Friday, June 06, 2008

tajwid tahfid


BAB III
QIRO’AH MUWAHHADAH
Qiro ah masyhuroh adalah qiro ah/bacaan yang diriwayatkan oleh Imam Hafs dari ‘Ashim, disebut dengan qiro ah masyhuroh, karena riwayat Hafs ini adalah yang masyhur (terkenal/banyak digunakan) oleh kalangan umat Islam di penjuru dunia.
Sedangkan qiro ah muwahhadah adalah qiro ah/bacaan yang diriwayatkan dari Hafs dari ‘Ashim dengan standart Madrasatul Qur an Tebuireng yang diajarkan oleh KH. M. Yusuf Masyhar (Pendiri Madrasatul Qur an) kepada santri-santrinya.
Pasal I
Pengertian Ilmu Tajwid
A. Pengertian Tajwid
Tajwid menurut bahasa adalah tahsin : memperbaiki atau mendatangkan bacaan dengan baik. Sedangkan menurut istilah adalah Ilmu yang mempelajari cara mengucapkan huruf-huruf Al Qur an tentang tebal dan tipisnya, panjang dan pendeknya, sifat-sifatnya, dan hukum membaca huruf Hijaiyah bila bertemu dengan huruf yang lain. Sehingga menjadi suatu bacaan yang baik.
B. Kegunaan Ilmu Tajwid
Kegunaan dari mempelajari Ilmu Tajwid adalah :
1. Agar tidak ada kesalahan dalam membaca ayat-ayat Allah (Al Qur an)
2. Agar aya-ayat yang kita baca sesuai dengan ketentuan-ketentuan bahasa Arab, baik cara pengucapan huruf, sifat-sifat huruf dan kaidah-kaidah yang telah ditetapkan oleh Ulama Ahli Qurro.
C. Hukum Mempelajari Ilmu Tajwid
Hukum mempelajari ilmu Tajwid adalah Fardu kifayah, sedangkan mengamalkannya adalah Fardlu Ain bagi setiap orang yang membaca Al Qur an.
Dalam hal ini Imam Ibnu Jazari mengatakan :
وَالأَخْذُ بِالتَّجْوِيْدِ حَتْمٌ لازِمٌ – مَنْ لَمْ يُجَوِّدِ القُرْآنَ آ ِثمٌ
"Menggunakan atau mengamalkan Ilmu tajwid adalah merupakan suatu keharusan, maka barang siapa yang tidak memperbaiaki bacaan Al Qur a nya dia termasuk berdosa.
D. Qiro’ah
Seperti apa yang kita baca dan yang pernah kita dengar, bahwa Qiroah (bacaan) ayat-ayat Al Quran yang berlaku di negara Indonesia adalah Qiro’ah yang diriwayatkan oleh Hafs Bin Sulaiman bin Mughiroh bin Najwad “ Wafat tahun 128 H”, yang bacaannya disebut Qiroah Masyhuroh.
Perlu diketahui bahwa selain qiroah yang diriwayatkan oleh Imam Hafs an Ashim masih banyak lagi Imam yang meriwayatkan Qiro’ah .
Dibawah ini nama-nama Imam dalam qiro’ah Yang mutawatiroh atau yang disebut dengan Qiroah sab’ah ( Qiro’ah tujuh imam ) :
1. Abdullah bin Amr meninggal di Syam pada tahun 118 H. Perowi-perowinya yang terkenal (masyhur) adalah seperti Al Bazzi Abdul Hasan Hamid bin Muhammad dan Qonbul Abu Umar Muhammad.
2. Abu Ma’bad Abdullah bin Katsir, meninggal di Makkah pada tahun 120 H. Perowi-perowinya yang Masyhur adalah Abu Bakar Syu’bah bin Ilyas dan Abu Amr Hafah bin Sulaiman.
3. Abu Bakar “Ashim bin Abi An Nujud, meninggal di Kufah pada tahun 127 H. Perowi-perowinya yang Masyhur adalah Abu Syu’bah bin Ilyas dan Abu Amr Hafah bin Sulaiman
4. Abu Amr bin Al A’la, meninggal di Basrah pada tahun 154 H. Perowi-perowinya yang Masyhur adalah Ad Durawi, Abu Amr Hafas dan As Susi Abu Syu’aib Saleh bin Ziyad.
5. Nafi’ bin Na’im meninggal di Madinah tahun 109 H. Perowi-perowinya yang Masyhur adalah Qulum Abu Musa Isa bin Mina dan Warosy Abu Sa’id Utsman bin Sa’id.
6. Abdul Hasan Ali bin Hamzah Al Kisa’i, meninggal di Basrah pada tahun 189 H. Perowi-perowinya yang Masyhur adalah Abdul Harits Al Laits bin Khalid dan Ad Durawi.
7. Abu “Imarah Hamzah bin Habib, meninggal tahun 216 H. Perowi-perowinya yang Masyhur adalah Abu Muhammad Khalaf bin Hisyam dan Abu ‘Isa Khalid bin Khalid.
E. Methode Membaca Al Qur an
Perlu diingat bagi para Qori’, bahwa didalam membaca Ayat-ayat Al Qur an itu sendiri ada tata caranya (ukuran lambat dan cepat dalam membaca ayat Al Qur an) yang disahkan oleh Rasulullah SAW., begitu juga yang diberlakukan dikalangan para Ahlul Qurro’ wal Ada’ ada empat yaitu :
1.Tahqiq ( تحقيق ) : Membaca Al Qur an dengan menempatkan hak-hak huruf yang sesungguhnya. Yaitu menempatkan makhrorijul huruf, sifat-sifat huruf, mad-qoshr dan hukum-hukum bacaan yang telah ditetapkan oleh Ulama Ahlul Qurro’. Methode ini baik sekali untuk kalangan Mubtadiin (pemula).
2.Tartil (ترتيل ) : Membaca Al Qur an dengan pelan-pelan dan tanpa tergesa-gesa dengan memperhatikan makhrorijul huruf, sifat-sifat huruf, mad-qoshr dan hukum-hukum bacaan, sehingga suara bacaan menjadi jelas. Seperti bacaan Mahmud Al Qushairi. Bacaan Tartil belum tentu tahqiq akan tetapi tahqiq sudah pasti tartil.
3.Tadwir ( تد وير) : Membaca Al Qur an antara bacaan yang cepat dengan bacaan yang pelan (sedang).
4.Hadr ( حد ر ) : Membaca Al Qur an dengan sangat cepat , sehingga seakan-akan tidak jelas dalam suaranya.
Demikianlah beberapa methode membaca Al Qur an yang ada, dari masing masing methode harus menggunakan kaidah-kaidah Tajwid yang berlaku ( ketika seorang Qori’ membaca lambat atau cepat ), sehingga kesempurnaan bacaan masih tetap dan utuh. Sedangkan cara membaca yang terbaik adalah dengan methode yang pertama yaitu Tahqiq.

Pasal II
Hukum Nun Mati dan Tanwin
A. Pengertian
Yang dimaksud dengan tanwin adalah :
ٌنوْ نٌ سَا كِنَةٌ تَلْحَقُ آخِرُ الإِ سْمِ لَفْظًا لاَ خَطًّا
“ Tanwin adalah nun mati yang ada pada akhir kalimat isim didalam melafadhkannya atau menyuarakannya tapi bukan didalam tulisannya.”
B. Pembagian Hukum Nun Mati dan Tanwin
Dalam hukum nun mati dan tanwin نْ - ً ٍ ٌ jika bertemu dengan huruf hijaiyah yang berjumlah dua puluh delapan terkecuali alif yakni :
ء ب ت ث ج ح خ د ذ ر ز س ش ص ض ط ظ ع غ ف ق ك ل م ن و هـ ي
Akan menimbulkan empat hukum bacaan yaitu Idhar Halqi, Idghom, Iqlab dan Ikhfa Haqiqi.
Alif itu tidak menerima harokat (mati) sedangkan hamzah menerima harokat.

1.Idhar
Menurut bahasa (etimologi) adalah jelas atau tampak
Menurut istilah (terminologi) adalah melafadhkan huruf idhar dari makhrojnya dengan suara jelas atau terang dengan tanpa disertai mendengung (bilaghunnah)
Jumlah huruf idhar ada enam yaitu : ء هـ ع ح غ خ
Dinamakan Halqi dikarenakan keenam huruf tersebut tempat keluarnya adalah berada di tenggorokan
Kaidah Idhar Halqi
Jika ada nun mati atau tanwin yang bertemu dengan salah satu dari huruf halaq yang enam tersebut, maka harus dibaca dengan suara terang atau jelas, baik bertemunya itu dalam satu kalimat atau dilain kalimat.
Contoh :

Satu kalimat
Nun mati dan tanwin tidak satu kalimat
َانْعَمْتَ
منْ ءَا َمنَ
رَسُوْلٌ أمِيْنٌ
مِنْهُمْ
اِنْ هُوَ
سَمِيْعٌ عَلِيْمٌ
يَنْحِتُوْنَ
ِمنْ عِلْمٍ
غَفُوْرٌ حَلِيْمٌ
يَناْءَوْنَ
مِنْ حَسَنَةٍ
قَوْمٌ خَصِمُوْنَ
فَسَيُنْغِضُوْنَ
مِنْ غِلٍّ
عَزِيْزٌ غَفُوْرٌ
يَنْهَوْنَ
ِمنْ خَيْرٍ
عَلِيْمٌ حَكِيْمٌ
و المُنْخَنِقَةُ
مَنْ خَافَ
عَذَا بٌ أَ لِيْمٌ

2. Idghom
Idghom menurut bahasa adalah memasukkan sesuatu kepada sesuatu
Idghom menurut istilah terminologi adalah bertemunya huruf yang mati dengan huruf yang hidup, sehingga ketika dibaca akan serupa dengan huruf yang bertasydid.
a. Pembagian Idghom
Idghom dalam bab nun mati dan tanwin terbagi menjadi dua yaitu :
1. Idghom Bighunnah (idghom naqish)
2. Idghom Bilaghunnah (idghom kamil)

b. Macam-Macam Idghom
1. Idghom bighunnah :
Yaitu apabila ada nun mati atau tanwin yang bertemu dengan salah satu huruf empat, yaitu : ي, ن , م , و
Cara membacanya : Huruf pertama yang berupa nun mati dan tanwin dimasukkan ke huruf yang kedua dengan disertai dengung (brengengeng).
Idghom artinya memasukkan sesuatu kepada sesuatu
Bi Ghunnah artinya dengan disertai suara dengung.
Contoh : منْ وَّرَاءِ هِمْ , هُدىً ِمنْ رَّبِّهِمْ , حِطَّةٌ نَّغْفِرْ لكُمْ
Pengecualian
Idhar wajib : Apabila ada nun mati yang bertemu dengan huruf wawu atau ya’ dalam satu kalimat, maka yang demikian itu harus dibaca dengan terang atau jelas. Dikarenakan jika diidghomkan takut menyerupai dengan huruf Mudhoaf (huruf dua yang sama) Contoh : دُنْيَا , بُنْيَا نٌ , صِنْوَا نٌ , قِنْوَانٌ
2. Idghom bila ghunnah
Apabila ada nun mati atau tanwin bertemu dengan salah satu dari dua huruf yaitu : ل dan ر
Cara membacanya : Huruf pertama yang berupa nun mati atau bertanwin dimasukkan kesalah satu dari dua huruf dengan tidak disertai suara dengung ( Bilaghunnah ).
Contoh : ِمنْ رَّ ِبّهِمْ , غَفُوْرٌ رَّحِيْمٌ , هُدىً لِّلْمُتَّقِيْنَ , يُبَيِّنْ لَكُمْ
3. Iqlab
Arti menurut bahasa yaitu membalik atau menukar. Sedang menurut istilah adalah menjadikan huruf pada tempatnya huruf yang lain disertai dengan dengungan (ghunnah).
Apabila ada nun mati atau tanwin bertemu dengan huruf ب
Cara membacanya huruf pertama yang berupa nun mati atau tanwin diganti/ditukar menjadi suara mim karena bertemu dengan huruf ب
Contoh: منْ بعْدِ , ينْبُتُ , سَمِيْعٌ بَصِيْرٌ

4. Ikhfa’
Apabila ada nun mati atau tanwin yang bertemu dengan salah satu huruf lima belas yaitu:
صِفْ ذَا ثَناَ كَمْ جَادَ شَخْصٌ قَدْ سَمَا – دُمْ طَيِّباٌ زِدْ فِى تُقىً ضَعْ ظَا لماً
Cara membacanya: Huruf pertama yang berupa nun mati atau tanwin dibaca dengan suara samar karena bertemunya dengan salah satu huruf lima belas tersebut.
Cara membaca ikhfa dibagi menjadi tiga bagian yaitu :
1. Aqrob (اقرب) adalah yang lebih dekat dengan idhar yaitu membacanya seperti idhar tetapi disertai dengung sehingga menjadi samar. Adapun hurufnya ada tiga yaitu ت , ط , د .
Contoh : ُمنْتَهُوْنَ , يَنْطِقُوْنَ , دَكّاًدَكًّا
2. Ab’ad (ابعد) adalah yang lebih jauh dari idhar yaitu ketika membaca sangat nampak dengungnya atau samarnya sehingga suara nun mati atau tanwin menjadi hilang sama sekali. Adapun hurufnya ada dua yaitu ق dan ك Contoh : منْ قبل, منْك
3. Ausath (اوسط) adalah pertengahan antara ikhfa’ aqrob dan ikhfa’ ab’ad dalam hal kesamaran membacanya. Adapun hurufnya ada satu yaitu ف . Contoh : ِمنْ فَضْل الله
Sedangkan selain dari huruf Ikfa’ Aqrob, Ab’ad dan Ausath boleh dibaca dengan dua wajah yaitu Aqrob atau Ausath
Contoh : إِنْ جآءَ كم , يَنْظُرُوْنَ


