wa ma adraka ma al-Aqiqah
Aqiqah, kata Ibn Abbas (A’lawi, t.th : 257) intinya iroqot
al-dam, mengalirkan darah binatang. Dalam cerita aqiqah dari Nabi, yang
disembelih adalah kabsy atau syat, kambing). Jika hanya melihat itu,
maka hanya dan jika hanya kambing yang dapat dijadikan media aqiqah. Tetapi dalam
kasus istilah iroqot al-dam dari Ibn Abbas, maka ayam jago atau angsa
pun wajar dikatakan menyembelih untuk aqiqah (A’lawi, t.th : 257).
Lainya adalah bahwa aqiqah merupakan ibadah. Bagaimana pun, porsi ibadah
itu lebih bagus jika ritualnya dilaksanakan dengan lebih dari sekedar standar
biasa saja. Karenanya, aqiqah yang dicontohkan dengan kambing boleh jadi
menjadi lebih bagus jika diup-grade dengan menyembelih sapi atau bahkan
unta. Yang terakhir ini dilandasi dengan media qiyas (Ibn Rushd, t.th : 339)
Segandeng dengan pencontohan kambing sebagai media aqiqah, hari ke
tujuh sejak kelahiran dipakai untuk menunjuk waktu pelaksanaan aqiqah sekaligus
memberi nama bayi. Jika tidak dapat dilaksanakan pada hari itu, ada toleransi
dapat dilaksanakan pada hari ke empat belas atau hari ke dua puluh satu (Nawawi
al-Jawi, t.th : 272). Setelah diberi toleransi memundurkan hingga batas
maksimal itu tetap tidak dapat dilaksanakan, Nawawi al-Jawi (t.th : 272)
mengatakan aqiqah tidak lagi wajib dilaksanakan, apalagi jika si anak sudah
sampai baligh. Anas ibn Malik justru meriwayatkan bahwa Nabi Muhammad beraqiqah
untuk dirinya sendiri pada saat setelah mendapatkan SK kenabian. Dapat dipaham
komentar Nawawi al-Jawi tentang tidak wajibnya meng-aqiqahi anak bagi orang tua
pasca balighnya anak karena setelah baligh anak dapat memilih ingin aqiqah atau
tidak. Jadi kapan pun aqiqah dapat dilaksanakan.
Sebenarnya aqiqah itu wajib atau tidak wajib dilaksanakan, dan
kapan dilaksanakannya dengan menyembelih apa, mempunyai sandaran masing-masing.
Yang fanatis mengambil hadis Samurah (al-Turmudzi, t.th: 1442), maka aqiqah
wajib dilaksanakan dan harus menyembelih kambing di hari ke tujuh pasca lahir
sebab posisi anak di hadapan Tuhan tersandera oleh aqiqah. Dalam kasus aqiqah, hari
lahir bayi dihitung sebagai hari pertama, berbeda dengan khitan pada hari ke
tujuh di mana hari kelahiran tidak dihitung sebagai hari pertama usia anak (Nawawi
al-Jawi, t.th : 272). Sementara yang memilih riwayat Abu Dawud (t.th : 2459)
sebagai sandaran, maka aqiqah berhukum volunteer saja untuk melaksanakan.
Dengan sifatnya yang sukarela, maka kapan saja dapat dilaksanakan dan mau
menyembelih apa tidak terlalu terikat pada apa yang disampaikan oleh Samurah
tentang aqiqah. Juga ada cerita bahwa Nabi mengaqiqahi dua cucu laki-laki
kembarnya, si Hasan dan si Husayn, dengan masing-masing satu kambing, bukan masing-masing
dua kambing (Abu Dawud, t.th : 2458)
Status hewan aqiqah pasca disembelih sama dengan hewan qurban yang
tidak boleh diperjualbelikan. Final dari aqiqah adalah menikmati masakannya. Dengan
tidak perlu merepotkan para tetangga untuk mendatangi acara walimah aqiqah, daging
aqiqah baiknya diantar-dibagikan dalam kondisi siap santap dalam porsi mantap
ke tempat calon penikmatnya. Ini dipahami dari saran para ulama untuk tidak
mematahkan tulang-tulang hewan aqiqah, tetapi dipotong pada mafshol-nya
dan jangan merampas kemerdekaan waktu para tetangga (Ibn Qasim, t.th : 63, Muhammad
Hasbullah, t.th : 83, Ahmad ibn al-Naqib, t.th : 151).
Akhir. Yang mau aqiqah, aqiqah saja. Yang belum kesampaian
menyembelih unta untuk aqiqah, pakai saja jenis binatang layak konsumsi lainnya
untuk aqiqah. Terpenting adalah jika disembelih mengeluarkan darah. Dan ini
bisa didapatkan dari misalnya ayam, bukan terong yang dibentuk jadi ayam
seperti karya ibu-ibu PKK dalam lomba tumpengan.
Daftar Bacaan
A’lawi,
t.th., Bughyat al-Musytarshidin, Jeddah : al-Haramayn.
Abu
Dawud, t.th, Sunan Abi Dawud, Beirut : Dar al-Fikr.
Ahmad
ibn al-Naqib, t.th. Umdat al-Salik wa ‘Uddat al-Nasik, Surabaya :
al-Hidayah.
Ibn Qasim,
t.th, Tawsikh ‘ala Fath al-Qarib al-Mujib, Indonesia : Dar Ihya al-Kutub
al-‘Arabiyah.
Ibn Rushd,
t.th., Bidayat al-Mujtahid wa Nihayat al-Muqtashid, Surabaya :
al-Hidayah.
Ibn
Syuja’, Ghayat al-Taqrib, Surabaya : al-Hidayah.
Muhammad
Hasbullah, t.th., Riyadh al-Badi’ah, Surabaya : al-Hidayah.
Nawawi
al-Jawi, t.th., Tsimar al-Yani’ah, Surabaya : al-Hidayah.
_____________,
t.th, Qut al-Habib al-Gharib, Indonesia : Dar Ihya al-Kutub al-‘Arabiyah.
Al-Turmudzi,
t.th, Sunan al-Turmudzi, Beirut : Dar al-Fikr.