk bi lisanin ‎‎'arabiyyin mubin secara keseluruhan adalah mu'jizat. Tidak sebagaimana ‎pandangan Mu'tazilah yang menganggap al-Qur'an adalah mu'jizat jika berupa 30 ‎juz penuh, al-Zarqani menunjuk bahwa tiap huruf al-Qur'an adalah mu;jizat ‎sehingga dalam bahasannya al-Zarqani juga mengetengahkan bahasan al-ta'abbud ‎bi tilawatil qur`an. ‎
Sebelum mengakhiri bahasan ini, al-Zarqani memaparkan pendapat para ‎ulama tentang terjemah al-Qur'an. Juga pandangan ulama al-Azhar. Seperti dalam ‎bab lainnya setelah akhir pembahasan, al-Zarqani selalu menutup dengan untaian ‎do'a. Begitu pun dalam bab terjemah ini, al-Zarqani menutup dengan senandung ‎permohonan kepada Dia yang serba Maha.‎
أحسن الله لنا الخاتمة وجمعنا جميعا على الحق والرشد وجعلنا ممن يستمعون القول فيتبعون ‏أحسنه أولئك الذين هداهم الله وأولئك هم أولوا الألباب
Selengkapnya...
Selengkapnya...

HAK-HAK PEREMPUAN DALAM RELASI JENDER

Resensi Disertasi
HAK-HAK PEREMPUAN DALAM RELASI JENDER ‎
PADA TAFSIR AL-SHA'RAWI
Oleh : Makinudin & Masrokhin‎

A.‎ PENDAHULUAN ‎
Judul tersebut merupakan judul disertasi dari seorang yang bernama ‎Istibsyaroh yang telah dipertahankan dan diujikan pada sidang ujian disertasi pada ‎tanggal 22 Desember 2003 di program Pasca Sarjana Universitas Islam Negeri ‎‎(UIN) Sjarif Hidayatullah dengan pembimbing I Prof. Dr. H Ahmad Thib Raya, ‎MA dan pembimbing II Prof. DR. H. Nasaruddin umar, MA.‎
Disertasi ini telah dipertahankan di hadapan para penguji sebagai berikut :‎
‎1.‎ Prof. Dr. H Ahmad Thib Raya, MA. ‎
‎2.‎ Prof. Dr. H. Nasaruddin umar, MA.‎
‎3.‎ Prof. Dr. H. Rif'at Syauqi Nawawi, MA.‎
‎4.‎ Prof. Dr. H. Hj. Huzaimah T. Yanggo, MA.‎
‎5.‎ Prof. Dr. H. Hamdani Anwar, MA.‎
Isi disertasi terdiri atas enam bab. Bab I berisikan Pendahuluan yang ‎meliputi latar belakang masalah pokok permasalahan, kerangka teori, tujuan dan ‎kegunaan penelitian, telaah kepustakaan, metodologi penelitian dan sistematika ‎penulisan. Bab II berisikan Muhammad Mutawalli al-Sha'rawi dan Tafsirnya yang ‎meliputi riwayat hidup Muhammad Mutawalli al-Sha'rawi yang terdiri atas latar ‎belakang keluarga, pendidikan dan kariernya, karya-karyanya, pandangan ulama ‎tentang Muhammad Mutawalli al-Sha'rawi, dan pengenalan Tafsir al-Sha'rawi. ‎Baba III berisikan Tinjauan Umum tentang Perempuan dalam Relasi Jender yang ‎meliputi pengertian perempuan dan relasi jender, jender dan seks, jender dan ‎perempuan, jender lintas kultural, teori feminis yang terdiri atas feminisme sosial, ‎feminisme radikal, feminisme liberal. Bab IV berisikan Hak Pribadi Perempuan ‎dalam Tafsir al-Sha'rawi yang meliputi hak pribadi yang terdiri atas hak hidup, ‎hak mengembangkan potensi diri dengan belajar, hak waris, hak memperoleh ‎balasan dari perbuatan, dan hak hijab hak dalam pernikahan yang terdiri atas hak ‎memilih pasangan, hak mendapat mas kawin, menjadi istri, mendidik dan ‎memelihara anak, talak, masa iddah dan poligami. Bab V berisikan hak sosial-‎politik perempuan dalam Tafsir al-Sha'rawi yang meliputi hak sosial terdiri atas ‎hak kemanusiaan, hak kerja di luar rumah dan sebagai saksi, hak politik terdiri ‎atas hak ikut berjihad dan memegang jabatan,. Dan bab IV Penutup yang meliputi ‎kesimpulan dan saran.‎
B.‎ BAHASAN
Pendahuluan
Di antara isi pendahuluan dalam disertasi ini adalah identifikasi, ‎pembatasan dan perumusan masalah. Identifikasi masalah dalam disertasi ini ‎adalah sekitar karakteristik relasi jender dan kaitannya dengan kodrat, pandangan ‎al-Sha'rawi tentang hak perempuan dalam relasi jender yang mencakup relasi ‎sosial laki-laki dan perempuan. Dari identifikasi ini kemudian hanya dibatasi ‎hanya hak-hak perempuan yang ada hubungannya dengan relasi jender dalam ‎tafsir al-Sha'rawi yang akhirnya dirumuskan sebagai berikut :‎
a.‎ Bagaimana hak pribadi perempuan.‎
b.‎ Bagaimana hak dalam pernikahannya.‎
c.‎ Bagaimana hak sosialnya.‎