Pasal III
Hukum Mim Mati, Ghunnah, Idghom, Qolqolah, Lam Mati dan Al Ta’rif
A.Mim Mati
Apabila ada mim yang mati dan bertemu dengan salah satu huruf hijaiyyah, maka akan mempunyai tiga hukum bacaan yaitu :
1.Idghom Mimi
2.Ikhfa’ Syafawi
3.Idhar Syafawi
a. Idghom Mimi
Apabila ada mim yang mati bertemu dengan huruf م
Cara membacanya : Mim pertama yang mati dimasukkan pada mim yang kedua dengan disertai suara mendengung (Ghunnah).
Dinamakan Mimi karena bertemuanya dua huruf yang sama yaitu dua mim. Idghom ini juga dinamakan Idghim Mutamatsilain “dua huruf yang sama”. Contoh: ولَكُمْ مَا فِى الأَرْضِ ,لهَمُْ مَا يَشَاءُ
b. Ikhfa’ Syafawi
Apabila ada mim mati yang bertemu dengan huruf ب .
Contoh : وَ هُمْ بِا الأ خِرَةِ ,
Cara membacanya atau melafadhkan huruf yang mati yaitu mim yang sunyi dari tasydid dan disertai dengan suara dengung (Ghunnah).
Dinamakan Syafawi karena tempat keluarnya huruf ba’ dan mim itu adalah pada dua bibir
c. Idhar Syafawi
Apabila ada mim yang mati bertemu dengan semua huruf Hijaiyyah selain huruf Idghom Mimi dan Ikhfa’ Syafawi (mim dan ba’), baik dalam satu kalimat atau dilain kalimat.
Cara membacanya, mim yang mati harus dibaca dengan suara jelas atau terang terutama huruf itu adalah fa’ dan wawu sebab kedua huruf itu tempat keluarnya sama-sama berada dibibir.
Contoh : هُمْ فِيْهَا خَا ِلدُ وْنَ , هُمْ يُنْفِقُوْنَ

B. Hukum Mim dan Nun yang Bertasydid (Ghunnah)
Apabila ada huruf mim dan nun yang bertasydid, maka cara membacanya harus dibaca dengan suara dengung.
Tempat membunyikan Ghunnah adalah ada pada janur hidung sehingga terkesan bunyinya seperti suara orang yang bindeng. Untuk lebih jelas lagi yaitu dengan sedikit menutup lubang hidung, sehingga akan terasa sekali getaran suara dengung pada janur hidung.
Lama dengungnya adalah sekitar satu alif atau dua harokat.
Contoh :بِرَ بِّ النَّا سِ , ثمّ , ِإنّّ
C. Idghom
a. Definisi Idghom
Idghom menurut bahasa /etimologi adalah memasukkan sesuatu kepada sesuatu
Idhghom menurut istilah terminologi adalah bercampurnya dua huruf yang sama (yang pertama mati / sukun yang kedua hidup), baik huruf itu semisal, sejenis atau berdekatan makhorijul dan sifatnya sehingga sekiranya menjadi huruf satu dan ketika dibaca akan serupa dengan huruf yang bertasydid.
b. Pembagian Idghom
Menurut ittifaq ulama Qurro’, idghom ini dibagi menjadi tiga yaitu:
1. Idghom Mutamatsilain
2. Idghom Mutaqoribain
3. Idghom Mutajanisain
Lebih lanjut akan diterangkan dibawah ini
1. Idghom Mutamatsilain
Yaitu apabila ada dua huruf yang sama baik makhroj dan sifatnya seperti ba’ mati bertemu dengan ba’ atau dal mati bertemu dengan dal, maka harus diidghomkan menurut kesepakatan Ulama’ Qurro’, baik bertemunya dalam satu kalimat atau lain kalimat.
Contoh : َيغْتَبْ بَعْضُكُمْ , يُوَجِّهْهُ
Yang demikian itu terkecuali huruf mad yaitu ya’ mati bertemu dengan ya’ jatuh setelah kasroh dan wawu yang mati jatuh setelah dhommah bertemu dengan wawu, sebagaimana kesepatan ulama qurro’. Hal ini dikarenakan agar sifat huruf mad itu masih tetap dan tidak hilang. Contoh : ِفىْ يَوْ مٍ , قَالُوْا وَهُمْ
Idghom Mutamatsilain dibagi terbagi menjadi dua bagian yaitu :
1.Idghom Mutamatsilain Shoghir ( dua huruf sama dalam satu kalimat/lain kalimat dan tidak didahului oleh mad ).
Contoh : اِضْرِبْ بِّعَصَاكَ الحَجَرَ
2.Idghom Mutamatsilain Kabir ( dua huruf sama lain kalimat dan sama-sama hidup) Contohهُدًى , الرَّحِيْمِ ملك فِيْهِ
Tetapi menurut Qiroah yang diriwayatkan oleh Hafs an Ashim tidak meriwayatkannya atau tidak membaca dengan Idghom Mutamatsilain Kabir
2. Idghom Mutajanisain yaitu apabila ada dua huruf yang sama dalam makhrojnya akan tetapi berbeda dalam sifatnya. Seperti dal bertemu ta’, ta’ bertemu dal dan sebagainya.
Contoh : َيلْهَثْ ذّالِكَ , قَدْ تَّبَيّنَ , اَ ثْقَلَتْ دَّعَوَالله
Adapun kalimat ِاِرْكبْ مَّعَنَاmenurut Imam Hafs ‘an Syathibi disertai dengan mendengung, sedangkan lafadh َبسَطْتَ dibaca dengan Idghom Naqish. Yaitu sifat huruf tho’ {Isti’la’) masih tetep tampak.
3. Idghom Mutaqoribaini yaitu apabila ada dua huruf yang berdekatan baik makhrojnya maupun sifatnya .
Contoh : قُلْ رَّبِّ , اَلمْ نخْلُقْكُمْ
D. Qolqolah
Qolqolah menurut etimologi berarti mengguncang atau memantulkan, sedang menurut terminologi adalah memantulkan bunyi hurus qolqolah ketika mati atau ketika diwaqofkan. Hurufnya ada lima yaitu :
ق ط ب ج د
Sedangkan qolqolah itu dibagi menjadi dua :
1.Qolqolah kubro, yaitu apabila ada huruf qolqolah yang berharokat sukun, sebagai ganti (iwadh) karena diwaqofkan.
Contoh: عَذَابٌ menjadi عَذَابْ
2.Qolqolah Shughro, yaitu apabila ada huruf qolqolah yang berharokat sukun yang asli (bukan karena waqof).
Contoh : يَقْطَعُوْنَ , يَجْعَلُوْنَ , يَدْعُوْنَ
E. Cara Membaca Lam Mati
a.Apabila terdapat lam mati baik dalam kalimat isim, kalimat huruf atau kalimat fi’il, maka secara mutlak harus diidharkan
Contoh
Huruf
Isim
Fi’il
هلْ يستطيع
سلْطا نٌ
ِالْتَقَى
يَلْتَقِي
بلْ طبع الله
اَلْوَانِكُمْ
جَعَلْنَا
ضَلَلْنَا

سَلْسَبيلاً
قلْ نَعَمْ
قلْ جَاء الحق

b. Apabila ada lam mati bertemu dengan huruf ro’ atau lam baik berupa kalimat fi’il (fi’il madhi atau fi’il amar) atau kalimat huruf, maka wajib diidghomkan.
Contoh
Fi’il Amar
Kalimat Huruf
قُلْ رَبِّ
هلْ لَكُمْ
بَلْ رَفَعَ
Kecuali kalimat بلْ سكتة ران (bahkan berkata) menurut Imam Hafs an Ashim dibaca saktah (berhenti sejenak tanpa nafas) yaitu terdapat pada surat Al Muthoffifin ayat empat belas. Agar tidak meyerupai dengan lafadh برّ ا ن (dua orang yang baik).
F. Alif dan Lam ( ال )
Alif dan lam yang sambung dengan kalimat isim, maka akan menimbulkan dua bacaan yaitu:
1. Idhar Qomariyah
Apabila ada al Ma’rifah yang sambung dengan huruf qomariyah yang terkumpul dalam : أَ ْبغِ حَجَّكَ وَخَفْ عَقِيْمَهُ, maka cara membacanya yaitu lam dibaca dengan jelas atau terang.
Contoh. الحَمدُ , الكافرون , الأنعام
2. Idghom Syamsiyah
Apabila terdapat al ta’rif yang sambung dengan huruf syamsiyah yang terkumpul dalam :
طِبْ ثُمَّ صِلْ رَحِمًا تَفَزَّ ضف ذَا ِنعَمٍ دَعْ سُوْءَ ظَنٍّ زُرْشَرِيْفَا لِلْكِرَامِ
Cara membacanya yaitu apabila ada huruf al bertemu dengan salah satu huruf syamsiyah, maka huruf-huruf tersebut harus dibaca dengan tasydid.
Contoh. الرَّحِيْمُ, الصَّا لِحُوْنَ, السَّارِقُ

Pasal IV
Hukum Membaca Lam Jalalah dan Ro’
A. Lam Jalalah
Menurut Hafs, bahwa semua lam yang ada didalam Al Qur an adalah dibaca tarqiq atau tipis kecuali lam yang terdapat dalam lafadh Allah (lafdhul jalalah) harus dibaca dengan taghlidh berat atau tebal.
Adapun tebalnya lam pada lafdhul jalalah itu terbatas yakni ketika lafadh Allah itu jatuh setelah harokat Fathah atau dhommah. Alasan dibaca tebal adalah menandakan akan keagungan Dzat Allah.
Contoh. وَاللّهُ سَمِيْعٌ , يَوْمَ يَجْمَعُ اللّه
Sedangkan apabila lafadh Allah jatuh setelah harokat kasroh tetap dibaca tarqiq atau tipis. Alasannya adalah karena sulit untuk diucapkan.
Contoh : ولِلّهِ, أمِ اللّهِ

B. Hukum Membaca Ro’
Hukum membaca ro’ itu ada dua yaitu :
1. Tafkhimur Ro’
Ro’ yang dibaca berat yaitu ketika mengucapkan huruf ini, maka bibir yang bawah terangkat naik. Sedangkan ukuran getaran ro’ paling banyak adalah tiga getaran atau boleh kurang dari tiga getaran dan tidak boleh lebih dari tiga getaran..
Adapun ciri-ciri ro’ yang dibaca tebal adalah sebagai berikut :
a. Ro’ yang berharokat fathah atau dhommah. Contoh : رَحْمَةٌ, رُبَمَا
b. Ro’ mati jatuh setelah harokat fathah atau dhommah (baik ro’ sukun asli atau karena waqof. Contoh : يَرْزُقُ, يُرْزَقُون
c. Ro’ mati jatuh setelah harokat kasroh dan bertemu dengan huruf isti’la’ dalam satu kalimat (karena tinggi dan beratnya huruf isti’la’). Jumlah hurufnya ada tujuh yaitu yang terkumpul dalam lafadh خُصَّ ضَغْطٍ قِظْ .
Contoh: لبِالمِرْ صَادِ , مِنْ كلِّ فِرْ قَةٍ , Tetapi jika ro’ mati jatuh setelah kasroh dan meskipun bertemu dengan huruf isti’la’, tetapi tidak dalam satu kalimat, maka ro’ tetap dibaca tipis.
Contoh : فَاصْبِرْ صَبْرًا جَمِيْلًا
d. Ro’ mati didahului oleh hamzah washol ( baik harokat fathah, dhommah atau kasroh), baik harokatnya itu asli atau aridli.
Contoh : اِرْ جِعىِ, الذىارْ تَضىَ
2. Tarqiqurro’ Ro’
a.Semua ro’ yang berharokat kasroh, baik diawal kalimat, tengah kalimat atau akhir kalimat. Semua itu baik dalam kalimat Isim atau kalilmat Fi’il. Contoh : كَافِرِيْنَ , أرِنَا الّذين
b.Ro’ mati jatuh setelah harokat kasroh asli dan sambung sekaligus tidak bertemu dengan salah satu huruf Isti’la’ dalam satu kalimat. Contoh : وقَالَ فِرْعَوْنُ, واصْطَبِرْ
c.Semua Ro’ yang mati tidak asli (karena waqof) baik ro’ berharokat fathah, dhommah atau kasroh dan selama ro’ tidak jatuh setelah harokat fathah atau dhommah.
Contoh. السّحْرُ, السَّرَا ئِرْ
d. Ro’ mati jatuh setelah harokat kasroh meski bertemu dengan huruf isti’la’ tetapi tidak dalam satu kalimat.
Contoh : ولاَ تُصَعِّرْ خَدَّكَ
e. Ro’ mati sebab waqof dan didahului oleh ya’ mati.
Contoh : خَيْرٌ, خَبِيْرٌ
3. Ro’ yang boleh dibaca dengan dua cara.
a.Ro’ sukun karena waqof dan jatuh setelah kasroh yang terpisah dengan huruf isti’la’ yaitu pada lafadh عَيْنَ القِطْرِ dan .مِصْرَ Sedangkan cara yang bagus membacanya adalah, untuk lafadh مِصْرَ dibaca tebal karena jika dibaca ketika washol, maka ro’ dibaca dengan tebal. Sedangkan lafadh عَيْنَ القِطْرِ dibaca tipis sebab jika diwasholkan dibaca tipis sebab berharokat kasroh.
b. Lafadh كُلُّ فِرْ قٍdibaca tebal karena ro’ sukun dan bertemu dengan huruf isti’la’. Dibaca tipis karena karena huruf isti’la’ (qof) berharokat kasroh.
4. Ro’ yang bertasydid
a.Jika kita menjumpai ro’ yang bertasydid, maka cara membacanya yaitu dengan menyamarkan suaranya ro’ (kira-kira paling banyak tiga getaran). Contoh : الرَّحيْمُ
b.Ro’ dibaca tipis sebab ro’ tasydid berharokat kasroh .
Contoh : الرِّ جَالُ
c.Ro’ dibaca antara tebal dan tipis yaitu apabila ro’ bertasydid yang berharokat kasroh jatuh setelah harokat fathah. Contoh حَرِّقُوْهُ
d.Ro’ dibaca antara tipis dan tebal yaitu apabila ro’ bertasydid baik berharokat fathah atau dhommah jatuh setelah harokat kasroh. Contoh. بسْمِ اللّه الرّحمن الرّحيم
5. Ringkasan dan pengecualian
Ro’ sukun jatuh setelah harokat kasroh yang wajib dibaca tafkhim (tebal), hal ini disebabkan karena ro’ tersebut bertemu dengan huruf isti’la’. Didalam Al Qur an hanya terdapat pada lima tempat :
اية
سورة
جزء
كلمة
نمر
7
الانعام
7
قِرْطَاسٌ
1
107
التوبة
11
اِرْصَادًا
2
122
التوبة
11
مِنْ كُلِّ فِرْقَةٍ
3
21
النبأ
30
مِرْصَادًا
4
14
الفجر
30
لَبِالْمِرْصَادِ
5
Ro’ sukun jatuh setelah harokat kasroh yang wajib dibaca tafkhim (tebal), hal ini disebabkan karena ro’ tersebut jatuh setelah hamzah washol. Banyak sekali terdapat didalam Al Qur an, contoh :

