Thursday, June 19, 2008
















KODIFIKASI HADIS,
USAHA DAN KERJA NAN TAK KENAL PAMRIH


A. Pengantar
Bangsa Arab belum dikenal dengan kemampuan baca-tulis sampai datangnya Islam sehingga mereka dikenal dengan bangsa yang ummi dan pemuka masyarakatnya juga dipilih dari kalangan mereka yang juga ummi. Pada masa pra-Islam tradisi lisan begitu melekat dalam komunikasi masyarakat, dan dalam satu informasi dinyatakan bahwa hanya 10 orang saja yang memiliki kemampuan baca-tulis ketika itu.
Sebelum datangnya Islam terdapat tulisan-tulisan karya sastra berupa puisi dan sejenisnya yang dikenal dengan sebutan al-muallaqat. Karya sastra yang diciptakan oleh seorang penyair pada masa ini mendapat penghargaan yang tinggi dan pengaruh yang kuat. Penyair bukan saja dianggap sebagai juru bicara dalam suku yang dapat membuat satu suku hidup damai, namun juga dianggap mempunyai kemampuan supranatural.
Datangnya Islam membawa angin segar dalam segala aspek bagi hidup dan kehidupan bangsa Arab. Ajaran Islam yang universal dan abadi untuk segala masa memberikan inisiatif bagi generasi awal Islam untuk mengumpulkan seluruh ajaran dalam bentuk tulisan. Termasuk inisiatif mengumpulkan dan menuliskan hadis dalam suatu kumpulan sehingga mudah diwarisi kandungan ajaran-ajarannya oleh generasi setelahnya. Makalah ini menyorot kodifikasi hadis dengan pijakan bahasan pada (a). bagaimana bentuk dan metode kitab-kitab hadis susunan ulama (b) apakah ada keseragaman dalam hal periodisasi pertumbuhan dan perkembangan hadis, dan (c) bagaimana keadaan kitabah dan tadwin hadis pada masa awal Islam..
B. Kodifikasi Hadis.
Kodifikasi atau dalam bahasa Inggris codification berarti penyusunan (undang-undang dan sebagainya) menurut suatu sistem. Kata ini sepadan cakupan maknanya dengan kata tadwin dalam bahasa Arab.Salah satu yang positif, karena banyak juga yang negatif, penyusunan materi hadis dalam bentuk data tulis tidak dilakukan segera setelah hadis itu keluar adalah menunjukkan betapa kuat kemampuan menghafal bangsa Arab.
Ilmuwan-ilmuwan Islam yang salaf dan khalaf maupun ilmuwan non-Islam tidak ada yang mengatakan dan meyakini bahwa seluruh hadis yang ada adalah sahih atau asli semuanya. Begitu pun sebaliknya. Rentang waktu pembukuan hadis dari masa keluarnya hadis terpaut sangat jauh menyebabkan sebagian orang memustahilkan keotentikan hadis.
Para ulama tidak seragam dalam menyusun periodisasi pertumbuhan dan perkembangan hadis termasuk masalah kodifikasi hadis. Di antara mereka ada yang membaginya menjadi lima periode bahkan ada yang hingga ujuh periode.
Dalam penulisan hadis dikenal dua istilah yang harus dibedakan, yakni kitabat al-hadis dan tadwin al-hadis. Kitabat al-hadis atau penulisan hadis secara individu telah terjadi sejak Nabi saw masih hidup.
حَدَّثَنَا يَعْقُوبُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ حَدَّثَنَا إِسْمَاعِيلُ بْنُ عُلَيَّةَ حَدَّثَنَا خَالِدٌ الْحَذَّاءُ عَنْ ابْنِ أَشْوَعَ عَنْ الشَّعْبِيِّ حَدَّثَنِي كَاتِبُ الْمُغِيرَةِ بْنِ شُعْبَةَ قَالَ كَتَبَ مُعَاوِيَةُ إِلَى الْمُغِيرَةِ بْنِ شُعْبَةَ أَنْ اكْتُبْ إِلَيَّ بِشَيْءٍ سَمِعْتَهُ مِنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَكَتَبَ إِلَيْهِ سَمِعْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ إِنَّ اللَّهَ كَرِهَ لَكُمْ ثَلَاثًا قِيلَ وَقَالَ وَإِضَاعَةَ الْمَالِ وَكَثْرَةَ السُّؤَالِ
Ya’qub bin Ibrahim menceritakan kepada kami (dia berkata), Isma’il bin bin ‘Ulyah menceriatakan kepada kami (dia berkata) Khalid al-Hadda’ menceritakan kepada kami dari Ibn Aswa’ dari al-Sya’bi (dia berkata) sekretaris Mughirah bin Syu’bah menceriatakan kepada saya (dia berkata): Mu’awiyah mengirim surat kepada al-Mughirah bin Syu’bah agar menuliskan apa-apa yang didengar dari Nabi saw kemudian al-Mughirah menulis kepdanya (dia berkata) saya mendengar dari Nabi saw beliau bersabda : sesungguhnya Allah membenci dari kamu seklaian tiga hal : senang berkata katanya-katanya, menghambur-hamburkan harta dan banyak meminta.
Dari kegiatan kitabat al-hadis menghasilakan beberapa kumpulan yang dikoleksi oleh pribadi masing-masing penulis. Yang paling terkenal adalah kumpulan hadis yang dimiliki oleh Abdullah ibn Amr ibn ‘Ash (w. 63 H) memuat 1000 hadis yang dikenal dengan sebutan shahifah al-shadiqah. Selain shahifah ini para sahabat juga banyak mempunyai tulisan untuk dirinya sendiri. Tercatat nama-nama Jabir ibn Abdullah ibn Amr Haram (w.78 H), Anas ibn Malik (w. 93 H), Abu Hurairah (w. 59 H), Umar ibn Sa’ad atau dikenal dengan Abu Syah, Abu Bakar al-Shiddiq (w. 13 H), Ali bin Abi Thalib (w. 40 H), Abdullah ibn Abbas (w. 68 H) dan banyak lagi sahabat yang menyimpan tulisan hadis untuk dirinya sendiri termasuk para sahabat wanita semisal ummul mukminin Hafshah.
Para sahabat tidak menyebarkan tulisan-tulisan hadisnya kepada yang lain terkait dengan larangan Nabi menulis selain al-Qur’an. Akan tetapi pada waktu yang lain Nabi bahkan pernah menyuruh menuliskan hadis darinya yang diminta oleh beberapa sahabatnya. Para sahabat juga sering saling meminta catatan di antara mereka sebagaimana kasus Mu’awiyah. Dari sini terlihat bahwa larangan Nabi untuk menulis hadis dan sabda Nabi yang membolehkannya sama-sama efektif. Para sahabat tidak berani menulis hadis atau meneybarkan kapada orang lain yang sekiranya akan melalaikan dari al-Qur’an, akan tetapi mereka menuliskan hadis untuk dirinya sendiri. Shahifah-shahifah di atas merupakan sumber utama kitab-kitab hadis yang disusun oleh ulama yang datang kemudian.
Setelah Islam tersebar ke seluruh jazirah Arab dan meluas ke daerah lain serta terjadinya fitnah di kalangan kaum muslimin dengan banyaknya hadis palsu dan kecenderungan melemahnya kekuatan menghafal bangsa Arab dan juga meninggalnya banyak ulama hadis, khalifah Umar bin Abdul Aziz (w. 101 H) meintruksikan kepada Abu Bakar bin Muhammad bin Amr bin Hazm (gubernur Madinah w. 117 H) dan para ulama Madinah untuk mengumpulkan hadis dari para penghafalnya kemudian mengumpulkannya dalam sebuah kitab.
Kegiatan kodifikasi dimulai dengan latar belakang dan pertimbangan utama khalifah Umar bin Abdul Aziz dalam intruksi ini tercatat dalam riwayat sunan al-Darimi yang berbunyi:
حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ حَسَّانَ حَدَّثَنَا عَبْدُ الْعَزِيزِ بْنُ مُسْلِمٍ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ دِينَارٍ قَالَ كَتَبَ عُمَرُ بْنُ عَبْدِ الْعَزِيزِ إِلَى أَهْلِ الْمَدِينَةِ أَنْ انْظُرُوا حَدِيثَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَاكْتُبُوهُ فَإِنِّي قَدْ خِفْتُ دُرُوسَ الْعِلْمِ وَذَهَابَ أَهْلِهِ
“Yahya bin Husain menceritakan kepada kami (dia berkata): Abdul ‘Aziz bin Muslim menceritakan kepada kami dari Abdullah bin Dinar dia berkata: umar bin Abdul ‘Aziz berkirim surat kepada ulama-ulama Madinah (isinya) agar mereka memperhatikan hadis-hadis Nabi saw dan supaya menulisnya kaena saya khawatir akan lenyapnya ilmu dan hilangnya para ulama”.