d.‎ Bagaimana hak dalam politiknya.‎
Pembaca akan mengalami kesulitan dalam memahami rumusan masalah ‎tersebut jika tidak membaca kalimat sebelum atau sesudahnya. Dalam hal ini, ‎membaca kalimat yang berbunyi "sedangkan yang menjadi obyek penelitian ‎adalah penafsiran ayat-ayat al-Qur'an yang berhubungan dengan hak-hak ‎perempuan yang terdapat dalam tafsir al-Sha'rawi. Begitu juga, jika membaca ‎rumusan pada poin b, c, dan d dengan tidak membaca pada poin a. Karena pada ‎rumusan tersebut menggunakan kata ganti "nya" yang kembali ke kata ‎perempuan. Di samping itu, dalam rumusan masalah tersebut tidak menyebutkan ‎tafsir al-Sha'rawi". ‎
Tujuan dan kegunaan penelitian
Tujuan penelitian disertasi Istibsyaroh adalah :‎
‎1.‎ Untuk menemukan data yang berkaitan dengan hak-hak perempuan dalam ‎relasi jender pada tafsir al-Sha'rawi.‎
‎2.‎ Mendiskripsikan apakah al-Sha'rawi mengakui adanya hak-hak perempuan ‎dalam relasi jender.‎
‎3.‎ Untuk mengembangkan wawasan penulis tentang hak-hak perempuan ‎dalam relasi jender.‎
Jika diperhatikan tujuan penelitian tersebut, ternyata tidak sesuai dengan ‎rumusan masalah, yaitu:‎
a.‎ Bagaimana hak pribadi perempuan.‎
b.‎ Bagaimana hak dalam pernikahannya.‎
c.‎ Bagaimana hak sosialnya.‎
d.‎ Bagaimana hak dalam politiknya.‎
Kegunaan penelitian ‎
Kegunaan penelitian ini diharapkan tidak hanya terbatas pada pengetahuan ‎tentang obyek penelitian yang terpapat dalam bahasan-bahasannya, tetapi juga ‎dapat memberikan konstribusi bagi perkembangan ilmu, terutama ilmu tafsir, ‎maupun bagi perkembangan masyarakat dalam memahami sumber-sumber ajaran ‎Islam.‎
Secara akademis penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai titik ‎tolak bagi penelitian lebih lanjut tentang ilmu tafsir, khususnya untuk meneliti ‎kitab-kitab al-Sha'rawi lainnya. Sedangkan secara praktis, hasil penelitian dapat ‎dijadikan dasar dan pijakan dasar bagi usaha-usaha untuk meningkatkan kualitas ‎pemahaman terhadap ajaran Islam merupakan bagian yang tidak terlepas dari ‎revisi lembaga pendidikan tinggi semcam universitas Islam negeri ini.‎
Jika diperhatikan secara seksama, kegunaan penelitian tersebut sulit ‎dipahami karena penulisannya tidak dikelompokkan. Artinya, akan lebih mudah ‎dipahami jika dikelompokkan menjadi kegunaan teoritis dan praktis.‎
Telaah kepustakaan ‎
Menurut penulis disertasi, judul ini belum dibahas oleh penulis lain. ‎Artinya, jika ada yang membahas, maka bahasannya berbeda. Seperti Salahuddin ‎‎(penulis tesis S2 UIN Sjarif Hidayatullah) dengan judul "Dimensi Kalam dalam ‎Pemikiran Muhammad Mutawalli al-Sha'rawi. Dengan demikian perbedan antara ‎keduanya yaitu :‎
‎1.‎ Istibsyaroh meneliti pemikiran al-Sha'rawi tentang relasi jender dalam ‎Tafsir al-Sha'rawi. ‎
‎2.‎ Salahuddin meneliti pemikiran al-Sha'rawi tentang kalam dalam Tafsir al-‎Sha'rawi.‎
Adapun yang membahas tentang jender yang dikaitan dengan tafsir al-Qur'an ‎atau dalam al-Qur'an dapat diketemukan dalam disertasi tulisan :‎
‎1.‎ Nasaruddin Umar "Perspektif Jender dalam al-Qur'an kemudian diubah ‎dengan "Argumen Kesetaraan Jender Perspektif al-Qur'an".‎
‎2.‎ Zaitunah Subhan "Tafsir Kebencian, Studi Bias Jender dalam Tafsir al-‎Qur'an".‎
Sumber data penelitian
Sumber data primer penelitian ini adalah Tafsir al-Sha'rawi jilid 1 sampai ‎dengan jilid 13 atau juz 1 al-Qur'an sampai dengan awal juz 15. Sedangkan juz ‎berikutnya belum ditulis. ‎
Sumber data sekunder penelitian ini adalah literatur yang berhubungan ‎langsung dengan permasalahan, antara lain "al-Mar'ah fi al-Qur'an " karya Abbas ‎Mahmud al-Aqqad, "Makanah fi al-Qur'an wa al-Sunnah al-Sahihah karya ‎Muhammad Biltaji, "Argumen Kesetaraan Jender" karya Nasaruddin Umar.‎
Metode analisis penelitian
