Wednesday, July 16, 2008

liburan juliku 2008




Selengkapnya...

liburan juli 2008





Selengkapnya...

harta bersama


HARTA BERSAMA PERSPEKTIF HUKUM ISLAM

Pengertian Harta Bersama

Harta bersama merupakan salah satu bentuk sumber kekayaan yang diusahakan suami-isteri dengan tujuan untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga. Hukum Islam, Hukum Adat dan Hukum Perdata Barat (BW) mempunyai perbedaan dalam mengatur sumber pembiayaan bagi penyelenggaraan kehidupan keluarga. Perbedaan ini menyangkut tentang ada-tidaknya harta bersama, proses pembentukan harta bersama, unsur-unsur yang membentuk harta bersama, pola pengelolaan harta bersama dan pembagian harta bersama karena perceraian.

Harta Bersama dalam Islam

Islam sangat ketat dalam menentukan kepemilikan harta. Karena itu, membicarakan harta bersama berarti memasuki pembicaraan di dalam pengaturan yang ketat itu. Firman Allah dalam QS al-Baqarah : 188 menegaskan haram hukumnya mengambil harta orang lain tanpa seizinnya :

“Dan janganlah sebahagian kamu memakan harta sebahagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang batil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebahagian daripada harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui.”
Memelihara harta merupakan salah satu prinsip dasar dari al-dharuriyat al-khamsah (lima prinsip dasar) dalam syariat Islam yang harus selalu dijaga atau dipelihara. Yaitu, hifdh al-din (memelihara agama), hifdh al-nafs (memelihara jiwa), hifdh al-nasl (memelihara keturunan), hifdh al-mal (memelihara harta) dan hifdh al-aql (memelihara akal).

Pemahaman pasif dari memelihara harta adalah agar jangan sampai harta itu dirampas tanpa hak oleh orang lain. Orang yang mati demi mempertahankan hartanya terkategorikan sebagai mati syahid mengingat harta sebenarnya adalah milik Allah. Namun, alasan harta sebenarnya adalah milik Allah kiranya perlu diluruskan. Alasan lebih tepat adalah bahwa mendapat predikat mati syahid itu karena nilai memelihara harta sangat tinggi nilainya dalam Islam. Artinya, property right di dalam Islam sangat tinggi. Jika pemahaman pasif menunjukkan yang demikian, maka pemahaman aktif bahwa hifd al-mal tidak hanya memelihara harta yang sudah ada, tetapi berusaha mengembangkan harta yang sudah ada untuk tujuan shadaqah (QS al-Baqarah : 272), tentu lebih tepat.

Pada tataran yang sangat dasar, al-Qur`an dan Hadis tidak membicarakan harta bersama. Oleh karena itu, persoalan tersebut diserahkan kepada lembaga ijtihad atau kepada hukum adat, sejalan dengan kaidah al-adat muhkamah atau al-adat muhakkamah (kebiasaan dapat dipakai/punya otoritas untuk menentukan hukum atau kebiasaan dipandang sebagai hukum).

Para ahli Hukum Islam berbeda pendapat dalam memandang hukum harta bersama. Kelompok pertama berpendapat bahwa pada asasnya dalam Hukum Islam tidak ada harta bersama. Seluruh biaya pemenuhan penyelenggaraan kehidupan rumah tangga menjadi kewajiban dan tanggung jawab suami. Walaupun isteri memiliki harta baik berasal dari warisan, hibah maupun hasil usahanya sendiri, ia tidak mempunyai kewajiban dan tanggung jawab dalam pemenuhan kebutuhan rumah tangga. Penggunaan harta benda isteri oleh suami untuk memenuhi kebutuhan keluarga, hukumnya sebagai pinjaman atau hutang yang harus dikembalikan.

Pendapat ini berangkat dari teks ayat 34 Surat al-Nisa`:
"Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. sebab itu Maka wanita yang saleh, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka). wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, Maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. kemudian jika mereka mentaatimu, Maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha besar".