Intruksi yang sama juga ditujukan kepada Muhammad ibn Syihab al-Zuhri (w. 124 H) yang dinilai khalifah sebagai orang yang lebih banyak mengetahui hadis dari pada lainnya. Yang dimaksud dalam kodifikasi atau tadwin di sini adalah pembukuan secara resmi atas perintah khalifah.
Metode kodifikasi hadis
Setelah digalakkannya penulisan hadis oleh khalifah Umar bin Abdul Aziz, para ulama generasi berikutnya banyak menyusun kitab-kitab hadis dengan bermacam-macam metode.
1. al-Masanid
yaitu kitab kumpulan hadis dengan rawi satu sahabat menempati tempat tersendiri dengan tidak memperhitungkan kualitas hadis. Urutan nama sahabat disusun secara alphabetis sesuai urutan huruf hijaiyah. Cara ini adalah yang terbanyak di samping dengan urutan suku atau berdasar pada yang paling awal masuk Islam atau asal negaranya.
Kitab musnad susunan para ulama berjumlah sangat banyak. al-Kittani menyebut ada sekitar 82 musnad. Di antara kitab musnad yang terkenal adalah Musnad al-Syafi’i (w. 204), musnad al-Humaidy (w.219 H), musnad Ahmad bin Hanbal (w. 241 H).
2. al-Ma’ajim
yaitu kitab kumpulan hadis yang disusun berurutan berdasar nama sahabat atau guru-guru penyusun secara alphabetic hijaiyah. Kit ab mu’jam yang terkenal adalah al-Mu’lam al-Kabir karya Abul Qasim Sulaiman bin Ahmad al-Thabrani (w. 360 H) yang berisi musnad-musnad para sahabat yang disusun berdasar huruf mu’jamah (kamus). Al-Mu’jam al-Awsath dan al-Mu’jam al-Shaghir juga susunan al-Thabrani serta Mu’jam al-Buldan karya Abu Ya’la Ahmad bin Ali al-Mushili (w. 307 H)
3. al-Jawami’
Yaitu kitab kumpulan hadis yang memuat seluruh bagian pembahasan agama, meliputi ibadah, akidah, sirah dan lain-lain. Kitab al-jami’ yang terkenal adalah al-Jami’ al-Shahih li al-Bukhori (w. 256 H), al-Jami’ Shahih li Muslim (w. 261 H), al-Jami’ li al- Tirmidzi (w. 279 H).
Dua yang disebut pertama dinilai sebagai kitab hadis yang paling akurat data kesahihannya di antara kitab-kitab hadis yang lain. Sedang yang disebut terakhir sering dinamakan dengan Jami’ al-Tirmidzi, Sunan al- Tirmidzi, al-Jami’ al-Kabir.
4. Penulisan hadis berdasarkan pembahasan fiqh
Yaitu susunan kitab hadis dengan menyebutkan bab-bab fikh. Namun kadang-kadang juga menyebutkan bab yang tidak berhubungan dengan fikh seperti bab iman atau adab. Kitab yang disusun dengan cara ini meliputi:
Pertama, al-Sunan yaitu kitab yang disusun berdasarkan bab-bab fikh dan berisi hadis-hadis marfu’ saja sehingga lebih mudah dijadikan sebagai pengambilan sumber hukum. Kitab yang tekenal diantaranya adalah Sunan Abi Dawud susunan al-Imam Sulaiman al-Sijistani (w.275 H), Sunan al-Nasa’i karya Abdurrahman bin Syu’aib al-Nasai (w.303 H).
Kedua, al-Mushannafat, yaitu kitab yang disusun berdasar bab-bab fikh dan memuat hadis marfu’, mauquf dan maqthu, termasuk juga fatwa sahabat dan tabi’in. karya terkenal model ini di antaranya al-Mushannaf karya Abu Bakar Abdurrazaq bin Hamman al-Shan’ani (w. 211 H), al-Mushannaf karya Abu Bakar Abdullah bin Muhammad al-Kufi (w. 235 H.), al-Mushannaf karya Baqiy bin Makhlad al-Qurtubi (w. 276 H)
Ketiga, al-Muwaththa’at sama dengan al-Mushannaf hanya beda nama saja. Karya terkenal model ini adalah al-Muwaththa’ karya Imam Malik bin Anas (w. 179 H), al-Muwaththa’ karya Ibnu Abi Dzi’b Muhamad bin Abdurrahman al-Madani (w.158 H), dan al-Muwaththa’ karya Abu Muhammad Abdullah bin Muhamad al-Marwazi (w. 239)
5. Karya Tematik
Yaitu kitab yang disusun berdasar tema-tema tertentu. Karya yang ada di antaranya al-Targhib wa al-Tarhib susunan Zakiyuddin Abdul Azhim bin Abd al-Qawiy al-Mundziri (w. 656 H), Riyadh al-Shalihin karya Abi Zakariya Yahya bin Syaraf al-Nawawi (w. 676 H)
6. Kumpulan hadis hukum fikh
Yaitu kitab tentang hadis-hadis hukum fikh saja. Di antaranya adalah al-Ahkam karya Abdul Ghani bin Abdul Wahid al-Maqdisi (w. 600 H), Bulugh al-Maram min Adillat al-Ahkam karya Ibn Hajar al-Asqalani (w. 852 H).
7. Merangkaikan al-Majami’
Yaitu kitab yang berisi kumpulan hadis dari koleksi beberapa kitab mushannaf. Karya yang terkenal adalah Jami’ al-Ushul min Ahadis al-Rasul karya Abu al-Sa’adat yang dikenal dengan sebutan Ibn al-Atsir (w.606 H)
8. Al-Ajza’
Yaitu kitab kecil yang berisi kumpulan riwayat seorang perawi hadis atau berkaitan dengan satu masalah tertentu. Seperti kitab Juz’u ma rawahu Abu Hanifah ’an Al-Ahabah, karya Abu Ma’syar Abdul Karim bin Abd al-Shaad al-Thabari dan Juz’u Raf’il Yadain fi al-Shalat karya al-Bukhori.
9. Al-Athraf
Yaitu setiap kitab yang hanya menyebutkan sebagian hadis yang dapat menunjukkan lanjutan hadis dimaksud. Seperti Athraf al-Shahihain karya Muhammad Khalal bin Muhammad al-Washithi (w. 401 H) dan Ithaful Asyraf bi Ma’rifat al-Athraf karya Ibn Hajar al-Asqalani (w.852 H)
10. Kumpulan hadis yang masyhur dan sering diucapkan di kalangan masyarakat.
Seperti al-Durar al-Muntashirah fi al-Ahadis al-Musytaharah karya Jalaluddin al-Suyuti (w. 911 H) dan al-Fawaid al-Majmu’ah fi al-Ahadis al-Maudhu’at karya al-Syaukani (w. 125)
11. Al-Mustadrak
yaitu kitab yang berisi kumpulan hadis yang memenuhi syarat dari penyusun kitab lain namun belum dimuat dalam kitab tersebut. Seperti al-Mustadrak ‘ala al-Shahihain karya Abu Abdullah al-Hakim.
12. al-Mustakhrajat
yaitu kumpulan hadis yang diambil dari riwayat penyusun lain dengan sanad yang berbeda dengan sanad penyusun. Seperti al-Mustakhrajat ‘ala al-Shahihain karya Abu Nu’aim al-Asbahani
Isu yang terkandung dalam sebuah hadis sering kali terlihat terlalu spesifik dan tampak berdiri sendiri. Hal ini tidak lepas dari kecenderungan para penulis kitab-kitab hadis dalam menyusun bab-babnya. Betapa sistematika penyusunan hadis dalam banyak kitab mengesankan keterpisahan dengan ayat-ayat al-Qur’an. Banyak tema yang disebut dalam hadis tetapi tidak dibicarakan oleh al-Qur’an, misalnya bab tentang keutamaan sahabat. Tetapi karena salah satu fungsi hadis sebagai tabyin li al-Qur’an adalah mengaktualkan kandungan al-Qur’an, maka bukan tidak disengaja muatan hadis lebih detail dan bersifat teknis. Karenanya, dalam banyak hal, aturan hukum Islam kelihatan hanya merujuk kepada hadis karena di sini disebut lebih detail dan rinci. Di sini hadis menjadi pointer in a direction, seperti ditunjukkan oleh Fazlurrahman bukan sebagai an exactly laid-out series of rules.
C. KESIMPULAN
1. Kitab-kitab hadis susunan ulama yang menghimpun hadis mengikuti metode tertentu yang memudahkan pembaca mencermati kitab dan materi yang tercakup di dalamnya.
2. Para ulama tidak seragam dalam menyusun periodisasi pertumbuhan dan perkembangan hadis termasuk masalah kodifikasi hadis.
3. Larangan Nabi untuk menulis hadis dan sabda Nabi yang membolehkannya sama-sama efektif berpengaruh pada para sahabat sehingga masa-masa awal Islam para sahabat tidak berani menulis hadis atau menyebarkan kapada orang lain. Akan tetapi pada masa sesudahnya inisiatif membukukan hadis mengemuka melihat kelangsungan hadis yang diperlukan bagi generasi mendatang.