Metode analisis yang digunakan adalah metode analisis kritis yang ‎digunakan untuk menghubungkan satu teks dengan teks lainya. Kemudian ‎selanjutnya dihubungkan dengan realitas sosial yang berlaku. Dalam hal ini, kritik ‎ada dua macam yaitu kritik internal digunakan untuk mengkritik terhadap ayat ‎jender dalam al-Sha'rawi dan kritik eksternal digunakan untuk mengkritik ‎pendapat lain tentang relasi jender. ‎
Pendekatan penelitian
Pendekatan penelitian adalah pendekatan kualitatif yang mengacu pada ‎pemikiran Weber yang mengatakan bahwa pokok penelitian bukanlah gejala-‎gejala sosial, tetapi lebih menekankan pada memahami makna-makna yang ‎terkandung di balik tindakan individu yang mendorong terwujudnya gejala-gejala ‎sosial. Di sampimg itu, menmggunakan pendekatan hermeneutika karena obyek ‎penelitian adalah teks masa silam yang memerlukan pemahaman di saat kini dan ‎di masa yang akan datang. Interaksi simbolik dijadikan pendekatan. Hal ini karena ‎pendekatan ini berasumsi bahwa pengalaman manusia dipengaruhi oleh ‎penafsiran. Pendekatan ini digunakan untuk melihat situasi dengan adanya ‎penafsiran yang bias jender
Karena penelitian ini obyeknya ayat-ayat al-Qur'an, maka pendekatannya ‎menggunakan ilmu tafsir yang tahlili dan mawdhui. Metode tahlili yaitu metode ‎tafsir yang mufassirnya berusaha menjelaskan kandungan ayat-ayat al-Qur'an dari ‎berbagai segi yang memperhatikan runtutan ayat-ayat al-Qur'an sebagaimana ‎dalam mushaf. Sedangkan metode mawdhu'i yaitu menghimpun ayat-ayat al-‎Qur'an dari berbagai surat yang berkaitan dengan topik yang ditetapkan, kemudian ‎dianalisis kandungan ayat-ayat tersebut sehingga menjadi kesatuan yang utuh. ‎Metode mawdlui lebih banyak dipakai karena lebih sesuai dengan fokus yaitu ‎relasi jender. Penggunaan mawdlui digunakan secara terpadu dengan content ‎analysis, karena keduanya menganalisis secara tuntas dan kritis tentang makna ‎suatu teks.‎
Kerangka teori
Di antara isi yang terkandung dalam kerangka teori, penulis (Istibsyaroh) ‎menjelaskan tentang makna lafal "nafsin wahidah" lafal ini oleh mufassir ‎tradisioanal diartikan Adam dan lafal "zaujaha" diartikan Hawa' yang berasal dari ‎tulang rusuk Adam. Sedangkan mufassir kontemporer seperti Muhammad Abduh ‎dan Rashid Ridla yang berpendapat bahwa "nafsin wahidah" kepada Adam bukan ‎inti yang terkandung dalam ayat.‎
Dalam disertasi dijelaskan apabila konteksnya tersebut dipahami sebagai ‎Adam, maka konsekuensinya kata yang datang sesudahnya harus dituliskan ‎dengan bentuk ma'rifah. Tetapi, dalam kenyataannya ayat tersebut ditulis dengan ‎bentuk nakirah. Pernyataan ini sulit dipahami karena dalam kenyataan, ayat ‎tersebut ditulis dengan nakirah padahal di dalam al-Qur'an bukan berbentuk ‎nakirah, tetapi bentuk ma'rifah yaitu zawjaha (lafal sesudah nafsin wahidah).‎
C.‎ MUHAMMMAD MUTAWALLI AL-SHA'RAWI DAN TAFSIRNYA ‎
Muhammad Mutawalli al-Sha'rawi ‎
Al-Sha'rawi lahir pada hari Ahad 17 Rabi' al-Tsani 1329 H. bertepatan ‎dengan 16 April 1911 M. Di desa Dagadus kecamatan Maitghawair kabupaten ‎Dakhaliyah. Dia diberi gelar ayahnya dengan sebutan al-Amin dan gelar ini ‎dikenal di daerahnya.‎
Al-Sha'rawi mempunyai tiga anak laki-laki dan dua anak perempuan, yaitu ‎Tsani, Abd al-Rahim, Ahmad, Fatimah dan Shalihah. Sedangkan nasab dia dari ‎ayah dan ibunya berakhir pada imam Khusain Ali keturunan Ahl al-Bayt. Dia ‎tidak menginginkan agar kejelasan nasabnya dibeberkan secara jelas dalam ‎masyarakat karena dia menggetahui tidak semua manusia dapat menerima dan ‎mengerti keberadaan nasab yang disandang. Karena al-Ahram Kairo ‎memberitakan bahwa al-Sha'rawi menangkis kitab-kitab yang memuat dan ‎membicarakan tentang nasabnya panjang lebar dengan penelitian lebih lanjut dan ‎perolehan izin dari dia.‎
Istibsyaroh memberikan komentar bahwa pada hakikatnya nasab ‎seseorang dapat dilihat dari awalnya. Sejarah meriwayatkan dan mengupas habis ‎kekafiran putra Nuh padahal sudah tidak diragukan lagi anak tersebut keturunan ‎nabi. Juga kisah ayah Nabi Ibrahim. Termasuk kisah Abu Lahab, Abu Jahal ‎sedangkan mereka adalah paman Nabi saw.‎
