Wednesday, July 23, 2008

kuliah nglurug

Selengkapnya...

E-COMMERCE

E-COMMERCE
(Perkembangan cara transaksi dalam tinjauan Kaidah Fiqh)


Pendahuluan
Era globalisasi yang ditandai dengan padatnya arus informasi telah menyebabkan semakin dekatnya hubungan antar bangsa di dunia. Hubungan internasional memberikan berbagai pengaruh terhadap negara-negara yang berinteraksi di dalam berbagai bidang kehidupan; ideologi, politik, budaya, ilmu pengetahuanb dan teknologi serta agama.
Perkembangan pesat bidang teknologi dan informasi mempengaruhi perkembanagn pola dan irama kehidupan umat manusia di seluruh belahan dunia. Kemajuan teknologi yang dalam satu sisi menimbulkan dampak negatif yang luar biasa hebatnya, ternyata juga memberikan akses kemudahan pada sisi yang lain. Satu hal yang sangat dominan dalam era informasi adalah teknologi komputer yang menelorkan komunikasi dunia virtual yang biasa disebut internet yang telah merambah pada hampir semua sektor kehidupan.
Dari internet ini lahir bermacam teknologi terapan lainnya. Dia antaranya adalah sistem perdagangan dengan media virtual yang dikenal dengan sebutan e-commerce. Dalam makalah ini akan dikupas analisa akad yang terjadi melalui internet dengan pendekatan kaidah fiqh.
Pengertian e-commerce
Berbicara tentang definisi yang harus memenuhi kaidah jami’ mani ada sedikit kendala ketika diterapkan ke dalam definisi apa itu e-commerce. Ringkasnya e-commerce dapat jelaskan dengan melakukan transaksi atau aktifitas perdagangan/jual-beli dengan menggunakan media elektronik (jaringan internet) atas barang dan jasa dengan sistem pembayaran elektronik pula. E-commerce menggambarkan cakupan yang sangat luas karena berhubungan dengan teknologi, proses transaksi dan praktek perdagangan tanpa tatap muka langsung antara penjual dan pembeli.
Perkembangan e-commerce selangkah di belakang perkembangan jaringan internet yang dimulai dari proyek Amerika Serikat ketika membuka penelitian jaringan komunikasi antara beberapa universitas dan lembaga penelitian pada tahun 1969 yang disebut Arpa Net. Dalam perkembangannya program ini diperluas dengan munculnya jaringan khusus militer yang dinamakan dengan Milnet dan Arpa Net sendiri digunakan untuk komunikasi internet non-militer.
Perkembangan internet yang demikian cepat memberikan pengaruh yang signifikan bagi kehidupan hingga kepada aspek transaksi jual-beli dan memunculkan istilah e-commerce itu. Perkembangan internet yang sangat cepat ini disebabkan apa yang ditawarkan oleh internet mampu menjawab keinginan tidak harus bertemu secara fisik antar satu orang dan lainnya ketika hendak memenuhi suatu keperluan.
Transaksi dalam E-commerce
Jika digambarkan, transaksi di internet hampir sama gammbarannya dengan transaksi jual-beli secara fisik pada pasar swalayan. Pada pasar swalayan pembeli dapat memilih dan mengambil sendiri kebutuhannya dengan meletakkannya pada kereta barang. Selama barang yang akan dibeli tersebut belum dibayar pada kasir, maka barang yang telah diletakkan pada kereta baranag dapat saja dibatalkan atau ditukarkan dengan barang lain.
Demikian halnya berbelanja dengan e-commerce. Untuk memilih barang yang akan dibeli ada kereta barang pada pasar swalayan yang diwakili dengan formulir pembelian (shopping card) yang harus diisi. Ketika item barang yang sudah dipilih dituliskan dalam shopping card, maka statusnya sama dengan memasukkan barang ke kereta barang di mana dapat dibatalkan atau ditukar dengan barang lainnya. Ketika shopping card telah terisi maka langkah selanjutnya adalah mengisikan data ke formulir transaksi berupa identitas pembeli dan nomor kartu kredit sebagai alat pembayaran. Setelah transaksi selesai dengan pembayaran lewat credit card maka pihak pihak pengelola akan mengirimkan barang melalui paket pos ke alamat yang ditunjuk oleh pembeli.
Alat pembayaran yang berlaku dalam transaksi e-commerce adalah virtual money atau uang maya dalam artian hanya melalui perpindahan nominal dana yang dibutuhklan dari pembeli kepada pihak pengelola bukan dengan menggunakan uang cash.
Contoh transaksi dan e-commerce
Secara umum transaksi dalam e-commerce dapat dilihat melalui skema


Find it adalah mode untuk pencarian barang. Selain find it bahasa yang biasa ditemukan adalah search atau browse. Explore it adalah keterangan atau spesifikasi barang yang ingin diinginkan, termasuk di dalamnya product review dari barang dimaksud. Select it merupakan kereta barang yang ada dalam transaksi e-commerce. Buy it merupakan proses transaksi pembayaran. Sedangkan ship it adalah proses yang terjadi setelah transaksi pembayaran disetujui oleh pihak pengelola dan pihak pengelola mengirimkan barang kepada alamat yang ditunjuk oleh pembeli.
Analisa transaksi melalui e-commerce
Transaksi yang terjadi dalam e-commerce dapat dianalisa melalui pengertian transaksi di mana ada dua pihak yang melakukan ijab kabul untuk satu keperluan tertentu. Transaksi dikatakan sah jika terpenuhi unsur pokoknya yaitu sighat, aqid, obyek dan tujuan transaksi termasuk tidak adanya hal-hal yang menghalangi sahnya transaksi.
Dalam akad transaksi dengan e-commerce dapat dilihat adanya empat syarat yang harus terpenuhi dalam akad yang sah, yaitu
syarat in’iqad; yaitu syarat yang harus ada untuk membentuk transaksi tersebut dianggap sah menurut syara’. Seperti kecakapan pihak-pihak yang melakukan transaksi, obyek transaksi dapat menerima hukum, transaksi tersebut membawa faedah dan lain-lain.
syarat sihhah; yaitu syarat yang ditetapkan untuk tercapainya pengaruh dari transaksi. Syarat sihhah dalam transaksi di antaranya adalah tidak adanya sifat juhalah (obyek transaksi tidak jelas), ikroh (paksaan), gharar (penipuan), dan d$arar (bahaya)
syarat nafadz; yaitu transaksi yang dilakukan berlaku sejak transaksi dilakukan dan disetujui oleh kedua belah pihak.
syarat luzum; yaitu berlakunya transaksi setelah lepas dari kaitan khiyar terhadap obyek transaksi. Ketika batas khiyar masih berlaku dan ternyata terjadi penggagalan transaksi maka transaksi yang sudah berlangsung dikatakan sebagai transaksi ghairu luzum (akad yang sah tetapi belum bisa berlangsung).
Dalam transaksi e-commerce tidak terjadi transaksi secara shafahiyah (antar ucapan lisan) melainkan dengan kitabah. Sementara dalam banyak hal disebutkan bahwa al-kitāb ka al-khiţāb (tulisan dapat diperlakukan sebagaimana pembicaraan). Kaidah ini termasuk penjabaran dari al-urf al-lafdzi dimana al-urf dipersamakan dengan al-adat yaitu suatu kebiasaan yang berlaku dan diterima masyarakat umum.
Kaidah al-kitāb ka al-khiţāb merupakan tindak lanjut dari perubahan keadaan dari tradisi lisan yang bergerak kepada tradisi tulisan. Dalam hal ini nabi Muhammad saw ketika diperintahkan menyampaikan risalah pada suatu saat menyampaikan dengan lisan dan pada saat lain dengan tulisan. Begitu pun al-Qur`an yang sampai kepada kita, di samping dengan bacaan lisan yang mutawatirah juga ada dalam bentuk tulisan.
Penggunaan tulisan sebagai pengganti ucapan dapat dianggap sah jika memenuhi syarat bahwa :
tulisan yang ditulis harus jelas
apa yang ditulis memberikan pengertian yang jelas sehingga dapat dipahami oleh kedua belah pihak.
Syarat kejelasan tulisan dan makna yang dikandung tulisan dapat juga melalui bantuan pihak lain di luar transaksi sebagai penjelas tulisan dimaksud tidak terpaku pada dua pihak melakukan transaksi saja.
Dalam fiqh klasik tidak diketemukan penjelasan mengenai transaksi melalui media on-line semacam e-commerce. Tetapi transaksi e-commerce dapat dipersamakan dengan akad salam dengan melihat bahwa barang yang ditransaksikan belum ada (‘adam al-mādat) ketika transaksi terjadi. Salam merupakan praktek jual beli yang dilakukan dengan tanpa wujud barang yang diperjual belikan. Praktek pembelian semacam ini pada dasarnya adalah haram karena menjual barang yang belum ada wujudnya. Akan tetapi, pengecualian dari syari’ dalam praktek jual beli dengan sistem salam menjadikan salam sebagai jual beli yang sah meskipun barang yang dijual belum terwujud ketika terjadi transaksi. Sabda Nabi saw
حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ مُحَمَّدٍ النُّفَيْلِيُّ حَدَّثَنَا سُفْيَانُ عَنْ ابْنِ أَبِي نَجِيحٍ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ كَثِيرٍ عَنْ أَبِي الْمِنْهَالِ عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ قَدِمَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْمَدِينَةَ وَهُمْ يُسْلِفُونَ فِي التَّمْرِ السَّنَةَ وَالسَّنَتَيْنِ وَالثَّلَاثَةَ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ أَسْلَفَ فِي تَمْرٍ فَلْيُسْلِفْ فِي كَيْلٍ مَعْلُومٍ وَوَزْنٍ مَعْلُومٍ إِلَى أَجَلٍ مَعْلُومٍ
Istilah salam mempunyai dua nama populer di mana yang disebut pertama lebih banyak digunakan dari pada yang disebut terakhir, yaitu salam dan salaf. Terma salam digunakan oleh komunitas masyarakat Madinah sedangkan salaf dipakai oleh penduduk Iraq. Dinamakan salam karena melihat penyerahan uang pembelian barang secara tunai ketika terjadi akad sementara barangnya belum tersedia. Dan disebut salaf berdasarkan lebih akhirnya penyerahan barang daripada pembayaran.
Syarat-syarat transaksi dinamakan salam adalah:
pembayaran diserahkan pada majlis akad.
barang yang dipesan belum ada ketika transaksi dilakukan.
barang yang dipesan dapat diserahkan
Dalam akad salam calon pembeli menentukan barang yang akan dibeli dengan menyebutkan spesifikasinya kepada penyedia barang. Ketika akad terjadi barang yang diinginkan belum ada di hadapan kedua belah pihak yang bertransaksi namun pihak penjual mampu menyediakan apa yang dipesan oleh calon pembeli berdasarkan sifat-sifat yang telah disebutkan dan calon pembeli menyerahkan pembayaran lebih dahulu. Kemudian barang akan diserahkan kepada pembeli pada waktu yang telah disepakati.
Mempersamakan transaksi e-commerce dengan salam tidak sepenuhnya dapat dilakukan. Dalam hal ini yang sama hanyalah ketiadaan barang semata, belum kepada sistem pembayarannya. Perbedaan mencolok mengenai sistem pembayarannya dalam salam dan e-commerce adalah pemabayaran pada yang disebut pertama dilakukan dalam serah terima oleh kedua pihak yang bertransaksi. Sedang yang disebut terakhir pembayaran terjadi dengan perantaraan wakil. Aplikasi wakil dalam pembayaran ini mengambil peran pihak bank sebagai penyedia jasa inkaso atau transfer uang.
Penggunaan wakil dalam pembayaran dalam transaski e-commerce dianggap sah karena telah memenuhi:
ada sesuatu yang diwakilkan
sesuatu yang diwakilkan mungkin untuk diwakilkan
ada pihak yang mewakili
akad perwakilan.
Dalam hal ini pihak wakil dan yang diwakili serta sesuatu yang diwakilkan juga harus memenuhi syarat sahnya perwakilan.
Penutup
Perkembangan teknologi banyak mempengaruhi perkembangan fatwa hukum yang mendesak untuk dikeluarkan. Akan tetapi, pada banyak sisi, dengan kaidah-kaidah hukum yang telah dirangkum oleh para ulama terdahulu dengan melihat pada kesamaan illat hukum dapat diketemukan jawaban hukum yang cepat dan tepat untuk status hukum yang belum pernah difatwakan pada masa lampau.
Demikian sekilas tentang e-commerce dalam tinjauan kaidah fiqh. Wallah a’lam.
Selengkapnya...