Dalam penjelasan hadis Nabi saw tampak bahwa kewajiban istri terhadap suami hanya memenuhi kebutuhan biologis suami saja, tidak ada yang lain misalnya kewajiban memasak dan mencuci pakaian apalagi kewajiban bekerja untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Sedangkan semua hal yang berhubungan dengan hak istri adalah menjadi kewajiban suami semata. Imam Abi Dawud meriwayatkan :
“Diriwayatkan dari Muawiyah ibn Hidah (kakek dari Bahz ibn Hakim) berkata, aku bertanya : ya Rasulallah, (terhadap) istri-istri kami, apa yang harus kami lakukan dan apa yang dilarang ? Rasul menjawab “datangilah ladangmu sekehendakmu, berilah dia makan ketika kamu makan, berilah pakaian ketika kamu berpakaian, jangan mencela wajah atau memukul”

Ketika ditarik kepada adat di Indonesia, yang terjadi adalah seorang suami bekerja sementara si istri tinggal di rumah memenuhi kebutuhan keseharian suami. Hal ini dilakukan untuk mendukung kesempatan yang lebih luas kepada waktu kerja suami. Dalam aturannnya, jika suami tidak dapat menyelesaikan pekerjaan rumah sendiri, maka dia berkewajiban mempekerjakan orang lain dengan memberi upah. Oleh karena itu, ketika hal itu dilakukan oleh istrinya sendiri, suami tetap berkewajiban memberi upah kepada istrinya atas pekerjaan itu.
Jika hal ini yang terjadi, istri yang mengerjakan pekerjaan rumah dan suami bekerja, ketika terjadi perpisahan sebab perceraian atau meninggal dunia, maka istri berhak mendapatkan bagian harta dari upah sehari-harinya lebih dahulu dari pekerjaan melayani atas harta mantan suami atau harta peninggalan suami. Jadi istri memiliki harta pasca perpisahan melalui lembaga ujrah (upah melakukan pekerjaan) bukan melalui lembaga harta bersama.

Konsep fiqh sendiri mengenai ujrah ada dua macam, yaitu :
Ujrah musamma yang ditentkan oleh kesepakatan kedua pihak (pihak yang mempekerjakan dan pihak yang dipekerjakan).
Ujrah mitsil yang disesuaikan dengan upah standar umum.

Jika seorang pembantu rumah tangga saja harus diberi upah oleh sesuai ketentuan upah minimal standar daerah setempat, maka tentu seorang suami tidak akan mengupah (memberi ujrah) kepada istrinya setara dengan ketika dia mempekerjakan seorang pembantu rumah tangga biasa. Dengan demikian model ujrah yang akan diberikan oleh suami bergantung kepada kemampuan si suami. Suami yang mempunyai penghasilan besar seharusnya tidak memberikan upah standar minimal, apalagi terhadap istrinya sendiri.
Perhitungan jumlah untuk besarnya harta istri antara menerima bagian harta bersama sebesar setengah harta suami dan menerima ujrah sangat relatif. Dalam praktiknya, jika yang diterima adala harta bersama, maka dari harta itu harus dikurangi kewajiban-kewajiban yang mesti dikeluarkan untuk kebutuhan rumah tangga. Semakin besar penghasilan seseorang semakin besar kebutuhan yang harus dipenuhi. Dan jika yang diterima adalah ujrah, maka harta itu adalah mutlak tanpa dikurangi sedikitpun untuk pemenuhan kebutuhan rumah tangga.

Dalam kaitannya dengan kebiasaan di Indonesia di mana hukum yang berlaku dipengaruhi oleh kebiasaan yang terjadi di masyarakat di mana di sana terdapat ketentuan adanya harta bersama, maka ketentuan al-'adah muhkamah tetap harus diperhatikan. Artinya, harta bersama bagi pasangan suami-istri yang beragama Islam di Indonesia adalah ada berdasarkan fiqh Indonesia, dalam hal ini UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam. Apa yang telah ditetapkan pemerintah merupakan implementasi tasharruf al-imam 'ala ra'iyyatih manuth bi al-maslahah (apa yang dilakukan pemerintah terhadap rakyatnya bergantung pada kebaikan bersama) sehingga ketetapan ini bersifat hukm al-hakim yurfi’ wa yulzim (keputusan pemerintah bersifat demi meniadakan perselisihan dan bersifat mengikat).