اية
سورة
جزء
كلمة
نمر
106
المائدة
7
اِنِ ارْتَبْتُمْ
1
24
الاسراء
15
رَبِّ ارْحَمْهُمَا
2
28
الانبياء
17
لِمَنِ ارْتَضَى
3
77
الحج
17
اِرْكَعُوْا واسجدوا
4
50
النور
18
امِ ارْتَابُوْا
5

Pasal V
Macam-Macam Mad Beserta Ukuran Panjangnya
A. Pengertian Mad
Mad menurut bahasa adalah memanjangkan atau sesuatu yang memanjang. Menurut pendapat yang lain adalah Az Ziyadah yaitu sesuatu yang tambah. Sedangkan menurut Istilah adalah memanjangkan suara huruf dari huruf-huruf mad.
Adapun huruf-huruf mad yaitu:
1. Alif mutlak jatuh setelah fathah contoh: قَا لَ , مُوْسى
2. Wawu mati jatuh setelah dhommah contoh: قُوْلُوْا , كونُوْا
3. Ya’ mati jatuh setelah kasroh contoh : أ مِنِيْنَ
Sedangkan jumlah huruf Al Lain yaitu ada dua : wawu dan ya’ mati jatuh setelah harokat fathah. Contoh : خَوْفٌ , قَوْمَيْنِ
B. Mad Asli atau Mad Thobi’i
a.Pengertian Mad Asli atau Thobi’i
Yaitu apabila ada wawu mati ( وْ) jatuh setelah dhommah, ya’ mati يْ)) jatuh setelah kasroh dan (ا ) alif jatuh setelah fathah dan tidak bertemu dengan sukun dan hamzah. Panjangnya yaitu satu alif atau dua harokat. Contoh : نُوْ حِيها
Dinamakan mad asli sebab panjang dari mad ini adalah sesuai dengan dasarnya (redaksi), sedangkan dinamakan Thobi’i (sebangsa karakter) karena sifat mad atau panjangnya ini adalah pasti , yaitu satu alif. Bagi seorang qori’ diharamkan untuk mengurangi atau menambah panjang mad ashli atau mad thobi’i.
b. Pembagian Mad Thobi’i atau Asli
Mad Thobi’i Asli dibagi menjadi tiga yaitu :
1. Mad Thobi’i Dhohiri
Yaitu apabila dari ketiga huruf mad tersebut jelas dalam penulisannya, sehingga dapat diketahui langsung. ( posisi wawu mati jatuh setelah dhommah, ya’ mati jatuh setelah kasroh dan alif jatuh setelah fathah). Contoh lafadh : نُوْ حِيها
2. Mad Thobi’i Muqoddar
Mad Thobi’i Muqoddar (dikira-kirakan) yaitu dalam membacanya dibaca dengan suara panjang tapi penulisan hurufnya tidak tampak. Hal ini dikarenakan ada kaitannya dengan arti dan memang demikian penulisan dari khot Utsmani.
Contoh lafadh الله , الرحمن seluruh ulama membaca panjang pada huruf lam dan mim.
3. Mad Thobi’i Harfi
Yaitu panjang yang ada pada nama-nama huruf hijaiyyah ( asmaul huruf ). Dalam hal ini akan kita temukan pada pembukaan surat-surat ( fawatihussuar ). Hurufnya terkumpul dalam kalimat : حيٌ طَهُرَ. Contoh الم , طه, حم

C. Mad Far’i
Adapun yang dimaksud dengan mad far’i adalah cabang dari mad asli karena adanya sebab-sebab tertentu. Mad far’i ini terbagi menjadi empat belas bagian yang akan dijelaskan satu persatu dibawah ini :

1. Mad Wajib Muttashil
Pedoman : Apabila ada mad thobi’i atau mad ashli bertemu dengan hamzah dalam satu kalimat. Contoh : جاء , سوء , هنيئاً
Ukuran panjangnya : Menurut Hafs an Ashim adalah dua setengah alif (dua setengah alif) atau lima harokat. Sedangkan menurut Imam yang lain ada yang membaca dengan tiga alif (Imam Warosy, Imam Hamzah). Dua alif dan satu setengah alif (Qolun, Ibn Katsir dan Abu Amr)
Pengertian
Wajib: Karena Ulama Qurro’ sepakat ( ijma’ ) memanjangkan mad ini dari mad aslinya .
Muttashil: Karena bertemunya mad thobi’i itu adalah dalam satu kalimat.
2. Mad Jaiz Munfashil
Pedoman : Apabila ada mad thobi’i atau mad ashli bertemu dengan hamzah dilain kalimat. Contoh : بما أ نزل , قوْا أَ نفُسكمْ
Ukuran Panjangnya ada tiga pendapat yaitu :
a.Wajib dibaca Qoshr seperti mad asli yaitu satu alif. Hal ini menurut pendapat Imam Al Bazzi Qonbul dan as Susi ‘an Abi Amin.
b.Wajib dibaca panjang seperti panjang yang ada pada Mad Wajib Muttashil (tiga alif, dua alif, dua setengah alif, satu setengah alif)
c.Dua wajah yaitu Qoshr (satu alif) atau mad (dua setengah alif)
3. Mad Aridh Lissukun
Pedoman : Apabila ada huruf mad asli bertemu dengan huruf mati, yang matinya (tidak asli) sebab diwaqofkan (berhenti).


Ukuran Panjangnya ada tiga yaitu :
1.Satu alif karena bertemunya mad asli itu dikarenakan waqof (berhenti), jadi meskipun waqof, maka tidak bisa merubah panjangnya mad asli.
2.Dibaca dua alif karena sukunya itu bukan sukun yang asli (sebab waqof) dan cara membacanya tetap dibawah bacaan mad Lazim.
3.Dibaca tiga alif sebab dikiyaskan/disamakan dengan bacaan mad Lazim.
Dari beberapa pendapat tentang ukuran panjang mad Aridsl lissukun yang paling banyak dipergunakan adalah yang membaca dengan tiga alif termasuk di Indonesia. Contoh: هم يُنْفِقونَ, الحمد لله ربّ العا لمين

4. Mad Badal
Pedoman : Yaitu apabila ada dua hamzah yang kumpul dalam satu kalimat, maka hamzah yang kedua diganti dengan huruf yang sesuai dengan harokat pertamanya (sejenis) yaitu :
a. Jika dua hamzah berharokat fathah, maka hamzah yang kedua diganti dengan alif . Contoh: ءَ امَنَ asalnya ءَءْ من
b. Jika dua hamzah berharokat dhommah, maka hamzah yang kedua diganti dengan wawu . Contoh : اُوْ تُوُا asalnya ءُ ؤْ توا
c. Jika dua hamzah berharokat kasroh, maka hamzah yang kedua diganti dengan ya’. Contoh : اِْيما نًا asalnya إئْمانًا
Lama membacanya (panjangnya) adalah satu alif atau dua harokat.
Dinamakan mad badal karena huruf yang kedua (alif, wawu dan ya’) adalah sebagai ganti dari hamzah

5. Mad Lain Aridly
Pedoman : Yaitu apabila ada Huruf Al Lain (wawu dan ya’ yang mati jatuh setelah fathah) yang bertemu dengan sukun yang tidak asli (sebab waqof)
Ukuran panjangnya adalah satu,dua dan tiga alif.
Contoh : مِنْ خَوْفٍ, عَيْنَيْنِ,
Keterangan
Dinamakan aridli (baru datang) karena bacaan ini timbul atau terjadi bila diwaqofkan/berhenti (huruf yang terakhir menjadi sukun/mati), akan tetapi jika diwasholkan/terus maka dibaca dengan suara lunak. (tanpa panjang)
6. Mad Iwadl
Pedoman yaitu apabila ada isim yang alamat nashobnya memakai tanwin “fathatain” (selain fathatainnya ta’ ta’nis yang mufrod mahal nashob) dan berada pada perwaqofan/berhenti, maka huruf yang bertanwin itu dihilangkan tanwinnya.
Contoh : سَمِيْعًا عَلِيْمًا, قَوْ لًا كَريْماً
Panjanganya harus satu alif tidak kurang dan tidak lebih.
Dinamakan Iwadl sebab panjangnya adalah ganti dari isim mahal nashob (fathatain)
Keterangan
Dalam penulisan khot Utsmani biasanya huruf akhirnya diberi alif dan ada sebagian kecil saja yang tidak memakai alif,
Seperti : رِجَا لًا كَثِيراً ونساءً
Mad ini berlaku jika ada pada waqof, tapi jika diteruskan maka hukum membacanya disesuaikan dengan huruf sesudahnya .
7. Mad Tamkin
Tamkin artinya adalah menetapkan. Yaitu apabila ada ya’ yang tasydid berharokat kasroh jatuh setelah ya’ mati dalam satu kalimat/perkataan. Contoh : أمِّيِّيْنَ, واذا حيّيْتم panjangnya adalah satu alif
8. Mad Shilah Qoshiroh
Apabila ada ha’ dhomir mufrod mudzakkar ghoib berupa huruf hidup jatuh setelah huruf yang hidup dan tidak bertemu dengan hamzah atau sukun, maka dibaca panjang. Contoh : إنّهُ بعبا دهِ خبيرُ
Lama membacanya satu alif atau dua harokat.
9. Mad Shilah Thowilah
Apabila ada ha’ dhomir ghoib mufrod mudzakar yang hidup bertemu dengan hamzah khoto’ dan tidak bertemu dengan huruf yang mati. Contoh : من دُوْنِهِ إِلها , يَشْفَعُ عِنْدَهُ إلا
Lama membacanya dua alif atau dua setengah alif (lima harokat), jika dibaca waqof maka ha’ dlomir tersebut dibaca sukun.
Pengecualian Mad Shilah
1.Ha’ dibaca pendek karena sebelum hak dhomir ada huruf mati yang dibuang (menjadi jawab syarat) berupa wawu, yaitu pada kalimat :
وإِنْ تَشْكُرُوا يَرْ ضَهُ لَكُمْ (surat Az- Zumar ayat 7 juz 23)
2.Ha’ dibaca panjang karena tauqifi (didalam Al Qur an menurut Imam Hafs an Ashim ada satu) yaitu فيه مُهَاناً ( Surat Al Furqon ayat 69 juz 19 )
3.Ha’ dibaca pendek karena bukan ha’ dhomir seperti : َما نَفْقَهُ كَثِيْراً (S-Hud:91)
4.Ha’ dlomir dibaca panjang jika washol tapi jika waqof ha’ dlomir menjadi mati. Contoh. ِمنْ عِلْمِه , يَعْلَمُوْنَه
5.Huruf sebelum ha’ dhomir berupa huruf hidup sedang sesudahnya berupa huruf mati . Contoh. لهُ اْلحُكْمُ , لهُ الأََ سمَاءُ maka dibaca pendek.
6. Huruf sebelum ha’ dhomir berupa huruf mati sedang sesudahnya berupa huruf hidup . Contoh. فِيْهِ هُدًى , خُذُوْهُ فاعتِلُوهmaka dibaca pendek.
10. Mad Lazim Kilmi Mutsaqqol
Apabila ada mad asli yang bertemu dengan huruf yang bertasydid dalam satu kalimat, maka dibaca panjang ( tiga alif atau enam harokat ). Contoh : الحآ قّةُ, ولا الضآلّيِنَ
Lazim berarti semua ulama qorro’ membaca dengan lebih panjang dari mad asli ( satu alif)
Kilmi berarti bertemunya mad dengan tasydid itu dalam satu kalimat.
Mutsaqqol berarti disamping dibaca panjang juga disertai dengan suara yang berat ( membutuhkan tekanan ) ketika mad asli itu bertemu dengan huruf yang bertasydid.
Keterangan
Meskipun ada mad asli dan bertemu dengan tasydid akan tetapi bukan dalam satu kalimat, maka kalimat ini tetap dibaca pendek.
11. Mad Lazim Kilmi Mukhoffaf
Apabila ada mad yang bertemu dengan sukun dalam satu kalimat/perkataan, maka harus dibaca panjang dan tidak boleh diidghomkan. Didalam Al Qur an hanya ada dua yaitu :
1.آلأنَ وَقَدْ كُنْتُمْ ( Surat Yunus ayat 51 )
2.آلأنَ وَقَدْ عصيتُ ( Surat Yunus ayat 91)
Mukhoffaf artinya dibaca dengan ringan.
12. Mad Lazim Harfi Mukhoffaf
Mad ini hanya terdapat pada pembukaan awal surat (fawatihussuar). Sedangkan cara membacanya ada dua yaitu :
1. Dibaca seperti mad thobi’i (satu alif). Hurufnya terkumpul dalam Hayyun Thohuro. Contoh : طه , يس
2. Dibaca seperti mad lazim (tiga alif). Hurufnya terkumpul pada سَنَقُصُّ عِلْمَكَ. Contoh : كهيعص , ن , ق
13. Mad Lazim Harfi Mutsaqqol
Apabila ada mad yang bertemu dengan huruf yang bertasydid dalam fawatihussuar, maka harus dibaca panjang (tiga alif) dan disertai dengan tebal. Contoh : الم, طسم
14. Mad Farqi
Apabila ada hamzah istifham bertemu dengan huruf yang mati, maka hamzah dibaca panjang (tiga alif) yaitu :
1. ُقلْ آلذَّكَرَْينِ dua tempat pada surat Al An’am :143, 144
2. آالله خير surat Al –Naml : 59
3. قل آاللهُ أَذِنَ لكم surat Yunus :59
4. آالأن surat Yunus : 91
Keterangan
Mad ini dalam kategori mad lazim.
Dibaca mad adalah untuk membedakan antara hamzah istifham dengan kalam khobar.