ISLAM DAN PERUBAHAN SOSIAL

ISLAM DAN PERUBAHAN SOSIAL


A. Iftitah.
Yang tergambar pertama kali ketika bertemu dengan sebutan perubahan adalah pasti ada sesuatu yang berbeda dari sebelumnya. Upaya mempertahankan yang lama yang telah usang dan tidak sesuai serupa dengan upaya merekatkan kembali daun-daun yang telah rapuh agar bertahan pada dahannya, atau mengecat kembali daun-daun yang telah menguning dengan warna hijau agar terlihat segar menghijau kembali. Padahal tidak demikian hakikatnya. Semestinya daun yang telah tua dibiarkan rontok agar muncul daun baru yang lebih segar dan menarik. Dengan demikian pohon tetap tumbuh subur, akarnya menghunjam ke tanah dan pucuknya menghasilkan buah tanpa terlepas dari akarnya.
Agar tidak terlepas dari akarnya, manusia sebagai aktor perubahan semestinya tidak melepaskan diri dari bimbingan agama. Agama tidak pernah berubah, yang bisa berubah adalah pemikiran manusia tentang ajaran agama. Pemikiran yang berubah inilah yang memengaruhi perkembangan sejarah manusia dan kemasyarakatan. Dan pilihan untuk perubahan itu diberikan kepada kita, manusia (QS al-Ra’d : 13). Perubahan bisa dibiarkan dinamikanya berkembang sendiri atau diberikan landasan tertentu. Jika dibiarkan dinamika berjalan tanpa dasar, maka akan ada perputaran tanpa bisa kembali. Arus deras perubahan tidak mungkin terelakkan yang melaju tanpa dapat dibendung. Dan dia hanya meninggalkan dua pilihan. Pertama, mandek hingga tergilas olehnya dan mati. Atau kedua, maju bersamanya tanpa melepaskan pelampung yang melindunginya.
Bagaimana Islam menyikapi adanya perubahan dalam hidup dan kehidupan masyarakat? Dapatkah Islam mengawal perubahan yang sedemikian drastis?
B. ISLAM DAN PERUBAHAN SOSIAL
Zaman kita ditandai oleh banyak hal yang antara lain adalah lahirnya aneka perubahan yang menjungkirbalikkan sekian banyak pandangan lama. Kita tentu tidak dapat mengelak dari perubahan, tetapi tidak semua perubahan bersifat positif. Karena itu kita ditantang memilih dan memilah melalui kajian ulang. Islam memandang proses perubahan bukan sebagai hal yang aneh, baru atau luar biasa. Jauh sebelum proses itu ada, Islam sudah diperlengkapi dengan piranti ajaran yang universal sekaligus global, dan eternal, ajaran yang rahmatan lil alalmin. Ajaran Islam bukan ajaran yang anti perubahan. Pedoman pokok ajaran Islam dalam al-Qur`an dan hadis Nabi selalu sesuai untuk semua situasi dan tempat. Ajaran Islam sangat menghargai perubahan, termasuk di dalamnya perubahan karena adanya perbedaan geografis, ekonomi, politis dan sebagainya.
Posisi geografis Indonesia yang berbeda dengan wilayah negara lain, tentu saja, berpengaruh kepada model perubahan di wilayah ini. Kondisi wilayah dengan dua musim dan keadaan alam yang relatif stabil pola hidup bahkan perubahannya jelas berbeda dengan wilayah-wilayah yang ekstrim wilayah kutub, utara-selatan, atau wilayah tandus di benua Afrika misalnya. Begitu pun sistem politk dan ideologi yang dianut tidak kurang memberikan kontribusi yang sangat besar terhadap adanya perubahan. Dalam hal ini syariat Islam bukan tidak dapat diterapkan di tempat-tempat ekstrim ini, karena yang kita tahu bahwa syariat Islam pertama kali muncul di semenanjung Arabia dengan kondisi wilayah yang stabil sehingga berkesan bahwa syariat Islam hanya memberikan pedoman dan hukum untuk wilayah yang normal. Bukan demikian, namun ajaran Islam sanggup mengakomodasi kondisi ekstrim yang ada di mana pun dan kapan pun. Hanya saja kita yang, sedikit-banyak, belum mampu menggali bagaimana ajaran Islam yang sebenarnya karena, sekali lagi, kita tinggal di wilayah yang stabil sebagaimana syariat Islam pertama kali muncul di negara Arab.
Contoh sederhana tentang bagaimana Islam mengakomodasi perubahan dan perbedaan dapat dikemukakan adalah megenai Syariat shalat dan puasa. Syariat “dirikanlah shalat karena adanya pergeseran posisi matahari” dijadikan patokan untuk menandai watu shalat di daerah tropis. Bagaimana di daerah yang bertemu matahari hanya enam bulan sekali seperti di Queensland atau di Rusia yang pada suatu saat dapat melihat matahari dalam waktu 21 jam. Bagaimana syariat shalat di wilayah ini? Syariat shalat dan puasa bukan tidak berlaku, bukan. Pengetahuan tentang ilmu Bumi atau ilmu Geografi dapat menjelaskan di mana posisi lintang dan posisi bujur suatu wilayah. Wilayah dengan posisi lintang yang sama mempunyai waktu yang sama. Sehingga sangat mungkin di penduduk di Irlandia melaksanakan shalat Subuh ketika matahari berada di atas ubun-ubun karena wilayah dengan garis lintang yang sama di daerah tropis menunjukkan waktu shalat Subuh. Demikian seterusnya.
Untuk ajaran-ajaran yang bersifat prinsip dan tidak berubah , al-Qur`an memberikannya dengan gamblang dan tegas. Sedang mengenai persolan yang berkembang dan berubah dari masa ke masa, al-Qur`an hanya memberikan tuntunan umum, berupa prinsip dasar yang dapat dijabarkan umat sepanjang masa sesaui dengan kebutuhan, serta kondisi sosial dan perkembangan masyarakat yang ada. Kita dapat simpulkan bahwa prisnip dasar ajaran Islam adalah pada keyakinan Tauhid, keyakinan adanya prinsip kesatuan. Dari sini lahir prinsip-prinsip bukan saja bidang sosial atau ekonomi semata, namun juga menyangkut segala aspek kehidupan dunia dan akhirat.
Prinsip kesatuan kemanusiaan dalam masalah ekonomi, misalnya, mengantar pengusaha Muslim menghindari eksploitasi terhadap sesama manusia, termasuk kepada non-Muslim. Dari sini dapat dimengerti mengapa Islam mengharamkan riba. Prinsip kesatuan kesinambungan antar generasi mendorong umat untuk berpikir dan mempertimbangkan kepentingan seluruh umat manusia, bukan hanya untuk generasinya namun juga untuk generasi mendatang. Begitu pun dalam sendi kehidupan yang lain, sampai kepada keyakinan kesatuan dunia dan akhirat, mengantar seseorang untuk memilki visi yang jauh ke depan. Tidak hanya berupaya mengejar keuntungan duniawai saja. Dari semua itu dapat melahirkan keyakinan bahwa segala sesuatu bersumber dari Allah dan berkesudahan kepadaNya. Dan karena alllah Maha Adil dan selalu memerhatikan kemaslahatn umat manusia, maka semua ketetapan hukumNya atau produk pemikiran manusia yang dikaitkan dengan namaNya, tentu hgarus bercirikan keadilan dan kemaslahatan.
Dengan prinsip Tauhid ini, proses transformasi sosial budaya, di mana bumi (dunia) dipandang sebagai satu kesatuan sistem yang utuh akibat padatnya arus informasi yang menyebabkan semakin dekatnya hubungan antar bangsa bahkan antar kejadian, dapat disikapi dan diikuti dengan arif dan agama dengan bimbingan Tauhidnya akan memandu manusia menjadi khalifah di muka bumi. Khalifah dalam arti umat yang bergenerasi, satu generasi yang melahirkan generasi berikutnya untuk menjaga amanat memanfaatkan bumi untuk manfaat sebesar-besarnya yang sesuai dengan ajaran Islam.
Harus diakui bahwa tidak mudah menggabungkan antara yang lama dan yang baru. Tidak mudah pula mempertemukan nilai-nilai lama dengan kemajuan kontemporer. Seperti dikatakan oleh Zaki Najib Mahmud, seorang ulama dan filosof dari Mesir, salah satu sebabnya adalah bahwa kemajuan kontemporer bukan produk kita (kaum Muslim), tetapi produk orang lain yang yang masuk ke rumah kita, atau kita persilahkan masuk dan kita menemuinya sebagai raksasa. Kita bingung apa yang harus dilakukan dengan isi rumah kita. Apakah isi rumah kita buang agar sang raksasa dapat masuk, ataukan kita mengatur kebali perabot rumah sehingga sang tamu dapat masuk dan dapat tinggal dengan nyaman serta di saat yang sama tidak ada perabot rumah yang penting yang kita buang.
Agama dalam pengertiannya sebagai wahyu Tuhan tidak akan berubah, tetapi pemikiran manusia tentang ajarannya, terutama dalam hubungan dengan penerapannya di dalam dan di tengah-tengah masyarakat, mungkin berubah. Artinya, perubahan yang dimaksud adalah bukanlah perubahan secara tekstual tetapi perubahan secara kontekstual. Dalam kaitan ini, Fazlur Rahman seorang ilmuwan Pakistan yang kini tinggal di Amerika, menyatakan bahwa suatu penafsiran yang telah diterima tidak harus diterima terus; selalu ada ruang maupun kebutuhan bagi penafsiran-penafsiran baru, karena hal ini sebenarnya adalah proses yang terus berlanjut.
Dalam meyikapi dan mengawal perubahan, sebagaimana dikemukakan, ajaran Islam selalu sanggup menghadapinya. Namun yang perlu diingat tidak semua ajaran Islam dapat dirasionalisasikan. Tayamum sebagai pengganti wudlu. Kalau misalnya kenapa tayamum dengan tanah debu yang dijadikan pengganti wudlu untuk memudahkan, maka kenapa untuk lebih memudahkan syariat wudlu ditiadakan saja dalam kondisi darurat? Ini ghairu ma’qulil ma’na. Atau seperti kata sayyidina Ali :
لو كان الدينُ بالعقل لكان أسفلُ الخُفِّ أولى بالمسح مِن أعلاه, لقد رأيتُ رسولَ الله صلى الله عليه وسلّم يمسح ُخفَّه
“Seandainya agama itu berdasar pertimbangan akal, maka pastilah bagian bawah sepatu lebih pantas diusap dari pada bagian atasnya. (Tetapi) aku melihat Rasulullah saw mengusap (bagian atas) sepatunya”
Penting dikemukakan juga, bahwa upaya rasionalisasi dan reaktualisasi ajaran nabi Muhammad saw di sini adalah dengan selalu memegang nilai-nilai moral al-Qur'an dan ditafsirkan secara kontekstual. Namun bukan berarti meninggalkan begitu saja warisan-warisan ulama terdahulu. Suatu kekeliruan besar dari cendekiawan kontemporer bila mereka meniru secara utuh dan rinci semua pendapat para ilmuwan terdahulu. Ini dapat dinilai sebagai mengingkari amanat ilmiah yang ditinggalkan mereka terdahulu untuk kita pelihara. Memelihara amanah itu adalah memelihara dasar-dasar ilmiah dan metode yang mereka gunakan untuk memandang permasalahan, dan menggunakannya untuk melihat persoalan masa kini. Metodologi dari generasi terdahulu tidak boleh diabaikan walau boleh disempurnakan atau direvisi.
C. Penutup
Kembali kepada al-Qur`an dan al-Sunnah, itulah semboyan yang sering kita dengar walaupun dalam pemahaman dan penerapannya tidak jarang kita saling berbeda atau bahkan berkelahi. Daun yang berguguran mempunyai sisi keindahannya sendiri. Begitu pun putik-putik bunga yang mekar tidak kalah indahnya. Satu yang pasti adalah adanya perubahan dan perubahan tidak mengenal siapa yang di hadapannya. Melawan dan menentang arus untuk kemudian mati tergerus atau maju bersamanya tanpa meninggalkan prinsip ajaran. Demikian sekilas pandang mengenai Islam dan perubahan sosial. Wallahu a’lam.
Selengkapnya...