Kelompok kedua, menyatakan bahwa suami dan isteri dapat membentuk harta bersama guna memenuhi kebutuhan rumah tangga. Harta bersama ini dalam pandangan Islam termasuk golongan syirkah abdan atau mufawawadlah. Syirkah abdan adalah perkongsian antara dua orang atau lebih untuk sama-sama bekerja, dan upah yang mereka peroleh dibagi menurut perjanjian. Sedangkan syirkah mufawwadlah adalah perkongsian dalam menjalankan modal, dengan ketentuan bahwa masing-masing anggota memberikan hak penuh kepada anggota lainnya untuk bertindak atas nama perkongsian tersebut.
Penulis tidak sepakat dengan pendapat kedua ini yang menyatakan bahwa harta bersama di Indonesia adalah bentuk dari syirkah abdan atau syirkah mufawawadlah. Bentuk syirkah (kerjasama) ketika dilakukan oleh dua pihak atau lebih yang saling sepakat, maka pihak-pihak tersebut berhak atas upah hasil kerja atau atas hasil perkembangan modalnya masing-masing sesuai kesepakatan. Keadan ini tidak melihat oleh siapa kesepakatan dilakukan, baik mereka mempunyai hubungan keluarga atau tidak. Ketika bentuk syirkah ini dilakukan oleh suami dan istri, maka hak atas upah hasil kerja atau atas hasil perkembangan modalnya masing-masing tetap menjadi bagian pihak-pihak tersebut. Dalam hal ini suami berhak mendapat bagian upah atau keuntungan, begitu juga istri berhak mendapat bagian upah atau keuntungan.

Jika dalam syirkah ini bagian suami diambil oleh suami dan bagian istri dianggap sebagai harta bersama, pihak istri jelas sebagai pihak yang madhlum. Jika upah atau keuntungan dari syirkah oleh suami-istri ini tetap sebagai harta yang dibiarkan berbaur bersama, maka ketika terjadi perpisahan akibat perceraian atau meninggal dunia, maka istri tetap berhak atas harta dari upah atau keuntungan syirkah dan harta dari upah melakukan pekerjaan rumah untuk suami jika pekerjaan itu dilakukan oleh istri.

Harta Bersama Dalam Sistem Perundangan di Indonesia

Negara Indonesia sebagai Negara hukum yang berdasarkan Pancasila sebagai landasan idiil dan Undang-Undang Dasar 1945 sebagai landasan fundamental yang mengatur sistem penyelenggaraan Negara merupakan negara multi-kultural.
Terbentuknya perundang-undangan di negara manapun, termasuk di Indonesia, tidak terlepas dari sejarah perkembangan bangsa (negara) yang bersangkutan. Sebagaimana halnya di Indonesia, sebelum dijajah oleh Belanda bangsa Indonesia telah mengikuti hukum kebiasaan (customary law) yang kemudian diperkaya oleh hukum agama yang dipeluk. Hukum agama sangat mendominasi tata kehidupan masyarakat dan telah terjadi akulturasi secara antropologis. Kemudian datang bangsa Eropa, khususnya Belanda menjajah Indonesia, sebagai konsekuensinya hukum Belanda juga berpengaruh dalam tata kehidupan, terutama sekali dalam kehidupan formal berhubungan dengan negara atau pemerintahan dan dalam kasus-kasus resmi di pengadilan. Setelah Indonesia merdeka, dan bahkan sampai sekarang, walaupun sudah memiliki landasan dasar yakni Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945, pengaruh hukum Belanda masih mendomanasi dalam sistem perundang-undangan nasional.

Secara faktual umat Islam Indonesia yang bukan hanya sekedar kelompok mayoritas di Indonesia, tetapi juga merupakan kelompok terbesar dari umat Islam di dunia. Oleh karena itu, Hukum Islam sebagai hukum yang dibuat dan berlaku terutama bagi umat tersebut adalah merupakan hukum dengan subyek yang besar. Sehingga betapapun, dalam kondisi yang demikian Hukum Islam menempati posisi yang sangat strategis bukan saja bagi umat Islam Indonesia tetapi bagi dunia Islam pada umumnya dan sekaligus juga menempati posisi yang strategis dalam sistem Hukum Indonesia.