DAFTAR BACAAN
al-Qur'an dan Terjemahannya Jakarta: Proyek Pengadaan Kitab Suci al-Qur'an Departemen Agama, 1982.
al-Baghdadi, ‘Ajja Khatib, Ushul al-Hadis, Ulumuh wa musthalahuh, Beirut: Dar al-Fikr, 1989.
al-Qaththan, Syaikh Manna’, Mabahits fi Ulum al-Hadis, edisi Indonesia Pengantar Studi Ilmu Hadis, Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2005.
al-Thahan, Mahmud, Taysir Mustalah al-Hadis, Surabaya: Bungkul Indah, t.th.
Arif, Syamsuddin, Gugatan Orientalis terhadap Hadis dan Gaungnya Di Dunia Islam dalam Jurnal al-Insan, Depok: Gema Insani Press, 2005.
Ash-Shidiqy, Teungku Muhammad Hasbi, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadis, Semarang: Pustaka Rizki putra, 1999.
Echols, John M. dan Hassan Shadily, an English-Indonesian Dictionary, Jakarta: Gramedia, 1992.
Musahadi, Evolusi Konsep Sunnah, Semarang: Aneka Ilmu, 2000.
Ranuwijaya, Utang, Ilmu Hadis, Jakarta: Gaya Media Pratama, 1996.
Sutiasumarga, Males, Kesusatraan Arab, Jakarta: Zikrul Hakim, 2000.
Zuhri, Muh., Telaah Matan Hadis, Yogyakarta: Lesfi, 2003.
Selengkapnya...












Kyai Profesor Solichul Hadi Permana, di Ndalem Gayung Sari Surabaya
Selengkapnya...









akromakum atqookum.....
ya ayyuha......... yarfa' ...... uutul 'ilma.....

taqwa hanya bisa diraih atas usaha sendiri
ilmu juga bisa diraih atas usaha sendiri


artinya

hidup kudu berprestasi
prestasi itu karya sendiri
bukan warisan
kalo gak berprestasi ????


sak karep..... !
Selengkapnya...