Pasal VI
Tempat-Tempat Keluarnya Huruf
A. Huruf-huruf Al Qur an
Tempat keluarnya huruf hijaiyyah yang jumlahnya ada dua puluh sembilan. Seorang qori’ perlu mengetahui tentang huruf-huruf Al Qur an yang mutawatir dan bersumber dari Nabi Muhammad SAW. Menurut bacaan mayoritas dinegara Indonesia yaitu Qiro’ah yang diriwayatkan oleh Imam Hafs an Ashim Al Kufi.
Jika dilihat dari segi bacaannya “Qiroahnya” secara mutawatiroh yaitu bacaan yang bersumber dari Rasulullah SAW, maka huruf-huruf Al Qur an itu terdiri dari beberapa bagian yaitu disamping dua puluh sembilan huruf juga masih ditambah dengan cabang-cabangnya yang juga merupakan huruf-huruf yang diajarkan oleh Nabi dan dari masing-masing huruf tersebut mempunyai ketentuan-ketentuan makhroj dan sifat-sifatnya sendiri-sendiri.
Sedangkan huruf yang merupakan cabang dari huruf hijaiyyah dalam qiro’ah riwayat Hafs an Ashim terbatas pada beberapa tempat saja yaitu :
1.Tashil artinya mudah atau ringan, terdapat pada surat Fushshilat ayat 44 juz 24. yang berbunyi ااعجَمِيٌّ وعرَبيٌّ
2.Imalah artinya condong antara fathah dan kasroh, terdapat pada surat Hud ayat 41 juz 12 yang berbunyi : مَجْرا يها
3.Isymam Artinya mencampur atau mengumpulkan, terdapat pada surat Yusuf ayat 11 juz 12 yang berbunyi لاتَأْ منَّا
4.Lam Taghlidh yaitu lam yang harus dibaca dengan tebal atau berat khususnya yang terdapat pada Lam Jalalah yang jatuh setelah harokat fathah atau dhommah. Seperti :اللّهُ لاَإِ لهَ ِالاَّ هُوَ
B. Pembagian Huruf-Huruf Hijaiyyah
Dilihat dari segi bacaanya, maka huruf-hufruf hijaiyyah ini terbagi menjadi dua bagian yaitu :
1. Asma’ul Huruf
Yaitu nama dari satu persatu dari keseluruhan huruf hijaiyyah, baik huruf itu telah dirangkai atau belum dirangkai dengan huruf yang lain asal belum berharokat.
Adapun sumber dari nama-nama huruf itu adalah langsung dari Rasulullah SAW. Dan hal ini berdasarkan Lahjah al Lughowiyah (dialek bahasa atau logat), maka nama-nama huruf ini juga bisa dinamakan dengan Lughoh al Huruf . Sedangkan nama-nama hijaiyyah itu dibagi menjadi tiga bagian yaitu :
a.Huruf-huruf hijaiyyah yang memang hanya mempunyai satu nama atau lughot, jumlah hurufnya ada enam belas yaitu :
جيم, دال, ذال, سين, شين,صاد, ضاد,عين, غين, قاف,كاف,لام, ميم, نون, واو,الف
b.Huruf-huruf hijaiyyah yang memiliki empat nama /lughot, jumlah hurufnya ada satu yaitu : زَايٌ, زَاء, زا, زِيٌّ
c.Huruf-huruf hijaiyyah yang memiliki dua nama/lughot, jumlah hurufnya ada dua belas dengan menggunakan istilah Mad dan Qoshr

1.Bentuk huruf hijaiyyah yang dibaca panjang ( mad ) adalah :
همزة, باء, تاء, حاء, خاء, ثاء, راء, طاء, ظاء, هاء, ياء, فاء
2.Bentuk huruf hijaiyyah yang dibaca pendek Qoshr adalah dihilangkan hamzahnya sedangkan untuk hamzah dihilangkan ta’nya menjadi sebagai berikut :
همز, با, تا-ثا, حا, خا, را, طا, ها, يا,فا
Dengan demikian, maka cara membaca fawatihussuar (permulaan surat) yang terdiri dari bacaan-bacaan musykilat seperti الم , كهيعص, maka yang digunakan adalah asma’ul huruf yang Qoshr. Hal ini dikarenakan semua bacaan Al Qur an adalah tauqifi (langsung dari Nabi) dan tidak ada perbedaan dikalangan Ulama Qurro’.

2. Musammayatul Huruf
Adalah semua huruf hijaiyyah yang telah menerima harokat (baik huruf itu hidup atau mati) dan telah dirangkai dengan huruf lain.
Contoh huruf mati yaitu dengan menambah hamzah washol didepannya seperti : اَض اِضْ اُضْ
Contoh huruf yang hidup yaitu dengan menambah dlod mati dibelakangnya seperti : بَضْ بِضْ بُضْ
Dibawah ini adalah methode untuk melatih lisan agar fasih dalam melafadhkan satu persatunya huruf hijaiyyah dan methode ini adalah yang telah diajarkan oleh KH.M. Yusuf Masyhar .
C. Makhorijul Huruf
Pembahasan ini adalah yang paling penting didalam ilmu tajwid, karena tanpa mengetahui makhorijul huruf, maka seorang Qori’ (orang yang akan membaca ayat Al Qur an) dikhawatirkan salah dalam mengartikan tentang kandungan arti harfiahnya, karena perlu diketahui bahwa dari sekian huruf hijaiyyah masing-masing mempunyai tempat keluar huruf sendiri-sendiri dan ciri-ciri sifat yang bermacam-macam, maka diharapkan kepada qori’ untuk menguasai satu persatu dari makhorijul huruf dan bahkan wajib untuk bisa mempraktekannya. Hal ini seperti ditegaskan oleh As Syams Al Jazari didalam muqoddimahnya yang artinya :
“ Suatu kewajiban bagi seorang Qori’ dalam membaca Al Qur an yaitu lebih dahulu mengetahui ilmu atau seluk beluk jalan keluar suara huruf dan berbagai sifat-sifatnya agar mereka dapat membaca dengan baik dan fasih”.
Menurut pendapat yang masyhur (terkenal) yaitu pendapat Syaikh Kholil bin Ahmad Nahwy dan kebanyakan Ahlul Qurro’ dan Ahli Nahwu termasuk ibn Jazari, bahwa jumlah makhorijul huruf secara terperinci terbagi menjadi tujuh belas tempat sedang jika disederhanakan, maka menjadi lima bagian yaitu :
No
Bagian
Terbagi
Jumlah huruf
1
Al Jauf (lubang Hidung)
1
1
2
Al Halqu (kerongkongan)
3
6
3
Al Lisan (lidah)
10
18
4
Asy Syafatain (Dua bibir)
2
4
5
Al Khoisyum
1
-

Jumlah
17
29
Jika terdapat huruf yang sama dalam makhrojnya, maka dalam hal ini yang bisa membedakan adalah sifat-sifatnya.
Dibawah ini kami sebutkan masing-masing makhorijul huruf :
1. Al Jauf yaitu lubang antara mulut dan tenggorokan hingga penghabisan udara adalah tempat keluarnya huruf Mad dan Lain (lunak). Adapun hurufnya adalah :
1. Alif Mutlaq Contoh خَافَ , عَصى
2. Wawu sukun (mati) jatuh setelah dhommah. Contoh : قُوْمُوا , كُوْنُوا
3. Ya’ sukun jatuh setelah kasroh. Contoh : رَ حِيْم , كَرِيْمٌ
4. Huruf al Lain yang berjumlah dua yaitu :
1. Wawu mati jatuh setelah fathah. Contoh : الخَوْف ُ, القَوْلُ
2. Ya’ mati jatuh setelah fathah. Contoh : عَيْنَيْن
Huruf-huruf tersebut dinamakan Jaufiyyah artinya huruf-huruf sebangsa lubang hidung.
Catatan
Pada dasarnya huruf mad itu hanya satu yaitu alif mutlak dan adapun wawu dan ya’ dibaca mad hanya tertentu saja yaitu ketika keduannya harus mati, tapi jika keduanya berharokat (hidup), maka makhorijul hurufnya bukan Jauf tapi sudah berdiri sendiri yaitu ditengah-tengah lidah untuk ya’ dan wawu ada dikedua bibir.
Alif Muthlaq adalah bahwa selamanya bila disebut alif, maka selamanya adalah sukun atau mati. Alif ini tidak bisa dibaca terkecuali dirangkai dengan huruf yang lain.
Alif dibagi menjadi dua :
1. Alif Mamdudah (yang dipanjangkan) Contoh : قَال , خاَف
2. Alif Layyinah (lunak). Contoh : موسى , عيسى
2. Al Halqu
Dalam kerongkongan ini dibagi menjadi tiga bagian yaitu :
a.Aqsho (bagian pangkal/bawah) hurufnya ada dua yaitu ( ء – هـ) : keluar dari tenggorokan paling bawah yang mendekati dengan dada (dada ikut sedikit bergetar ketika melafadhkan) dan keduanya termasuk huruf yang paling bawah tempat keluarnya.
b.Wasath (bagian tengah) hurufnya ada dua ( عdan ح); keluar dari tenggorokan yang tengah tepat.
c.Adna (bagian ujung/atas) hurufnya ada dua ( غ dan خ)
Keenam huruf itu dinamakan Halqiyyah (huruf sebangsa tenggorokan)
3. Al Lisan
Secara global di bagian lidah ini terbagi menjadi empat bagian yaitu :
a. Aqsho Lisan (pangkal lidah); hurufnya ada dua yaitu :
1.ق Keluar dari pangkal lidah dekat dengan anak lidah dan mengarah keatas serta menepati dengan langit-langit mulut atas.
2.ك Keluar dari pangkal lidah mengarah kebawah serta menepati dengan langit-langit mulut atas.
Kedua huruf tersebut dinamakan lahawiyyah artinya huruf sebangsa telak lidah
b. Wasth Lisan ( Tengah-tengah lidah ), hurufnya ada tiga yaitu : ج, ش, ي
Keluar tepat di tengah-tengah lidah serta menepati dengan langit-langit mulut atas. Ketiga huruf ini dinamakan syajariyyah (huruf sebangsa tengah lidah).
c. Hafah (Tepi lidah), hurufnya ada satu yaitu ض keluar dari pangkal tepi lidah (sebelah kanan atau kiri) hingga sambung dengan tempat keluarnya huruf lam serta mengarah ke gigi graham. Huruf ini dinamakan Janbiyyah artinya huruf sebangsa tepi lidah).
Catatan
Menurut Ibnu Jazariyah huruf ini mudah dilafadhkan dengan menggunakan tepi lidah yang sebelah kiri sedangkan lidah yang kanan agak sulit begitu juga kalau menggunakan kedua tepi lidah (kanan dan kiri), baik yang kanan atau yang kiri.
d. Thorfu Lisan (bagian ujung lidah), jumlah hurufnya ada dua belas dan dikelompokkan lagi menjadi empat bagian yaitu :
d.1. Dzalqiyyah (huruf sebangsa ujung lidah) hurufnya ada tiga yaitu :
1. ل Keluar dari ujung tepi lidah samping kanan atau kiri dan menepati dengan langit-langit mulut atas.
2. ن Keluar dari ujung lidah lebih masuk kedasar lidah (bawahnya huruf lam) dan menepati dengan langit-langit mulut atas.
3. ر Keluar dari ujung lidah lebih masuk kedasar lidah (bawahnya huruf nun) dan menepati dengan langit-langit mulut atas.
Ketiga huruf tersebut dinamakan dzalqiyyah artinya huruf sebangsa ujung lidah.

d.2. Nath’iyyah ( huruf sebangsa kulit gusi atas ) hurufnya ada tiga yaitu ت, د, ط keluar dari ujung lidah serta menepati dengan pangkal gigi depan yang atas.
Ketiga huruf ini dinamakan nath’iyyah artinya huruf sebangsa kulit gusi atas.
d.3. Asaliyyah ( huruf sebangsa runcing lidah ) hurufnya ada tiga : yaitu ز , س , ص keluar dari ujung lidah serta menepati dengan ujung gigi taring dua yang bawah.
Ketiga huruf ini dinamakan asaliyyah artinya huruf sebangsa runcing lidah.
d.4. Litsawiyyah ( huruf sebangsa gusi ) hurufnya ada tiga yaitu: ذ , ث , ظ keluar dari ujung lidah dan menepati dengan ujung gigi depan yang atas.
Ketiga huruf ini dinamakan litsawiyyah artinya huruf sebangsa gusi.
4. Asy Syafataini ( dua bibir ) terbagi menjadi dua yaitu :
1. Bibir yang bawah hurufnya ada satu yaitu ف . Keluar dari ujung gigi yang atas serta menempel dengan bibir bagian yang bawah.
2. Dua bibir (atas dan bawah) hurufnya ada tiga yaitu م , ب dan و: Keluar dari antara bibir dua (atas dan bawah). Untuk م dan ب ketika melafadhkan kedua bibir tertutup sedangkan wawu kedua bibir agak merenggang dan mecucu.
Keempat huruf tersebut dinamakan syafawiyyah artinya huruf sebangsa bibir.
5. Al Khoisyum (janur hidung) yaitu tempat keluarnya huruf ghunnah (نّ dan مّ). Ketika melafadhkan hidung seakan terasa bergetar.
D. Isthilah dari pembagian nama-nama Makhoirijul Huruf
Jaufiyyah artinya huruf-huruf sebangsa lubang hidung.
Halqiyyah artinya huruf sebangsa tenggorokan
Lahawiyyah artinya huruf sebangsa telak lidah
Janbiyyah artinya huruf sebangsa huruf tepi lidah
Syajariyyah artinya huruf sebangsa tengah lidah.
Dzalqiyyah artinya huruf sebangsa ujung lidah
Litsawiyyah artinya huruf sebangsa gusi.
Nath’iyyah artinya huruf sebangsa kulit gusi atas.
Asaliyyah artinya huruf sebangsa runcing lidah.
Asy syafataini artinya dua bibir
Al khoisyum artinya janur hidung
GAMBAR MAKHORIJUL HURUF






