TAFSIR AL -QUR’AN DAN PARADIGMA SOSIAL

TAFSIR AL -QUR’AN DAN PARADIGMA SOSIAL


Pengertian tafsir al-Qur`an.
Dalam ilmu Tafsir dan Ulum al-Qur’an, tafsir Al-Qur`an diartikan sebagai berikut, di antaranya :
al-Zarkashi dalam kitabnya, al-Burhan fi’ Ulum al-Qur`an menjelaskan bahwa tafsir adalah ilmu yang digunakan untuk mengetahui tentang cara-cara memahami kitab Allah yang diturunkan kepada Nabi-Nya, Muhammad saw, menerangkan makna-maknanya, dan menggali hukum-hukum dan hikmah-hikmahnya.
Sulaiman al-Jamal dalam kitabnya, al-Futuhat al-Ilahiyat menjelaskan bahwa tafsir ialah ilmu yang membahas tentang keadaan al-Qur'an al-Majid dari segi petunjuknya sebagaimana yang dikehendaki Allah menurut ukuran kemampuan manusia”.
Kedua pengertian tafsir tersebut sudah memberikan wawasan bahwa objek yang dikaji dalam tafsir adalah al-Qur`an yang diturunkan kepada Nabi Muhammad dari segi dalalah (petunjuk lafal) terhadap makna-makna yang terkandung di dalamnya menurut kemampuan manusia (mufassir). Dalam hal ini, tidak semua manusia berhak melakukan penafsiran tetapi hanya manusia yang mempunyai persyaratan tertentu, yaitu (a) berpengetahuan tentang bahasa Arab dalam berbagai bidangnya, (b) berpengetahuan tentang ilmu-ilmu al-Qur`an, sejarah turunnya, hadis dan Usul al-Fiqh, (c) berpengetahuan tentang disiplin ilmu yang menjadi materi bahasan ayat, dan (d) berpengetahuan tentang prinsip-prinsip pokok keagamaan. Artinya, jika persyaratan tersebut tidak terpenuhi maka tidak dibenarkan menafsirkan al-Qur`an.
Dalam pengertian tafsir tersebut terdapat kata dalalah (petunjuk lafal atas makna), yang berarti dalam menafsirkan al-Qur`an harus memahami dalalat al-alfaz yang dalam paradigma jumhur ulama’ (Shafi’iyah) dikenal dengan dalalat al-mantuq dan dalalat al-mafhum. Sedangkan dalam paradigma Hanafiyah dikenal dengan dalalat al-‘ibarat, dalalat al-isharat, dalalat al-iqtida dan dalalat al-dalalat (dalalat al-nas). Dengan demikian pendekatan fenomologi sangat dibutuhkan dalam memahami al-Qur`an. Artinya, toeri verstehen Weber dan teori meaning full Schultz, termasuk fenomologi Husserl dan konstruksi sosial Peter L. Berger dapat diterapkan dalam menafsirkan al-Qur`an sebagai pendekatan paradigma sosial. Hal ini karena dalam menafsirkan al-Qur`an tidak hanya terfokus pada makna lahir lafal al-Qur`an tetapi juga makna yang tersembunyi.
Paradigma penafsiran al-Qur`an
Al-Qur`an sering menyebutkan kalimat tanya tetapi maksudnya tidak untuk dijawab seperti أفلا تعقلون, أفلا تتفكرون, أفلا تتدبرون. kalimat tersebut menunjukkkan bahwa al-Qur`an diturunkan untuk setiap manusia dan masyarakat kapan dan di manapun. Artinya, mereka yang hidup sekarang dan yang akan datang dituntut untuk memahami al-Qur`an sebagaimana tuntutan yang diajukan kepada masyarakat yang menyaksikan turunnya Al-Qur`an. Dari sini seseorang tidak dihalangi untuk merenungi memahami dan menafsirkan al-Qur`an karena hal ini merupakan perintah al-Qur`an itu sendiri. Selama penafsiran al-Qur`an tersebut dilakukan secara sadar dan bertanggung jawab sesuai dengan persyaratan mufassir.
Dalam melakukan penafsiran al-Qur`an terdapat beberapa paradigma yaitu legalistis leteralis dan tekstualis atau skriptualis, kontektualis, modernis atau demitologis dan egoistis. Artinya, dalam konteks penafsiran al-Qur’an, pemakaian paradigama tertentu akan akan menghasilkan sikap tertentu terhadap al-Qur`an.
Paradigma literalistis
Kaum literalis berpendapat bahwa al-Qur`an merupakan kitab suci yang berasal dari wahyu Allah baik redaksi (lafal) maupun subtansinya. Karena itu, mustahil ada kesalahan atau kekurangan. Walaupun al-Qur`an dari Tuhan tetapi bahasa al-Qur`an merupakan bahasa manusia di mana ia turunkan. Oleh karena itu, bahasa al-Qur`an adalah bahasa yang terang dan mudah dipahami, bukan puisi gelap atau misterius. Huruf-huruf dan kata-kata (kalimat) dalam al-Qur`an bersifat suci dan merupakan hakikat dari wahyu itu sendiri. Pesan atau kehendak Tuhan melekat dalam huruf atau kata itu sendiri. Karena itu, untuk mengetahui kehendak Tuhan harus mengetahui huruf-huruf yang tertulis. Dalam hal ini, hanya penafsiran yang paling benar. Artinya, mereka beranggapan bahwa semua kata, kalimat, ayat, surat dan seluruh al-Qur`an dibaca dan dimengerti sebagaimana tertulis dengan arti apa adanya.
Kaum literalistis kurang memperhatikan bentuk-bentuk sastra, konteks bagian-bagian dalam keseluruhan, struktur teks, konteks sosiologis atau situasi historis, baik sewaktu teks diturunkan maupun konteks kekinian dan kedisinian, kesempatan dan maksud teks (maqasid al-tashri’), kondisi subyektif penulis teks seperti pergumulan hidupnya, kejiwaan dan pengalaman sewaktu menulis.
Dalam memahami huruf atau ayat per ayat dalam al-Qur`an timbullah bentuk-bentuk penafsiran literalistis sebagai berikut :
huruf atau ayat al-Qur`an ditafsiri dengan huruf atau ayat al-Qur`an lainnya.
Al-Qur`an sebagai petunjuk bagi manusia (hudan) dan lampu penerang (sirajan muniran), mustahil jika al-Qur`an menimbulkan kebingunan akibat bahasanya yang misterius. Dengan demikian, tidak perlu tafsir karena sudah jelas, bahkan jika ditafsirkan justru akan membuat yang terang menjadi gelap.
Penafsiran model ini sebenarnya menafsirkan antara satu ayat dengan ayat yang lainnya,baik dalam rangka melengkapi, menjelaskan dengan yang lainnya, mengkhususkan pengertian satu dengan yang lainnya maupun menghapuskan satu dengan yang lainnya. Model ini dalam istilah lain dikenal dengan tafsir al-mujmal, takhsis al-am, taqyid al-mutlaq, dan al-naskh. Dalam model ini, mufassir yang hendak menafsirkan ayat al-Qur`an terlebih dahulu melihat al-Qur`an, mengumpulkan ayat-ayat yang bersama-sama membahas satu topik dan merujuk silangkan (cross referencing) satu ayat kepada lainnya untuk mendapatkan keterangan mengenai sesuatu yang hanya disebutkan secara ringkas dengan bantuan berbagai ayat tersebut.
Al-Qur`an dengan Nabi (Sunnah atau Hadis), karena Nabilah yang paling mengetahui makna-makna huruf atau ayat per ayat sebagaimana dikehendaki Tuhan.
Model ini menempatkan Nabi Muhammad saw sebagai mufassir baik berfungsi sebagai penguat (ta’kid) al-Qur`an, pentakhsis lafal-lafal yang masih umum dalam al-Qur`an, pembatas atau penentu lafal mutlaq al-Qur`an maupun sebagai naskh al-Qur`an. Untuk fungsi nasakh ini masih diperdebatkan para ulama. Dalam hal ini, posisi Muhammad sebagai nabi dan rasul tentunya beliau merupakan tumpuan segala permasalahan dalam kehidupan keagamaan masyarakat. Karena itu nabi bukan saja menjadi penjelas, tetapi juga sumber otoritas agama yang kedua setelah Allah swt.
Al-Qur`an dengan perkataan sahabat dan tabi’in walaupun sebagian mufassir masih mempermasahkan menafsirkan ayat dengan perkataan tabi’in.
Para sahabat tidak hanya sekedar sebagai orang yang intens bergaul dengan nabi Muhammad dan berjuang bersama beliau, melainkan juga sebagai mujtahid yang memiliki kapasitas intelektual dan moral yang diragukan. Karena itu, sejalan dengan kompleksnya permasalahan dalam umat Islam para sahabat berperan penting dalam memberikan konfirmasi bahka elaborsi ajaran atau nuansa keberagaman itu sendiri. Begitu juga kedudukan para tabi’in sangat penting dalam kondifikasi tafsir al-Qur`an karena tafsir dibukukan pada masa tabi’in. Bahkan, para ulama sekarang pun memiliki peranan penting dalam menafsirkan al-Qur`an karena al-Qur`an bukan dokumen sejarah yang mati melainkan sebuah fenomena yang hidup yang senantiasa berdialog dengan zaman.
Al-Qur`an dengan tradisi, yaitu tradisi masyarakat baik sebelum atau sesudah Islam, karena pada dasarnya bahasa merupakan simbol dari tradisi atau budaya setempat,
Al-Qur`andengan ahli bahasa Arab
Tafsir kaum literalistis ini dikenal dengan sebutan tafsir bi al-ma`thur, tafsir bi al-manqul atau tafsir bi al-riwayat.
Paradigma demitologis
Demitologis bermakna membersihkan kitab suci dari unsur cerita dan dongeng serta nilai-nilai mistisnya yang terdapat dalam teks atau peristiwa yang menyertai teks dalam rangka menemukan pesan aslinya. Dalam hal ini kaum demitologis lebih menekankan isi pesan daripada struktur bahasa atau media yang dipergunakan dalam kitab suci. Bahasa atau teks hanya sebagai simbol, tanda, isyarat, ayat (sign) yang membawa pesan tertentu sebagaimana dikehendaki. Bahasa Arab bukan satu-satunya bahasa Tuhan juga bukan bahasa surga, ia hanya sekedar alat atau media yang secara kebetulan al-Qur`an diturunkan pada nabi dan lingkungan sosial yang berbahasa Arab. Al-Qur`an yang hakiki berada di lawh al-mahfuz, berbeda dengan teksnya itu sendiri. Beragama yang benar adalah beragama yang mampu menangkap pesan atau ide moralnya, bukan terjebak dalam simbolisme. Hal ini dapat dilakukan jika mitos-mitos seputar kitab suci dihilangkan agar tidak menjadi penghalang dalam upaya menangkap makna hakikinya.
Sesudah pesan atau ide moral “asli” atau “hakiki” dari al-Qur`an ditemukan, pesan itu kemudian diungkapkan dalam bahasa yang dapat di pahani dalam semangat zaman. Kemudian muncullah tafsir kontekstual, tafsir maqasid al-shar’i, tafsir bi al-ilmi, tafsir al-mawdu’i. Tafsir Demitologis ini dikenal dengan istilah tafsir bi al ra’y. Istilah ini sebenarnya kurang tepat karena dalam kenyataannya tafsir bi al-mathur juga bi al-ra’y sebab yang namanya tafsir adalah upaya untuk menerangkan atau menjelaskan agar dipahami. Sedangkan aktivitas menerangkan atau memahami itu merupakan aktifitas intelektual, bagaimanapun caranya.
Paradigma legalistis
Kaum legalistis memandang hidup beragama sebagai melaksanakan hukum Allah itu tercapailah kebahagiaan dunia dan akhirat. Dalam hal ini al-Qur`an terutama dan pertama-tama dipahami berisi hukum agama. Sedangkan isi lainnya dipandang bersifat melengkapi hukum agama tersebut. Sementara itu kesalehan diukur dengan ketaatan melaksanakan hukum agama. Dalam konteks metode tafsir ini, muncullah tafsir al-ahkam baik dalam bidang ibadah maupun mu’amalah.
Paradigma Egoistis
Jika tiga kelompok sebelumnya menafsirkan al-Qur`an bertitik tolak dari al-Qur`an itu sendiri, maka kaum egoistis menafsrikan al-Qur`an tidak harus berdasarkan iman terhadap Tuhan atau kebenaran al-Qur`an sebagai doktrin atau norma suci. Mereka memahami kitab suci tidak lebih dari dokumen sejarah atau buku-buku lainnya karangan manusia yang bisa benar dan bisa salah. Akan tetapi mereka menyadari bahwa eksistensi al-Qur`an memiliki pengaruh besar dan diterima sebagai sumber kewibawaan dalam ajaran dan moral.
Kaum egoistis ini menafsirkan al-Qur`an untuk kepentingan si penafsir atau kelompoknya. Misalnya untuk mendukung pendapatnya sendiri, untuk mendapatkan popularitas, untuk membenarkan tindakannya membenakan mazhab, partai politik atau untuk menjatuhkan atau mencari kelemahan al-Qur`an itu sendiri. Dalam kampanye politik, sering seorang politisi membawa-bawa ayat al-Qur`an untuk dijadikan pembenar atau komoditas dagangan politiknya walaupun penafsirannya jauh menyimpang. Al-Qur`an dan Tuhan diperalat demi tujuan tertentu. Dalam hal ini tafsir-tafsir sektarian dan tafsir-tafsir non-muslim (orientalis dan islamis) dapat dikategorikan dalam tafsir kaum egoistis. Metode tafsir kaum egoistis ini sangat bervariasi dan bisa jadi sebagaimana yang digunakan tiga kelompok sebelumnya.
Pendekatan penafsiran Al-Qur`an
Tujuan tafsir al-Qur`an adalah menjelaskan, menerangkan, menyingkap kandungan kitab suci serta pesan yang terkandung di dalamnya, baik hukum, moral, spiritual, perintah maupun larangan sehingga dapat dipahami, dihayati dan diamalkan. Oleh karena itu, dalam rangka menjelaaskan isi kitab suci, tafsir menggunakan beberapa pendekatan sesuai dengan disiplin ilmu.
Pendekatan sastra dan bahasa, timbul akibat banyaknya orang non-Arab yang memeluk agama Islam serta akibat kelemahan-kelemahan orang Arab itu sendiri di bidang sastra sehingga dirasakan kebutuhan untuk menjelaskan kepada mereka tentang keistimewaan dan arti kedalaman arti kandungan al-Qur`an di bidang ini.
Pendekatan filosofis dan teologi, akibat penerjemahan kiab filsafat yang mempengaruhi sementara pihak serta akibat masuknya penganut agama-agama lain kepada Islam yang dengan sadar atau tidak sadar masih mempercayai beberapa hal dari kepercayaan lama mereka. Kesemuanya menimbulkan pendapat setuju atau tidak setuju yang tercermin dalam penafsiran mereka.
Pendekatan ilmiah, akibat kemajuan ilmu pengetahuan dan usaha penafsir untuk memahami ayat-ayat al-Qur`an sejalan dengan perkembangan ilmu.
Pendekatan Fiqh atau hukum, akibat berkembangnya ilmu Fiqh dan terbentuknya mazhab-mazhab Fiqh di mana setiap golongan berusaha membuktikan kebenaran pendapatnya berdasarkan penafsiran-penafsiran mereka terhadap ayat-ayat hukum.
Pendekatan tasawuf, akibat timbulnya gerakan-gerakan sufi terhadp reaksi dari kecenderungan berbagai pihak terhadap materi atau sebagai kompensasi terhadap kelemahan yang dirasakan.
Pendekatan sosiologis dan kultural, pendekatan yang menjelaskan petujuk-petunjuk ayat-ayat Al-Qur`an yang berkaitan langsung dengan kehidupan masyarakat serta usaha-usaha untuk menanggulangi penyakit-penyakit atau masalah-masalah mereka berdasarkan petunjuk-petunjuk ayat dengan mengemukakan petunjuk-petunjuk tersebut dalam bahasa yang mudah dimengerti.
Melalui pendekatan-pendekatan tafsir tersebut dapat dipahami bahwa ayat yang sama jika ditafsiri dengan pendekatan yang berbeda, maka akan menghasilkan isi pesan yang berbeda pula.
Adapun metode penafsiran al-Qur`an yang berkembang dalam tradisi intelektual Islam dan cukup populer sebagai berikut:
Tafsir tahlili, yaitu metode penafsiran al-Qur`an dengan cara menguraikan secara detail kata demi kata, ayat demi ayat dan surat demi surat yang ada dalam al-Qur`an dari awal hingga akhir. Metode ini memadukan antara tafsir bi al-mathur dan tafsir bi al-ra’yu.
Tafsir ijmali, yaitu metode penafsiran al-Qur`an dengan cara menafsirkan ayat-ayat dalam kitab suci dengan cara menunjukkan kandungan makna kitab suci secara global dan penjelesannya pun biasanya secara global pula.
Tafsir muqaran, yaitu metode penafsiran al-Qur`an dengan cara membandingkan ayat al-Qur`an dengan ayat lainnya yang memiliki kemiripan redaksi, baik dalam kasus yang sama maupun berbeda. Metode ini juga dapat berarti membandingkan ayat al-Qur`an dengan hadis, hadis dengan hadis atau pendapat para ulama tafsir.
Tafsir mawdu’i (tematik), yaitu metode penafsiran al-Qur`an dengan cara menghimpun ayat-ayat al-Qur`an dari berbagai surat yang berkaitan dengan persoalan atau topik yang ditetapkan sebelumnya. Bahkan M. Quraish Shihab membagi metode tafsir mawdu’i menjadi dua, yaitu,
a. penafsiran menyangkut satu surat dalam al-Qur`an dengan menjelaskan tujuan-tujuannya secara umum dan yang merupakan tema sentralnya serta menghubungkan persoalan-persoalan yang beraneka ragam dalam surat tersebut antara satu dengan lainny dan juga dengan tema tersebut sehingga satu surat tersebut dengan berbagai masalahnya merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan.
b. Penafsiran yang bermula dari menghimpun ayat-ayat al-Qur`an yang membahas satu masalah tertentu dari berbagai ayat atau surat al-Qur`an dan yang sedapat mungkin diurut sesuai dengan urutan turunnya, kemudian menjelaskan pengertian menyeluruh dari ayat-ayat tersebut, guna menarik petunjuk al-Qur`an secara utuh.
Paradigma sosial dan metode tafsir
Klasifikasi model tafsir berdasarkan pandangan-dunia mufassir terhadap al-Qur’an berwujd literalistus, demitologis, legalistis, dan egoistis adalah lebih bersifat analisis intelektual, bukan berdasarkan polarisasi sosial. Hal ini karena dalam realitas sosialnya, bisa jadi semua metode digunakan, termasuk metode kaum egostis. Dalam ilmu Sosial terdapat multi paradigma yang dijadikan weltanschuung yang dijadikan frame terhadap realitas sosial. Dalam hal in dapat dilihat pendapat Ritzer mengenai tiga paradigma dalam ilmu-ilmu sosial khususnya Sosiologi, yaitu paradigma sosial, paradigma definisi sosial, dan paradigma fakta sosial. Bahkan, ada juga yang memasukkan paradigma terpadu.
Paradigma fakta sosial
Paradigma fakta sosial dalam sosiologi dipelopori oleh Emile Durkheim. Dia mengatakan bahwa realitas sosial itu memiliki daya paksa dan menentukan perilaku. Realitas sosial itu meliputi pranata sosial –seperti institusi, norma hukum, adat, agama (kitab suci)- dan struktur sosial – seperti organisasi yang di dalamnya terdapat jaringan hubungan sosial dan interaksi berproses dan menjadi terorganisir dan dengannya posisi-posisi sosial, individu, dan kelompok sosial dapat dibedakan. Aliran teori yang dapat dikelompokkan dalam paradigma ini meliputi teori fungsionalisme struktural, teori konflik, teori sistem, dan teori sosiologi makro.
Secara umum mufassir yang menganut paradigma ini beranggapan bahwa (1) al-Qur’an memiliki daya paksa terhadap perilaku manusai, (2) al-Qur’an adalah fenomena “mati” atau pasif. Karena itu mufassir berusaha semaksimal mungkin agar al-Qur’an itu diakui apa adanya. Kebenaran adalah sesuainya kehidupan manusia dengan fakta huruf-huruf al-Qur’an. Hubungan al-Qur’an dan manusia dipahami secara kaku, diibaratkan seperti jalan dengan mobil. Dalam hal ini, bukan jalan yang menyesuaikan dengan mobil, tetapi sebaliknya. Bukan al-Qur’an yang menyesuaikan dengan kehidupan manusia, tetapi manusia yang harus menyesuaikannya.
Dalam paradigma fakta sosial, paling tidak ada empat teori yang mendukungnya, yaitu teori struktural fungsional, teori sistem, dan teori sosiologi makro.
Teori struktural fungsional
Dalam teori ini, agama dan kitab suci merupakan pranata sosial yang melingkupi kehidupan manusia, baik sebagai individu maupun sebagai masyarakat. Agama menjadi fungsional ketika agam itu menjadi dan norma kultural bersama dalam suatu masyarakat sehingga memiliki daya paksa terhadap perilaku anggota-anggotanya. Sebagai pranata sosial, agama berperan sebagai penjaga ketertiban (order) dan keseimbangan (equiblrium) dalam kehidupan masyarakat. Dalam hal ini, selama dua peran itu dapat dimainkan oleh agama, berarti agama masih berfungsi. Sedangkan jika tidak berfungsi, niscaya agama akan ditinggalkan. Karena itu, dalam konteks ilmu Tfasir, aliran struktural fungsional senantiasa menerjemahkan al-Qur’an sebagai pranata sosial yang fungsional bagi masyarakat. Agar fungsional, diperlukan intrepretasi kontekstual dengan dinamika masyarakatnya.
Teori konflik
Konflik dalam masyarakat akan muncul dengan sendirinya jika pranata dan struktur sosial yang dianggap tidak memadai lagi. Norma-norma lama perlu diganti dengan yang baru, struktur sosial yang lama juga perlu diganti atau direformasi, dalam rangka menciptakan tatanan baru dan keseimbangan baru. karena itu, konflik dalam sebuah masyarakat atau negara diperlukan agar masyarakat dan negara itu tidak lengyap. Dalam suatu kelompok yang memiliki wewenang dan posisi (penguasa) dan yang dikuasai, baik secara politik maupun ekonomi. Dua kelompok itu senantiasa melakukan pergumulan semacam the struggle of life and survival of the fittestnya Darwin. Pertentangan dua kubu ini membuat perubahan dan kemajuan, yaitu tatanan sosial yang lebih seimbang (adil). Mufassir yang mengembangkan teori konflik ini akan lebih peka terhadap nasib kaum tertindas (mustadh’afin) dan rakyat jelata (dhu’afa) yang seringkali menjadi korban keserakahan para penguasa dan orang-orang kaya (mutrafin). Agama secara normatif idealistik senantiasa memihak orang-orang lemah, tetapi dalam realitas sejarahnya justru agamalah yang mengabsahkan tindakan represif terhadap orang-orang yang tak berdaya.
Teori Sistem
Sistem sering diartikan sebagai bersatunya komponen-komponen yang memang saling bergantung dalam rangka menghasilkan sesuatu. Teori sistem mengatakan bahwa kehidupan adalah sistem, baik dalam konteks mikro (mikrokosmos/manusia) mapum makro (makrokosmos/alam jagad raya). Sebagai makhluk individu manusia terikat oleh sistem dan sebagai makhluk sosial manusia juga terikat oleh sistem, bahkan berbagai sistem.
Perilaku sosial manusia pada dasarnya digerakkan oleh sistem. Dalam hal ini, mufassir dengan teori sistem akan berpendapat bahwa agama merupakan komponen atau bagian dari sistem. Al-Qur’an adalah bagian dari sistem kehidupan dunia yang keberadaannya harus senantiasa harmoni dan serasi dengan komponen-kompoenen lainnya seperti kebudayaan, sains dan teknologi, politik dan ekonomi. Karea penafsiran al-Qur’an sebagai salah satu komponen, tidak dapat dilepaskan dari keterkaitan dengan komponen lainnya. Al-Qur’an tidak dapat disterilkan dari hiruk pikuk kehidupan yang sistematik itu.
Paradigma definisi sosial
Paradigma definisi sosial dipelopori oleh Weber. Weber mengartikan Sosiologi sebagai sutau studi tentang tindakan sosial “penuh arti” antar hubungan sosial. Adapun yang dimaksud tindakan sosial adalah tindakan individu sepanjang tindakannya itu mempunyai makna ataua arti subyektif bagi dirinya dan diarahkan bagi tindakan orang lain.
Teori yang termasuk dalam paradigma definisi sosial antara lain teori aksi, interaksionisme simbolik, dan fenomenologi. Hal ini berbeda dengan paradigma fakta sosial, paradigma definisi sosial akan memandang bahwa al-Qur’an sebagai fenomena yang dinamis, “hidup” sehingga dapat terjadi interaksi dialogis antara manusia dan al-Qur’an. Perilaku manusia dianggap benar apabila didasarkan atas hubungan dialogis dengan al-Qur’an. Al-Qur’an dan manusia saling berinteraksi, saling memberikan aksi dan reaksi yang pada gikirannya terdapat “makna” dan “tindakan penuh arti” atau penghayatan agama secara mendalam. Weber dalam hal ini mengedepankan interpretative understanding atau verstehen.
Dalam paradigma fakta sosial, al-Qur’an dipahami sebagai pranata sosial (norma) yang keberadaannya digunakan sebagai frame untuk membaca/menilai suatu masyarakat. Pranata sosiallah yang melingkupi pandangan dunia manusia dan keberadaannya memiliki daya paksa terhadap manusia. Manusia adalah korban dari struktur yang dibuatnya sendiri. Sedangkan, dalam definisi sosial justru sebaliknya. Manusia merupakan makhluk yang aktif dan kreatif yang kesadarannya menentukan perbuatan dan dunia sosialnya. Bukan dunia sosial yang membentuk pribadinya, tetapi kepribadiannyalah yang membentuk dan menentukan dunia sosial.
Paradigma sosial benar-benar menghendaki tafsir yang kontekstual da fungsional. Tafsir yang kontekstual adalah tafsir yang tidak fungsional. Tafsir yang terasing dari konteksnya tidak akan mampu berfungsi sebagai tafsir. Tafsir yang hidup adalah tafsir yang mampu mendialogkan kitab sci dengan kehidupan itu sendiri. Itu sebabnya, ketika konteks kehidupan berubah, maka diperlukan tafsir baru. Karena itu tafsir harus kreatif dan dinamis, dan dialogis dengan realistis.
Tafsir yang kontekstual dan fungsional bukan hanya sekedar merk tafsir sebagaimana tafsir tekstual atau lainnya, melainkan tafsir itu sendiri. Dalam hal ini, sia-sialah melakukan penafsiran terhadap kitab suci jika penafsirannya tidak kontekstual, tidak fungsional. Sebab sebuah tafsir [ada hakikatnya adalah sebagai upaya mempertemukan secara dialektis, kreatif serta seksistensial antara “teks” dan “konteks”, antara “dalil” yang universal dan “dalalahnya” yang kontekstual. Tafsir harus memperhitungkan teks dan konteks secara seimbang dan bersama-sama.
Sebuah tafsir kontekstual harus berangkat dari keyakinan tentang posisi teks itu, yaitu sebagai simbolisasi firman Tuhan yang berlaku universal dan kontekstual. Sedangkan yang menjadi permasalahan, bagaimana umat beriman menangkap kemudian merumuskan semangat dari kehendak Tuhan itu dalam konteks ruang dan waktu tertentu, mengingat bahwa kehendak dan tindakan Tuhan senantiasa kontekstual. Wahyu al-Qur’an meiliki konteks kesejarahannya (asbab al-nuzul) walaupun dalil (teks) dari wahyu itu berlaku universal. Mufassir yang mempelajari al-Qur’an berarti menghdapkan teks ayat al-Qur’an yang universal di dalam konteks tertentu. Konteks itu bersifat tematik (ekonomi, politik, budaya, iptek) atau area (kondisi wilayah atau masyarakat tertentu). Karena itu, “teks” senantiasa berada dalam “konteks”.
Mufassir berparadigma definisi sosial berpendapat bahwa “teks” dalam kitab suci al-Qur’an bukan akhir dari firman dan kehendak Tuhan. Allah yang berfirman dan menyatakan kehendakNya adalah Allah yang berkenan untuk berfirman dan menyatakan kehendakNya terus menerus pada setiap zaman dan tempat. Allah bisa berfirman dan menyatakan kehendakNya lewat hati nurani dan pikiran para ulama yang bijaksana, lewat fenomena sosial dan fenomena alam. Karena itu, kebenaran bukan hanya diukur dengan teks, tetapi juga dengan konteks sehingga terjadi inter-tekstualitas antara teks dan konteks. Dari sini, seorang mufassir bukan lagi to learn aboaut the people berdasarkan kitab suci, melainkan to learn from the people.
Selengkapnya...