ISTINBĀŢ IMAM AL-MAZAHIB


ISTINBĀŢ IMAM AL-MAZAHIB



A. Pengertian Istinbāţ
Terma istinbāţ berasal dari akar kata nabaţa yanbuţu yang mempunyai makna kharaja yakhruju. Terambil dari padanan nabaţa al-mā` yang berarti iza kharaja al-mā` min manbaih air yang memancar keluar dari sumbernya). Kata nabaţa yang merupakan akar kata istinbāţ maupun derivasinya secara terminologic ditemukan pada pemakaian sehari-hari dalam kosa kata Arab, dalam bahasa al-Qur’an maupun dalam bahasa hadis.
Al-Qur’an menggunakan kata nabaţa maupun derivasinya hanya satu kali yaitu pada QS al-Nisa` 4): 83. Para mufassir memaknai yastanbitunah pada ayat ini dengan yastakhrijunah wa yasta’limunah berusaha mengeluarkan dan mengetahui makna yang tersimpan dari apa yang dimaksudkan) sehingga orang yang mengusahakan disebut dengan mustanbiţ.
Hadis juga menggunakan kata nabaţa maupun derivasinya dalam berbagai tempat. Di antaranya adalah hadis yang diriwayatkan Abdullah bin Abi Aufa:
حَدَّثَنَا مُوسَى بْنُ إِسْمَاعِيلَ حَدَّثَنَا عَبْدُ الْوَاحِدِ حَدَّثَنَا الشَّيْبَانِيُّ حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ أَبِي الْمُجَالِدِ قَالَ بَعَثَنِي عَبْدُ اللَّهِ بْنُ شَدَّادٍ وَأَبُو بُرْدَةَ إِلَى عَبْدِ اللَّهِ بْنِ أَبِي أَوْفَى رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا فَقَالَا سَلْهُ هَلْ كَانَ أَصْحَابُ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي عَهْدِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُسْلِفُونَ فِي الْحِنْطَةِ قَالَ عَبْدُ اللَّهِ كُنَّا نُسْلِفُ نَبِيطَ أَهْلِ الشَّامِ فِي الْحِنْطَةِ وَالشَّعِيرِ وَالزَّيْتِ فِي كَيْلٍ مَعْلُومٍ إِلَى أَجَلٍ مَعْلُومٍ
Dinarasikan dari Muhammad ibn Mujallid, dia diperintah Abdullah bin Syadad dan Abu Burdah menghadap Abdullah bin Abi Aufa ra untuk bertanya): tanyakan adakah di antara sahabat Nabi saw pada zaman Nabi yang melakukan akad salaf pada gandum. Abdullah bin Abi Aufa menjawab: Kami melakukan akad salaf kepada nabit ahli Syam pada gandum, anggur dan pohon zaitun dengan takaran yang jelas dan tempo yang jelas.
Ulama Uşūl al-Fiqh secara istilahi mendefinisikan istinbāţ dengan definisi yang berbeda dengan fokus yang sama sebagaimana dalam makna lughawinya. Al-Jurjani mendefinisikan istinbāţ
الاستنباط استخراج المعاني من النصوص بفرط الذهن وقوة القريحة
Istinbāţ adalah berusaha mengeluarkan makna yang terkandung dalam nas dengan segala kekuatan pikiran dan kemampuan naluriah.
Ibn Hazm mendefinisikan istinbāţ
الاستنباط إخراج الشيء المغيب من شيء آخر كان فيه، وهو في الدين إن كان منصوصا على معناه فهو حق، وإن كان غير منصوص على معناه فهو باطل.
”Istinbāţ adalah berusaha mengeluarkan sesuatu yang tersimpan dari sesuatu yang lain. Dalam kajian agama, jika yang dikeluarkan sesuai dengan makna nas, maka yang demikian adalah benar. jika yang dikeluarkan tidak sesuai dengan makna nas, maka yang demikian adalah bathil.”
Sumber utama dalil hukum Islam, baik berupa ayat al-Qur`an maupun teks hadis, semua berbahasa Arab. Untuk dapat menggali kandungannya dengan baik maupun menemukan dalil sandaran hukum) bagi suatu perbuatan, yang dikenal dengan istidlal , diperlukan kemampuan memahami bahasa Arab dengan baik pula. Oleh karena itulah dua bahasan istinbāţ dan istidlal merupakan ruh dari kajian Uşūl al-Fiqh.
Ayat-ayat al-Qur`an berisi tentang hukum di samping menjelaskan tentang tauhid, sejarah dan sebagainya. Secara garis besar, penarikan hukum dari ayat-ayat hukum dalam al-Qur`an terkelompok pada dua macam, yaitu:
1. Tanpa mengkompromikan dengan ayat lain. Seperti kewajiban puasa Ramadlan yang didapat dari QS al-Baqarah 2): 183
2. Mengkompromikan dengan ayat lain untuk mendapat kesimpulan hukum, seperti kompromi ayat 233 QS al-Baqarah dan ayat 15 QS al-Ahqaf. Sahabat Ali bin Abi Thalib dan Ibn Abbas berijtihad bahwa masa paling sedikit untuk kehamilan seorang ibu adalah enam bulan. Diambil dari pengurangan masa penyususan 2 tahun/ 24 bulan) dari masa hamil dan menyapih 30 bulan), yang sisanya 6 bulan.
Pengambilan hukum dari al-Qur`an dan hadis yang berbahasa Arab secara kebahasaan membutuhkan perangkat yang demikian banyak sehingga para ulama Uşūl membuat kaidah yang dipakai sebagai dasar untuk menghindari kesalahan kesimpulan dari apa yang dimaksudkan oleh nas yang dikenal dengan kaidah Uşūliyyah lughawiyah.
Dalam kaidah kebahasaan ini dapat dicermati dan digali maksud dari nas dari segi ma’ani atau pengertian-pengertiannya, konotasinya dari sisi umum dan khusus, dari segi dalalahnya penunjukannya) menggunakan manthuq dan mafhum yang diambil dari konteks kalimatnya, ungkapan hakiki dan majazinya, dari sisi batasan-batasan yang membatasi petunjuk-petunjuk nas dan lain sebagainya. Dalam membuat kaidah-kaidah kebahasaan ini, para ulama Uşūl al-Fiqh berpatokan pada:
1. Al-madlulat al-lughawiyat atau pengertian konotasi kebahasaan, dan al-fahm al-’arabi pemahaman yang didasarkan pada cita rasa bahasa arab pada bahasa arab itu sendiri) terhadap nas al-Qur`an dan hadis.
2. Pedoman metode) yang dipakai oleh nabi Muhammad ketika menjelaskan hukum-hukum al-Qur`an, dan himpunan hukum-hukum nas yang telah mendapat penjelasan dari sunnah.
Lafaz-lafaz nas menurut ulama Uşūl al-Fiqh dalam hubungannya dengan makna dan sesuatu yang timbul dari makna terbagi atas empat kategori, dan hal ini pula yang menjadi acuan penyusunan kaidah lughawiyyah dalam Uşūl al-Fiqh, yaitu :
1. Lafaz dari sisi cakupan maknanya, terbagi atas lafaz Khass, ’Am, Musytarak. Pada bab ini tercakup pula bahasan tentang mutlak dan muqayyad, amar, dan nahi.
2. Lafaz dari sisi penggunaan dalam ungkapan konotasinya terbagi atas Hakikat, Majaz, Sharih, Kinayah,
3. Lafaz dari sisi kejelasan dan ketidakjelasan atas makna yang dimaksudkan terbagi atas dhahir, nas, Mufassar, Muhkam, Khafi, Mujmal, Musykil, Mutasyabih
4. Lafaz dari segi makna yang digunakan dan cara memahaminya. Dalam hal ini terbagi atas empat jenis yaitu ibarat al-naşş, Isyarat al-naşş, dalalat al-naşş,dan Iqtida al-naşş
B. Biografi dan Metode Istinbāţ Imam al-Mazahib
Pengalaman yang memadai tentang latar belakang kehidupan seorang tokoh sangat diperlukan untuk dapat memahami pemikirannya. Hal ini dapat dipahami mengingat pemikiran berkaitan erat dengan kehidupan. Oleh karena itu, pada bab ini dikemukakan uraian singkat tentang riwayat hidup imam-imam mazhab dari imam-imam sunni, yaitu imam Abu Hanifah, imam Malik, imam al-Syafi'i, dan imam Ahmad bin Hanbal terutama mengenai hal-hal yang dapat mempengaruhi pembentukan kepribadian dan pemikiran.
1. Imam Abu Hanifah dan Metode istinbāţnya
