Monday, November 07, 2022

 

TEORI-TEORI ILMU UŞŪL AL-FIQH

DALAM MASĀLIK AL-ILLAT

 

A. Iftitah

Penelusuran untuk menemukan illat dalam hukum yang berlaku tidak akan meninggalkan teori qiyas yang diberlakukan oleh sebagian besar ulama. Terma al-ahkam tarbutu bi ’ilaliha la bi hukmiha[1] menuntut konsekuensi bahwa hukum praktis tidak berjalan sendirian dengan apa yang telah ditunjuk oleh dalil hukum atau khusus untuk apa yang disebut saja. Tidak disangkal, qiyas merupakan doktrin dari kaum rasionalis, tetapi ia adalah salah satu doktrin di mana penggunaan pendapat personal (ra’y) tunduk kepada makna-makna wahyu Tuhan[2]

Bidang utama pemakain putusan akal dalam qiyas adalah penemuan illat yang sama antara kasus asal dan kasus baru. Apabila illat ditemukan maka ketentuan-ketentuan analogi mengharuskan agar nas diikuti tnpa perubahan apapun. Penelitian terhadap illat dan tujuan-tujuan dari petunjuk Allah sering melibatkan spekulasi juristik, dan pada sisi ini para penentang qiyas menentangnya karena mempertanyakan validitas essensialnya.

Di sisi lain, dalam menerima dan mengamalkan ajaran agama terdapat dua kubu yang saling berbeda sikap. Kubu pertama tidak tertarik untuk mempersoalkan mengapa agama melarang ini dan menyuruh itu. Ada perintah dilaksanakan dan ada larangan disingkiri, selesai. Tidak penting baginya sebuah nas berada dalam konteks tertentu. Mengamalkan agama tidak harus mengerti rahasia, kronologis serta komunikasi antara nas agama dan gejala sosial budaya yang berkembang. Kubu kedua karena menempatkan akal pada posisi yang strategis, merasa perlu mencari rahasia perintah dan larangan. Baginya terjadi kontak dialogis antara nas agama dengan setting sosial budaya ketika nas agama itu muncul. Dan oleh karena itu,  agama harus dihayati, dimengerti, dan dinikmati.[3]

Dalam kerangka ini maka penting artinya menemukan illat al-hukm untuk kenikmatan menjalankan ajaran agama di samping untuk pengembangannya. Diskusi kali ini akan mengetengahkan masalik al-illat dengan berpegangan pada pokok masalah (a) bagaimana bentuk pencarian illat dalam kajian hukum (b) menemukan illat berarti memaksimalkan daya kerja akal, dan (c) adakah solusi langsung yang diberikan dalam masalik al-illah

B.  Masalik al-illah

Dalam kitab-kitab uşūl al-fiqh, illah sering disebut sebagai manat al-hukm (kausa hukum), amarah al-hukm (tanda hukum) dan sabab.[4] Illat mempunyai banyak pengertian, namun untuk kepentingan pembahasan istilah ini diberikan pengertian  sebagai sifat-lahir yang menetapkan dan sesuai dengan hukum.[5] Jalan yang menunjukkan kepada ditemukan dan diketahuinya biasa di sebut dengan masalik al-illah.[6]

Illat suatu ketentuan hukum bisa jadi pertama telah ditetapkan secara jelas atau ditunjukkan dengan dalil dalil dalam nass. Contoh illah yang jelas telah ditentukan dalam nass terdapat dalam mendekati sholat ketika kamu mabuk (QS al-Nisa’ 4:43), distribusi seperlima rampasan perang kepada orang fakir miskin (QS al-Hasr 59:7). Contoh-contoh juga dijumpai dalam hadits yang illat ketentuaanya telah diidentifikasi sendiri oleh nassnya.

Al-Ghazali dalam al-Mustasfa memberikan beberapa indikasi dalam penentuan illat yang telah disebut oleh nas.[7]

1.   Illat telah disebutkan secara jelas (sharih)

Dalam keadaan ini nas telah menyebut dengan jelas dengan adanya sighot-sighot ta’lil. Pada contoh-contoh ini, ungkapan-ungkapan bahasa Arab tertentu seperti kayla (agar tidak), li-ajli (karena). dan sebagainya, berhubungan dengan konsep rasionalisasi (ta’lil) dan memberikan dalil yang kuat tentang illat dari suatu ketentuan[8].