Pendidikan al-Sha'rawi dimulai dari hafalan penulis terkenal di daerahnya ‎Syaikh Abd al-Majid Pasha dan diselesaikan pada usia sebelas tahun. Sedangkan ‎pendidikan resminya diawali dengan sekolah dasar al-Azhar Zaghaziq pada tahun ‎‎1926 M. Setelah sekolah dasar selesai pada tahun 1932 M dia melanjutkan jenjang ‎sekolah menengah di Zaghaziq dan tamat pada tahun 1936 M. Kemudian ‎melanjutkan pendidikan di Univertsitas al-Azhar jurusan bahasa Arab pada tahun ‎‎1937 M sampai dangan 1941 M dan pada tahun 1940 M melanjutkan ke doktoral ‎dan memperoleh gelar alamiyah (sekarang Lc.) dalam bidang bahasa dan sastra ‎Arab.‎
Karya-karya al-Sha'rawi ‎
Istibsyaroh mengatakan bahwa al-Sha'rawi tidak menul,is karangannya. ‎Beliau berpendapat bahwa kalimat yang disampaikan secara langsung dan ‎diperdengarkan akan lebih mengena dari pada kalimat yang disebarluaskan ‎dengan perantara tulisan, sebab semua manusia akan mendengar dari nara sumber ‎yang asli. Hal ini sangat berbeda dengan bahasa tulisan karena tidak semua orang ‎mampu membacanya. Namun demikian beliau tidak menafikan kebolehan untuk ‎mengalihbasakannya menjadi bahasa tulisan dan tertulis dalam sebuah buku ‎karena tindakan ini membantu program sosialisasi pemikirannya dan mencakup ‎manfaat yang lebih bagi manusia secara keseluruhan.‎
Al-Sha'rawi tidak memiliki tempat kerja. Di dalam ruangannya hanya ‎terdapat sajadah dan al-Qur'an di sebelahnya atau di tangannya. Pemikiran-‎pemikirannya disampaikan secara spontan dalam berbagai seminar atau ‎pertemuan khusus. Beliau tidak menulis dan jikalau menulis, beliau ‎melakukannya dengan teliti dan mengolah pemilihan kalimat dengan kecerdasan ‎yang luar biasa.‎
Ahmad al-Sha'rawi berkata :‎
Pengumpulan karangan imam al-Sha'rawi bukan perkara yang sangat ‎mudah. Hal ini tidak akan bisa dilakukan dengan rentang waktu sehari ‎semalam karena al-Sha'rawi berkecimpung dalam bidangnya (ceramah) ‎selama 50 tahun. Kendati demikian kami tetap berupaya mewujudkan cita-‎cita tersebut. Kami nberusaha memperoleh salinan ucapan ayahanda kami ‎dari stasiun televizi Mesir, namun mereka menoilak permintaan kami. ‎Akhirnya kami mnembeli membeli dan mengunpulkannya. Adapun ‎bagian-bagian interpretasi al-Sha'rawi terhadap al-Qur'an yang tidak ‎ditemukan pada siaran televisi, kami memperolehnya dari rekaman siaran ‎radio dengan prosentase 90 % penafsiran tersebut berkenaan dengan juz ‎‎'amma dan kami mencoba mengadakan pengumpulan bagian lain.‎
Di antara karangan al-Sha'rawi diterbitkan oleh Akhbar al-Yaum, dan ‎Maktabah al-Turats al-Islami di bawah naungan Abd Allah Hajjaj. Akan tetapi ‎penerbitan ini tidak terlepas dari pengawasan Majma' al-Sha'rawi al-Islami. Jadi ‎dua lembaga inilah yang mempunyai wewenang publikasi atas karya al-Sha'rawi. ‎Namun sangat disayangkan kami tidak dapat mengadakan pengawasan ekstra ‎karena tidak sedikit pebnerbit yang memalsukan kitab-kitab itu.‎ ‎ Di samping itu, ‎karya-karya al-Sha'rawi juga diterbitkan oleh penerbit Dar al-'Audah Beirut.‎
Pandangan ulama tentang Muhammad Mutawalli al-Sha'rawi ‎
Beberapa ulama dan sarjana memberi komentar dan pendangannya kepada ‎al-Sha'rawi. Di antaranya :‎
Dr. Abd al-Fattah al-Fawi, dosen falsafah di Unversitas Dar al-Ulum Kairo ‎berkata : Syekh al-Sha'rawi bukanlah orang yang tekstual, beku di hadapan nash, ‎tidak terlalu cbderung kepada akal, tidak pula sufi yang hanyut dalam ilmu ‎kebatinan, akan tetapi beliau menghormati nas. Memakai akal dan terpancar ‎darinya keterbukaan dan kekharimatikannya.‎
Senada dengan Abd al-Fattah, Dr, Yusuf al-Qardlawi mengatakan : al-‎Sha'rawi sebagai penafsir yang handal. Penafsirannya tidak terbatas pada ruang ‎dan waktu, tetapi mencakup kisi-kisi kehidupan leinnya, bahkan dalam ‎kesehariannya ia terkesan menggandrungi sufisme, kendati sebagian orang ‎menentang kehidupan sufi. Ia tetap bersikukuh dengan prinsip hidupnya.‎