Dengan perjuangan yang cukup panjang masyarakat muslim Indonesia akhirnya melahirkan suatu Undang-undang yang bersifat Nasional bagi mereka. Yaitu :

Tahun 1974 muncul Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
Tahun 1975 keluar Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan UU No. 1 Tahun 1974,
Tahun 1983 muncul Peraturan Pemerintah No. 10 Tahun 1983 tentang Izin Perkawinan dan Perceraian bagi Pegawai Negeri Sipil.
Tahun 1990 terbit Peraturan Pemerintah No. 45 Tahun 1990 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah No. 10 Tahun 1983 tentang Izin Perkawinan dan Perceraian bagi Pegawai Negeri Sipil.
Dan yang terakhir pada tahun 1991 melahirkan Kompilasi Hukum Islam berdasarkan Instruksi Presiden RI No. 1 Tahun 1991 dan Keputusan Menteri Agama RI No. 154 Tahun 1991 tentang Pelaksanaan Instruksi Presiden RI.

Harta bersama atau dalam istilah lainnya dikenal dengan nama harta gono-gini diatur dalam perundangan di Indonesia, yaitu menurut Undang-undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan berdasarkan Kompilasi Hukum Islam.

Secara tersurat, Pasal 85 sampai dengan 97 Bab XIII Kompilasi Hukum Islam di Indonesia yang merupakan produk fikih Indonesia, mengatur kemungkinan bagi para pihak suami isteri untuk membentuk harta bersama dalam keluarga. Pasal 85 Kompilasi tersebut menyatakan pula bahwa adanya harta bersama dalam keluarga itu tidak menutup kemungkinan adanya harta milik pribadi masing-masing suami dan isteri.

Undang-undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 mengatur tentang harta bersama dalam satu bab, yakni Bab VII tentang Harta Benda dalam Perkawinan dan tiga pasal, yaitu pasal 35 sampai dengan pasal 37. Tentang pengertian harta bersama terdapat dalam pasal 35 ayat (1) undang-undang tersebut di mana di dalamnya disebutkan "Harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama".

Sedang menurut Hukum Adat, harta bersama dalam perkawinan adalah harta lepasan atau pecahan dari harta kerabat yang mengurung keluarga baru tersebut. Misalnya dalam adat Aceh, harta bersama dikenal dengan istilah hareuta sihareukat. Dalam adat Bali disebut gunakaya, dan dalam adat Jawa dikenal dengan nama gono-gini. Unsur-unsur harta dari harta bersama menurut Hukum Adat adalah semua harta yang dihasilkan oleh suami isteri selama perkawinan dan harta yang diberikan kepada keduanya ketika menikah.

Berkenaan dengan harta bersama, Hukum Perdata Barat (BW) menetapkan bahwa apabila tiada perjanjian khusus dalam perkawinan maka semua harta yang dibawa oleh suami dan isteri, harta yang diperoleh selama perkawinan, semuanya menjadi harta bersama. Baik Hukum Adat maupun Hukum Perdata Barat (BW) menganut asas persatuan bulat. Pasal 119 Burgerlijk Wetboek menyebutkan :

“Mulai saat perkawinan dilangsungkan demi hukum berlakulah persatuan bulat antara harta kekayaan suami dan istri, sekedar mengenai itu dengan perjanjian kawin tidak diadakan ketentuan lain.
Persatuan itu sepanjang perkawinan tak boleh ditiadakan atau diubah dengan sesuatu persetujuan antara suami dan istri.”

KESIMPULAN

Para ahli hukum Islam berseberang pendapat mengenai hukum harta bersama. Penulis memilih pendapat bahwa tidak ada harta bersama dalam Islam sebab istri tidak mempunyai kewajiban untuk bekerja demi memenuhi kebutuhan rumah tangga. Konsep harta bersama adalah harta yang diperoleh selama perkawinan yang mestinya merupakan hasil kerja pihak suami dan istri selama perkawinan karena harta bawaan masing-masing suami istri bukan merupakan harta bersama. Istri memiliki harta pasca perpisahan melalui lembaga ujrah (upah melakukan pekerjaan) bukan melalui lembaga harta bersama.

Akan tetapi, berdasarkan UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam sebagai hukum yang diberlakukan pemerintah untuk rakyat Indonesia yang beragama Islam, maka keputusan pemerintah bersifat mengikat.

Artinya, harta bersama adalah ada bagi umat Islam di Indonesia.
Selengkapnya...