2.   Kemungkinan lain, nass yang menentukan sendiri illatnya bisa jadi merupakan nass yang mudah terbaca (al-nas al-zahir) yang berbentuk kemungkinan atau kiasan (al-ima wal-‘isyarah).

Indikasi-indikasi semacam ini juga bisa dipahami dari bahasa nass dan pengguanaan kata depan-kata depan bahasa Arab tertentu seperti li, fi, bi, anna dan inna, yang diketahui berhubungan dengan ta’lil. Misalnya, hukuman potonglah tangan QS al-Maidah 5:38. Juga dapat ditemukan dalam surat al-Nur [24:2 dan 4] tentang hukuman zina dan tuduhan fitnah secara berurutan.

Illah ketentuan dalam ayat ini tidak dapat dipahami oleh nalar manusia, maka ia disebut dengan sabab tetapi bukan ‘illah. Dari pembedaan ini tampaklah bahwa setiap ‘illah pasti merupakan sabab tetapi tidak setiap sabab adalah ‘illah.[9]

3.   Indikasi adanya sebab yang ditangkap dari alur jawab-syarat yang menggunakan fa jawab.

Kedua ‘illah dari suatau hukum bisa jadi telah ditentukan oleh ijma’. Apabila illat telah ditentukan oleh kesepakatan ulama secara jelas, maka ketidaksepakatan tentang illat itu telah tertutup.[10]

Ketiga, apabila illah tidak disinggung dalam nass atau ditetapkan dengan ijma’, maka satusatunya cara untuk menentukannya adalah dengan jalan ijtihad fiqhiyyah al-sabr wa al-taqsim. Metode ketiga ini menyangkut kemampuan fuqaha memahami sifat-sifat dari kasus asal, dan hanya sifat yang dianggap wajar (munasib) sajalah yang diidentifikasi sebagai illah. Cara ketiga ini dapat terdiri atas tiga proses. Secara berurutan disebut dengan takhrij al-manat (mengeluarkan illat), tahqiq al-manat (memastikan illah) dan secara. tanqih al-manat, atau memisahkan.[11]

Tanqih al-manat menyatakan bahwa suatu ketentuan boleh jadi memiliki lebih dari satu alasan, mujthid harus mengidentifikasi salah satu yang tepat (munasib), sebagai mana dalam contoh di atas. Secara harfiyah, tanqih bermakna “menyucikan”, sementara manat adalah kata lain dari illah. Dari segi teknis tanqih al-manat bermakna “mengaktifkan kasus baru kepada kasus akal dengan menyisihkan perbedaan antara kedua kasus itu (ilhaq al-far’ bi’l-asl bi-ilgha al-fariq).[12]

Mengeluarkan’illah, atau takhrij al-manat, sebenarnya adalah langkah awal dalam melakukan penelitian untuk mengidentifikasi ‘illah, dan sering kali mendahului tanqih al-manat. Dalam semua bidang di mana nas atau ijma’ tidak mengidentifikasi ‘illah, maka fuqaha harus mengeluarkannya dengan melihat pada alasan-alasan yang relevan. Melalui ijtihad, dia dapat mengidentifikasi lebih dari satu alasan, dalam kasus ini telah menempuh langkah takhrij al-manat, dan kemudian harus menempuh langkah selanjutnya, yaitu memilih alasan yang tepat. Perbedaan antara dua penalaran itu adalah bahwa dalam takhrij al-manat fuqaha mengalami situasi di mana ‘illah tidak ditentukan sementara dalam tanqih al-manat lebih dari satu alasan yang ditentukan dan tugasnya adalah memilih ‘illah yang tepat.[13]

Langkah untuk memastikan ‘illah, atau tahqiq al-manat, mengikuti dua langkah sebelumnya, di sini ditempuh upaya untuk memastikan adanya ‘illah dalam suatu kasus. Untuk menarik analogi antara khamr dan minum jamu, misalnya, penelitian yang membawa kepada kesimpulan bahwa substansinya mempunyai kualitas yang dapat memabukkan yang sama dengan khamr adalah bentuk tahqiq al-manat. Demikian juga, dalam kasus penarikan analogi antara pencuri dan pencopet, penelitian tentang apakah pencopet termasuk dalam definisi pencuri ataukah tidak adalah dalam bentuk tahqiq al-manat.[14]