Ringkasan Makhorijul Huruf

No
Huruf
Tempat Keluar
Kelompok
1
ا
Keluar dari lubang mulut, hingga penghabisan
جَوْفِيَّة
2
ب
Keluar dari antara dua bibir (atas dan bawah)
شَفَوِيَّة
3
ت
Keluar dari ujung lidah serta menepati pangkal gigi depan yang atas
نَطعِيّة
4
ث
Keluar dari ujung lidah dan menepati dengan ujung gigi yang atas
لِثَوِيَّة
5
ج
Keluar tepat ditengah-tengah lidah serta menepati dengan langit-langit mulut yang atas
شَجَرِيّة
6
ح
Keluar tepat ditengah tenggorokan
حَلْقِيَّة
7
خ
Keluar dari tenggorokan yang paling atas
حَلْقِيَّة
8
د
Keluar dari ujung lidah serta menepati pangkal gigi depan yang atas
نَطعِيّة
9
ذ
Keluar dari ujung lidah dan menepati dengan ujung gigi yang atas
لِثَوِيَّة
10
ر
Keluar dari ujung lidah, lebih masuk kedasar lidah (bawahnya huruf nun) dan menepati dengan langit-langit mulut yang atas
ذَلْقِيَّة
11
ز
Keluar dari ujung lidah serta menepati dengan ujung taring dua yang bawah
اسَلِيّة
12
س
Keluar dari ujung lidah serta menepati dengan ujung taring dua yang bawah
اسَلِيّة
13
ش
Keluar tepat ditengah-tengah lidah serta menepati dengan langit-langit mulut yang atas
شَجَرِيّة
14
ص
Keluar dari ujung lidah serta menepati dengan ujung taring dua yang bawah
اسَلِيّة
15
ض
Keluar dari pangkal tepi lidah (sebelah kanan atau kiri) hingga sambung dengan tempat keluar-nya huruf lam serta mengarah kegigi graham
جَنْبِيَّة
16
ط
Keluar dari ujung lidah serta menepati pangkal gigi depan yang atas
نَطعِيّة
17
ظ
Keluar dari ujung lidah dan menepati dengan ujung gigi yang atas
لِثَوِيَّة
18
ع
Keluar tepat ditengah tenggorokan
حَلْقِيَّة
19
غ
Keluar dari tenggorokan yang paling atas
حَلْقِيَّة
20
ف
Keluar dari ujung gigi yang atas serta menempel bagian yang bawah
شَفَوِيَّة
21
ق
Keluar dari pangkal lidah dekat dengan anak lidah dan mengarah keatas serta menepati dengan langit-langit mulut yang atas
لَهَوِيَّة
22
ك
Keluar dari pangkal lidang mengarah kebawah serta menepati dengan langit-langit mulut yang atas
لَهَوِيَّة
23
ل
Keluar dari ujung tepi lidah samping kanan atau kiri dan menepati dengan langit-langit mulut yang atas
ذلْقِيَّة
24
م
Keluar dari antara dua bibir (atas dan bawah) dan posisi bibir tertutup
شَفَوِيَّة
25
ن
Keluar dari ujung lidah lebih masuk kedasar lidah (bawahnya huruf lam) dan menepati dengan langit-langit mulut yang atas
ذلْقِيَّة
26
و
Keluar dari antara dua bibir (atas dan bawah) dan posisi bibir agak merenggang dan mecucu
شَفَوِيَّة
27
هـ
Keluar dari tenggorokan yang paling bawah mendekati dengan dada
حَلْقِيَّة
28
ء
Keluar dari tenggorokan yang paling bawah mendekati dengan dada
حَلْقِيَّة
29
ي
Keluar tepat ditengah-tengah lidah serta menepati dengan langit-langit mulut yang atas
شَجَرِيَّة
Pasal VII
Sifat-Sifat Huruf
A. Pengertian Sifat-sifat Huruf
Kalau kita lihat dari segi makna, maka ada perbedaan yang sangat erat antara huruf-huruf Al Qur an dengan huruf-huruf latin. Diantaranya yaitu kalau huruf Hijaiyyah, maka orang dituntut disamping harus tahu letak satu persatunya huruf juga dituntut untuk menguasai sifat-sifat dari masing-masing huruf, dikarenakan dari sekian huruf hijaiyyah ada kemiripan tentang membunyikanya satu misal Hamzah dengan ‘Ain, sin dengan syin atau shod dan lain-lain sebagainya. Hal ini adalah bertujuan untuk membedakan dari segi tempat keluar dan sifat-sifatnya terutama untuk membedakan arti.
Sedangkan dalam kaidah membunyikan huruf latin tidak kita jumpai seperti mana perbedaannya antara huruf latin K dengan Q atau apakah masing-masing huruf latin mempunyai sifat-sifat tersendiri. Maka dari itu untuk menghilangkan salah pengertian, maka Qori’ dituntut untuk tahu dan bisa membedakan satu persatunya huruf, baik tempat keluarnya atau sifat-sifat yang dimiliki oleh setiap huruf.
Yang dimaksud dengan sifat huruf adalah kondisi dari satu persatunya huruf yang sebenarnya ketika dilafadhkan dengan bersuara atau watak karakter (sifat) yang dimiliki oleh setiap huruf seperti watak huruf itu kuat sedang atau kuat.
B. Pembagian Sifat Huruf
Secara garis besar sifat-sifat huruf ini terbagi menjadi dua bagian yaitu :
1. Sifat Al ‘Aridloh
Yaitu sifat bacaan baru muncul/ada karena adanya sifat al lazimah setelah huruf-huruf itu dirangkai dengan huruf-huruf yang lain, semisal tafkhimul isti’la’, tarqikul mustafal tafkhimnya dan tarqiqnya ro’ atau hukum bacaan-bacaan seperti ikhfa, iqlab idhgom. Hukum bacaan ini terkecuali bacaan idhar.
2. Sifat Al Lazimah
Yaitu sifat bacaan yang tetap yang dimiliki oleh setiap huruf hijaiyyah, baik huruf itu belum dirangkai atau sudah dirangkaikan dengan huruf-huruf yang lain.
Dalam sifat al lazimah yang jumlahnya sembilan belas para Ulama terjadi perbedaan pendapat yaitu huruf alif. Pendapat yang menetapkan bahwa alif itu mempunyai sifat, karena alif sendiri mempunyai makhorijul huruf. Sedangkan pendapat yang tidak menetapkan alif sebagai punya sifat sendiri adalah karena huruf lain adalah huruf yang lemah, maka dia tidak bisa berdesir sendiri (menerima harokat), kecuali harus mengikuti dengan huruf yang sebelumnya. Jika huruf sebelumnya kuat contoh طا قا, maka alif dibaca kuat tapi jika sebelumnya lemah, maka alif dibaca lemah. Contoh ما لا. Sedangkan Ulama yang memasukkan bahwa alif mempunyai sifat adalah karena alif mempunyai tempat keluar huruf tersendiri, begitu juga dengan huruf-huruf yang lain alif berhak memiliki sifat al lazimah.
Sedangkan lebih terperincinya akan diterangkan dibawah ini.

3. Pembagian Sifat Al Lazimah
Sifat al lazimah yang berjumlah sembilan belas ada kalanya punya sifat yang berlawanan “antara kuat dan lemah”. Sifat yang berlawanan ini sendiri adalah berjumlan sepuluh sifat, selanjutnya sebanyak sembilan sifat yang lain adalah tidak berlawanan.
Secara keseluruhan dari sembilan belas sifat al lazimah bisa dikategorikan menjadi dua bagian yaitu:
a.Sifat kuat (Qowiy) yaitu ketika huruf-huruf ini dibaca, maka akan terbaca dengan berat, nafas tertahan dan dibaca dengan tebal. Jumlahnya ada dua belas sifat
b.Sifat lemah (Dhoif) yaitu ketika huruf-huruf ini dibaca, maka hurufnya ringan, udara bebas terlepas dan ringan membacanya. Jumlah sifat ini ada tujuh.
Dibawah ini adalah klasifikasi antara sifat yang berlawanan dan sifat yang tidak berlawanan

Sifat-sifat huruf yang berlawanan

No
Sifat Kuat
Sifat Lemah
1
جهر
همس
2
شدّ ةٌ
ر خا و ة
3
استعلاء
ا ستقا ل
4
اطبا ق
انقتا ح
5
اصما ت
اذ لا ق






Sifat-sifat yang tidak berlawanan
No
Sifat Kuat
Huruf
Sifat Lemah
Huruf
1
قلقلة
ق ط ب ج د
لين
َ وْ – َيْ
2
صفير
ز س ص
تو سط
لِن عُمَرَ
3
انحرا ف
ل ر

4
تكر ير ي
ر
5
استدطا لة
ض
6
تقشّيّ
س
7
غنّة
مّ نّ ً ٍ ٌ
Bukan saat idhar
Keterangan
Setiap huruf akan mempunyai sifat al lazimah paling sedikit lima sifat dan paling banyak adalah enam sampai dengan tujuh sifat al lazimah.
Kategori
1Huruf yang kuat adalah jika satu huruf punya enam sifat, maka mana yang lebih dominan sifat kuatnya
2Huruf yang lemah adalah jika yang mendominasi adalah sifat lemahnya.
3Huruf yang sedang adalah antara sifat yang kuat dan sifat yang lemah adalah sama.











Tabel ringkasan huruf yang kuat, lemah dan sedang






































Ringkasan sifat-sifat huruf yang berlawanan
Sifat Kuat

No
Sifat
Arti
Pengertian
Huruf
Misal
1
Jahr
Tampak terang
Nafas tertahan ketika mengucapkan huruf, karena kuatnya tekanan huruf pada makhrojnya (tempat keluar huruf)
عَظُمَ وزْنُ قَارِئٍ ذِى غِضٍ جَدَّ طَلَبَ
قَ قِ قُ َبقْ
2
Syiddah
Kuat
Suara tertahan/tidak berjalan ketika mengucapkan huruf, karena sempurnanya tekanan huruf pada makhrojnya.
اَجِدْ قَطٍ بَكَتْ
ج ج ج بج
3
Isti’la’
Naik / terangkat
Lidah terangkat naik kelangit mulut ketika mengucapkan huruf
خُصَّ ضَغْطٍ قِظْ
ص ص ص بص
4
Ithbaq
Melekat / bertemu
Lidah (yang pangkal dan tengah) melekat/ bertemu dengan langit mulut ketika mengucapkan huruf
صَادٌ ضَادٌ طَاءٌ ظَاءٌ مطبقة
ض ض ض بض
5
Ismat
Menahan / diam
Semua huruf yang tidak bertempat diujung lidah atau ujung bibir, huruf-huruf ini agak lamban atau kurang cepat diucapkan dibanding dengan huruf-huruf idzlaq. Huruf-hurufnya adalah semua huruf selain huruf-idzlaq
جُزْ غِشَّ سَاخِطٍ صِدْ ثَقَةً اِذْ وَ عْظُهُ
ج ج ج بج





Sifat Lemah

No
Sifat
Arti
Pengertian
Huruf
Misal
1
Hams
Samar / tidak terang
Nafas terlepas/berjalan ketika mengucapkan huruf, karen lemahnya tekanan huruf pada makhrojnya (tempat keluar huruf)
فحَثَّهُ شَخْصٌ سَكَتْ
ف ف ف بف
2
Rokhowah
Lemah / kendor
Suara terlepas/berjalan bersama huruf, karena lemahnya tekanan huruf pada makhrojnya
خُذْ غِثَّ حَظٍّ فُضَّ شَوْصَ زِيْ سَاهٍ
خ خ خ بخ
3
Istifal
Turun / kebawah
Lidah kebahwah/turun kedasar mulut ketika mengucapkan huruf
ثَبَتَ عِزُّ مَنْ يُجَوِّدُ حَرْ فَهُ اِذْ سَلَّ شَكاَ
ث ث ث بث
4
Infitah
Terpisah
Lidah merenggang dari langit mulut, sehingga angin atau nafas keluar lewat tengah-tengahnya
مَنْ اَخَذَ سَعةً فَزَ كَا حقّ لَهٌ شُرْ غِيْثٍ
ك ك ك بك
5
Idzlaq
Ujung
Keluar dari ujung lidah/ujung bibir, karenya cepat terucapkan
فِرَّ مِنْ لُبٍّ
ب ب ب بب




Sifat yang tidak berlawanan

No
Sifat
Arti
Pengertian
Huruf
Misal
1
Shofir
Desis/ siul/suit
Berdesis/bersiul, seperti suara burung atau suara belalang
صاد , زاء سين
صَ صِ صُ بَصْ
2
Qolqolah
Goncang/bergerak
Goncangan makhroj yang ketika mengucapkan huruf, sehingga terdengar pantulan suara yang kuat
قطبُ جدٍ
طَ طِ طُ بَطْ
3
Al Liin
Lunak
Mengeluarkan huruf dengan lunak tanpa paksaan
أَوْ danأَ يْ
اَوْنكم, اَينَكمْ
4
Inhiroh
Condong
Condongnya huruf sesudah keluar keujung lidah. Lam condong keujung lidah, ro’ condong kepunggung lidah serta sedikit kearah lam
ل dan ر
لَ لِ لُ بَلْ
5
At Takrir
Mengulang satu kali/ lebih
Ujung lidah bergetar sedikit ketika mengucapkan huruf ro’ lidah
ر
رَ رِ رُ بَرْ
6
At Tafassy
Meluas / Tersebar
Meratanya angin dalam mulut ketika mengucapkan huruf syiin, hingga bersambung dengan makhrojnya huruf dzal
ش
شَ شِ شُ بَشْ
7
Al Istitholah
Meman-jang
Memanjangnya suara dlod pada makhrojnya yaitu permulaan tepi lidah hingga penghabisannya (sambung dengan makhojnya Lam)
ض
ضَ ِضُ بَضْ
8
Al Ghunnah
Dengung
Suara dengung yang enak dalam hidung tersusun dalam tubuh nun dan mim, ia adalah sifat yang tetap bagi kedua huruf ini hanya saja Idhghom lebih kuat dari waktu sukun, waktu sukun lebih kuat dari waktu hidup.
نّ dan مّ
انّ , ثمّ


Ikhtisar sifat huruf hijaiyyah yang berlawanan dan huruf-hurufnya.