Wednesday, July 16, 2008

liburan juliku 2008




Selengkapnya...

liburan juli 2008





Selengkapnya...

harta bersama


HARTA BERSAMA PERSPEKTIF HUKUM ISLAM

Pengertian Harta Bersama

Harta bersama merupakan salah satu bentuk sumber kekayaan yang diusahakan suami-isteri dengan tujuan untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga. Hukum Islam, Hukum Adat dan Hukum Perdata Barat (BW) mempunyai perbedaan dalam mengatur sumber pembiayaan bagi penyelenggaraan kehidupan keluarga. Perbedaan ini menyangkut tentang ada-tidaknya harta bersama, proses pembentukan harta bersama, unsur-unsur yang membentuk harta bersama, pola pengelolaan harta bersama dan pembagian harta bersama karena perceraian.

Harta Bersama dalam Islam

Islam sangat ketat dalam menentukan kepemilikan harta. Karena itu, membicarakan harta bersama berarti memasuki pembicaraan di dalam pengaturan yang ketat itu. Firman Allah dalam QS al-Baqarah : 188 menegaskan haram hukumnya mengambil harta orang lain tanpa seizinnya :

“Dan janganlah sebahagian kamu memakan harta sebahagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang batil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebahagian daripada harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui.”
Memelihara harta merupakan salah satu prinsip dasar dari al-dharuriyat al-khamsah (lima prinsip dasar) dalam syariat Islam yang harus selalu dijaga atau dipelihara. Yaitu, hifdh al-din (memelihara agama), hifdh al-nafs (memelihara jiwa), hifdh al-nasl (memelihara keturunan), hifdh al-mal (memelihara harta) dan hifdh al-aql (memelihara akal).

Pemahaman pasif dari memelihara harta adalah agar jangan sampai harta itu dirampas tanpa hak oleh orang lain. Orang yang mati demi mempertahankan hartanya terkategorikan sebagai mati syahid mengingat harta sebenarnya adalah milik Allah. Namun, alasan harta sebenarnya adalah milik Allah kiranya perlu diluruskan. Alasan lebih tepat adalah bahwa mendapat predikat mati syahid itu karena nilai memelihara harta sangat tinggi nilainya dalam Islam. Artinya, property right di dalam Islam sangat tinggi. Jika pemahaman pasif menunjukkan yang demikian, maka pemahaman aktif bahwa hifd al-mal tidak hanya memelihara harta yang sudah ada, tetapi berusaha mengembangkan harta yang sudah ada untuk tujuan shadaqah (QS al-Baqarah : 272), tentu lebih tepat.

Pada tataran yang sangat dasar, al-Qur`an dan Hadis tidak membicarakan harta bersama. Oleh karena itu, persoalan tersebut diserahkan kepada lembaga ijtihad atau kepada hukum adat, sejalan dengan kaidah al-adat muhkamah atau al-adat muhakkamah (kebiasaan dapat dipakai/punya otoritas untuk menentukan hukum atau kebiasaan dipandang sebagai hukum).

Para ahli Hukum Islam berbeda pendapat dalam memandang hukum harta bersama. Kelompok pertama berpendapat bahwa pada asasnya dalam Hukum Islam tidak ada harta bersama. Seluruh biaya pemenuhan penyelenggaraan kehidupan rumah tangga menjadi kewajiban dan tanggung jawab suami. Walaupun isteri memiliki harta baik berasal dari warisan, hibah maupun hasil usahanya sendiri, ia tidak mempunyai kewajiban dan tanggung jawab dalam pemenuhan kebutuhan rumah tangga. Penggunaan harta benda isteri oleh suami untuk memenuhi kebutuhan keluarga, hukumnya sebagai pinjaman atau hutang yang harus dikembalikan.

Pendapat ini berangkat dari teks ayat 34 Surat al-Nisa`:
"Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. sebab itu Maka wanita yang saleh, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka). wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, Maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. kemudian jika mereka mentaatimu, Maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha besar".

Dalam penjelasan hadis Nabi saw tampak bahwa kewajiban istri terhadap suami hanya memenuhi kebutuhan biologis suami saja, tidak ada yang lain misalnya kewajiban memasak dan mencuci pakaian apalagi kewajiban bekerja untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Sedangkan semua hal yang berhubungan dengan hak istri adalah menjadi kewajiban suami semata. Imam Abi Dawud meriwayatkan :
“Diriwayatkan dari Muawiyah ibn Hidah (kakek dari Bahz ibn Hakim) berkata, aku bertanya : ya Rasulallah, (terhadap) istri-istri kami, apa yang harus kami lakukan dan apa yang dilarang ? Rasul menjawab “datangilah ladangmu sekehendakmu, berilah dia makan ketika kamu makan, berilah pakaian ketika kamu berpakaian, jangan mencela wajah atau memukul”

Ketika ditarik kepada adat di Indonesia, yang terjadi adalah seorang suami bekerja sementara si istri tinggal di rumah memenuhi kebutuhan keseharian suami. Hal ini dilakukan untuk mendukung kesempatan yang lebih luas kepada waktu kerja suami. Dalam aturannnya, jika suami tidak dapat menyelesaikan pekerjaan rumah sendiri, maka dia berkewajiban mempekerjakan orang lain dengan memberi upah. Oleh karena itu, ketika hal itu dilakukan oleh istrinya sendiri, suami tetap berkewajiban memberi upah kepada istrinya atas pekerjaan itu.
Jika hal ini yang terjadi, istri yang mengerjakan pekerjaan rumah dan suami bekerja, ketika terjadi perpisahan sebab perceraian atau meninggal dunia, maka istri berhak mendapatkan bagian harta dari upah sehari-harinya lebih dahulu dari pekerjaan melayani atas harta mantan suami atau harta peninggalan suami. Jadi istri memiliki harta pasca perpisahan melalui lembaga ujrah (upah melakukan pekerjaan) bukan melalui lembaga harta bersama.

Konsep fiqh sendiri mengenai ujrah ada dua macam, yaitu :
Ujrah musamma yang ditentkan oleh kesepakatan kedua pihak (pihak yang mempekerjakan dan pihak yang dipekerjakan).
Ujrah mitsil yang disesuaikan dengan upah standar umum.

Jika seorang pembantu rumah tangga saja harus diberi upah oleh sesuai ketentuan upah minimal standar daerah setempat, maka tentu seorang suami tidak akan mengupah (memberi ujrah) kepada istrinya setara dengan ketika dia mempekerjakan seorang pembantu rumah tangga biasa. Dengan demikian model ujrah yang akan diberikan oleh suami bergantung kepada kemampuan si suami. Suami yang mempunyai penghasilan besar seharusnya tidak memberikan upah standar minimal, apalagi terhadap istrinya sendiri.
Perhitungan jumlah untuk besarnya harta istri antara menerima bagian harta bersama sebesar setengah harta suami dan menerima ujrah sangat relatif. Dalam praktiknya, jika yang diterima adala harta bersama, maka dari harta itu harus dikurangi kewajiban-kewajiban yang mesti dikeluarkan untuk kebutuhan rumah tangga. Semakin besar penghasilan seseorang semakin besar kebutuhan yang harus dipenuhi. Dan jika yang diterima adalah ujrah, maka harta itu adalah mutlak tanpa dikurangi sedikitpun untuk pemenuhan kebutuhan rumah tangga.

Dalam kaitannya dengan kebiasaan di Indonesia di mana hukum yang berlaku dipengaruhi oleh kebiasaan yang terjadi di masyarakat di mana di sana terdapat ketentuan adanya harta bersama, maka ketentuan al-'adah muhkamah tetap harus diperhatikan. Artinya, harta bersama bagi pasangan suami-istri yang beragama Islam di Indonesia adalah ada berdasarkan fiqh Indonesia, dalam hal ini UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam. Apa yang telah ditetapkan pemerintah merupakan implementasi tasharruf al-imam 'ala ra'iyyatih manuth bi al-maslahah (apa yang dilakukan pemerintah terhadap rakyatnya bergantung pada kebaikan bersama) sehingga ketetapan ini bersifat hukm al-hakim yurfi’ wa yulzim (keputusan pemerintah bersifat demi meniadakan perselisihan dan bersifat mengikat).

Kelompok kedua, menyatakan bahwa suami dan isteri dapat membentuk harta bersama guna memenuhi kebutuhan rumah tangga. Harta bersama ini dalam pandangan Islam termasuk golongan syirkah abdan atau mufawawadlah. Syirkah abdan adalah perkongsian antara dua orang atau lebih untuk sama-sama bekerja, dan upah yang mereka peroleh dibagi menurut perjanjian. Sedangkan syirkah mufawwadlah adalah perkongsian dalam menjalankan modal, dengan ketentuan bahwa masing-masing anggota memberikan hak penuh kepada anggota lainnya untuk bertindak atas nama perkongsian tersebut.
Penulis tidak sepakat dengan pendapat kedua ini yang menyatakan bahwa harta bersama di Indonesia adalah bentuk dari syirkah abdan atau syirkah mufawawadlah. Bentuk syirkah (kerjasama) ketika dilakukan oleh dua pihak atau lebih yang saling sepakat, maka pihak-pihak tersebut berhak atas upah hasil kerja atau atas hasil perkembangan modalnya masing-masing sesuai kesepakatan. Keadan ini tidak melihat oleh siapa kesepakatan dilakukan, baik mereka mempunyai hubungan keluarga atau tidak. Ketika bentuk syirkah ini dilakukan oleh suami dan istri, maka hak atas upah hasil kerja atau atas hasil perkembangan modalnya masing-masing tetap menjadi bagian pihak-pihak tersebut. Dalam hal ini suami berhak mendapat bagian upah atau keuntungan, begitu juga istri berhak mendapat bagian upah atau keuntungan.