D.‎ HAK PRIBADI PEREMPUAN DALAM TAFSIR AL-SHA'RAWI ‎
Hak waris
Dalam tulisan Istibsyaroh dijelaskan tentang penafisran al-Sha'rawi tentang al-‎Nisa` : 12 sebagai berikut :‎
‎"Ayat tersebut menjelaskan tentang haknya satu laki-laki seperti dua orang ‎perempuan, ini merupakan suatu keadilan. Sebab kalau istri meninggal dunia ‎kemudian laki-laki itu menikah lagi, ia tetap menanggung kewajiban memberi ‎nafkah. Kalau suami meninggal dan istri menikah lagi, ia mendapat waris dan ‎mendapat nafkah dari suami yang baru".‎
Istibsyaroh menyatakan sebagai berikut : ‎
‎"Tetapi perlu diketahui jika istri meninggal suami juga mendapat waris ‎sehingga pendapat tersebut kurang dapat dipertanggungjawabkan".‎
Uraian di atas ditanggapi penulis sebagai berikut :‎
‎1.‎ Apa benar pendapat tersebut adalah penafsiran al-Sha'rawi. Hal ini, karena ‎ayat tersebut tidak menjelaskan haknya satu laki-laki seperti dua ‎perempuan dengan alasan sebagaimana di atas. Artinya, jika penafsirannya ‎demikian, maka akan lebih tepat jika bahasannya berkaitan dengan al-Nisa ‎‎: 11. Kemungkinan, Istibsyaroh keliru dalam memahami sumber.‎
‎2.‎ Istibsyaroh menyebutkan kata-kata "tetapi perlu diketahui jika istri ‎meninggal suami juga mendapat waris sehingga pendapat tersebut kurang ‎dapat dipertanggungjawabkan", pendapat ini tidak tepat untuk ‎diungkapkan. Hal ini, walaupun dia mempunyai bagian 1/2 atau 1/4, tetapi ‎punya tanggung jawab untuk menjalani hidup. Artinya, jika mendapatkan ‎‎1/2 dia mendapat modal untuk berusaha yang pada waktunya dia akan ‎menikah lagi. Atau jika tidak menikah, dia mempunyai tanggung jawab ‎untuk menghidupi keluarganya apalagi mempunyai orang tua yang sudah ‎tua dan sakit. Begitu juga jika dia mempunyai anak dari almarhumah maka ‎dia masih tetap mempunyai tanggungan untuk membesarkan dan mendidik ‎dengan baik yang mebutuhkan biaya banyak. ‎
Dalam hal. 120 Istibsyaroh menyatakan sebagai berikut :‎
‎"Yang menjadi persoalan terhadap ayat ini ialah ketentuan bagian waris ‎laki-laki dan perempuan 2 : 1, apakah ketentuan itu bersifat diskriminatif"‎ ‎ ‎
Pernyataan tersebut tidak tepat, karena hali waris yang mendapatkan 2 : 1 ‎itu bukan laki-laki, tetapi anak laki-laki.‎
Al-Sha'rawi menyatakan bahwa bagian 2 : 1 bagi anak laki-laki adalah ‎tidak diskriminatif dengan argumen yang panjang dan lebar. Oleh karena itu, ‎sangat janggal jika kemudian Istibsyaroh menyatakan sebagai berikut :‎
Menurut hemat penulis (Istibsyaroh) keseluruhan bagian perempuan dalam ‎waris tidak semuanya mencerminkan perbandingan 2 : 1. Hal ini terbukti dalam ‎bagian laki-laki dan perempuan 2 : 1 itu ketika mereka sebagai anak. Ketika ‎perempuan menjadi istri, bagiannya 1/4 kalau suaminya yang meninggal dunia ‎tidak mempunyai anak. Ketika menjadi ibu, bagiannya sama dengan bapak yaitu ‎‎1/6 apabila mempunyai anak. Apabila tidak mempunyai anak atau saudara, bagian ‎ibu 1/3. Ketika menjadi saudara, baik perempuan maupun laki-laki, bagiannya ‎sama yaitu seperenam.‎
Dalam pernyataan Istibsyaroh tersebut terdapat kesalahan yaitu:‎
‎1.‎ Apabila tidak mempunyai anak atau saudara, bagian ibu 1/3. Pernyataan ‎ini sebenarnya tidak perlu menyertakan saudara. Artinya, pernyataan yang ‎benar adalah "apabila tidak mempunyai anak, bagian ibu 1/3, tidak perlu ‎menyatakan "atau saudara". Hal ini menimbulkan kekaburan karena hanya ‎menyebut "saudara" tidak menentukan jumlah saudara. Artinya, baru ‎benar jika penyebutan saudara itu satu saudara yakni ibu mendapat 1/3 ‎sedangkan ibu bersama saudara yang lebih dari satu, maka bagiannya 1/6.‎
‎2.‎ Ketika menjadi saudara, baik perempuan maupun laki-laki, bagiannya ‎sama yaitu 1/6. Pernyataan ini sulit dipahami sebagaimana pada "ketika ‎menjadi saudara" yang sebenarnya "ketika bersama saudara". Walaupun ‎demikian tetap salah jika "saudara" itu tidak diberi penjelasan "lebih dari ‎satu". Hal ini karena dalam al-Qur'an disebutkan bagian itu adalah 1/6 jika ‎bersama "‎إخوة‎" bukan ‎أخ‎ atau ‎أخت‎.‎
