Thursday, November 22, 2012

wa ma adraka ma al-aqiqah


wa ma adraka ma al-Aqiqah

Aqiqah, kata Ibn Abbas (A’lawi, t.th : 257) intinya iroqot al-dam, mengalirkan darah binatang. Dalam cerita aqiqah dari Nabi, yang disembelih adalah kabsy atau syat, kambing). Jika hanya melihat itu, maka hanya dan jika hanya kambing yang dapat dijadikan media aqiqah. Tetapi dalam kasus istilah iroqot al-dam dari Ibn Abbas, maka ayam jago atau angsa pun wajar dikatakan menyembelih untuk aqiqah (A’lawi, t.th : 257).
Lainya adalah bahwa aqiqah merupakan ibadah. Bagaimana pun, porsi ibadah itu lebih bagus jika ritualnya dilaksanakan dengan lebih dari sekedar standar biasa saja. Karenanya, aqiqah yang dicontohkan dengan kambing boleh jadi menjadi lebih bagus jika diup-grade dengan menyembelih sapi atau bahkan unta. Yang terakhir ini dilandasi dengan media qiyas (Ibn Rushd, t.th : 339)
Segandeng dengan pencontohan kambing sebagai media aqiqah, hari ke tujuh sejak kelahiran dipakai untuk menunjuk waktu pelaksanaan aqiqah sekaligus memberi nama bayi. Jika tidak dapat dilaksanakan pada hari itu, ada toleransi dapat dilaksanakan pada hari ke empat belas atau hari ke dua puluh satu (Nawawi al-Jawi, t.th : 272). Setelah diberi toleransi memundurkan hingga batas maksimal itu tetap tidak dapat dilaksanakan, Nawawi al-Jawi (t.th : 272) mengatakan aqiqah tidak lagi wajib dilaksanakan, apalagi jika si anak sudah sampai baligh. Anas ibn Malik justru meriwayatkan bahwa Nabi Muhammad beraqiqah untuk dirinya sendiri pada saat setelah mendapatkan SK kenabian. Dapat dipaham komentar Nawawi al-Jawi tentang tidak wajibnya meng-aqiqahi anak bagi orang tua pasca balighnya anak karena setelah baligh anak dapat memilih ingin aqiqah atau tidak. Jadi kapan pun aqiqah dapat dilaksanakan.
Sebenarnya aqiqah itu wajib atau tidak wajib dilaksanakan, dan kapan dilaksanakannya dengan menyembelih apa, mempunyai sandaran masing-masing. Yang fanatis mengambil hadis Samurah (al-Turmudzi, t.th: 1442), maka aqiqah wajib dilaksanakan dan harus menyembelih kambing di hari ke tujuh pasca lahir sebab posisi anak di hadapan Tuhan tersandera oleh aqiqah. Dalam kasus aqiqah, hari lahir bayi dihitung sebagai hari pertama, berbeda dengan khitan pada hari ke tujuh di mana hari kelahiran tidak dihitung sebagai hari pertama usia anak (Nawawi al-Jawi, t.th : 272). Sementara yang memilih riwayat Abu Dawud (t.th : 2459) sebagai sandaran, maka aqiqah berhukum volunteer saja untuk melaksanakan. Dengan sifatnya yang sukarela, maka kapan saja dapat dilaksanakan dan mau menyembelih apa tidak terlalu terikat pada apa yang disampaikan oleh Samurah tentang aqiqah. Juga ada cerita bahwa Nabi mengaqiqahi dua cucu laki-laki kembarnya, si Hasan dan si Husayn, dengan masing-masing satu kambing, bukan masing-masing dua kambing (Abu Dawud, t.th : 2458)
Status hewan aqiqah pasca disembelih sama dengan hewan qurban yang tidak boleh diperjualbelikan. Final dari aqiqah adalah menikmati masakannya. Dengan tidak perlu merepotkan para tetangga untuk mendatangi acara walimah aqiqah, daging aqiqah baiknya diantar-dibagikan dalam kondisi siap santap dalam porsi mantap ke tempat calon penikmatnya. Ini dipahami dari saran para ulama untuk tidak mematahkan tulang-tulang hewan aqiqah, tetapi dipotong pada mafshol-nya dan jangan merampas kemerdekaan waktu para tetangga (Ibn Qasim, t.th : 63, Muhammad Hasbullah, t.th : 83, Ahmad ibn al-Naqib, t.th : 151).
Akhir. Yang mau aqiqah, aqiqah saja. Yang belum kesampaian menyembelih unta untuk aqiqah, pakai saja jenis binatang layak konsumsi lainnya untuk aqiqah. Terpenting adalah jika disembelih mengeluarkan darah. Dan ini bisa didapatkan dari misalnya ayam, bukan terong yang dibentuk jadi ayam seperti karya ibu-ibu PKK dalam lomba tumpengan.

Daftar Bacaan

A’lawi, t.th., Bughyat al-Musytarshidin, Jeddah : al-Haramayn.
Abu Dawud, t.th, Sunan Abi Dawud, Beirut : Dar al-Fikr.
Ahmad ibn al-Naqib, t.th. Umdat al-Salik wa ‘Uddat al-Nasik, Surabaya : al-Hidayah.
Ibn Qasim, t.th, Tawsikh ‘ala Fath al-Qarib al-Mujib, Indonesia : Dar Ihya al-Kutub al-‘Arabiyah.
Ibn Rushd, t.th., Bidayat al-Mujtahid wa Nihayat al-Muqtashid, Surabaya : al-Hidayah.
Ibn Syuja’, Ghayat al-Taqrib, Surabaya : al-Hidayah.
Muhammad Hasbullah, t.th., Riyadh al-Badi’ah, Surabaya : al-Hidayah.
Nawawi al-Jawi, t.th., Tsimar al-Yani’ah, Surabaya : al-Hidayah.
_____________, t.th, Qut al-Habib al-Gharib, Indonesia : Dar Ihya al-Kutub al-‘Arabiyah.
Al-Turmudzi, t.th, Sunan al-Turmudzi, Beirut : Dar al-Fikr.
Selengkapnya...