5
4
3
2
1
لاوانيا
1
2
3
4
5
نمر اوروت
اذلاق
انفتاح
استفال
رخوة
همس
جهر
شدّة
الاستعلاء
اطباق
اصمات
ف
ا
ي
ح
ف
ظ
ء
خ
ص
ا
1
ر
ب
س
س
ح
ل
ج
ص
ض
ت
2
م
ت
ك
خ
ث
ق
د
ض
ط
ث
3
ن
ث
ل
ظ
ه
ي
ق
غ
ظ
ج
4
ل
ج
ف
ش
ش
د
ط
ط

ح
5
ب
ح
ع
هـ
خ
ب
ب
ق
خ
6

خ
ز
ز
ص
ط
ك
ظ
د
7
د
ث
ص
س
ع
ت

ذ
8
ذ
و
ع
ك
م

ز
9
ر
ر
ث
ت
و
س
10
ز
ت
ف

ز
ش
11
س
ن
د
ض
ص
12
ش
ج
و
ا
ض
13
ع
ب

ر
ط
14
غ
ح
ء
ظ
15
ف
ش
ذ
ع
16
ق
ذ
ن
غ
17
ك
د
غ
ق
18
ل
ه
ج
ك
19
م
م

و
20
ن
ا
هـ
21
و
ء
ء
22
ه

ي
23
ء

24

ي

25

Bahwasanya satu huruf tidak bisa memiliki dua sifat yang berlawanan.
Pasal VIII
Waqof Dan Ibtida’
A. Pengertian Waqof, Qotho’ dan Ibtida’
Waqof menurut bahasa adalah berhenti. Sedangkan menurut istilah adalah menghentikan suara dan perkataan sebentar (menurut adat) untuk bernafas bagi Qori’ dengan niat untuk melanjutkan bacaan selajutnya dan bukan berniat untuk meninggalkan bacaan (Qoth’) yang biasanya disunnahkan dengan membaca tashdiq.
Qhoto’ menurut bahasa adalah memotong, sedangkan menurut istilah adalah menghentikan bacaan sama sekali sesudah memotong bacaan, maka gari qori’ jika hendak membaca lagi dia disunnahkan isti’adzah.
Ibtida’ menurut bahasa adalah memulai, sedangkan menurut istilah adalah memulai bacaan sesudah seorang qori mewaqofkan bacaanya.
Keterangan
Pada hakikatnya waqof ini adalah berhenti pada akhir ayat atau berhenti pada tengah-tengah ayat (untuk mengambil nafas). Baik ibtidak maupun waqof boleh dilakukan dengan tanpa merusak arti.
Secara umum berhenti atau waqof adalah ada pada akhir ayat. Hal ini sesuai dengan hadits yang diriwayatkan oleh Umi Salamah yang artinya “Bahwa Rasulullah saat membaca Al Qur an, maka beliau berhenti disetiap akhir ayat dan memulai lagi pada permulaan ayat”. Meskipun dari segi artinya masih ada hubungannya, maka sah-sah saja (boleh/jawaz) Qori’ berhenti dengan tanpa mengulang dengan ayat yang sesudahnya, sebagaimana pendapat Ulama Ahlul Qorro’. Karena Rasulullah sendiri terkadang juga berhenti pada waqof hasan.
B. Pembagian Waqof
Secara garis besar waqof terbagi menjadi empat yaitu :
1. Waqof Idlthirori ( اضْطِرَارى )artinya terpaksa, yaitu dilakukan seorang qori’ dikarenakan kehabisan nafas, batuk lupa dan sebagainya.
2. Waqof Inthidhori ( انتِظارى ) artinya berhenti menunggu; yaitu Qori berhenti pada sebuah kata yang perlu untuk menghubungkan dengan kalimat wajah yang lain (menurut- versi bacaan-bacaan imam sab’ah) karena adanya perbedaan riwayat.
3. Ikhtibari ( اختِبَارِى ) artinya berhenti untuk diuji, yaitu ketika qori’ diuji untuk menerangkan al Maqthu’ (kata terpotong), ketika ditanya seorang juri. Atau boleh bagi seorang pengajar Al Qur an memutus-mutus ayat pada anak didiknya (untuk memudahkan).
4. Ikhtiyari ( اختِيَارِى ) artinya berhenti yang dipilih, adalah waqof yang ada unsur kesengajaan, bukan karena sebab-sebab yang tersebut diatas. Waqof Ikhtiyari ini dibagi menjadi empat bagian yaitu:
a. Waqof Tam ( وقف تام )
Berhenti pada perkataan yang sempurna susunan kalimatnya dan tidak ada kaitan dengan kalimat yang sesudahnya, baik lafadh maupun maknanya. Waqof ini tempatnya bermacam-macam yaitu :
1. Kebanyakan ada di akhir ayat
2. Di akhir ayat Qishos (cerita). Al Baqoroh ayat 5 : وَاُولئك هُمُ اْلمُفْلِحُوْنَ
3. Ada ditengah-tengah ayat :لقد أَضَلّنِي عَنِ الذِّ كْرِ بَعْدَ اِذْ جَاءَ نِى dan dilanjutkan dengan Firman Allah َوكَا نَ الشَّيْطَانُ لِلْإِ نْسَانِ خَذُوْ لاً Al Furqon ayat 19
4. Di akhir ayat ditambah sedikit awal ayat.
Contoh : وإِ نَّكُمْ لَتَمُرُّوْن عَلَيْهِمْ مُصْبِحِيْنَ () وَبِا لَّليْلِ (As Shoffat ayat 138)
5. Terdapat pada arti ayat مَا لِكِ يَوْ مِ الدِّ يْنِ
6. Terdapat sebelum yak nida, fi'il amar, qosam dan lam qosam
وَكَانَ الله ُ, وَمَا كَانَ الله ُ, ذلك , لَوْ لاَ
b. Waqof Kafi ( وقف كافى )
Berhenti pada perkataan yang sempurna susunan lafadh atau kalimatnya (i’robnya), akan tetapi masih ada kaitan arti/makna dengan kalimat sesudahnya. Jika berhenti disini, maka seorang Qori’ tidak perlu lagi mengulangi dengan kalimat sesudahnya. Contoh :
1. Diakhir ayat وَمِمَّا رَزَقْنَا هُمْ يُنْفِقُوْنَ ( اليقرة )
2. Dipertengahan ayat : فِى قُلُوْ ِبِهمُ العِجْلَ بِكُفْرِهِمْ (كف) قُلْ بِئْسَمَا
3. Jika ada banyak waqof kafi dalam satu ayat, maka yang lebih utama berhenti pada waqof kafi yang terakhir Contoh : فِى قُلُوْبِهِم مَرَضٌ (كف) dilanjutkan فَزَا دَهُمُ اللهُ مَرَضًا (lebih kafi) بِمَا كَانُوْا يَكْذِبُوْنَ ( lebih kafi dari keduanya)
c. Waqof Hasan ( وقف حسن )
Berhenti pada akhir kalimat yang telah sempurna susunan kalimatnya, akan tetapi masih ada hubungannya baik dari segi lafadh ataupun maknanya dengan kalimat sesudahnya.
Hukum berhenti pada waqof hasan adalah boleh dan baik tanpa mengulangi dengan kalimat sesudahnya contoh : الحمدُ لله ِ berhenti dan meneruskan pada ربِّ العَا لَمِيْنَ tidak apa-apa tapi jika nafas masih panjang lebih baik untuk meneruskannya.
Boleh mengulangi/ibtida’ pada kalimat sesudahnya, jika berhentinya bukan ro’sul ayat. Contoh الحمدُ لله
Sebaiknya bagi seorang qori’ yang nafasnya masih kuat untuk meneruskannya, maka lebih baik tidak berhenti pada waqof ini.
d. Waqof Qobih ( وقف قبيح )
Berhenti sebelum sempurna susunan kalimatnya, baik lafad atau bahkan maknanya. Seperti berhenti pada kalimat ملك pada ayat ملك النا س karena keduanya adalah susunan idhofiyyah
Waqof pada إلاّ contoh : إِنّ الإِنْسَانَ لَفِى خُسْرٍ () الاّ berhenti dan mengulang dari kalimat إلاّ .
Hukum waqof ini adalah tidak boleh, terlebih jika ia dengan sengaja berhenti, padahal dia mengetahui akan ketidak bolehannya, maka haram hukumnya dan murtad karena jelas dengan sengaja ia mempermainkan firman Allah.



Contoh waqof yang jelek di dalam Al Qur an , antara lain :

اية
سورة
جزء
كلمة
نمر
181
ال عمران
4
انّ اللهَ فَقِيرٌ
1
42
النساء
5
يا أيُّهَا الذيْنَ امنوا لاَتُقْرَبُوْا الصَّلاَةَ
2
73
المائدة
6
اِنُّ اللهَ ثَالِثُ
3
64
المائدة
6
وقَالَتِ اليَهُودُ يَدُاللهِ
4
153
الصافّات
23
اصْطَفَى البَنَاتُ
5
4
الماعون
30
فَوَيْلٌ للمُصَلِّيْنَ
6
26
البقرة
1
انَّ اللهَ لا يَسْتَحْيي
7

e. Waqof Jibril
Imam Asy-Syaqowi berkata : Sebaiknya para Qori’ untuk mengetaui waqof Jibril.
Waqof Jibril yaitu waqof yang dilakukan oleh Malaikat Jibril ketika menyampaikan wahyu kepada Rasulullah.
Dibawah ini contoh waqof Jibril didalam Al Quran
اية
سورة
جز
كلمة
نمرة
95
ال عمران
4
قُلْ صَدَقَ اللهُ
1
148
البقرة
2
فَا سْتَبِقُوا الخَيْرَاتِ
2
48
المائدة
6
فَا سْتَبِقُوا الخَيْرَاتِ
3
116
المائدة
7
سُبْحَانَكَ مَا يَكُوْنُ لِى أََنْ اَقُولَ مَا لَيْسَ لِى بِحَقٍّ
4
108
يوسف
13
قُلْ هذهِ سَبِيْلِى اَدْعُو اِلَى اللهِ
5
17
الرعد
13
كَذالِكَ يَضْرِبُ اللهُ الامْثَالَ
6
5
النحل
14
وَالاَنْعَامَ خَلَقَهَا
7
18
السجدة
21
افَمَنْ كَانَ مُؤمِنًا كمنْ كانَ فَاسِقًا
8
23
النازعات
30
ثُمَّ اَدْبَرَ يَسْعَى () فَحَشَرَ
9
3
القدر
30
لَيْلَةُ القَدْرِ خَيْرٌ مِنْ اِلْفِ شَهْرٍ
10
Tabel tanda waqof beserta keterangannya

كتراغان
اشارة
تاندا وقف
نمر
Harus berhenti
وقف لازم
م
1
Baik berhenti meskipun masih kuat nafasnya
وقف مطلق
ط
2
Baik berhenti
وقف جائز
ج
3
Baik terus jika nafasnya masih kuat
وقف مجوّز
ز
4
Baik terus jika nafasnya masih kuat
وقف مرخّص
ص
5
Boleh berhenti, lebih baik diteruskan
قيل عليه وقف
ق
6
Baik berhenti
طلب الوقف
قف
7
Tidak boleh berhenti
عدم الوقف
لا
8
Baik diteruskan
الوصل الاولى
صلى
9
Berhenti pada salah satu titik tiga
معانقة
... - ...
10
Baik berhenti
الوقف الاولى
قلى
11
Tempat ruku’ (berhenti)

ع
12
Mengikuti waqof sebelumnya
كذالك مطابقة لما قبله
ك
13
Berhenti sebentar tanpa nafas
سكتة
سكتة
14

C. Ibtida’
Menurut bahasa adalah memulai, sedangkan menurut istilah adalah memulai bacaan sesudah seorang qori mewaqofkan.
Aturan-aturan dan macam-macam ibtida’ itu adalah sama dengan waqof (ibtida’ tam, kafi, hasan dan qobih)
Dibawah ini beberapa contoh waqof yang sangat jelek, jangan sampai digunakan untuk memulai bacaan :
اية
سورة
جز
اول القراءة
اية
سورة
جز
اول القراءة
نمر
84
المائدة
7
لا تُؤْ مِنُ با للهِ
7
البقرة
1
اللهُ عَلىَ قُلُوْبِهِمْ
1
30
التوبة
10
عُزَيْرُ انِ بْنُ اللهِ
116
البقرة
1
اتُّخَذَ اللهُ وَلَدًا
2
30
التوبة
10
المَسِحُ ابْنُ اللهِ
243
البقرة
2
اللهَ مُوْتُوْا
3
94
الاسراء
15
اللهُ بَشَرًا
181
ا ل عمران
4
انَّ اللهَ فَقِيْرٌ
4
111
الاسراء
15
له شَرِيكٌ فى المُلْكِ
17
المائدة
6
انَّ اللهَ هُوَ المَسِيْحُ
5
29
الانبياء
17
انِّى الهٌ مِنْ دُوْنِه
18
المائدة
6
نَحْنُ اَبْنَاءُ اللهِ
6
35
الاحزاب
22
اللهَ كَثِيْرًا
31
المائدة
6
اللهُ غُرَابًا
7
22
يس
23
لا اعبُدُ الَّذِى فَطَرَنِى
64
المائدة
6
يَدُ اللهِ مَغْلُوْلَة
8
152
الصافّات
23
وَلَدَ اللهِ
73
المائدة
6
انَّ اللهَ ثَالثُ
9