Pada tulisan berikutnya Istibsyaroh menyatakan sebagai berikut :‎
Di samping itu, pendapat al-Sha'rawi tentang bagian laki-laki dan ‎perempuan 2 : 1 karena laki-laki memberi nafkah kepada istri tersebut, tidak dapat ‎dipakai sebagai alasan untuk menyatakan keadilan Allah karena bagaimana halnya ‎kalau laki-laki tidak beristri. Bahkan pada tulisan selanjutnya berbunyi : ‎
‎"Perlu diketahui bahwa al-Sha'rawi dalam menafsirkan ayat 11 dari surat ‎al-Nisa masih menggunakan pendekatan yang sangat tesktual. Oleh karena itu, ‎pertanyaan tersebut tidak dapat terjawab oleh pemikiran al-Sha'rawi di atas. ‎Sebenarnya ayat ini dapat dipahami dalam konteks yang lebih luas dengan melihat ‎lebih jauh terhadap latar belakang kondisi soiologis masyarakat saat itu. Latar ‎belakang sosio hoistorisnya adalah mereka para perempuan dalam masyarakat ‎Arab tidak memiliki hak apapun terhadap warisan. Bahkan, dalam kondisi ‎ekstrem jahiliyyah mereka justru menjadi "harta" warisan ketika suami mereka ‎meinggal. Untuk mengubah kondisi itu al-Qur'an mendobrak cara yang sangat ‎diskriminatif itu menuju tatanan masyarakat yang lebih berkeadilan dengan ‎memberikan hak kepada perempuan atas warisan setengah dari bagian laki-laki. ‎Tentu saja angka perbandingan 2 : 1 itu dengan mempertimbangkan kondisi ‎psikologis masyarakat Arab.‎ ‎ ‎
Dengan melihat latar belakang itu ayat tentang pembagian warisan harus ‎dibaca sebagai proses awal menuju kesamaan hak antara laki-laki dan perempuan ‎sehingga pada saat yang telah memungkinkan, bukan suatu hal yang bertentangan ‎dengan nash jika perempuan diberikan bagian diberikan lebih dari setengah ‎bagian laki-laki.‎
Perempuan mendapat bagian lebih dari setengah bagian laki-laki tersebut ‎dengan cara musyawarah antara ,mereka yang mendapat bagian waris. Tetapi ‎apabila yang mendapat bagian waris itu ada yang belum baligh, musyawarah tidak ‎diperkenankan. Perubahan tersebut tidak berarti teks al-Qur'an.‎
Dalam tulisan di atas Istibsyaroh tidak setuju atas alasan yang ‎dikemukakan al-Sha'rawi bahwa ia menyatakan tidak dapat dipakai sebagai alasan ‎untuk menyatakan keadilan Allah karena bagaimana kalau laki-laki tidak beristri.‎
Pernyataan Istibsyaroh itu tidak tepat sebab walupun tidak beristri dia ‎mempunyai tanggung jawab untuk dirinya, oang tuanya, dan masyarakat dalam ‎membangun daerahnya karena laki-lakilah yang menjadi penggerak ‎pembangunan. Bahkan Istibsyaroh menyatakan pembagian waris harus dibaca ‎sebagai proses awal, padahal harus diingat bahwa setelah nabi Muhammad saw. ‎sudah tidak ada ayat lagi tentang warisan. Artinya, jika Istibsyaroh membuat cara ‎lain melalui cara musyawarah, maka hal itu tidak merubah ketentuan waris tetapi ‎hanya ditempuh jika ada keluarganya ada kesepakatan untuk membagi warisan ‎yang perempuan lebih banyak dari laki-laki. Dalam hal ini, pertama harus ‎diketahui pembagian sesuai dengan ayat waris kemudian dilakukan pembagian ‎lain karena warisan tergolong bidang mu'amalah sehingga dapat dilakukan metode ‎saling rela. Oleh karena itu, sangat wajar jika hal ini tidak dapat dilakukan jika ‎ada ahli waris yang belum baligh karena dia belum cakap bertindak (ahliyah).‎
Dalam hak menjadi istri
Istibsyaroh setelah mengemukakan pendapat dari para mufassir mengenai ‎الرجال قوّمون على النساء‎ kemudian ia meyimpulkan bahwa ‎قوّمون ‏‎ berarti laki-laki ‎adalah penjaga, penanggung jawab, pemimpin, pendidik, penguasa kaum ‎perempuan. Padahal penafsiran yang bercorak demikian pada dasarnya ‎berhubungan dengan situasi kultural waktu tafsir itu dibuat yang sangat ‎merendahkan perempuan.‎ ‎ ‎
Istibsyaroh dalam memahami al-Baqarah : 228 menyimpulkan sebagai ‎berikut :‎