Nama aslinya adalah al-Nu'man ibn Tsabit al-Zuthi, dilahirkan di Ambar, Kota Kuffah pada tahun 80 H. dan meninggal pada tahun 150 H. Secara politik beliau hidup dalam dua generasi. Hal ini berarti beliau lahir pada zaman dinasti Umayyah, pada masa kekuasaan 'Abd. Al-Malik ibn Marwan dan meninggal di Baghdad pada masa pemerintahan dinasti Abbasiyah, yakni masa pemerintahan Abu Ja'far al-Mansur. Beliau hidup selama 52 tahun pada masa Umaiyyah dan 18 tahun pada zaman Abbasiyah. Dengan demikian beliau mengalami masa hiruk-pikuk pergantian kekuasaan Islam antara dua dinasti tersebut.
Dari segi ekonomi, Abu Hanifah termasuk orang yang kaya. Beliau berprofesi sebagai pedagang sutera yang dikenal jujur dan lugas. Abu Hanifah hidup pada generasi Islam ketiga, hal ini berarti Abu Hanifah termasuk atba' tabi'in. Setidaknya ada empat orang sahabat Nabi yang masih hidup ketika Abu Hanifah lahir, yaitu: 1) Anas bin Malik di Basrah; 2) 'Abdullah Ibn Abi Aufa di Kuffah; 3) Sahl Ibn Sa'ad al-Sa'idi di Madinah; dan 4) Abu al-Thufail Ibn Wa'ilah di Makkah.
Sesuai dengan domisilinya, Abu Hanifah pertama kali belajar pada ulama-ulama Irak yang terkenal dengan penggunaan ra'yu. Rasio sangat dominan dalam ijtihad mereka. Oleh karena itu Abu Hanifah dianggap sebagai resprentasi aliran ra'yu. Imam Abu Hanifah terkenal dengan teori istihsannya yang belakangan disalahgunakan oleh pihak-pihak yang kurang bertanggung jawab menisbatkan jalan pikiran pribadi tanpa menggali sumber agama dengan layak dan menyatakan bahwa yang dilakukan adalah istihsan sebagaimana metode Abu Hanifah.
Imam Abu Hanifah tidak meninggalkan karya tertulis termasuk dalam kajian metodologis hukum Islam yang dapat dijadikan referensi bagaimana model pemikirannya. Namun, secara tidak langsung murid-murid imam Abu Hanifah merangkum metodologinya ke dalam karya-karya mereka. Di antaranya adalah Risalah fi al-Kharaj ila al-Rasyid karya Abu Yusuf dan al-Mabsuth karya Muhammad bin al-Hasan.
Khudhari Bik menuturkan alur istinbāţ Abu Hanifah yang pokok diringkas sebagai berikut:
إنى آخذ بكتاب الله إذا وجدته، فما لم أجده فيه أخذت بسنته رسول الله والآثار الصحاح عنه التى فشت فى أيدى الثقات. فإذا لم أجد فى كتاب الله وسنته رسول الله صلى الله عليه وسلم أخذت بقول أصحابه من شئت وأدع من شئت ثم لا أخرج عن قولهم إلى قول غيرهم، فإذا انتهى الأمر إلى إبراهيم والشعبىوالحسن وابن سيرين وسعيد بن المسيب وعدد رجالا قد اجتهدوا) فلي أن اجتهد كما اجتهدوا.
Aku Abu Hanifah) merujuk kepada al-Qur'an apabila aku mendapatkannya. Apabila tidak ada dalam al-Qur'an, aku merujuk kepada sunnah Rasulullah Saw dan atsar yang shahih yang diriwayatkan oleh orang-orang yang tsiqat. Jika tidak mendapatkan dalam al-Qur'an dan Sunnah Rasul, aku merujuk kepada qaul sahabat yang mana saja yang aku kehendaki serta aku abaikan pendapat yang aku kehendaki. Aku tidak pindah dari pendapat sahabat yang satu ke pendapat yang lain. Apabila pendapa–pendapat itu sudah sampai kepada pendapat-pendapat Ibrahim, al-Sya'bi, al-Hasan, Ibn Sirin, dan Sa’id ibn al-Musayyab serta para ulama lainnya) maka aku pun berijtihad sebagaimana mereka berijtihad.
2. Imam Malik dan Metode istinbāţnya
Nama lengkapnya adalah Malik bin Anas bin Abu Amir. Anas bapaknya) adalah seorang perawi hadis sedangkan ibunya tergolong wanita salihah yang cinta ilmu, ibunya yang mendorong Malik sejak kecil untuk senantiasa menuntut ilmu. Karena itu Malik senang kepada ilmu pengetahuan dan selalu berusaha untuk menambahnya.
Imam Malik dilahirkan di kota Madinah pada tahun 93 H, termasuk generasi tabi’ al-tabiin. Ia menuntut ilmu kepada ulama Madinah dari generasi tabiin maupun tabi’ tabiin, jumlahnya mencapai lebih kurang 900 orang, sepertiganya dari generasi tabi’in dan sisanya dari generasi tabi’ tabiin.
Guru-gurunya merupakan cerminan orang-orang tsiqat terpercaya) dan profesional ahli hadis), karena Imam Malik tidak mau menerima hadis kecuali dari orang yang betul-betul ahlinya, bukan sekedar mengandalkan ketakwaannya. Imam Malik pernah mengatakan:
ربما جلس الينا الشيخ فيحدث نهاره ما نأخذ عنه حديثا واحدا ما بنا ان نتهمه و لكن لم يكن من أهل الحديث
“Kadang ada seorang guru yang duduk bersanding kami, ia meriwayatkan hadis sepanjang hari, akan tetapi saya tidak menerima satu hadis pun darinya, saya bukan menuduhnya, melainkan dikarenakan dia bukan ahli hadis”.
Imam Malik wafat pada tahun 179 H di Madinah dalam usia 86 tahun, dan dimakamkan Baqi’ di Madinah.
Khudhari Beik juga menuturkan ringaksan alur istinbāţ imam Malik sebagai berikut:
وكان مالك رحمه الله يعتمد فى فتياه أوًًلاٍَِِ على كتاب الله ثم على سنة رسول الله صلى الله عليه و سلم ما ثبت عنده منها وعمدته فى ذلك كبار المحدثين من علماء الحجاز و يعطى لما جرى عليه العمل فى المدينة أهمية كبرى ولا سيما عمل الأئمة و فى مقدمتهم العََمران وقد يرد الحديث لأنه لم يجري عليه عمل وقد نازعه فى ذلك فقهاء الأمصار وقد قدمنا لك رسالة الليث ابن سعد إلبه فى ذلك ورد الشافعي هذا االموضوع كثيرا فى الأم و كذلك أبو يوسف صاحب أبي حنيفة رحمهم الله. ُُثم يعتمد على القياس إذا لم يكن نص كتاب أو سنة. زقد نسب إليه العمل بالمصالح المرسلة كما نسب إلى الحنفية القول يالإستحسان وقد تسمى هذه المصالح يالإستصلاح.
Imam Malik rahimahullah dalam setiap fatwanya pertama-tama berpatokan kepada al-Qur’an kemudian pada sunnah Rasulullah saw selagi terdapat hadis yang dia miliki dan ada pada tokoh-tokoh ulama hadis di Madinah. Dia memberikan apresiasi yang sangat besar kepada apa yang dilakukan oleh penduduk Madinah, terlebih lagi kepada ulama-ulamanya. Terkadang imam Malik menolak suatu hadis disebabkan materi hadis itu tidak dilaksanakan oleh penduduk Madinah. Pada bab ini, para ulama semasanya banyak yang menentang. Telah kami sajikan risalah al-Laits bin Sa’d dalam masalah ini. Al-Syafi’i juga menentang keras cara pandang imam Malik ini dalam al-Umm, sebagaimana juga Abu Yusuf, murid imam Abu Hanifah menentangnya. Kemudian berpegangan kepada qiyas jika dalam al-Qur’an dan sunnah tidak ditemukan satu nas pun. Penisbatan penggunaan maslahah mursalah begitu melekat kepada imam Malik sebagaimana istihsan dilekatkan penyebutannya kepada imam Abu Hanifah. Maslahah mursalah dalam mazhab Malik biasa disebut dengan istislah.
Pemikiran Imam Malik dapat kita jumpai dalam kitabnya al-Muwatta'. Dalam al-Muwatta' secara jelas tergambar bahwa fatwa-fatwa imam Malik mengambil tradisi Madinah yang berlaku turun-temurun dan telah disepakati oleh ulama’ Madinah sebagai salah satu dasar hukum sebagai wujud sunnah setelah nash al-Qur'an. Hadith yang tidak sesuai dengan praktek Madinah tidak dapat dijadikan sebagai rujukan. Dia juga mengambil hadith-hadith munqati' dan mursal sepanjang tidak bertentangan dengan tradisi orang-orang Madinah. Secara ringkas dapat dijelaskan oleh al-Shatibi bahwa pemikiran Malik dapat disederhanakan dalam empat hal, yaitu al-Qur'an, Sunnah, ijma' dan ra'y.