Pasal IX
Ghoroibul Kalimat

Setelah kita mempelajari banyak tentang teori tajwid (cara membaca Al Qur an yang baik bagus dan benar), maka perlu kita ketahui, bahwa ada beberapa kalimat dalam Al Qur an yang cara membacanya (membunyikannya) yang tidak sesuai dengan konsep teori yang telah kita bahas pada bab-bab yang lalu. Hal ini dikarenakan adanya perbedaan lahjah atau dialek, sehingga muncul bacaan-bacaan yang berfariasi yang terkenal dengan Qiro’ah Sab’ah (tujuh qiro’ah) yaitu qiro’ah yang diriwayatkan oleh Imam tujuh.
Dari sekian qiro’ah tersebut, maka di Indonesia riwayat qiro’ah yang paling banyak dipakai adalah qiro’ah riwayat Hafs an Ashim. Dalam riwayatnya itu ada sebagaian kalimat yang dibaca keluar dari kaidah-kaidah (ghoroibul kalimat) yang akan dikemukakan satu persatu dibawah ini.
1. Isymam لاَ تَأْ مَنَّا nun dibaca isymam mecucu dan isymamnya setelah idghom (ghunnah).
Kalimat tersebut asalnya adalah لا تأ منُنَا kemudian nun yang pertama diidhghomkan pada nun yang kedua, sebagai bukti idhghom diberinya syiddah pada huruf yang dimasuki yaitu huruf yang kedua.
2. Naql, harokat kasroh hamzahnnya lafadh بئسَ اْلإسْمُ dipindah pada huruf sebelumnya ( naql ). Dalam kalimat tersebut ada huruf-huruf sukun yaitu :
Hamzah washolnya ا ل ta’rif
Hamzah washolnya lafadh اِسْمٌ
Lamnya ا ل Ta’rif
Sinnya lafadh اِسْمٌ
Karena itu ada dua alasan :
1. Agar kalimat tersebut bisa terbaca, maka harokat hamzah lafadh اِسْمٌ dipindah (dinaql) pada huruf sebelumnya yaitu lam.
2. Karena terdapat beberapa huruf yang sukun, maka agar kalimat tersebut bisa dibaca harus diberi harokat kasroh.
Jadi, lafadh بئسَ اْلإسْمُ dibaca بئسَ ِلسْمُ
3. Tashil, hamzah kedua dibaca tashil (dipermudah membacanya) dengan menempati makhroj antara alif dan hamzah. Adapun hukumnya tashil menurut imam Hafs mengklasifikasikan menjadi dua yaitu :
1. Lazim yaitu harus dibaca tashil, didalam Al Qur an hanya satu tempat yaitu : أأعجمي
2. Jaiz yaitu boleh dibaca tashil atau mad, yaitu pada semua kalimat yang dibaca mad lazim mukhoffaf kilmi dan mad farqi
4. Imalah, مجريها ro’ dibaca imalah (condong), yaitu membaca antara harokat fathah dan kasroh (dibawahnya taqlil). Sedangkan perbedaan taqlil dan imalah adalah kalau taqlil fokalnya lebih besar atau tebal sedangkan imalah fokalnya tipis atau kecil, sedang persamaanya adalah keduanya dominan dengan bunyi huruf “ E ”.
5. اَنَا, menurut Imam Hafsh pada dhomir muttashil mutakallim wahdah semuanya dibaca dengan pendek. Hal ini dikarenakan pada aslinya, bahwa asal انا adalah اَنَ tanpa alif, sedangkan adapun nun diberi alif itu adalah semata-mata karena memperjelas harokat nun.
Adapun lafadh لكنّا nunnya dibaca pendek, karena dikembalikan pada asal kalimat yakni a salnya adalahلَكِنْ danاَنَا kemudian nun yang pertama diidghomkan sehingga menjadi لكنّا , nun dibaca pendek sebab dhomir mutakallim wahdah sebagaimana penjelasan diatas.
5.Ibdalul Huruf, mengganti huruf, yaitu mengganti hamzah dengan huruf yang munasabah dengan harokat hamzah yang pertama, hal ini dikarenakan adanya dua hamzah yang berkumpul dalam satu kalimat sesuai dengan kaidah :
الهمزتان اذا التقيا فى كلمة واحدة ثانيتهما سا كنة وجب ابدال الثانية بحرف ناسب الى حركة الاولى
Contoh: اُوتمنasalnya أأتمن , اِيْتونى asalnya إإتوني, آ تُونى , asalnya أأتوني
Kalimat-kalimat tersebut jika dijadikan sebagai ibtida’ / permulaan, maka harus memakai kaidah ibdal. Contoh آ تُونى , اِيْتونى , اُوتمن
Akan tetapi jika diwasholkan atau disambung dengan kalimat sebelumnya, maka hamzah yang pertama dihilangkan (tidak terbaca).
7. Tanwin bersama hamzah, tanwin adalah nun sukun atau mati sedangkan hamzah washol jika berada ditengah-tengah kalimat maka hamzahnya tidak terbaca ( menjadi huruf mati ).
Apabila ada nun sukun disambung dengan hamzah washol (sama-sama mati), maka untuk bisa membacanya huruf yang pertama diberi harokat kasroh. Hal ini sesuai dengan kaidah : السَّاكِنُ اِذَا حُرِّكَ حُرِّكَ بِالْكَسْرِ
Contoh: احدٌ - الله dibaca احدُنِ الله , مبينٍ - اقتلوا dibaca مبينِ نِ اقتلوا , بصيرًا-الذى dibaca بصيرَ نِ الذى
Didalam mushaf terbitan Indonesia nun tersebut ditulis dengan nun dengan ukuran kecil yang biasanya terletak dibawah, hal ini adalah untuk mempermudah bagi orang yang membacanya.
8. يرْضَهُ ,ha’ dhomir dibaca pendek karena jatuh setelah sukun yaitu alif . Dikarenakan kalimat itu menjadi jawab syarat, maka huruf illatnya dibuang hingga menjadi َيرْضَهُ . Perlu diketahui bahwa kalimat tersebut berasal dari kata َيرْضَوْهُ
9. َقوَا رِيْرَ َقوَا رِيْرَا ()
1. Jika berhenti (waqof) pada َقوَا رِيْرَا yang pertama, maka ro’ yang terakhir dibaca panjang (satu alif). Karena untuk menyesuaikan dengan akhir ayat yang lain.
Sedangkan kalimat serupa yang dibaca seperti ini adalah
1.الظُّنُوْنَا
2. الرَّسُوْلاَ
3. َالسَّبِيْلاَ
4. َسلْسَبِيْلاَ
2. Jika diwasholkan, maka ro’ lafadh قوا ريرا yang pertama dibaca pendek karena kalimat ini termasuk isim ghoiru munshorif, sedangkan alifnya adalah bagian dari khot Utsmani.
3. Jika waqof pada قوا رير yang kedua, maka ro’nya dibaca sukun dan jika washol dibaca pendek (satu harokat) karena kalimat tersebut adalah isim ghoiru munshorif.
10. Saktah
Menahan sejenak bacaan dengan tanpa bernafas. Hal ini disebabkan agar tidak salah dalam pengertiannya. Ukuran berhentinya adalah sekitar satu alif. Menurut Qiro’ah yang diriwayatkan oleh Hafs an Ashim hanya ada empat tempat kalimat saja yaitu :
1. Surat Al Kahfi ayat 1 Juz 15: عوجا (سكتة) قيما Artinya pembelokan agar tidak bercampur dengan kalimat Qiyaman yang berarti lurus sebagai sifat dari Al Qur an yang diturunkan oleh Allah.
2. Surat Yasin ayat 52 Juz 23 : من مرقد نا سكتة هذا Artinya dari tempat tidur kita ? ini agar tidak campur dengan ucapan orang kafir pada kalimat sebelumnya yaitu siapakah orang yang membangkitkan kita dari tempat tidur kita, maka jawaban orang mukmin, para malaikat dan Allah adalah “ini adalah yang telah dijanjikan oleh Allah yang maha penyayang.
3. Surat al Muthoffifin ayat 14 Juz 30 : بل سكتة ران
Artinya bukan berkata. Dengan ini agar tidak serupa dengan kalimat برّان yang artinya dua orang yang baik.
4. Al Qiyamah ayat 27 juz 29 : وقيل منسكتة را ق artinya siapa yang naik. Agar tidak sama dengan kalimat مرّا ق artinya penjual sayur.

11. Lafadh انا
Lafadh انا ( ana ) yang menjadi dhomir munfashil mutakallim wahdah, ketika diwasholkan semuanya dibaca pendek, sebab dhomirnya hanya satu adalah “ana” dengan tanpa alif,sedangkan alif berfungsi untuk menjekaskan atau menerangkan harokat. Akan tetapi jika waqof (berhenti) dibaca panjang (satu alif)
Apabila dhomir itu tidak berupa dhomir munfashil mutakallim wahdah yaitu berupa dhomir mutakallim ma’al ghoir, maka baik washol maupun waqof tetap dibaca panjang. Seperti جاء نا , لقاء نا
Sedangkan lafadh ana yang bukan dhomir tetap dibaca panjang seperti kalimat : انا سيّ , انابوا , الأنا م
12. Raum (الروم )
Yaitu meminimalisasikan ( menyedikitkan ) suara huruf paling akhir atau huruf itu tidak ditampakkan secara penuh ( + sepertiga huruf ), biasanya dijumpai pada akhir kalimat yang diwaqofkan. Walaupun yang berpendapat bacaan ini dinamakan ikfa’ bimakna jadid. Contoh : وَاْلفَجْرْ, وَالْعَصْرْ
Keterangan
Satu huruf terakhir dianggap tidak hilang apabila Qori’ tetap merasakan sendiri huruf tersebut, tanpa dikeluarkan secara penuh ( disuarakan dengan jelas ). Diharapkan para Qori’ tidak mensuarakan huruf atau bacaan Al Qur an dengan tawallud ( mempermainkan bacaan / bunyi huruf “ e’ “ )
13. Sujud Tilawah
Disunnahkan bagi Qori’ untuk melakukan sujud tilawah ketika menjumpai atau membaca ayat-ayat sajadah ( ايا ت السجادة ) , hal ini sudah menjadi kebiasaan Rasulullah SAW ketika membaca ayat tersebut. Sedangkan ayat sadajah ini terdapat pada lima belas tempat didalam Al Quran, antara lain :
1.Surat Al A’rof ayat : 206 juz 9
2.Surat Al Ra’du ayat : 15 juz 13
3.Surat Al Nahl ayat : 49 juz 14
4.Surat Al Isro’ ayat : 108-109 juz 15
5.Surat Maryam ayat : 58 juz 16
6.Surat Al Hajj ayat : 18 juz 17
7.Surat Al Hajj ayat : 77 juz 17
8.Surat Al Furqon ayat : 60 juz 19
9.Surat Al Naml ayat : 24 - 25 juz 19
10.Surat Al Sajadah ayat : 15 juz 21
11.Surat Shod ayat : 24 juz 23
12.Surat Fusshilat ayat : 27 - 28 juz 24
13.Surat Al Najm ayat : 62 juz 27
14.Surat Al Insyiqoq ayat : 21 juz 30
15.Surat Al Alaq ayat : 19 juz 30
Lafadh sujud tilawah :
سَجَدَ وَجْهِيَ لِلَّذِى خَلَقَهُ وَصَوَّرَهُ وَشَقَّ سَمْعَهُ وَبَصَرَهُ بِحَوْلِهِ وَقُوَّتِهِ فَتَبَارَكَ اللهُ اَحْسَنَ الْخَالِقِيْنَ
Jika tidak melakukan sujud, maka sebagai gantinya Qori’ membaca : “ baqiyatussholihah “ :
سُبْحَانَ اللهِ وَالْحَمْدُ للهِ وَلاَ إلهَ إلاَّ اللهُ واللهُ اَكْبَرُ وَلاَ حَوْل وَلاَ قُوَّةَ إلاَّ بِاللهِ العَلِيِّ الْعَظِيْمِ
14. Hukum Membaca Isti’adzah dan Basmallah
Seorang Qori’ apabila hendak membaca Al Qur an, baik pada awal surat maupun ditengah-tengah surat, maka ia sunnah membaca ta’awudz sesuai dengan bacaan dari Rasulullah SAW :
( اَعُوْذُ بِااللهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيْمِ)
Adapun dasar pengambilannya adalah firman Allah SWT surat Al Nahl ayat 98
فَإِذَا قَرَأْتَ القُرْان فَاسْتَعِذْ بِااللهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيْمِ
Dikalangan ulama’ Qorro; terdapat beberapa lafadh isti’adzah, antara lain:
1.اَعُوْذُ بِااللهِ مِنَ الشَّيْطَانِ
2.اَعُوْذُ بِااللهِ العَظِيْمِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيْمِ
3.اَعُوْذُ بِااللهِ السَّمِيْعِ العَلِيْمِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيْمِ
Sedangkan tata cara membaca isti’adzah, basmalah dan awal surat mempunyai empat cara menurut Imam Hafs an Ashim :
1. Memutus semua, contoh
اَعُوْذُ بِااللهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيْمْ () بِسمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيْمْ () الحَمْدُ للهِ

2.Menyambung basmallah dengan surat saja, contoh
اَعُوْذُ بِااللهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيْمْ () بِسمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيْمِ الحَمْدُ للهِ
3.Menyambung isti’adzah dengan basmallah, contoh :
اَعُوْذُ بِااللهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيْمِ بِسمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيْمْ () الحَمْدُ للهِ
4.Menyambung semua, contoh :
اَعُوْذُ بِااللهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيْمِ بِسمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيْمِ الحَمْدُ للهِ
Adapun menyambung ayat akhir surat dengan basmallah dan diwaqofkan, kemudian memulai surat selanjutnya, hal ini tidak diperbolehkan karena takut disangka bahwa basmallah itu terletak pada akhir surat, kecuali pada surat Al Taubah, contoh :
وَلاَ الضّآلِيْنَ بِسمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيْمْ () الم ذالِكَ
Ulama sepakat tidak membaca basmallah pada awal surat Al Taubah. Menurut Imam Ibn Hajar membaca basmallah pada awal surat Al Taubah hukumnya haram, sedangkan membaca basmallah ditengah-tengah surat Al Taubah hukumnya makruh. Pendapat ini banyak diikuti oleh Ulama Ahlul Quro’ dan Ahli Ada’. Hal tidak diperkenankannya membaca basmallah pada surat Al Taubah disebabkan oleh asbabunnuzul dari ayat tersebut.
Imam Romli berpendapat bahwa membaca basmallah pada awal surat Al Taubah hukumnya makruh, sedangkan membaca basmallah ditengah-tengah surat Al Taubah hukumnya mubah. Hal ini disebabkan karena tidak adanya nash shorih yang menjelaskannya.
Tabel Ghoroibul Kalimat