‎1.‎ Derajat lebih tinggi yang dimaksud dalam ayat di atas menurut al-Sha'rawi ‎dijelaskan oleh al-Nisa` : 34 yang menyatakan bahwa laki-laki (suami) ‎adalah pemimpin terhadap perempuan (istri) sebagaimana penjelasan di ‎atas.‎
‎2.‎ Penulis (Istibsyaroh) bahwa derajat laki-laki lebih tinggi daripada ‎perempuan ayat tersebut hubungannya dengan masalah talak karena dalam ‎talak laki-laki berhak menentukan, meskipun perempuan juga mempunyai ‎hak. Bukan masalah kepemimpinan dalam rumah tangga.‎
‎3.‎ Di samping kata ‎الرجال ‏‎ pada ayat tersebut menurut Nasaruddin Umar ‎adalah laki-laki tertentu yang mempunyai kapasitas tertentu karena tidak ‎semua laki-laki mempunyai tingkatan lebih tinggi daripada perempuan. ‎Tuhan tidak menyatakan ‎وللذكر بالمعروف عليهن درجة‎ . Karena jika demikian, ‎maka secara alami semua laki-laki mempunyai tingkatan lebih tinggi ‎dariupada perempuan.‎
‎4.‎ Sementara menurut Ibn Usfur, para ulama membolehkan kata ‎ال‎ dalam ‎الرجال ‏menjadi na'at atau bayan. Kalau ‎ال‎ menjadi bayan berarti ‎‏ لتعريف ‏الخضور ‏menunjukkan yang datang, bukan jenis. Kalau ‎ال‎ menajadi na'at ‎berati menjadi ‎للعهد‎ menunjukkan pembatasan.‎
Dari sini menjadi jelas bahwa laki-laki dalam al-Baqarah : 228 berarti ‎tidak semua laki tetapi laki-laki tertentu yang mempunyai kapasitas tertentu.‎ ‎ ‎
Apa yang diuraikan di atas ternyata ada yang tidak jelas tatkala ‎menjelaskan pendapat ibn Usfur dalam menjelaskan ‎ال‎ menjadi bayan berati ‎لتعريف الخضور ‏‎ (yang datang) dan menjadi na'at berarti ‎للعهد‎ (berarti pembatasan). ‎Dalam hal ini, Istibsyaroh kurang memberikan penjelasan tentang li ‎لتعريف الخضور ‏‎ ‎dan ‎للعهد‎ sehingga sulit dipahami. Oleh karena yang dimaksud untukl li ‎لتعريف ‏الخضور ‏‎ dan ‎للعهد‎.‎
Hak istri dalam masa iddah
Istibsyaroh menyatakan pendapat al-Sha'rawi kurang dapat ‎dipertanggungjawabkan karena bagi perempuan hamil nikahnya sampai ‎melahirkan tidak ada ketentuan iddah terpanjang karena fungsi iddah adalah ‎menjelaskan bahwa kandungannya sudah kosong, artinya tidak hamil. Hal ini pun ‎digunkan untuk menentukan nasab dari anak yang dalam kandungan berarti kalau ‎sudah lahir iddahnya sudah selesai dan dapat nikah lagi kalau perempuan ‎mengingikankannya.‎ ‎ ‎
Sebenarnya fungsi iddah sebagai alat untuk mengetahui kandungan adalah ‎tidak tepat. Hal ini karena ada perempuan tunggu iddah yang sudah berhenti haidh ‎yang berarti tidak perlu melihat kandungan. Artinya, ada fungsi iddah yang lain ‎seperti memberikan kesempatan berfikir atau merenungkan kembali apa yang ‎telah terjadi sebelum cerai atau mati.‎
Hak sebagai saksi
Istibsyaroh menyatakan dalam persperktif hermeneutik ayat 282 al-‎Baqarah yang berbicara tentang syahadah (saksi) harus dilihat sebagai respon ‎terhadap fakta sejarah pada saat mana ayat tersebut turun. Dengan demikian, ‎ketika fakta sejarah telah berubah, maka tidak tertutup kemungkinan reinterpretasi ‎terhadap ayat-ayat tersebut dengan melihat secara komprehensif terhadap samua ‎lingkar konsentris hermenutisnya yakni hal-hal yang melatar belakangi teks ‎maupun hal-hal melatarbelakangi pembaca (penafsir) yang selalu terkait dengan ‎waktu dan tempat tertentu.‎
Jadi ayat tersebut harus dipandang secara kontekstual bukan normatif ‎karena ada tujuh ayat lain dalam al-Qur'an yang menyebutkan tentang kesaksian ‎tetapi tidak satu pun yang menyebutkan saksi satu orang laki-laki digantikan dua ‎perempuan yaitu :‎
a.‎ Al-Maidah : 106 saksi tentang wasiat bagi orang yang akan mati ‎hendaknya disaksikan oleh dua orang saksi tidak dijelaskan jenis kelamin ‎apakah laki-laki atau perempuan dengan kalimat ‎اثنان ذوا عدل‎ . Berati dua ‎saksi itu dapat keduanya laki-laki, keduanya perempuan atau satu laki-laki ‎dan satu perempuan yang penting adil dan dapat dipercaya. Saksi masalah ‎wasiat adalah kewajiban. Seandainya telah memandang rendah kepada ‎perempuan, maka dijelaskan perempuan tidak dapat diberi tanggung ‎jawab. Dengan demikian jelaslah bahwa dua saksi perempuan sebagai ‎ganti satu saksi laki-laki yang tertera dalam al-Qur'an surat al-Baqarah : ‎‎282 itu mempertimbangkan situasi dan kondisi serta konteks yang khusus ‎bukan karena interpretasi inferioritas intelektual atau moral perempuan ‎