Yang menarik dari pemikiran Malik adalah lebih mendahulukan praktek Madinah sebelum qiyas yang tidak digunakan oleh fuqaha' lainnya. Tradisi yang diwariskan oleh Nabi pada sahabat dan dilanjutkan pada tabi'in adalah bagian dari sunnah mutawatirah karena tidak mungkin tradisi masyarakat Madinah pada saat itu terjadi penyelewengan secara masal oleh penduduk Madinah.
3. Imam al-Syafi'i dan Metode istinbāţnya
Nama lengkapnya adalah Muhammad ibn Idris ibn al-Abbas ibn Utsman ibn Syafi’i ibn al-Sa’ib ibn Ubaid ibn Abd Yazid ibn Hasyim ibn Abd al-Muthalib ibn Abd Manaf. Lahir di kota Gaza, Palestina, tahun 150 H, kemudian dibawa oleh ibunya ke Makkah. Lahir pada zaman Dinasti Abbassiyah, tepatnya pada zaman kekuasaan Abu Ja’far al Manshur 137-159 H./754-774 M.), dan meninggal di Mesir pada tahun 204 H
Imam al-Syafi'i belajar pada ulama-ulama Makkah, baik ulama-ulama fiqih maupun hadis, sehingga ia terkenal dalam bidang fiqh dan memperoleh kedudukan yang tinggi dalam bidang itu. Ketika sampai kabar kepadanya bahwa di Madinah ada seorang ulama besar yaitu Imam Malik, yang pada masa itu sangat terkenal dan mempunyai kedudukan tinggi dalam bidang ilmu hadis, Imam al-Syafi'i bermaksud belajar kepadanya. Imam al-Syafi'i mengadakan kajian dengan Imam Malik dalam masalah-masalah yang difatwakan Imam Malik. Di waktu Imam Malik meninggal tahun 179 H, Imam Syafi'i telah mencapai usia dewasa dan matang.
Situasi politik dan sosial keagamaan pada masa Dinasti Abbasiyah memerintah wilayah-wilayah negeri Islam di mana masyarakat Islam sedang berada di puncak keemasannya. Masa itu memiliki berbagai macam keistimewaan yang memiliki pengaruh besar bagi perkembangan ilmu pengetahuan dan kebangkitan pemikiran Islam. Transformasi ilmu dari filsafat Yunani dan sastra Persia serta ilmu bangsa India ke masyarakat Muslim juga sedang semarak. Dengan kondisi masyarakat yang beragam ini tentunya akan banyak timbul aneka problema sosial. Setiap permasalahan yang timbul dari interaksi antar masyarakat tersebut tentunya akan diambil ketentuan hukumnya dari syariat. Sebab, syariat Islam adalah syariat yang bersifat umum.
Pengamatan terhadap permasalahan yang terjadi akan memperluas cakrawala pemikiran seorang faqih sehingga ia dapat menemukan penyelesaian solusi hukum) bagi masalah-masalah yang terjadi. Selain itu, sang faqih akan dapat memperluas medan pembahasan dengan menghadirkan permasalahan yang mungkin terjadi, kemudian memberikan kaidah-kaidah umum untuk masalah-masalah furu' yang berbeda.
Imam al-Syafi'i wafat di Mesir pada hari Jum’at tanggal 30 Rajab 204 H, setelah menyebarkan ilmu dan manfaat kepada banyak orang. Di antara karya monumental Imam al-Syafi'i adalah al-Umm yang secara sistematis disusun dengan bab-bab fikih dan menjadi rujukan utama dalam mazhab Syafi'i. Kitab ini memuat pendapat Imam Syafi'i dalam berbagai masalah fikih yang dikenal dengan al-qaul al-qadim dan al-qaul al-jadid, dan al-Risalah yang merupakan kitab Uşūl al-Fiqh yang pertama kali dikarang, dan karenanya Imam Syafi'i dikenal sebagai peletak ilmu Uşūl al-Fiqh. Dalam bidang hadis al-Syafi’i mewariskan musnad al-Syafi’i hanya saja kitab ini tidak dimasukkan ke dalam kitab standar hadis dalam rangkaian kutub al-tis’ah sebagaimana Muwatta’ imam Malik atau musnad Ahmad bin Hanbal.
Al-Syafi’i juga terkenal dengan komentar man istahsana faqad syara’a. Ia melakukan kritik serius terhadap istihsan model imam Abu Hanifah hanya karena khawatir kalau-kalau orang terjerumus ke dalam al-tasyri’ bi al-hawa wa al-tasyahhi. Sebab lafal istihsan bila digunakan oleh orang yang tidak mempunyai burhan dan khasysyah kepada Allah, memberi peluang sangat besar kepada subjektifitas yang tidak berdasarkan hujjah. Sedang Imam Abu Hanifah tidak dapat di golongkan kepada orang yang tidak memiliki burhan dan khasysyah itu.
Metode istinbat al-Syafi’i terrangkum sebagai berikut:
وأساس مذهب الشافعي مدون فى رسالته الأصولية فهو يحتج بظواهر القرأن حتى يقوم الدليل على أنّ المراد بها غير ظاهرها, وبعد ذلك السنة وقد دفع دفاعا شديدا عن العمل بخبر الواحد ما دام راويه ثقة ظابطا وما دم الحديث متصلا برسول الله صلى الله عليه و سلم لم يشترط غير ذلك من عمل يؤيد الحديث كما اشترط مالك ولا شهرة كما اشترط أهل االعراق وقد نال بذلك الدفاع حظا كبيرا عند أهل الحديث حتى كان أهل بغداد يطلقون عليه ناصر السنة ,وهو ينظر إلى السنة الصحيحة نظره إلى القرأن يرى كلا منهما واجب الاتباع. ثم يعمل بالإجماع ومعناه عنده عدم العلم بالخلاف لأن العلم بالإجماع فى نظره غير ممكن كما قدمنا فإذا لم يكن هناك دليل منصوص عمد إلى القياس فعمل به مشترطا أن يكون له أصل معين, و رد بشدة ما سماه العراقيون الاستحسان وما سماه االمالكيون الاستصلاح ولكن عمل بما يقرب من ذلك وهو الاستدلال والشافعي بحيازته فقه الحجازيين وفقه العراقيين وفصاحة البدو صار نسيج وحده فى المناظرة و حسن الكتابة لا تقل درجة كتابته عن كتاب أبلغ الكتاب فى ذلك االعصر كالجاحظ و أمثاله.
Dasar-dasar mazhab al-Syafi’i terrangkum dalam risalah uşūlnya kitab al-Risalah). Al-Syafi’i berdalil dengan dhahir al-Qur`an hingga ada petunjuk lain bahwa yang dimaksudkan oleh al-Qur`an bukan makna dhahirnya itu. Setelah al-Qur`an al-Syafi’i berpedoman kepada al-Sunnah, dia dengan keras mempelopori penggunaan hadis ahad sebagai dalil selagi rawinya merupakan orang yang tsiqah dan dhabit dan hadis itu muttasil kepada Rasul saw. Al-Syafi’i tidak memberlakukan syarat pengamalan hadis selain syarat itu sebagaimana dilakukan oleh imam Malik dan ulama’-ulama Irak. Al-Syafi’i mendapat apresiasi besar dari ahli hadis mengenai kepeloporannya itu sehingga ulama Baghdad menjulukinya sebagai nasir al-sunnah. Al-Syafi’i memandang al-sunnah al-sahihah sebagaimana dia memperhatikan al-Qur`an dengan penilaian wajib mengikutinya. Kemudian al-Syafi’i merujuk kepada ijma’. Ijma’ menurut al-Syafi’i adalah pengetahuan tiadanya petunjuk tidak adanya perbedaaan pendapat di kalangan ulama, sebab menurutnya mengetahui kesepakatan ulama secara keseluruhan adalah tidak mungkin. Jika tidak ada dalil dari nas, al-Syafi’i berpegangan kepada qiyas dengan syarat terdapat dalil rujukan yang tertentu. Al-Syafi’i menolak apa yang disebut oleh ulama Irak dengan istihsan dan yang disebut imam Malik dengan istislah. Akan tetapi, al-Syafi’i mengamalkan yang mirip dengan itu, yakni istidlal. Al-Syafi’i dengan kemampuan analisis model fiqh Madinah dan dan fiqh Irak serta kefasihan bahasa Arab asli Badui) menjadikannya pakar dalam diskusi dan tulis menulis, dan tak ada satu kitab pun yang menandingi karya al-Syafi’i pada masa itu.