C. Menentukan illat dengan menempuh cara yang salah

Al-Ghazali menyebut tiga cara yang keliru dalam menentukan illat al-hukm[15]

1.   Menyebutkan sifat yang berlawanan dari apa yang disebut oleh nash

2.   Menyamakan illat sesuatu dengan yang lain karena ada kesamaan hukum yang berlaku.

3.   Mencari illat dengan teori membuang illat yang menyebabkan illlat tersebut menjadi penyebab berlakunya hukum.

D. Kesimpulan

1.   Menentukan illat jika tidak disebutkan secara sharih dalam nash merupakan pekerjaan ijtihadiyah fiqhiyah yang memerlukan kejelian fuqaha.

2.   Dalam studi masalik al-illat terkesan membawa kepada penggunaan rasio di atas ketentuan nash. Kenyataannya, keadaan ini membimbing penggunaan pendapat personal tunduk kepada makna-makna wahyu Tuhan

3.   Pencarian alasan-hukum dengan meninjau gejala sosial budaya yang berkembang didasarkan pada terjadinya kontak dialogis antara nas agama dengan setting sosial budaya ketika nas agama itu muncul sehingga ajaran agama tidak rigid, dan dapat membawa kepada shalih fi kulli zaman wa makan.

 

DAFTAR BACAAN

Abdul Karim Zaydan, al-Wajis fi Uşūl al-Fiqh, Kairo: dar al-Tauzi’ wa al-Nasr al-Islamiyyah, 1993.

Al-Ghazali, al-Mustasfa fi Uşūl al-Fiqh , Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, 2000.

Abd al-Wahab khalaf, ‘llm Uşūl al-Fiqh, Kuwait: Dar al-Kalam, 1978

Mohammad Hashim Kamali, the Principles of Islamic Jurisprudence, Edisi Indonesia Prinsip dan teori hukum Islam, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996.

Muh. Zuhri, Telaah Matan Hadis, Yogyakarta : LESFI, 2003.

Mohammad Abu Zahrah, Uşūl al-Fiqh, Edisi Indonesia, Jakarta: Pustaka Firdaus, 2000.

Syekh Muhammad al-Khudlari Bik, Uşūl al-Fiqh, edisi Indonesia,  Juz 2, Pekalongan: Raja Murah, 1982.



[1] Abdul Karim Zaydan, al-Wajis fi Uşūl al-Fiqh, Kairo: dar al-Tauzi’ wa al-Nasr al-Islamiyyah, 1993. h. 204

[2] Mohammad Hashim Kamali, the Principles of Islamic Jurisprudence, Edisi Indonesia Prinsip dan teori hukum Islam, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996, h. 256

[3] Muh. Zuhri, Telaah Matan Hadis, Yogyakarta : LESFI, 2003, h. 35.

[4] Mohammad Hashim Kamali, The Principles, h. 267

[5] Mohammad Abu Zahrah, Uşūl al-Fiqh, Edisi Indonesia, Jakarta: Pustaka Firdaus, 2000, h.464.

[6] Abd al-Wahab khalaf, ‘llm Uşūl al-Fiqh, Kuwait: Dar al-Kalam, 1978, h. 75. Abdul Karim Zaydan, al-Wajis, h. 212

[7] Al-Ghazali, al-Mustasfa fi Uşūl al-Fiqh , Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, 2000, h. 308 – 309.

[8] Al-Ghazali, al-Mustasfa, h. 308

[9] Abd al-Wahab khalaf, ‘llm, h. 67-68, Syekh Muhammad al-Khudlaro Bik, Uşūl al-Fiqh, edisi Indonesia,  Juz 2, Pekalongan: Raja Murah, 1982, h. 171.

[10] Abd al-Wahab khalaf, ‘llm, h. 76

[11] Abdul Karim Zaydan, al-Wajis, h. 216

[12] dikutip dari al-Syawkani, Irsyad, h. 221-222. oleh Mohammad Hashim Kamali, the Principles, h. 276

[13] Abd al-Wahab khalaf, ‘llm, h. 78

[14] Abdul Karim Zaydan, al-Wajis, h. 218, Abd al-Wahab khalaf, ‘llm, h. 78

[15] Al-Ghazali, al-Mustasfa, h. 315

Selengkapnya...