b.‎ Al-Maidah : 107 menerangkan bahwa apabila keempat saksi itu curang, ‎maka dapat diganti saksi dari kalangan ahli waris tetapi disyaratkan ‎dengan sumpah. ‎
Penyebutan "keempat saksi" dalam al-Maidah : 107 adalah "salah". Hal ini ‎karena yang benar adalah dua orang saksi, bukan empat saksi. Artinya, ‎jika saksi dua yang pertama curang, maka diganti dengan dua orang saksi ‎bukan dengan ditambah dua menjadi empat.‎
c.‎ Al-Nisa : 15 menerangkan tentang perbuatan keji harus disaksikan empat ‎orang saksi tidak disebutkan jenis kelamin. Memahami kalimat ‎منكم‎ yang ‎berarti laki-laki atau perempuan. ‎
Alasan lafal ‎منكم‎ untuk menunjuk laki-laki atau perempuan tidak tepat ‎karena yang menjadi pembahasan itu bukan ‎منكم‎ tetapi ‎ارحام‎. Oleh karena ‎menurut kaidah bahasa Arab jika 'adad itu muanats, maka ma'dud ‎mudzakar. Artinya, kata ‎منكم‎ tidak dapat dijadikan alasan untuk laki-laki ‎atau perempuan bahkan lafal sesudah ‎منكم‎ lebih jelas lagi menunjukkan ‎laki-laki dengan bentuk jama muzakar salim (‎فإن شهدوا‎.)‎
d.‎ Al-Nur : 4 menerangkan mereka yang menuduh perempuan berbyat keji ‎hars disaksikan empat saksi.‎
e.‎ Al-Nur : 6 menyebutkan mereka yang menuduh istrinya berbuat keji dan ‎tidak dapat mendatangkan empat saksi sebagai gantinya adalah ‎mendatangkan empat saksi.‎
f.‎ Al-Nur : 8 menerangkan istri yang dituduh berbuat keji untuk menyatakan ‎bahwa suamonya berbiohongh adalah memaki sumpah empat kali. Dengan ‎demikian, seorang perempuan tidak mhanya mempunyai hak untuk ‎menjadi saksi, dapat juga membatalkan kesaksian laki-laki karena sumpah ‎dilakukann sebagai ganti saksi.‎
g.‎ Al-Talak : 2 menjelaksan perempuan yang cerai setelah mendekati habis ‎iddhanya apakah rujuk atau pisah diperintah untuk memakai saksi dua ‎orang yang adil dengan istilah ‎ذوا عدل منكم‎ dan menegakkan kesaksian itu ‎karena Allah. Kata ‎منكم‎ tidak menunjuk jenisn kelamin. Artinya, boleh dua ‎laki-laki, dua perempuan, atau satu laki-laki dan satu perempuan.‎
Berdasar ketentuan tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa saksi ‎perempuan diakui sama dengan saksi laki-laki, tidak ada perbedaannya ‎diantaranya, khususnya masalah keuangan, kalau perempuan ‎menyaksikannya maka dia berhak menyaksikan sendiri,kalaupun ada ‎perempuan lain fungsinya hanya sebagai pengingat atau penguat.‎
Pernyataan Istibsyaroh pada al-Talak : 2 tidak tepat karena lafal ‎ذوا عدل‎ itu ‎menjadi sifat dari lafal ‎اثنين‎ yang tersembunyi yang menunjukkan laki-laki. ‎Artinya, lafal ‎منكم‎ dijadikan alasan untuk menunjukkan laki-laki atau perempuan, ‎tetapi harus diambil dari lafal ‎ذوا عدل‎.‎
Istibsyaroh selanjutnya menyatakan "berdasarkan ketentuan tersebut dapat ‎diambil kesimpulan bahwa saksi perempuan diakui sama dengan laki-laki tidak ‎ada perbedaan di antaranya khususnya masalah keuangan. Kalau perempuan ‎menyaksikannya, maka ia berhak menyaksikan sendiri kalaupun ada perempuan ‎lain fungsinya hanya sebagai pengingat atau penguat.‎
Berdasarkan pernyataan Istibsyaroh tersebut dapat dipahami bahwa dia ‎tidak menggunakan kaidah bahasa Arab terkait dengan adad dan ma'dud yang ‎sejak al-Qur'an diturunkan kaidah tersebut sudah harus dijadikan alat untuk ‎memahami bahasa Arab termasuk al-Qur'an. Artinya, Istibsyaroh tidak menerima ‎penggunaan kaidah adad dan ma'dud lebih baik dia tidak menggunakan dasar ‎lafal " ‎منكم‎ " tetapi lebih baik menggunakan keadaan orang yang menjadi saksi, ‎yaitu adil, tanpa melihat laki-laki dan perempuan. Hal ini apakah dapat ‎dikategorikan menggunakan hermeneutik yang lepas dari kaidah bahasa Arab. ‎
Selengkapnya...