Jika dalam syirkah ini bagian suami diambil oleh suami dan bagian istri dianggap sebagai harta bersama, pihak istri jelas sebagai pihak yang madhlum. Jika upah atau keuntungan dari syirkah oleh suami-istri ini tetap sebagai harta yang dibiarkan berbaur bersama, maka ketika terjadi perpisahan akibat perceraian atau meninggal dunia, maka istri tetap berhak atas harta dari upah atau keuntungan syirkah dan harta dari upah melakukan pekerjaan rumah untuk suami jika pekerjaan itu dilakukan oleh istri.

Harta Bersama Dalam Sistem Perundangan di Indonesia

Negara Indonesia sebagai Negara hukum yang berdasarkan Pancasila sebagai landasan idiil dan Undang-Undang Dasar 1945 sebagai landasan fundamental yang mengatur sistem penyelenggaraan Negara merupakan negara multi-kultural.
Terbentuknya perundang-undangan di negara manapun, termasuk di Indonesia, tidak terlepas dari sejarah perkembangan bangsa (negara) yang bersangkutan. Sebagaimana halnya di Indonesia, sebelum dijajah oleh Belanda bangsa Indonesia telah mengikuti hukum kebiasaan (customary law) yang kemudian diperkaya oleh hukum agama yang dipeluk. Hukum agama sangat mendominasi tata kehidupan masyarakat dan telah terjadi akulturasi secara antropologis. Kemudian datang bangsa Eropa, khususnya Belanda menjajah Indonesia, sebagai konsekuensinya hukum Belanda juga berpengaruh dalam tata kehidupan, terutama sekali dalam kehidupan formal berhubungan dengan negara atau pemerintahan dan dalam kasus-kasus resmi di pengadilan. Setelah Indonesia merdeka, dan bahkan sampai sekarang, walaupun sudah memiliki landasan dasar yakni Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945, pengaruh hukum Belanda masih mendomanasi dalam sistem perundang-undangan nasional.

Secara faktual umat Islam Indonesia yang bukan hanya sekedar kelompok mayoritas di Indonesia, tetapi juga merupakan kelompok terbesar dari umat Islam di dunia. Oleh karena itu, Hukum Islam sebagai hukum yang dibuat dan berlaku terutama bagi umat tersebut adalah merupakan hukum dengan subyek yang besar. Sehingga betapapun, dalam kondisi yang demikian Hukum Islam menempati posisi yang sangat strategis bukan saja bagi umat Islam Indonesia tetapi bagi dunia Islam pada umumnya dan sekaligus juga menempati posisi yang strategis dalam sistem Hukum Indonesia.

Dengan perjuangan yang cukup panjang masyarakat muslim Indonesia akhirnya melahirkan suatu Undang-undang yang bersifat Nasional bagi mereka. Yaitu :

Tahun 1974 muncul Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
Tahun 1975 keluar Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan UU No. 1 Tahun 1974,
Tahun 1983 muncul Peraturan Pemerintah No. 10 Tahun 1983 tentang Izin Perkawinan dan Perceraian bagi Pegawai Negeri Sipil.
Tahun 1990 terbit Peraturan Pemerintah No. 45 Tahun 1990 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah No. 10 Tahun 1983 tentang Izin Perkawinan dan Perceraian bagi Pegawai Negeri Sipil.
Dan yang terakhir pada tahun 1991 melahirkan Kompilasi Hukum Islam berdasarkan Instruksi Presiden RI No. 1 Tahun 1991 dan Keputusan Menteri Agama RI No. 154 Tahun 1991 tentang Pelaksanaan Instruksi Presiden RI.

Harta bersama atau dalam istilah lainnya dikenal dengan nama harta gono-gini diatur dalam perundangan di Indonesia, yaitu menurut Undang-undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan berdasarkan Kompilasi Hukum Islam.

Secara tersurat, Pasal 85 sampai dengan 97 Bab XIII Kompilasi Hukum Islam di Indonesia yang merupakan produk fikih Indonesia, mengatur kemungkinan bagi para pihak suami isteri untuk membentuk harta bersama dalam keluarga. Pasal 85 Kompilasi tersebut menyatakan pula bahwa adanya harta bersama dalam keluarga itu tidak menutup kemungkinan adanya harta milik pribadi masing-masing suami dan isteri.

Undang-undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 mengatur tentang harta bersama dalam satu bab, yakni Bab VII tentang Harta Benda dalam Perkawinan dan tiga pasal, yaitu pasal 35 sampai dengan pasal 37. Tentang pengertian harta bersama terdapat dalam pasal 35 ayat (1) undang-undang tersebut di mana di dalamnya disebutkan "Harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama".

Sedang menurut Hukum Adat, harta bersama dalam perkawinan adalah harta lepasan atau pecahan dari harta kerabat yang mengurung keluarga baru tersebut. Misalnya dalam adat Aceh, harta bersama dikenal dengan istilah hareuta sihareukat. Dalam adat Bali disebut gunakaya, dan dalam adat Jawa dikenal dengan nama gono-gini. Unsur-unsur harta dari harta bersama menurut Hukum Adat adalah semua harta yang dihasilkan oleh suami isteri selama perkawinan dan harta yang diberikan kepada keduanya ketika menikah.

Berkenaan dengan harta bersama, Hukum Perdata Barat (BW) menetapkan bahwa apabila tiada perjanjian khusus dalam perkawinan maka semua harta yang dibawa oleh suami dan isteri, harta yang diperoleh selama perkawinan, semuanya menjadi harta bersama. Baik Hukum Adat maupun Hukum Perdata Barat (BW) menganut asas persatuan bulat. Pasal 119 Burgerlijk Wetboek menyebutkan :

“Mulai saat perkawinan dilangsungkan demi hukum berlakulah persatuan bulat antara harta kekayaan suami dan istri, sekedar mengenai itu dengan perjanjian kawin tidak diadakan ketentuan lain.
Persatuan itu sepanjang perkawinan tak boleh ditiadakan atau diubah dengan sesuatu persetujuan antara suami dan istri.”

KESIMPULAN

Para ahli hukum Islam berseberang pendapat mengenai hukum harta bersama. Penulis memilih pendapat bahwa tidak ada harta bersama dalam Islam sebab istri tidak mempunyai kewajiban untuk bekerja demi memenuhi kebutuhan rumah tangga. Konsep harta bersama adalah harta yang diperoleh selama perkawinan yang mestinya merupakan hasil kerja pihak suami dan istri selama perkawinan karena harta bawaan masing-masing suami istri bukan merupakan harta bersama. Istri memiliki harta pasca perpisahan melalui lembaga ujrah (upah melakukan pekerjaan) bukan melalui lembaga harta bersama.

Akan tetapi, berdasarkan UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam sebagai hukum yang diberlakukan pemerintah untuk rakyat Indonesia yang beragama Islam, maka keputusan pemerintah bersifat mengikat.

Artinya, harta bersama adalah ada bagi umat Islam di Indonesia.
Selengkapnya...