4. Imam Ahmad bin Hanbal dan Metode istinbāţnya
Lahir di Baghdad pada 164 H. Nama lengkapnya Ahmad bin Hanbal bin Hilal al-Dzahili. Imam Ahmad sangat menonjol dalam bidang hadis. Dia meriwayatkan hadis dari beberapa ahli hadis besar seperti Hasyim w. 207 H) dan Sufyan bin ’Uyainah w. 198 H.). Dari kemahirannya dalam bidang hadis, ia meninggalkan karya agung yaitu kitab al-musnad, atau dikenal dengan nama musnad al-Imam. Walau ia sangat menonjol dalam bidang hadis, akan tetapi perhatiannya dalam masalah fiqh tidak dapat dinafikan. Namun predikatnya sebagai ahli hadis hampir-hampir mengalahkan ketenarannya dalam bidang fiqh. Dalam segi peninggalan karya tertulis ia dikenang sebagai ulama dengan karya kitab hadis yang terkenal. Dalam bidang fiqh dia dikenal sebagai salah satu imam mazhab fiqh sunni.
Corak metode istinbāţ imam Ahmad dapat dilihat dari bab metode tarjih dalam kitab Raudhat al-Nadhir
يجب على المجتهد فى كل مسألة أن ينظرأول شيء إلى الإجماع فإن وجده لم يحتج إلى النظرفى سواه, ولو خالفه كتاب أو سنة علم أن ذلك منسوخ أو متأول لكون الأجماع دليلا قاطعا لا يقبل نسخا ولا تأويلا. ثم ينظر فى الكتاب والسنة المتواترة وهما على رتبة واحدة لأن كل واحد منهما دليل قاطع ولا يتصور التعارض فى القواطع إلا أن يكون أحدهما منسوخا ولا يتصو أن يتعارض علم وظن لأن ما علم كيف يظن خلافه وظن خلافه شك فكيف يشك فيما يعلم. ثم ينظرفى أخبار الأحاد فإن عارض خبر خاص عموم كتاب أو سنة متواترة فقد ذكرنا ما يجب تقديمه منها. ثم ينظر بعد ذلك قياس النصوص فإن تعارض قياسان أو خبران أو عمومان طلب الترجيح. واعلم أن التعارض هو الناقض ولا يجوز ذلك فى خبرين لأن خبر الله تعالى ورسوله صلى االله عليه و سلم لا يكون كذبا. فإن وجد ذلك فى حكمين فإما أن يكون أحدهما كذبا من الراوي أو يمكن الجمع بينهما بالتنزيل على حالين أو فى زمانين أو يكون أحدهما منمسوخا, فإن لم يمكن الجمع ولا معرفة النسخ رجحنا فأخذنا الأقوى فى أنفسنا.
”Bagi mujtahid dalam penyelesaian setiap masalah pertama kali harus merujuk kepada ijma’ ulama. Jika ditemukan ijma’, maka tidak diperlukan lagi mencari penyelesaian selainnya. Jika ijma’ itu nampak bertentangan dengan al-Qur`an atau hadis, maka harus diberlakukan bahwa terjadi mansukh atau perlu dita’wilkan sebab ijma’ merupakan dalil qath’i yang tidak menerima nasakh ataupun ta’wil. Kemudian melihat dasarnya kepada al-Qur`an dan hadis mutawatir. Keduanya merupakan dalil hukum dalam satu tingkatan sebab keduanya merupakan dalil qath’i. Tidak mungkin terjadi pertentangan antara dalil-dalil qath’i kecuali salah satunya ternasakh. Tidak mungkin terjadi pertentangan antara ’ilm keyakinan) dengan dhan dugaan). Sesuatu yang diyakini bagaimana mungkin terjadi pertentangan dengan sesuatu yang hanya bersifat dugaan. Dugaan adalah sesuatu yang meragukan, bagaimana mungkin ragu terhadap sesuatu yang sudah diketahui. Kemudian mencari dalil pada hadis ahad. Jika hadis ahad nampak bertentangan dengan al-Qur`an atau hadis mutawatir, maka sebagaimana yang kami sebutkan wajib memenangkan al-Qur`an dari pada hadis. Kemudian mencari pada qiyas dari nas yang ada. Jika terjadi pertentangan di antara dua qiyas atau dua hadis atau dua keumuman petunjuk dhahir al-Qur`an, maka perlu diadakan tarjih. Ketahuilah bahwa kemungkinan terjadinya pertentangan sangat kecil dan tidak mungkin terjadi pada dua khabar al-Qur`an dan hadis), sebab firman Allah dan sabda Nabi tidak mungkin berupa kebohongan. Kalaupun diketemukan pertentangan itu pada satu masalah dengan dua hukum, maka kemungkinan salah satunya adalah adanya unsur kebohongan dari perawi atau mungkin diadakan kompromi dengan mendudukkan keduanya pada dua keadaan yang berbeda atau untuk waktu yang berbeda atau mungkin salah satunya telah dinasakh. Jika tidak mungkin diadakan kompromi atau tidak dapat diketahui adanya nasakh, maka Kami mentarjih dan mengambil yang paling kuat menurut Kami.
Secara asasi metode imam Ahmad tidak jauh berbeda dengan metode istinbāţ imam al-Syafi’i hanya saja imam Ahmad memberlakukan hadis ahad tanpa syarat sebagaimana yang dilakukan oleh al-Syafi’i dan imam Ahmad mendahulukan qaul sahabat dari pada qiyas.
Imam Ahmad sebagaimana ulama mazhab dan ulama-ulama besar lainnya merupakan ulama yang tidak terpengaruh kekuasaan sekalipun pada masa itu pemerintahan dipegang oleh al-Ma’mun 813-833 M/218-233 H). Zaman al-Ma’mun ini gerakan intelektual dan ilmu pengetahuan mengalami puncaknya, tidak lepas dari kecenderungannya terhadap filsafat Yunani yang rasional, sehingga ia mengambil teologi rasional Mu’tazilah menjadi teologi negara. Al-Ma’mun memberlakukan dan memaksakan kepada seluruh rakyat paham Mu’tazilah sebagai paham negara hingga digantikan pemberlakuan paham itu oleh al-Mutawakkil 847-861 M). Imam Ahmad wafat pada 241 H dengan pujian sebagai tokoh ulama yang bertahan dengan keyakinannya meski meradang sakit atas siksaan penguasa.
C. Kesimpulan
Kondisi dan situasi sosial kemasyarakan yang melingkupi masa hidup para imam mazhab sangat berperan besar pada pola pemikiran mereka. Masing-masing imam memiliki keterpengaruhan yang berbeda dari lingkungannya dan yang lebih terutama adalah pengaruh rihlah ilmiyah yang dilakukan para imam.
Moderasi pendapat yang dikemukakan imam al-Syafi’i mencerminkan keluasan perendaharaan yang dimiliki, termsuk ketika memberikan kritik kepada teori istihsan yang dipelopori imam Abu Hanifah. Kritik ini, dapat dilihat, bukan ditujukan kepada imam Abu Hanifah. Kritik ini semacam tanggung jawab ilmiah dari ilmuwan untuk kelangsungan ilmu yang obyektif dan metodologis.
Walllah a’lam wa ahkam