Thursday, June 19, 2008
















KODIFIKASI HADIS,
USAHA DAN KERJA NAN TAK KENAL PAMRIH


A. Pengantar
Bangsa Arab belum dikenal dengan kemampuan baca-tulis sampai datangnya Islam sehingga mereka dikenal dengan bangsa yang ummi dan pemuka masyarakatnya juga dipilih dari kalangan mereka yang juga ummi. Pada masa pra-Islam tradisi lisan begitu melekat dalam komunikasi masyarakat, dan dalam satu informasi dinyatakan bahwa hanya 10 orang saja yang memiliki kemampuan baca-tulis ketika itu.
Sebelum datangnya Islam terdapat tulisan-tulisan karya sastra berupa puisi dan sejenisnya yang dikenal dengan sebutan al-muallaqat. Karya sastra yang diciptakan oleh seorang penyair pada masa ini mendapat penghargaan yang tinggi dan pengaruh yang kuat. Penyair bukan saja dianggap sebagai juru bicara dalam suku yang dapat membuat satu suku hidup damai, namun juga dianggap mempunyai kemampuan supranatural.
Datangnya Islam membawa angin segar dalam segala aspek bagi hidup dan kehidupan bangsa Arab. Ajaran Islam yang universal dan abadi untuk segala masa memberikan inisiatif bagi generasi awal Islam untuk mengumpulkan seluruh ajaran dalam bentuk tulisan. Termasuk inisiatif mengumpulkan dan menuliskan hadis dalam suatu kumpulan sehingga mudah diwarisi kandungan ajaran-ajarannya oleh generasi setelahnya. Makalah ini menyorot kodifikasi hadis dengan pijakan bahasan pada (a). bagaimana bentuk dan metode kitab-kitab hadis susunan ulama (b) apakah ada keseragaman dalam hal periodisasi pertumbuhan dan perkembangan hadis, dan (c) bagaimana keadaan kitabah dan tadwin hadis pada masa awal Islam..
B. Kodifikasi Hadis.
Kodifikasi atau dalam bahasa Inggris codification berarti penyusunan (undang-undang dan sebagainya) menurut suatu sistem. Kata ini sepadan cakupan maknanya dengan kata tadwin dalam bahasa Arab.Salah satu yang positif, karena banyak juga yang negatif, penyusunan materi hadis dalam bentuk data tulis tidak dilakukan segera setelah hadis itu keluar adalah menunjukkan betapa kuat kemampuan menghafal bangsa Arab.
Ilmuwan-ilmuwan Islam yang salaf dan khalaf maupun ilmuwan non-Islam tidak ada yang mengatakan dan meyakini bahwa seluruh hadis yang ada adalah sahih atau asli semuanya. Begitu pun sebaliknya. Rentang waktu pembukuan hadis dari masa keluarnya hadis terpaut sangat jauh menyebabkan sebagian orang memustahilkan keotentikan hadis.
Para ulama tidak seragam dalam menyusun periodisasi pertumbuhan dan perkembangan hadis termasuk masalah kodifikasi hadis. Di antara mereka ada yang membaginya menjadi lima periode bahkan ada yang hingga ujuh periode.
Dalam penulisan hadis dikenal dua istilah yang harus dibedakan, yakni kitabat al-hadis dan tadwin al-hadis. Kitabat al-hadis atau penulisan hadis secara individu telah terjadi sejak Nabi saw masih hidup.
حَدَّثَنَا يَعْقُوبُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ حَدَّثَنَا إِسْمَاعِيلُ بْنُ عُلَيَّةَ حَدَّثَنَا خَالِدٌ الْحَذَّاءُ عَنْ ابْنِ أَشْوَعَ عَنْ الشَّعْبِيِّ حَدَّثَنِي كَاتِبُ الْمُغِيرَةِ بْنِ شُعْبَةَ قَالَ كَتَبَ مُعَاوِيَةُ إِلَى الْمُغِيرَةِ بْنِ شُعْبَةَ أَنْ اكْتُبْ إِلَيَّ بِشَيْءٍ سَمِعْتَهُ مِنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَكَتَبَ إِلَيْهِ سَمِعْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ إِنَّ اللَّهَ كَرِهَ لَكُمْ ثَلَاثًا قِيلَ وَقَالَ وَإِضَاعَةَ الْمَالِ وَكَثْرَةَ السُّؤَالِ
Ya’qub bin Ibrahim menceritakan kepada kami (dia berkata), Isma’il bin bin ‘Ulyah menceriatakan kepada kami (dia berkata) Khalid al-Hadda’ menceritakan kepada kami dari Ibn Aswa’ dari al-Sya’bi (dia berkata) sekretaris Mughirah bin Syu’bah menceriatakan kepada saya (dia berkata): Mu’awiyah mengirim surat kepada al-Mughirah bin Syu’bah agar menuliskan apa-apa yang didengar dari Nabi saw kemudian al-Mughirah menulis kepdanya (dia berkata) saya mendengar dari Nabi saw beliau bersabda : sesungguhnya Allah membenci dari kamu seklaian tiga hal : senang berkata katanya-katanya, menghambur-hamburkan harta dan banyak meminta.
Dari kegiatan kitabat al-hadis menghasilakan beberapa kumpulan yang dikoleksi oleh pribadi masing-masing penulis. Yang paling terkenal adalah kumpulan hadis yang dimiliki oleh Abdullah ibn Amr ibn ‘Ash (w. 63 H) memuat 1000 hadis yang dikenal dengan sebutan shahifah al-shadiqah. Selain shahifah ini para sahabat juga banyak mempunyai tulisan untuk dirinya sendiri. Tercatat nama-nama Jabir ibn Abdullah ibn Amr Haram (w.78 H), Anas ibn Malik (w. 93 H), Abu Hurairah (w. 59 H), Umar ibn Sa’ad atau dikenal dengan Abu Syah, Abu Bakar al-Shiddiq (w. 13 H), Ali bin Abi Thalib (w. 40 H), Abdullah ibn Abbas (w. 68 H) dan banyak lagi sahabat yang menyimpan tulisan hadis untuk dirinya sendiri termasuk para sahabat wanita semisal ummul mukminin Hafshah.
Para sahabat tidak menyebarkan tulisan-tulisan hadisnya kepada yang lain terkait dengan larangan Nabi menulis selain al-Qur’an. Akan tetapi pada waktu yang lain Nabi bahkan pernah menyuruh menuliskan hadis darinya yang diminta oleh beberapa sahabatnya. Para sahabat juga sering saling meminta catatan di antara mereka sebagaimana kasus Mu’awiyah. Dari sini terlihat bahwa larangan Nabi untuk menulis hadis dan sabda Nabi yang membolehkannya sama-sama efektif. Para sahabat tidak berani menulis hadis atau meneybarkan kapada orang lain yang sekiranya akan melalaikan dari al-Qur’an, akan tetapi mereka menuliskan hadis untuk dirinya sendiri. Shahifah-shahifah di atas merupakan sumber utama kitab-kitab hadis yang disusun oleh ulama yang datang kemudian.
Setelah Islam tersebar ke seluruh jazirah Arab dan meluas ke daerah lain serta terjadinya fitnah di kalangan kaum muslimin dengan banyaknya hadis palsu dan kecenderungan melemahnya kekuatan menghafal bangsa Arab dan juga meninggalnya banyak ulama hadis, khalifah Umar bin Abdul Aziz (w. 101 H) meintruksikan kepada Abu Bakar bin Muhammad bin Amr bin Hazm (gubernur Madinah w. 117 H) dan para ulama Madinah untuk mengumpulkan hadis dari para penghafalnya kemudian mengumpulkannya dalam sebuah kitab.
Kegiatan kodifikasi dimulai dengan latar belakang dan pertimbangan utama khalifah Umar bin Abdul Aziz dalam intruksi ini tercatat dalam riwayat sunan al-Darimi yang berbunyi:
حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ حَسَّانَ حَدَّثَنَا عَبْدُ الْعَزِيزِ بْنُ مُسْلِمٍ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ دِينَارٍ قَالَ كَتَبَ عُمَرُ بْنُ عَبْدِ الْعَزِيزِ إِلَى أَهْلِ الْمَدِينَةِ أَنْ انْظُرُوا حَدِيثَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَاكْتُبُوهُ فَإِنِّي قَدْ خِفْتُ دُرُوسَ الْعِلْمِ وَذَهَابَ أَهْلِهِ
“Yahya bin Husain menceritakan kepada kami (dia berkata): Abdul ‘Aziz bin Muslim menceritakan kepada kami dari Abdullah bin Dinar dia berkata: umar bin Abdul ‘Aziz berkirim surat kepada ulama-ulama Madinah (isinya) agar mereka memperhatikan hadis-hadis Nabi saw dan supaya menulisnya kaena saya khawatir akan lenyapnya ilmu dan hilangnya para ulama”.
Intruksi yang sama juga ditujukan kepada Muhammad ibn Syihab al-Zuhri (w. 124 H) yang dinilai khalifah sebagai orang yang lebih banyak mengetahui hadis dari pada lainnya. Yang dimaksud dalam kodifikasi atau tadwin di sini adalah pembukuan secara resmi atas perintah khalifah.
Metode kodifikasi hadis
Setelah digalakkannya penulisan hadis oleh khalifah Umar bin Abdul Aziz, para ulama generasi berikutnya banyak menyusun kitab-kitab hadis dengan bermacam-macam metode.
1. al-Masanid
yaitu kitab kumpulan hadis dengan rawi satu sahabat menempati tempat tersendiri dengan tidak memperhitungkan kualitas hadis. Urutan nama sahabat disusun secara alphabetis sesuai urutan huruf hijaiyah. Cara ini adalah yang terbanyak di samping dengan urutan suku atau berdasar pada yang paling awal masuk Islam atau asal negaranya.
Kitab musnad susunan para ulama berjumlah sangat banyak. al-Kittani menyebut ada sekitar 82 musnad. Di antara kitab musnad yang terkenal adalah Musnad al-Syafi’i (w. 204), musnad al-Humaidy (w.219 H), musnad Ahmad bin Hanbal (w. 241 H).
2. al-Ma’ajim
yaitu kitab kumpulan hadis yang disusun berurutan berdasar nama sahabat atau guru-guru penyusun secara alphabetic hijaiyah. Kit ab mu’jam yang terkenal adalah al-Mu’lam al-Kabir karya Abul Qasim Sulaiman bin Ahmad al-Thabrani (w. 360 H) yang berisi musnad-musnad para sahabat yang disusun berdasar huruf mu’jamah (kamus). Al-Mu’jam al-Awsath dan al-Mu’jam al-Shaghir juga susunan al-Thabrani serta Mu’jam al-Buldan karya Abu Ya’la Ahmad bin Ali al-Mushili (w. 307 H)
3. al-Jawami’
Yaitu kitab kumpulan hadis yang memuat seluruh bagian pembahasan agama, meliputi ibadah, akidah, sirah dan lain-lain. Kitab al-jami’ yang terkenal adalah al-Jami’ al-Shahih li al-Bukhori (w. 256 H), al-Jami’ Shahih li Muslim (w. 261 H), al-Jami’ li al- Tirmidzi (w. 279 H).
Dua yang disebut pertama dinilai sebagai kitab hadis yang paling akurat data kesahihannya di antara kitab-kitab hadis yang lain. Sedang yang disebut terakhir sering dinamakan dengan Jami’ al-Tirmidzi, Sunan al- Tirmidzi, al-Jami’ al-Kabir.
4. Penulisan hadis berdasarkan pembahasan fiqh
Yaitu susunan kitab hadis dengan menyebutkan bab-bab fikh. Namun kadang-kadang juga menyebutkan bab yang tidak berhubungan dengan fikh seperti bab iman atau adab. Kitab yang disusun dengan cara ini meliputi:
Pertama, al-Sunan yaitu kitab yang disusun berdasarkan bab-bab fikh dan berisi hadis-hadis marfu’ saja sehingga lebih mudah dijadikan sebagai pengambilan sumber hukum. Kitab yang tekenal diantaranya adalah Sunan Abi Dawud susunan al-Imam Sulaiman al-Sijistani (w.275 H), Sunan al-Nasa’i karya Abdurrahman bin Syu’aib al-Nasai (w.303 H).
Kedua, al-Mushannafat, yaitu kitab yang disusun berdasar bab-bab fikh dan memuat hadis marfu’, mauquf dan maqthu, termasuk juga fatwa sahabat dan tabi’in. karya terkenal model ini di antaranya al-Mushannaf karya Abu Bakar Abdurrazaq bin Hamman al-Shan’ani (w. 211 H), al-Mushannaf karya Abu Bakar Abdullah bin Muhammad al-Kufi (w. 235 H.), al-Mushannaf karya Baqiy bin Makhlad al-Qurtubi (w. 276 H)
Ketiga, al-Muwaththa’at sama dengan al-Mushannaf hanya beda nama saja. Karya terkenal model ini adalah al-Muwaththa’ karya Imam Malik bin Anas (w. 179 H), al-Muwaththa’ karya Ibnu Abi Dzi’b Muhamad bin Abdurrahman al-Madani (w.158 H), dan al-Muwaththa’ karya Abu Muhammad Abdullah bin Muhamad al-Marwazi (w. 239)
5. Karya Tematik
Yaitu kitab yang disusun berdasar tema-tema tertentu. Karya yang ada di antaranya al-Targhib wa al-Tarhib susunan Zakiyuddin Abdul Azhim bin Abd al-Qawiy al-Mundziri (w. 656 H), Riyadh al-Shalihin karya Abi Zakariya Yahya bin Syaraf al-Nawawi (w. 676 H)
6. Kumpulan hadis hukum fikh
Yaitu kitab tentang hadis-hadis hukum fikh saja. Di antaranya adalah al-Ahkam karya Abdul Ghani bin Abdul Wahid al-Maqdisi (w. 600 H), Bulugh al-Maram min Adillat al-Ahkam karya Ibn Hajar al-Asqalani (w. 852 H).
7. Merangkaikan al-Majami’
Yaitu kitab yang berisi kumpulan hadis dari koleksi beberapa kitab mushannaf. Karya yang terkenal adalah Jami’ al-Ushul min Ahadis al-Rasul karya Abu al-Sa’adat yang dikenal dengan sebutan Ibn al-Atsir (w.606 H)
8. Al-Ajza’
Yaitu kitab kecil yang berisi kumpulan riwayat seorang perawi hadis atau berkaitan dengan satu masalah tertentu. Seperti kitab Juz’u ma rawahu Abu Hanifah ’an Al-Ahabah, karya Abu Ma’syar Abdul Karim bin Abd al-Shaad al-Thabari dan Juz’u Raf’il Yadain fi al-Shalat karya al-Bukhori.
9. Al-Athraf
Yaitu setiap kitab yang hanya menyebutkan sebagian hadis yang dapat menunjukkan lanjutan hadis dimaksud. Seperti Athraf al-Shahihain karya Muhammad Khalal bin Muhammad al-Washithi (w. 401 H) dan Ithaful Asyraf bi Ma’rifat al-Athraf karya Ibn Hajar al-Asqalani (w.852 H)
10. Kumpulan hadis yang masyhur dan sering diucapkan di kalangan masyarakat.
Seperti al-Durar al-Muntashirah fi al-Ahadis al-Musytaharah karya Jalaluddin al-Suyuti (w. 911 H) dan al-Fawaid al-Majmu’ah fi al-Ahadis al-Maudhu’at karya al-Syaukani (w. 125)
11. Al-Mustadrak
yaitu kitab yang berisi kumpulan hadis yang memenuhi syarat dari penyusun kitab lain namun belum dimuat dalam kitab tersebut. Seperti al-Mustadrak ‘ala al-Shahihain karya Abu Abdullah al-Hakim.
12. al-Mustakhrajat
yaitu kumpulan hadis yang diambil dari riwayat penyusun lain dengan sanad yang berbeda dengan sanad penyusun. Seperti al-Mustakhrajat ‘ala al-Shahihain karya Abu Nu’aim al-Asbahani
Isu yang terkandung dalam sebuah hadis sering kali terlihat terlalu spesifik dan tampak berdiri sendiri. Hal ini tidak lepas dari kecenderungan para penulis kitab-kitab hadis dalam menyusun bab-babnya. Betapa sistematika penyusunan hadis dalam banyak kitab mengesankan keterpisahan dengan ayat-ayat al-Qur’an. Banyak tema yang disebut dalam hadis tetapi tidak dibicarakan oleh al-Qur’an, misalnya bab tentang keutamaan sahabat. Tetapi karena salah satu fungsi hadis sebagai tabyin li al-Qur’an adalah mengaktualkan kandungan al-Qur’an, maka bukan tidak disengaja muatan hadis lebih detail dan bersifat teknis. Karenanya, dalam banyak hal, aturan hukum Islam kelihatan hanya merujuk kepada hadis karena di sini disebut lebih detail dan rinci. Di sini hadis menjadi pointer in a direction, seperti ditunjukkan oleh Fazlurrahman bukan sebagai an exactly laid-out series of rules.
C. KESIMPULAN
1. Kitab-kitab hadis susunan ulama yang menghimpun hadis mengikuti metode tertentu yang memudahkan pembaca mencermati kitab dan materi yang tercakup di dalamnya.
2. Para ulama tidak seragam dalam menyusun periodisasi pertumbuhan dan perkembangan hadis termasuk masalah kodifikasi hadis.
3. Larangan Nabi untuk menulis hadis dan sabda Nabi yang membolehkannya sama-sama efektif berpengaruh pada para sahabat sehingga masa-masa awal Islam para sahabat tidak berani menulis hadis atau menyebarkan kapada orang lain. Akan tetapi pada masa sesudahnya inisiatif membukukan hadis mengemuka melihat kelangsungan hadis yang diperlukan bagi generasi mendatang.

DAFTAR BACAAN
al-Qur'an dan Terjemahannya Jakarta: Proyek Pengadaan Kitab Suci al-Qur'an Departemen Agama, 1982.
al-Baghdadi, ‘Ajja Khatib, Ushul al-Hadis, Ulumuh wa musthalahuh, Beirut: Dar al-Fikr, 1989.
al-Qaththan, Syaikh Manna’, Mabahits fi Ulum al-Hadis, edisi Indonesia Pengantar Studi Ilmu Hadis, Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2005.
al-Thahan, Mahmud, Taysir Mustalah al-Hadis, Surabaya: Bungkul Indah, t.th.
Arif, Syamsuddin, Gugatan Orientalis terhadap Hadis dan Gaungnya Di Dunia Islam dalam Jurnal al-Insan, Depok: Gema Insani Press, 2005.
Ash-Shidiqy, Teungku Muhammad Hasbi, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadis, Semarang: Pustaka Rizki putra, 1999.
Echols, John M. dan Hassan Shadily, an English-Indonesian Dictionary, Jakarta: Gramedia, 1992.
Musahadi, Evolusi Konsep Sunnah, Semarang: Aneka Ilmu, 2000.
Ranuwijaya, Utang, Ilmu Hadis, Jakarta: Gaya Media Pratama, 1996.
Sutiasumarga, Males, Kesusatraan Arab, Jakarta: Zikrul Hakim, 2000.
Zuhri, Muh., Telaah Matan Hadis, Yogyakarta: Lesfi, 2003.
Selengkapnya...












Kyai Profesor Solichul Hadi Permana, di Ndalem Gayung Sari Surabaya
Selengkapnya...









akromakum atqookum.....
ya ayyuha......... yarfa' ...... uutul 'ilma.....

taqwa hanya bisa diraih atas usaha sendiri
ilmu juga bisa diraih atas usaha sendiri


artinya

hidup kudu berprestasi
prestasi itu karya sendiri
bukan warisan
kalo gak berprestasi ????


sak karep..... !
Selengkapnya...

ISTINBĀŢ IMAM AL-MAZAHIB


ISTINBĀŢ IMAM AL-MAZAHIB



A. Pengertian Istinbāţ
Terma istinbāţ berasal dari akar kata nabaţa yanbuţu yang mempunyai makna kharaja yakhruju. Terambil dari padanan nabaţa al-mā` yang berarti iza kharaja al-mā` min manbaih air yang memancar keluar dari sumbernya). Kata nabaţa yang merupakan akar kata istinbāţ maupun derivasinya secara terminologic ditemukan pada pemakaian sehari-hari dalam kosa kata Arab, dalam bahasa al-Qur’an maupun dalam bahasa hadis.
Al-Qur’an menggunakan kata nabaţa maupun derivasinya hanya satu kali yaitu pada QS al-Nisa` 4): 83. Para mufassir memaknai yastanbitunah pada ayat ini dengan yastakhrijunah wa yasta’limunah berusaha mengeluarkan dan mengetahui makna yang tersimpan dari apa yang dimaksudkan) sehingga orang yang mengusahakan disebut dengan mustanbiţ.
Hadis juga menggunakan kata nabaţa maupun derivasinya dalam berbagai tempat. Di antaranya adalah hadis yang diriwayatkan Abdullah bin Abi Aufa:
حَدَّثَنَا مُوسَى بْنُ إِسْمَاعِيلَ حَدَّثَنَا عَبْدُ الْوَاحِدِ حَدَّثَنَا الشَّيْبَانِيُّ حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ أَبِي الْمُجَالِدِ قَالَ بَعَثَنِي عَبْدُ اللَّهِ بْنُ شَدَّادٍ وَأَبُو بُرْدَةَ إِلَى عَبْدِ اللَّهِ بْنِ أَبِي أَوْفَى رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا فَقَالَا سَلْهُ هَلْ كَانَ أَصْحَابُ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي عَهْدِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُسْلِفُونَ فِي الْحِنْطَةِ قَالَ عَبْدُ اللَّهِ كُنَّا نُسْلِفُ نَبِيطَ أَهْلِ الشَّامِ فِي الْحِنْطَةِ وَالشَّعِيرِ وَالزَّيْتِ فِي كَيْلٍ مَعْلُومٍ إِلَى أَجَلٍ مَعْلُومٍ
Dinarasikan dari Muhammad ibn Mujallid, dia diperintah Abdullah bin Syadad dan Abu Burdah menghadap Abdullah bin Abi Aufa ra untuk bertanya): tanyakan adakah di antara sahabat Nabi saw pada zaman Nabi yang melakukan akad salaf pada gandum. Abdullah bin Abi Aufa menjawab: Kami melakukan akad salaf kepada nabit ahli Syam pada gandum, anggur dan pohon zaitun dengan takaran yang jelas dan tempo yang jelas.
Ulama Uşūl al-Fiqh secara istilahi mendefinisikan istinbāţ dengan definisi yang berbeda dengan fokus yang sama sebagaimana dalam makna lughawinya. Al-Jurjani mendefinisikan istinbāţ
الاستنباط استخراج المعاني من النصوص بفرط الذهن وقوة القريحة
Istinbāţ adalah berusaha mengeluarkan makna yang terkandung dalam nas dengan segala kekuatan pikiran dan kemampuan naluriah.
Ibn Hazm mendefinisikan istinbāţ
الاستنباط إخراج الشيء المغيب من شيء آخر كان فيه، وهو في الدين إن كان منصوصا على معناه فهو حق، وإن كان غير منصوص على معناه فهو باطل.
”Istinbāţ adalah berusaha mengeluarkan sesuatu yang tersimpan dari sesuatu yang lain. Dalam kajian agama, jika yang dikeluarkan sesuai dengan makna nas, maka yang demikian adalah benar. jika yang dikeluarkan tidak sesuai dengan makna nas, maka yang demikian adalah bathil.”
Sumber utama dalil hukum Islam, baik berupa ayat al-Qur`an maupun teks hadis, semua berbahasa Arab. Untuk dapat menggali kandungannya dengan baik maupun menemukan dalil sandaran hukum) bagi suatu perbuatan, yang dikenal dengan istidlal , diperlukan kemampuan memahami bahasa Arab dengan baik pula. Oleh karena itulah dua bahasan istinbāţ dan istidlal merupakan ruh dari kajian Uşūl al-Fiqh.
Ayat-ayat al-Qur`an berisi tentang hukum di samping menjelaskan tentang tauhid, sejarah dan sebagainya. Secara garis besar, penarikan hukum dari ayat-ayat hukum dalam al-Qur`an terkelompok pada dua macam, yaitu:
1. Tanpa mengkompromikan dengan ayat lain. Seperti kewajiban puasa Ramadlan yang didapat dari QS al-Baqarah 2): 183
2. Mengkompromikan dengan ayat lain untuk mendapat kesimpulan hukum, seperti kompromi ayat 233 QS al-Baqarah dan ayat 15 QS al-Ahqaf. Sahabat Ali bin Abi Thalib dan Ibn Abbas berijtihad bahwa masa paling sedikit untuk kehamilan seorang ibu adalah enam bulan. Diambil dari pengurangan masa penyususan 2 tahun/ 24 bulan) dari masa hamil dan menyapih 30 bulan), yang sisanya 6 bulan.
Pengambilan hukum dari al-Qur`an dan hadis yang berbahasa Arab secara kebahasaan membutuhkan perangkat yang demikian banyak sehingga para ulama Uşūl membuat kaidah yang dipakai sebagai dasar untuk menghindari kesalahan kesimpulan dari apa yang dimaksudkan oleh nas yang dikenal dengan kaidah Uşūliyyah lughawiyah.
Dalam kaidah kebahasaan ini dapat dicermati dan digali maksud dari nas dari segi ma’ani atau pengertian-pengertiannya, konotasinya dari sisi umum dan khusus, dari segi dalalahnya penunjukannya) menggunakan manthuq dan mafhum yang diambil dari konteks kalimatnya, ungkapan hakiki dan majazinya, dari sisi batasan-batasan yang membatasi petunjuk-petunjuk nas dan lain sebagainya. Dalam membuat kaidah-kaidah kebahasaan ini, para ulama Uşūl al-Fiqh berpatokan pada:
1. Al-madlulat al-lughawiyat atau pengertian konotasi kebahasaan, dan al-fahm al-’arabi pemahaman yang didasarkan pada cita rasa bahasa arab pada bahasa arab itu sendiri) terhadap nas al-Qur`an dan hadis.
2. Pedoman metode) yang dipakai oleh nabi Muhammad ketika menjelaskan hukum-hukum al-Qur`an, dan himpunan hukum-hukum nas yang telah mendapat penjelasan dari sunnah.
Lafaz-lafaz nas menurut ulama Uşūl al-Fiqh dalam hubungannya dengan makna dan sesuatu yang timbul dari makna terbagi atas empat kategori, dan hal ini pula yang menjadi acuan penyusunan kaidah lughawiyyah dalam Uşūl al-Fiqh, yaitu :
1. Lafaz dari sisi cakupan maknanya, terbagi atas lafaz Khass, ’Am, Musytarak. Pada bab ini tercakup pula bahasan tentang mutlak dan muqayyad, amar, dan nahi.
2. Lafaz dari sisi penggunaan dalam ungkapan konotasinya terbagi atas Hakikat, Majaz, Sharih, Kinayah,
3. Lafaz dari sisi kejelasan dan ketidakjelasan atas makna yang dimaksudkan terbagi atas dhahir, nas, Mufassar, Muhkam, Khafi, Mujmal, Musykil, Mutasyabih
4. Lafaz dari segi makna yang digunakan dan cara memahaminya. Dalam hal ini terbagi atas empat jenis yaitu ibarat al-naşş, Isyarat al-naşş, dalalat al-naşş,dan Iqtida al-naşş
B. Biografi dan Metode Istinbāţ Imam al-Mazahib
Pengalaman yang memadai tentang latar belakang kehidupan seorang tokoh sangat diperlukan untuk dapat memahami pemikirannya. Hal ini dapat dipahami mengingat pemikiran berkaitan erat dengan kehidupan. Oleh karena itu, pada bab ini dikemukakan uraian singkat tentang riwayat hidup imam-imam mazhab dari imam-imam sunni, yaitu imam Abu Hanifah, imam Malik, imam al-Syafi'i, dan imam Ahmad bin Hanbal terutama mengenai hal-hal yang dapat mempengaruhi pembentukan kepribadian dan pemikiran.
1. Imam Abu Hanifah dan Metode istinbāţnya
Nama aslinya adalah al-Nu'man ibn Tsabit al-Zuthi, dilahirkan di Ambar, Kota Kuffah pada tahun 80 H. dan meninggal pada tahun 150 H. Secara politik beliau hidup dalam dua generasi. Hal ini berarti beliau lahir pada zaman dinasti Umayyah, pada masa kekuasaan 'Abd. Al-Malik ibn Marwan dan meninggal di Baghdad pada masa pemerintahan dinasti Abbasiyah, yakni masa pemerintahan Abu Ja'far al-Mansur. Beliau hidup selama 52 tahun pada masa Umaiyyah dan 18 tahun pada zaman Abbasiyah. Dengan demikian beliau mengalami masa hiruk-pikuk pergantian kekuasaan Islam antara dua dinasti tersebut.
Dari segi ekonomi, Abu Hanifah termasuk orang yang kaya. Beliau berprofesi sebagai pedagang sutera yang dikenal jujur dan lugas. Abu Hanifah hidup pada generasi Islam ketiga, hal ini berarti Abu Hanifah termasuk atba' tabi'in. Setidaknya ada empat orang sahabat Nabi yang masih hidup ketika Abu Hanifah lahir, yaitu: 1) Anas bin Malik di Basrah; 2) 'Abdullah Ibn Abi Aufa di Kuffah; 3) Sahl Ibn Sa'ad al-Sa'idi di Madinah; dan 4) Abu al-Thufail Ibn Wa'ilah di Makkah.
Sesuai dengan domisilinya, Abu Hanifah pertama kali belajar pada ulama-ulama Irak yang terkenal dengan penggunaan ra'yu. Rasio sangat dominan dalam ijtihad mereka. Oleh karena itu Abu Hanifah dianggap sebagai resprentasi aliran ra'yu. Imam Abu Hanifah terkenal dengan teori istihsannya yang belakangan disalahgunakan oleh pihak-pihak yang kurang bertanggung jawab menisbatkan jalan pikiran pribadi tanpa menggali sumber agama dengan layak dan menyatakan bahwa yang dilakukan adalah istihsan sebagaimana metode Abu Hanifah.
Imam Abu Hanifah tidak meninggalkan karya tertulis termasuk dalam kajian metodologis hukum Islam yang dapat dijadikan referensi bagaimana model pemikirannya. Namun, secara tidak langsung murid-murid imam Abu Hanifah merangkum metodologinya ke dalam karya-karya mereka. Di antaranya adalah Risalah fi al-Kharaj ila al-Rasyid karya Abu Yusuf dan al-Mabsuth karya Muhammad bin al-Hasan.
Khudhari Bik menuturkan alur istinbāţ Abu Hanifah yang pokok diringkas sebagai berikut:
إنى آخذ بكتاب الله إذا وجدته، فما لم أجده فيه أخذت بسنته رسول الله والآثار الصحاح عنه التى فشت فى أيدى الثقات. فإذا لم أجد فى كتاب الله وسنته رسول الله صلى الله عليه وسلم أخذت بقول أصحابه من شئت وأدع من شئت ثم لا أخرج عن قولهم إلى قول غيرهم، فإذا انتهى الأمر إلى إبراهيم والشعبىوالحسن وابن سيرين وسعيد بن المسيب وعدد رجالا قد اجتهدوا) فلي أن اجتهد كما اجتهدوا.
Aku Abu Hanifah) merujuk kepada al-Qur'an apabila aku mendapatkannya. Apabila tidak ada dalam al-Qur'an, aku merujuk kepada sunnah Rasulullah Saw dan atsar yang shahih yang diriwayatkan oleh orang-orang yang tsiqat. Jika tidak mendapatkan dalam al-Qur'an dan Sunnah Rasul, aku merujuk kepada qaul sahabat yang mana saja yang aku kehendaki serta aku abaikan pendapat yang aku kehendaki. Aku tidak pindah dari pendapat sahabat yang satu ke pendapat yang lain. Apabila pendapa–pendapat itu sudah sampai kepada pendapat-pendapat Ibrahim, al-Sya'bi, al-Hasan, Ibn Sirin, dan Sa’id ibn al-Musayyab serta para ulama lainnya) maka aku pun berijtihad sebagaimana mereka berijtihad.
2. Imam Malik dan Metode istinbāţnya
Nama lengkapnya adalah Malik bin Anas bin Abu Amir. Anas bapaknya) adalah seorang perawi hadis sedangkan ibunya tergolong wanita salihah yang cinta ilmu, ibunya yang mendorong Malik sejak kecil untuk senantiasa menuntut ilmu. Karena itu Malik senang kepada ilmu pengetahuan dan selalu berusaha untuk menambahnya.
Imam Malik dilahirkan di kota Madinah pada tahun 93 H, termasuk generasi tabi’ al-tabiin. Ia menuntut ilmu kepada ulama Madinah dari generasi tabiin maupun tabi’ tabiin, jumlahnya mencapai lebih kurang 900 orang, sepertiganya dari generasi tabi’in dan sisanya dari generasi tabi’ tabiin.
Guru-gurunya merupakan cerminan orang-orang tsiqat terpercaya) dan profesional ahli hadis), karena Imam Malik tidak mau menerima hadis kecuali dari orang yang betul-betul ahlinya, bukan sekedar mengandalkan ketakwaannya. Imam Malik pernah mengatakan:
ربما جلس الينا الشيخ فيحدث نهاره ما نأخذ عنه حديثا واحدا ما بنا ان نتهمه و لكن لم يكن من أهل الحديث
“Kadang ada seorang guru yang duduk bersanding kami, ia meriwayatkan hadis sepanjang hari, akan tetapi saya tidak menerima satu hadis pun darinya, saya bukan menuduhnya, melainkan dikarenakan dia bukan ahli hadis”.
Imam Malik wafat pada tahun 179 H di Madinah dalam usia 86 tahun, dan dimakamkan Baqi’ di Madinah.
Khudhari Beik juga menuturkan ringaksan alur istinbāţ imam Malik sebagai berikut:
وكان مالك رحمه الله يعتمد فى فتياه أوًًلاٍَِِ على كتاب الله ثم على سنة رسول الله صلى الله عليه و سلم ما ثبت عنده منها وعمدته فى ذلك كبار المحدثين من علماء الحجاز و يعطى لما جرى عليه العمل فى المدينة أهمية كبرى ولا سيما عمل الأئمة و فى مقدمتهم العََمران وقد يرد الحديث لأنه لم يجري عليه عمل وقد نازعه فى ذلك فقهاء الأمصار وقد قدمنا لك رسالة الليث ابن سعد إلبه فى ذلك ورد الشافعي هذا االموضوع كثيرا فى الأم و كذلك أبو يوسف صاحب أبي حنيفة رحمهم الله. ُُثم يعتمد على القياس إذا لم يكن نص كتاب أو سنة. زقد نسب إليه العمل بالمصالح المرسلة كما نسب إلى الحنفية القول يالإستحسان وقد تسمى هذه المصالح يالإستصلاح.
Imam Malik rahimahullah dalam setiap fatwanya pertama-tama berpatokan kepada al-Qur’an kemudian pada sunnah Rasulullah saw selagi terdapat hadis yang dia miliki dan ada pada tokoh-tokoh ulama hadis di Madinah. Dia memberikan apresiasi yang sangat besar kepada apa yang dilakukan oleh penduduk Madinah, terlebih lagi kepada ulama-ulamanya. Terkadang imam Malik menolak suatu hadis disebabkan materi hadis itu tidak dilaksanakan oleh penduduk Madinah. Pada bab ini, para ulama semasanya banyak yang menentang. Telah kami sajikan risalah al-Laits bin Sa’d dalam masalah ini. Al-Syafi’i juga menentang keras cara pandang imam Malik ini dalam al-Umm, sebagaimana juga Abu Yusuf, murid imam Abu Hanifah menentangnya. Kemudian berpegangan kepada qiyas jika dalam al-Qur’an dan sunnah tidak ditemukan satu nas pun. Penisbatan penggunaan maslahah mursalah begitu melekat kepada imam Malik sebagaimana istihsan dilekatkan penyebutannya kepada imam Abu Hanifah. Maslahah mursalah dalam mazhab Malik biasa disebut dengan istislah.
Pemikiran Imam Malik dapat kita jumpai dalam kitabnya al-Muwatta'. Dalam al-Muwatta' secara jelas tergambar bahwa fatwa-fatwa imam Malik mengambil tradisi Madinah yang berlaku turun-temurun dan telah disepakati oleh ulama’ Madinah sebagai salah satu dasar hukum sebagai wujud sunnah setelah nash al-Qur'an. Hadith yang tidak sesuai dengan praktek Madinah tidak dapat dijadikan sebagai rujukan. Dia juga mengambil hadith-hadith munqati' dan mursal sepanjang tidak bertentangan dengan tradisi orang-orang Madinah. Secara ringkas dapat dijelaskan oleh al-Shatibi bahwa pemikiran Malik dapat disederhanakan dalam empat hal, yaitu al-Qur'an, Sunnah, ijma' dan ra'y.
Yang menarik dari pemikiran Malik adalah lebih mendahulukan praktek Madinah sebelum qiyas yang tidak digunakan oleh fuqaha' lainnya. Tradisi yang diwariskan oleh Nabi pada sahabat dan dilanjutkan pada tabi'in adalah bagian dari sunnah mutawatirah karena tidak mungkin tradisi masyarakat Madinah pada saat itu terjadi penyelewengan secara masal oleh penduduk Madinah.
3. Imam al-Syafi'i dan Metode istinbāţnya
Nama lengkapnya adalah Muhammad ibn Idris ibn al-Abbas ibn Utsman ibn Syafi’i ibn al-Sa’ib ibn Ubaid ibn Abd Yazid ibn Hasyim ibn Abd al-Muthalib ibn Abd Manaf. Lahir di kota Gaza, Palestina, tahun 150 H, kemudian dibawa oleh ibunya ke Makkah. Lahir pada zaman Dinasti Abbassiyah, tepatnya pada zaman kekuasaan Abu Ja’far al Manshur 137-159 H./754-774 M.), dan meninggal di Mesir pada tahun 204 H
Imam al-Syafi'i belajar pada ulama-ulama Makkah, baik ulama-ulama fiqih maupun hadis, sehingga ia terkenal dalam bidang fiqh dan memperoleh kedudukan yang tinggi dalam bidang itu. Ketika sampai kabar kepadanya bahwa di Madinah ada seorang ulama besar yaitu Imam Malik, yang pada masa itu sangat terkenal dan mempunyai kedudukan tinggi dalam bidang ilmu hadis, Imam al-Syafi'i bermaksud belajar kepadanya. Imam al-Syafi'i mengadakan kajian dengan Imam Malik dalam masalah-masalah yang difatwakan Imam Malik. Di waktu Imam Malik meninggal tahun 179 H, Imam Syafi'i telah mencapai usia dewasa dan matang.
Situasi politik dan sosial keagamaan pada masa Dinasti Abbasiyah memerintah wilayah-wilayah negeri Islam di mana masyarakat Islam sedang berada di puncak keemasannya. Masa itu memiliki berbagai macam keistimewaan yang memiliki pengaruh besar bagi perkembangan ilmu pengetahuan dan kebangkitan pemikiran Islam. Transformasi ilmu dari filsafat Yunani dan sastra Persia serta ilmu bangsa India ke masyarakat Muslim juga sedang semarak. Dengan kondisi masyarakat yang beragam ini tentunya akan banyak timbul aneka problema sosial. Setiap permasalahan yang timbul dari interaksi antar masyarakat tersebut tentunya akan diambil ketentuan hukumnya dari syariat. Sebab, syariat Islam adalah syariat yang bersifat umum.
Pengamatan terhadap permasalahan yang terjadi akan memperluas cakrawala pemikiran seorang faqih sehingga ia dapat menemukan penyelesaian solusi hukum) bagi masalah-masalah yang terjadi. Selain itu, sang faqih akan dapat memperluas medan pembahasan dengan menghadirkan permasalahan yang mungkin terjadi, kemudian memberikan kaidah-kaidah umum untuk masalah-masalah furu' yang berbeda.
Imam al-Syafi'i wafat di Mesir pada hari Jum’at tanggal 30 Rajab 204 H, setelah menyebarkan ilmu dan manfaat kepada banyak orang. Di antara karya monumental Imam al-Syafi'i adalah al-Umm yang secara sistematis disusun dengan bab-bab fikih dan menjadi rujukan utama dalam mazhab Syafi'i. Kitab ini memuat pendapat Imam Syafi'i dalam berbagai masalah fikih yang dikenal dengan al-qaul al-qadim dan al-qaul al-jadid, dan al-Risalah yang merupakan kitab Uşūl al-Fiqh yang pertama kali dikarang, dan karenanya Imam Syafi'i dikenal sebagai peletak ilmu Uşūl al-Fiqh. Dalam bidang hadis al-Syafi’i mewariskan musnad al-Syafi’i hanya saja kitab ini tidak dimasukkan ke dalam kitab standar hadis dalam rangkaian kutub al-tis’ah sebagaimana Muwatta’ imam Malik atau musnad Ahmad bin Hanbal.
Al-Syafi’i juga terkenal dengan komentar man istahsana faqad syara’a. Ia melakukan kritik serius terhadap istihsan model imam Abu Hanifah hanya karena khawatir kalau-kalau orang terjerumus ke dalam al-tasyri’ bi al-hawa wa al-tasyahhi. Sebab lafal istihsan bila digunakan oleh orang yang tidak mempunyai burhan dan khasysyah kepada Allah, memberi peluang sangat besar kepada subjektifitas yang tidak berdasarkan hujjah. Sedang Imam Abu Hanifah tidak dapat di golongkan kepada orang yang tidak memiliki burhan dan khasysyah itu.
Metode istinbat al-Syafi’i terrangkum sebagai berikut:
وأساس مذهب الشافعي مدون فى رسالته الأصولية فهو يحتج بظواهر القرأن حتى يقوم الدليل على أنّ المراد بها غير ظاهرها, وبعد ذلك السنة وقد دفع دفاعا شديدا عن العمل بخبر الواحد ما دام راويه ثقة ظابطا وما دم الحديث متصلا برسول الله صلى الله عليه و سلم لم يشترط غير ذلك من عمل يؤيد الحديث كما اشترط مالك ولا شهرة كما اشترط أهل االعراق وقد نال بذلك الدفاع حظا كبيرا عند أهل الحديث حتى كان أهل بغداد يطلقون عليه ناصر السنة ,وهو ينظر إلى السنة الصحيحة نظره إلى القرأن يرى كلا منهما واجب الاتباع. ثم يعمل بالإجماع ومعناه عنده عدم العلم بالخلاف لأن العلم بالإجماع فى نظره غير ممكن كما قدمنا فإذا لم يكن هناك دليل منصوص عمد إلى القياس فعمل به مشترطا أن يكون له أصل معين, و رد بشدة ما سماه العراقيون الاستحسان وما سماه االمالكيون الاستصلاح ولكن عمل بما يقرب من ذلك وهو الاستدلال والشافعي بحيازته فقه الحجازيين وفقه العراقيين وفصاحة البدو صار نسيج وحده فى المناظرة و حسن الكتابة لا تقل درجة كتابته عن كتاب أبلغ الكتاب فى ذلك االعصر كالجاحظ و أمثاله.
Dasar-dasar mazhab al-Syafi’i terrangkum dalam risalah uşūlnya kitab al-Risalah). Al-Syafi’i berdalil dengan dhahir al-Qur`an hingga ada petunjuk lain bahwa yang dimaksudkan oleh al-Qur`an bukan makna dhahirnya itu. Setelah al-Qur`an al-Syafi’i berpedoman kepada al-Sunnah, dia dengan keras mempelopori penggunaan hadis ahad sebagai dalil selagi rawinya merupakan orang yang tsiqah dan dhabit dan hadis itu muttasil kepada Rasul saw. Al-Syafi’i tidak memberlakukan syarat pengamalan hadis selain syarat itu sebagaimana dilakukan oleh imam Malik dan ulama’-ulama Irak. Al-Syafi’i mendapat apresiasi besar dari ahli hadis mengenai kepeloporannya itu sehingga ulama Baghdad menjulukinya sebagai nasir al-sunnah. Al-Syafi’i memandang al-sunnah al-sahihah sebagaimana dia memperhatikan al-Qur`an dengan penilaian wajib mengikutinya. Kemudian al-Syafi’i merujuk kepada ijma’. Ijma’ menurut al-Syafi’i adalah pengetahuan tiadanya petunjuk tidak adanya perbedaaan pendapat di kalangan ulama, sebab menurutnya mengetahui kesepakatan ulama secara keseluruhan adalah tidak mungkin. Jika tidak ada dalil dari nas, al-Syafi’i berpegangan kepada qiyas dengan syarat terdapat dalil rujukan yang tertentu. Al-Syafi’i menolak apa yang disebut oleh ulama Irak dengan istihsan dan yang disebut imam Malik dengan istislah. Akan tetapi, al-Syafi’i mengamalkan yang mirip dengan itu, yakni istidlal. Al-Syafi’i dengan kemampuan analisis model fiqh Madinah dan dan fiqh Irak serta kefasihan bahasa Arab asli Badui) menjadikannya pakar dalam diskusi dan tulis menulis, dan tak ada satu kitab pun yang menandingi karya al-Syafi’i pada masa itu.