DAFTAR BACAAN

Amin, Ahmad. Dluha al-Islam, Mesir: Maktabah al-Nahdlah al-Mishriyyah, 1974.
Bik. Muhammad Khudari. Tarikh al-Tasyri' al-Islami, Beirut: Dar al-Fikr, 1995.
Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam. Jakarta : Ichtiar Baru van Houve, 1999.
Ibn Manzur, Lisan al-‘Arab, Beirut: Dar Sādir, t.th.
Ibn Katsir, Tafsir al-Qur’an al-’Adhim, Riyad: Dar Tayyibat li al-Nasyr wa al-Tawzi’, 1999.
Ibn Hajar al-’Asqalani, Fath al-Bari ala Syarh al-Bukhari, http://www.al-islam.com, 2006.
Ibn Hazm, Rasail Ibn Hazm, Beirut: Muassasat al-’Arabiyat li al-Dirasat wa al-Nashr, 1983.
Isma'il, Sya'ban Muhammad. Al-Tasyri' al-Islami: Mashadiruh wa Athwaruh, Mesir: Maktabah al-Nahdlah al-Misriyyah, 1974.
’Itr, Nuruddin. Manhaj Naqd fi Ulum al-Hadis, Damaskus, Dar al-Fikr, 1997.
Jalal al-Din al-Suyuti, al-Iklil fi istinbāţ al-Tanzil, Beirut: Dar al-Tsaqafah al-Islamiyyah, t.th.
Al-Jurjani, al-Ta’rifat, http://www.alwarraq.com, 2006.
Lapidus, Ira M. A History of Islamic Societies, New York: Cambridge Press, 1988.
al-Maliki, Muhammad Alwi. Mabahith fi al Hadith wa Ulumihi, Makkah: al-Maktabah al-Imdadiyah, 1304.
al-Maqdisi, Ibn Qudamah. Raudhat al-Nadhir wa Junnat al-Manadhir fi Uşūl al-Fiqh ‘ala Mazhab al-Imam Ahmad bin Hanbal. Beirut: Dar al-Kutub al-‘Arabi, 1997.
al-Maraghi, Ahmad Mustafa. Tafsār al-Marāghi, vol. 2 Beirut: Dar al-Fikr, t.th.
Mubarok, Jaih. Sejarah dan Perkembangan Hukum Islam, Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2000.
__________. Modifikasi Hukum Islam Studi tentang Qaul Qadim dan Qaul Jadid, Jakarta: PT.Raja Grafindo Persada, 2002.
al-Qaththan, Manna. al-Tasyri' Wa al-Fiqh al-Islami; Tarikhan wa Manhajan, Beirut: Dar al-Ma'arif, 1989.
Saleh, Abdul Mun’im. Mazhab Syafi’i: Kajian Konsep al-Maslahah, Yogyakarta: Ittaqa Press, 2001.
Al-Shatibi, Al-Muwafaqat, Beirut: Dar al-Ma'rifah, 1975.
Ash Shiddieqy, TM. Hasbi. Pokok-Pokok Pegangan Imam Mazhab, Semarang: PT Putaka Rizki Putra, 1997.
Zaidan, Abd al-Karim. al-Wajiz fi Uşūl al-Fiqh, Kairo: Dar al-Tawzi’ wa al-Nasyr al-Islamiyyah, 1993.
Zahrah, Muhammad Abu. Uşūl al-Fiqh. Mesir: Dar al-Fikr al-‘Arabi, t.th.
________. Malik Hayatuh wa 'Asyruh wa Fiqhuh, Beirut: Dar al-Fikr al-Arabi, 1982.
al-Zuhayli, Wahbah. al-Wajīz fi Uşūl al-Fiqh. Beirut: Dar al-Fikr al-Muassir, t.th.
Selengkapnya...

masalikul illat


BELUM ADA JUDUL


Berbicara mahar berarti membicarakan tentang terjadinya perpindahan kepemilikan barang dari seseorang kepada seseorang yang lain. Sebab-sebab kepemilikan barang meliputi:
1.al-ihroz (إحراز ) atau eksplorasi kekayaan alam. Dari laut, misalnya, hasil hutan dll.
2.al-`aqd (العقد) atau transaksi seperti jual-beli, sewa dll.
3.al-tawallud min al-milk (التولد من الملك) seperti buah dari tanaman, anak dari hewan piaraan.
4.al-khilafah (الخلافة) atau meneruskan kepemilikan dari pemilik terdahulu dengan cara:
- ijbariah (penerusan pasti) seperti harta warisan dari orang yang meninggal dunia
- ikhtiyariah (penerusan kepemilikan karena pilihan) seperti wasiat, hibah, shodaqoh dll.
Dengan demikian perpindahan barang mungkin terjadi sebab hibah, wakaf, shodaqoh, hadiah, jual-beli, wasiat, mahar, nemu, ghanimah, gasab, nyolong, nyilih, rahn, waris, zakat dll. Dan mahar termasuk sing ngendi ???? Khilafah ikhtiyariah atau karena akad ???
Ketentuan mahar adalah sesuatu yang mempunyai harga dan manfaat sehingga jasa termasuk ke dalam ketentuan mahar, tidak ada ketentuan minimal-maksimal. Artinya, barang atau sesuatu yang dapat diperjual-belikan dapat dijadikan mahar. Begitu pun syarat yang ditentukan untuk hibah, hadiah atau shodaqoh. Ketiganya tergolong al-tamlik bi la `audhin.
- Pemberian dengan sukarela karena mengharap pahala : shodaqoh
- Pemberian sukarela dengan mengharap pahala juga sebagai penghormatan: hadiah
- Pemberian sukarela dengan mengharap pahala bukan dimaksudkan sebagai penghormatan : hibah
- MAHAR??? Kewajiban BOSS ! Kesepakatan tapi sukarela.
Untuk membedakan pemberian sukarela yang diberikan bersamaan dengan kehendak untuk melangsungkan pernikahan, apakah dianggap sebagai hibah, shodaqoh, hadiah atau mahar, maka diperlukan telaah masalikul illat (penelusuran penentuan illat)
Urutan teorinya adalah :
A. Dicari dalam nash Qur`an dan Hadis
B. Dicari dalam ijma’ ulama
C. As-sabr wa al-taqsim (identifikasi illat opo wae dan klasifikasi illat yang terukur/mundhobith dan tidak dapat diukur/ghoiru mundhobith)
1. barang
- ada harganya
- ada manfaatnya
- milik sendiri
- bisa pindah pemilik
- bukan benda najis
- tanpa pertukaran (bila audh)
- ada pertukaran (bi audh)
2. pemberi dan penerima
- bukan mereka yang wajib diberi nafkah
- mereka yang wajib diberi nafkah
- bukan ahli waris
- musuh (harbi)
3. waktu
- kapan saja
- idul fitri
- ketika melamar
- transaksi jual-beli
- penghargaan
- perang
- terbatas waktu
- tidak terbatas
4. akad
- perlu ijab qobul
- tidak perlu ijab qabul
D. tanqihul manath: diskualifikasi yang tidak dapat dijadikan illat karena tidak dapat diukur (ghairu mundhobit)

Diskualifikasi illat yang bukan untuk mahar
1. barang
• ada harganya : mundhobith
• ada manfaatnya : mundhobith
• milik sendiri : mundhobith
• bisa pindah pemilik : mundhobith
• bukan benda najis : mundhobith
• tanpa pertukaran (bila audh) : mundhobith
2. pemberi dan penerima
• laki-laki yang melamar : mundhobith
• perempuan yang dilamar : mundhobith
3. waktu pemberian
• ketika melamar : mundhobith
4. akad
• perlu ijab qobul : mundhobith
E. takhrij wa tathbiqul manath : menetapkan dan memastikan illat yang cocok yang dapat dijadikan illat masalah
IKI PIYE ? karena angel maka tak belajar tenanan lewat ........... rokhinsadja@gmail.com
Selengkapnya...