4. Imam Ahmad bin Hanbal dan Metode istinbāţnya
Lahir di Baghdad pada 164 H. Nama lengkapnya Ahmad bin Hanbal bin Hilal al-Dzahili. Imam Ahmad sangat menonjol dalam bidang hadis. Dia meriwayatkan hadis dari beberapa ahli hadis besar seperti Hasyim w. 207 H) dan Sufyan bin ’Uyainah w. 198 H.). Dari kemahirannya dalam bidang hadis, ia meninggalkan karya agung yaitu kitab al-musnad, atau dikenal dengan nama musnad al-Imam. Walau ia sangat menonjol dalam bidang hadis, akan tetapi perhatiannya dalam masalah fiqh tidak dapat dinafikan. Namun predikatnya sebagai ahli hadis hampir-hampir mengalahkan ketenarannya dalam bidang fiqh. Dalam segi peninggalan karya tertulis ia dikenang sebagai ulama dengan karya kitab hadis yang terkenal. Dalam bidang fiqh dia dikenal sebagai salah satu imam mazhab fiqh sunni.
Corak metode istinbāţ imam Ahmad dapat dilihat dari bab metode tarjih dalam kitab Raudhat al-Nadhir
يجب على المجتهد فى كل مسألة أن ينظرأول شيء إلى الإجماع فإن وجده لم يحتج إلى النظرفى سواه, ولو خالفه كتاب أو سنة علم أن ذلك منسوخ أو متأول لكون الأجماع دليلا قاطعا لا يقبل نسخا ولا تأويلا. ثم ينظر فى الكتاب والسنة المتواترة وهما على رتبة واحدة لأن كل واحد منهما دليل قاطع ولا يتصور التعارض فى القواطع إلا أن يكون أحدهما منسوخا ولا يتصو أن يتعارض علم وظن لأن ما علم كيف يظن خلافه وظن خلافه شك فكيف يشك فيما يعلم. ثم ينظرفى أخبار الأحاد فإن عارض خبر خاص عموم كتاب أو سنة متواترة فقد ذكرنا ما يجب تقديمه منها. ثم ينظر بعد ذلك قياس النصوص فإن تعارض قياسان أو خبران أو عمومان طلب الترجيح. واعلم أن التعارض هو الناقض ولا يجوز ذلك فى خبرين لأن خبر الله تعالى ورسوله صلى االله عليه و سلم لا يكون كذبا. فإن وجد ذلك فى حكمين فإما أن يكون أحدهما كذبا من الراوي أو يمكن الجمع بينهما بالتنزيل على حالين أو فى زمانين أو يكون أحدهما منمسوخا, فإن لم يمكن الجمع ولا معرفة النسخ رجحنا فأخذنا الأقوى فى أنفسنا.
”Bagi mujtahid dalam penyelesaian setiap masalah pertama kali harus merujuk kepada ijma’ ulama. Jika ditemukan ijma’, maka tidak diperlukan lagi mencari penyelesaian selainnya. Jika ijma’ itu nampak bertentangan dengan al-Qur`an atau hadis, maka harus diberlakukan bahwa terjadi mansukh atau perlu dita’wilkan sebab ijma’ merupakan dalil qath’i yang tidak menerima nasakh ataupun ta’wil. Kemudian melihat dasarnya kepada al-Qur`an dan hadis mutawatir. Keduanya merupakan dalil hukum dalam satu tingkatan sebab keduanya merupakan dalil qath’i. Tidak mungkin terjadi pertentangan antara dalil-dalil qath’i kecuali salah satunya ternasakh. Tidak mungkin terjadi pertentangan antara ’ilm keyakinan) dengan dhan dugaan). Sesuatu yang diyakini bagaimana mungkin terjadi pertentangan dengan sesuatu yang hanya bersifat dugaan. Dugaan adalah sesuatu yang meragukan, bagaimana mungkin ragu terhadap sesuatu yang sudah diketahui. Kemudian mencari dalil pada hadis ahad. Jika hadis ahad nampak bertentangan dengan al-Qur`an atau hadis mutawatir, maka sebagaimana yang kami sebutkan wajib memenangkan al-Qur`an dari pada hadis. Kemudian mencari pada qiyas dari nas yang ada. Jika terjadi pertentangan di antara dua qiyas atau dua hadis atau dua keumuman petunjuk dhahir al-Qur`an, maka perlu diadakan tarjih. Ketahuilah bahwa kemungkinan terjadinya pertentangan sangat kecil dan tidak mungkin terjadi pada dua khabar al-Qur`an dan hadis), sebab firman Allah dan sabda Nabi tidak mungkin berupa kebohongan. Kalaupun diketemukan pertentangan itu pada satu masalah dengan dua hukum, maka kemungkinan salah satunya adalah adanya unsur kebohongan dari perawi atau mungkin diadakan kompromi dengan mendudukkan keduanya pada dua keadaan yang berbeda atau untuk waktu yang berbeda atau mungkin salah satunya telah dinasakh. Jika tidak mungkin diadakan kompromi atau tidak dapat diketahui adanya nasakh, maka Kami mentarjih dan mengambil yang paling kuat menurut Kami.
Secara asasi metode imam Ahmad tidak jauh berbeda dengan metode istinbāţ imam al-Syafi’i hanya saja imam Ahmad memberlakukan hadis ahad tanpa syarat sebagaimana yang dilakukan oleh al-Syafi’i dan imam Ahmad mendahulukan qaul sahabat dari pada qiyas.
Imam Ahmad sebagaimana ulama mazhab dan ulama-ulama besar lainnya merupakan ulama yang tidak terpengaruh kekuasaan sekalipun pada masa itu pemerintahan dipegang oleh al-Ma’mun 813-833 M/218-233 H). Zaman al-Ma’mun ini gerakan intelektual dan ilmu pengetahuan mengalami puncaknya, tidak lepas dari kecenderungannya terhadap filsafat Yunani yang rasional, sehingga ia mengambil teologi rasional Mu’tazilah menjadi teologi negara. Al-Ma’mun memberlakukan dan memaksakan kepada seluruh rakyat paham Mu’tazilah sebagai paham negara hingga digantikan pemberlakuan paham itu oleh al-Mutawakkil 847-861 M). Imam Ahmad wafat pada 241 H dengan pujian sebagai tokoh ulama yang bertahan dengan keyakinannya meski meradang sakit atas siksaan penguasa.
C. Kesimpulan
Kondisi dan situasi sosial kemasyarakan yang melingkupi masa hidup para imam mazhab sangat berperan besar pada pola pemikiran mereka. Masing-masing imam memiliki keterpengaruhan yang berbeda dari lingkungannya dan yang lebih terutama adalah pengaruh rihlah ilmiyah yang dilakukan para imam.
Moderasi pendapat yang dikemukakan imam al-Syafi’i mencerminkan keluasan perendaharaan yang dimiliki, termsuk ketika memberikan kritik kepada teori istihsan yang dipelopori imam Abu Hanifah. Kritik ini, dapat dilihat, bukan ditujukan kepada imam Abu Hanifah. Kritik ini semacam tanggung jawab ilmiah dari ilmuwan untuk kelangsungan ilmu yang obyektif dan metodologis.
Walllah a’lam wa ahkam

DAFTAR BACAAN

Amin, Ahmad. Dluha al-Islam, Mesir: Maktabah al-Nahdlah al-Mishriyyah, 1974.
Bik. Muhammad Khudari. Tarikh al-Tasyri' al-Islami, Beirut: Dar al-Fikr, 1995.
Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam. Jakarta : Ichtiar Baru van Houve, 1999.
Ibn Manzur, Lisan al-‘Arab, Beirut: Dar Sādir, t.th.
Ibn Katsir, Tafsir al-Qur’an al-’Adhim, Riyad: Dar Tayyibat li al-Nasyr wa al-Tawzi’, 1999.
Ibn Hajar al-’Asqalani, Fath al-Bari ala Syarh al-Bukhari, http://www.al-islam.com, 2006.
Ibn Hazm, Rasail Ibn Hazm, Beirut: Muassasat al-’Arabiyat li al-Dirasat wa al-Nashr, 1983.
Isma'il, Sya'ban Muhammad. Al-Tasyri' al-Islami: Mashadiruh wa Athwaruh, Mesir: Maktabah al-Nahdlah al-Misriyyah, 1974.
’Itr, Nuruddin. Manhaj Naqd fi Ulum al-Hadis, Damaskus, Dar al-Fikr, 1997.
Jalal al-Din al-Suyuti, al-Iklil fi istinbāţ al-Tanzil, Beirut: Dar al-Tsaqafah al-Islamiyyah, t.th.
Al-Jurjani, al-Ta’rifat, http://www.alwarraq.com, 2006.
Lapidus, Ira M. A History of Islamic Societies, New York: Cambridge Press, 1988.
al-Maliki, Muhammad Alwi. Mabahith fi al Hadith wa Ulumihi, Makkah: al-Maktabah al-Imdadiyah, 1304.
al-Maqdisi, Ibn Qudamah. Raudhat al-Nadhir wa Junnat al-Manadhir fi Uşūl al-Fiqh ‘ala Mazhab al-Imam Ahmad bin Hanbal. Beirut: Dar al-Kutub al-‘Arabi, 1997.
al-Maraghi, Ahmad Mustafa. Tafsār al-Marāghi, vol. 2 Beirut: Dar al-Fikr, t.th.
Mubarok, Jaih. Sejarah dan Perkembangan Hukum Islam, Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2000.
__________. Modifikasi Hukum Islam Studi tentang Qaul Qadim dan Qaul Jadid, Jakarta: PT.Raja Grafindo Persada, 2002.
al-Qaththan, Manna. al-Tasyri' Wa al-Fiqh al-Islami; Tarikhan wa Manhajan, Beirut: Dar al-Ma'arif, 1989.
Saleh, Abdul Mun’im. Mazhab Syafi’i: Kajian Konsep al-Maslahah, Yogyakarta: Ittaqa Press, 2001.
Al-Shatibi, Al-Muwafaqat, Beirut: Dar al-Ma'rifah, 1975.
Ash Shiddieqy, TM. Hasbi. Pokok-Pokok Pegangan Imam Mazhab, Semarang: PT Putaka Rizki Putra, 1997.
Zaidan, Abd al-Karim. al-Wajiz fi Uşūl al-Fiqh, Kairo: Dar al-Tawzi’ wa al-Nasyr al-Islamiyyah, 1993.
Zahrah, Muhammad Abu. Uşūl al-Fiqh. Mesir: Dar al-Fikr al-‘Arabi, t.th.
________. Malik Hayatuh wa 'Asyruh wa Fiqhuh, Beirut: Dar al-Fikr al-Arabi, 1982.
al-Zuhayli, Wahbah. al-Wajīz fi Uşūl al-Fiqh. Beirut: Dar al-Fikr al-Muassir, t.th.
Selengkapnya...