البيان
الاية
السورة
الجزء
اللفظ
النمرة
Shod boleh dibaca sin (يَبْسُطُ)
245
البقرة
2
يَبْصُطُ
1
Ta’ difathah, wawu di dhommah, bila dibaca washal. Adapun bila waqof wawu disukun, karena lafadh ini fi’il Amar jangan sampai salah dengan fi’il madhi ( اتُوا)
377
البقرة
3
ا‘تَوُا الزَّكَاةَ
2
5
التوبة
10
ا‘تَوُا الزَّكَاةَ
3
11
التوبة
10
ا‘تَوُا الزَّكَاةَ
4
41
الحج
17
ا‘تَوُا الزَّكَاةَ
5
Kedua lafadh ini ada ba’ dua jangan sampai hilang
322
النساء
4
وَرَبَا ئِبُكُمُ اللاَّتِى
6
59
الاحزاب
22
مِنْ جَلاَ بِيْبِهِنَّ
7
Ada ya’ sukun jatuh setelah fathah, maka dibaca lain (لين)
12
المائدة
6
اِثْنَىْ عَشَرَ
8
16
السباء
22
ذَواَتَىْ اُكُلٍ
9
2
الطلاق
28
ذَوَىْ عَدْلٍ
10
Shod boleh dibaca sin
69
الاعراف
8
بَصْطَة
11
أُو dibaca panjang satu alif (Mad Thobi’i) begitu juga lafadh (الأُوْلى)
38
الاعراف
8
لِأُو ليـهُمْ
12
39
الاعراف
8
أُو ليـهُمْ
13
5
الإسراء
15
أُو ليـهُمَا
14
Hamzah أُو dibaca pendek
145
الاعراف
9
سَأُورِيْكُمْ
15
Lamnya الاّ ditanwin kemudian di idghomkan pada wawu. الاّ ini bukan istitsna’ tapi الاّ dengan makna قرابة
8
التوبة
10
إِلاًّ وَلاَذِمَّة
16
10
التوبة
20
إِلاًّ وَلاَذِمَّة
17
Ta’nya lafdh تَحْتَهَا dibaca fathah
10
التوبة
11
تَجْرِىْ تَحْتَهَا الاَنْهَارُ
18
Dibaca Isymam karena asalnya لاَ تَأْ مَنُنَا
11
يوسف
12
لاَ تَأْ مَنَّا
19
Ro’ dibaca imalah (majreha)
41
هود
12
مَجْر‘يهَا
20
Ha’ dibaca pendek, sebab bukan ha’ dhomir
91
هود
12
مَا نَفْقَهُ
21
19
المؤمنون
18
فَوَاكِهَ
22
7
الزمر
22
يَرْضَهُ لَكُمْ
23
Mim dibaca kasroh
66
هود
12
يَوْمِئِذٍ
24
11
المعارج
29
يَوْمِئِذٍ
25
Kaf dibaca fathah
76
النحل
14
وَهُوَ كَلٌّ
26
Lafadh نا dibaca pendek (terus) sebab asalnya لكن dan انا. Jika waqof tetap dibaca panjang (satu alif)
38
الكهف
15
لكِنَّا
27
Ha’ dibaca dhommah dan pendek (terus), jika waqof ha’ dibaca sukun
63
الكهف
15
اَنْسَانِيْهُ
28
Qof sukun, ha’ dibaca kasroh dan pendek
52
النور
18
وَيَتَّقْهِ
29
Ha’ dibaca panjang (terus), jika waqof disukun
69
الفرقان
19
فِيْه,مُهَانًا
30
Lamnya dikasroh
22
الروم
21
لِلْعَالِمِيْنَ
31
Dlod boleh dibaca dua wajah : fathah atau dhommah. Dalam satu ayat ada tiga tempat, jika dibaca fathah, maka semuanya harus fathah, begitu juga sebaliknya
54
الروم
21
ضَـُعْف
32
Lam dan ha’ dikaroh serta dibaca panjang
88
الزخرف
25
وَقِيْلِه,
33
Ha’ didhommah (dibaca menurut aslinya)
قيل لتعظيم الجلالة
10
الفتح
26
عَلَيْهُ الله
34
Shod boleh dibaca sin
37
الطور
27
المُصَيْطِرُوْنَ
35
Dal difathah dan nun dikasroh
17
الحشر
28
خَالِدَيْنِ
36
Wawu dibaca pendek
3
الملك
29
مِنْ تَفَاوُت
37
لا jika washol dibaca pendek, jika waqof boleh dua wajah, tetap panjang atau sukun
4
الدهر
29
سَليسِلاَ
38
را jika washol pendek, jika waqof panjang
15
الدهر
29
قَوَارِيْرَا () ..
39
را jika washol pendek, jika waqof sukun
16
الدهر
29
قَوَارِيْرَا
40
Shod tetap dibaca shod
22
الغاشية
30
بِمُصَيْطِرٍ
41
Jika washol dibaca pendek, jika waqof tetap panjang (satu alif)
10
الاحزاب
21
الظُّنُوْنَا
42
66
الاحزاب
22
الرَّسُوْلاَ
43
67
الاحزاب
22
السَّبِيلاَ
44
Dzal difathah dan nun dikasroh
29
فصّلت
24
اَرِنَا الَّذَيْنِ
45
Hamzah awal dibaca Tahqiq dan pendek, hamzah yang kedua dibaca tashil atau boleh dibaca panjang seperti mad lazim
44
فصّلت
24
ااعْجَمِيٌّ
46

















BAB IV
KHOT UTSMANI

A. Pengertian Khot Utsmani
Di dalam penulisan Al Qur an, ada beberapa penulisan yang antara penulisan dan cara membacanya adalah berbeda, hal ini memang dikarenakan adanya rahasia-rahasia tersendiri. Dengan demikian, maka diharapkan bagi para Qori’ agar supaya berhati-hati didalam membacanya, sehingga ayat-ayat Al Qur an bisa terdengar menurut bacaannya.
Khot Utsmani adalah bahwa tulisan ayat-ayat Al Qur an yang ditulis dari hasil usaha pada periode Sahabat Utsman ra.
B. Penulisan Hamzah
Hamzah yang berharokat dhommah yang ditulis dengan menambahkan wawu ( ؤ ) adalah dibaca dengan suara pendek.
Dibawah ini contoh penulisan hamzah yang berharokat dhommah dengan menggunakan wawu yang dibaca pendek.

الاية
السورة
الجزء
الامثلة
الاية
السورة
الجزء
الامثلة
النمرة
22
الروم
21
وابْتِغَاؤُكُمْ
222
البقرة
2
نِسَاؤُكُمْ
1
39
ص
23
هذا عَطاؤنَا
18
المائدة
6
اَحِبَّاؤهُ
2
31
فصّلت
24
نَحْنُ اْوْ لِيَاؤُكُم
93
الاسراء
15
كِتَابًا نَقْرَؤُه
3
11
الشورى
25
يَذْ رَؤُكُمْ فيْه
42
الانبياء
17
مَنْ يَكْلَؤُكُمْ
4
19
الحاقة
29
هاؤمُ اقْرَؤُوا
37
الحج
17
وَلا دِمَاؤُكُم
5




77
الفرقان
19
لَوْ لا دُعَاؤُكُمْ
6

C. Alif Dengan Hamzah
Alif yang ditulis adalah yang menjadi tempatnya hamzah, maka lafadh tersebut tetap dibaca pendek ( اء )



الاية
السورة
الجزء
الامثلة
الاية
السورة
الجزء
الامثلة
النمرة
26
الحجر
14
حَمَاءٍ مَسْنُوْن
34
الانعام
7
مِنْ نَبَائِ
1
144
ال عمران
4
أَفَائِنْ مَاتَ
39
الانعام
7
يَشَاءِ اللهُ
2
3
القصص
20
مِنْ نَبَائِ مُوْسى
8
الحجر
14
حَمَاءٍ مَسْنُوْن
3

D. Membuang salah satu dari dua wawu
Membuang salah satu dari dua wawu, maka lafadh ini dibaca dengan suara panjang ( mad ) meskipun didalam penulisannya hanya tercantum dengan hanya satu wawu.
Contoh dua wawu yang dibuang salah satunya, tetapi tetap dibaca panjang

الاية
السورة
الجزء
الامثلة
الاية
السورة
الجزء
الامثلة
النمرة
7
الاسراء
15
لِيَسُوْؤا
31
البقرة
1
اَنْبِؤُنِى
1
83
الاسراء
15
يَؤُسا
61
البقرة
1
وَبَاؤُ
2
108
المؤمنون
18
قَالَ اخْسَؤا
90
البقرة
1
فَبَاؤُ
3
27
الاحزاب
21
لَمْ يَطَؤهَا
161
البقرة
2
كَمَا تَبَرَّؤُ
4
66
الصافّات
23
فَمَا لِؤنَ
226
البقرة
2
فَإِنْ فَاؤ
5
49
فصّلت
25
فَيَؤسٌ
255
البقرة
3
ولاَ يَؤُدُه
6
25
الفتح
26
انْ يَطَؤهُم
168
ال عمران
4
فَادْرَؤُا
7
8
الصف
28
لِيَطْفَؤا
146
النساء
5
يُرَاؤُنَ
8
19
الحاقّة
29
اِقرؤُا
69
المائدة
6
والصَّابِؤُنَ
9
20
المزمّل
29
فَاقْرَؤُا
32
التوبة
10
اَنْ يَطْفَؤا
10
6
الماعون
30
يَرَا ؤن
120
التوبة
11
ولاَ يَطَؤُنَ
11
E. Menambah Alif
Pada lafadh : َثمُوْدَا , عُلَمَاؤُا , ُشرَكَاؤُا semua lafadh tersebut jika washol (terus) dibaca pendek, karena alifnya adalah sebagai khot Utsmani, sedangkan ketika waqof ( berhenti ), maka dibaca sukun.
Sedangkan lafadh لَنْ نَدْ عُوَا
Alif yang terdapat pada f’iil mudhori’ bukanlah bentuk tasniyah, akan tetapi lafadh itu asli khot Usmani, maka lafadh-lafadh tersebut dibaca pendek.
Sedangkan lafadh لااَرْ جُمَنَّكَ lam tetap dibaca pendek, sedangkan alifnya adalah tambahn (merupakan khot Utsmani)
Contoh hamzah dibaca pendek ketika washol dan dibaca sukun ketika waqof.

الاية
السورة
الجزء
الامثلة
الاية
السورة
الجزء
الامثلة
النمرة
119
طه
16
لا تَطْمَؤافِيْهَا
5
الانعام
7
انْبؤا ماَ كَانُوا
1
8
النور
18
وَيَدْ رَؤا عَنْهَا
87
هود
12
مَا نَشؤا
2
77
الفرقان
19
مَا يَعْبَؤُا بِكُم
85
يوسف
13
تَفْتَؤُا تَذْكُرُ
3
6
الشعراء
19
اَنْبَا ؤاها
48
النحل
14
يَتَفَيَّؤا ظَلاَلَة
4
18
الزحرف
25
من يُنَشَّؤا
18
طه
16
اتَوَكَؤا عَلَيْهَا
5
4
الممتحنة
28
بُرَء ؤا مِنْكُمْ
76
طه
16
جَزَاؤُا من
6

Contoh (وا) tetap dibaca pendek

الاية
السورة
الجزء
الامثلة
الاية
السورة
الجزء
الامثلة
النمرة
4
محمّد
26
لِيَبْلُوَا
30
الرعد
13
لِتَتْلُوَا
1
31
محمّد
26
وَنَبْلُوَا
14
الكهف
15
لَنْ نَدْعُوَا
2




29
الروم
21
لِيَرْبُوَا
3

F. Penambahan Ya’ dan Wawu
Ya’ yang terletak pada hamzah adalah tambahan, maka lafadh itu dibaca dengan pendek. Seperti بلِقَائِ رَبِّهِمْ huruf sebelum dan sesudahnya dibaca pendek ( alif sebagai tempat dari hamzah sedangkan ya’ adalah asli khot Utsmani.
Begitu juga dengan lafadh أُوْلئك, أُوْلاَتُ dibaca pendek.
Contoh (ئ) harus dibaca pendek satu harokat

الاية
السورة
الجزء
الامثلة
الاية
السورة
الجزء
الامثلة
النمرة
8
الروم
21
بِلِقَائِ رَبِّهِم
15
يونس
11
مِنْ تِلْقَائِ نَفْسى
1
51
الشورى
25
مِنْ وَرَائِ حِجَاب
10
السجدة
21
بِلِقَائِ رَبِّهِم
2
G. Penulisan Alif
Alif yang ditulis dengan menggunakan wawu karena ditulis menurut asal kalimat tersebut. Dan semuanya dibabaca fathah dengan panjang satu alif seperti الصَّلوة , الزّكوة
Begitu juga alif yang berasal dari ya’ ditulis dengan menghadirkan ya’nya. Seperti. يَا حَسْرَ تى , يَا اَسَفى
Sebaiknya dalam mempelajari ilmu tajwid harus mushofahah ( bertemu langsung ) dengan guru yang benar-benar faham dalam ilmu Al Qur an dan fasih dalam melafadhkan ayat Al Qur an, sehingga tidak terjadi kesalah fahaman dalam memahami ilmu tajwid.
Kami sadar bahwa dalam penyusunan buku ini masih banyak kekurangan dan kesalahan. Untuk itu kami mengharap kritik dan saran kepada semua pihak demi kebaikan lebih lanjut.
Tiada gading yang tak retak, justru yang retak itulah yang benar-benar gading. Waallah a’laam bishshowaab.

Semoga bermanfa’at. Amiiiin

DAFTAR PUSTAKA

Al Qur an al Karim, Menara Kudus, Kudus, 1974.
Abil Baqa’ Abdullah Ibn Husain, Imla’ Ma Minna Bihirrahman, Dar Al Fiqr, Beirut, 1993.
Imam Muslim, Shohih Muslim, Sulaiman Maroghi, sangkapura Pinang, tt.
Imam Abi Qosim Ali Ibn Utsman, Sirojul Qori’ Al Mubtadi’, Dar Al Fiqr, Beirut, 1995
Husni Syekh Utsman, Haqqut Tilawah, Jeddah, 1994
K.H. M. Yusuf Masyhar, Qiro ah Muwahhadah, Madrasatul Qur an Tebuireng, Jombang, tt.
K.H. Ma’shum Ali, Jadwal Tajwid, Pondok Pesantren Seblak, Jombang, 1341 H.
Syekh Abil Khoir Syamsuddin Muhammad bin Muhammad bin Muhammad Al Jaziry, Jazariyah , Sa’du Ibn nashir Nabhan, Surabaya, tt.
Syekh Sa’id Ibn Said Nabhan, Syifa’ul Jinan, Maktabah Al Ashriyyah, Surabaya, tt.
Sayyid Syekh Al Kamil Al Adib wa Al Najib Al Labib, Hidayatul Mustafid , Hidayah, Surabaya, tt.
Syekh Sulaiman Ibn Husain Ibn Muhammad Al Jamzury, Tuhfathul Athfal, Bidayah, Surabaya, tt.
Syekh M. Bashori Alwi, Qomus Fi Ma’rifati Al Waqfi wa Al Ibtida’i, Ma’had Dirasah Qur aniyah, Malang.
Syekh M. Bashori Alwi, Pokok-Pokok Ilmu Tajwid, Rahmatika, Malang, 1992.
Syekh M. Makky Nashor, Nihayatul Qoul Al Mufid, Darul Ulum al Islamiyyah, Mesir, tt.
Unit Tahfidh, Study Al Qur an, Madrasatul Qur an Tebuireng, Jombang, 2000.
Selengkapnya...

syatibi karya orang lain

TELAAH KITAB AL-MUWAFAQAT
Karya : al-Imam al-Syathibi

A.Pendahuluan
Musthafa Said al-Khin dalam bukunya al-Kafi al-Wafi fi Ushul al-Fiqh al-Islamy membuat sebuah terobosan baru mengenai kecenderungan aliran dalam Ilmu Ushul Fiqh. Bila sebelumnya hanya dikenal dua aliran saja, yaitu Mutakallimin dan Fuqaha atau Syafi’iyyah dan Hanafiyyah, al-Khin membaginya menjadi lima bagian: Mutakallimin, Hanafiyyah, al-Jam’i, Takhrij al-Furu’ ‘alal Ushul dan Syathibiyyah.
Pembagian ini, hemat penulis, merupakan pembagian terbaru di mana thariqah yang ditempuh Imam Syathibi dalam al-Muwafaqat menjadi salah satu bagian corak aliran yang terpisah dari aliran ushul lainnya. Tidak berlebihan memang, karena dalam coraknya al-Syathibi mencoba menggabungkan teori-teori (nadhariyyat) Ushul Fiqh dengan konsep Maqashid al-Syari’ah sehingga produk hukum yang dihasilkan lebih hidup dan lebih kontekstual.
Ada dua nilai penting, hemat penulis, apabila model al-Syathibi ini dikembangkan para ulama sekarang dalam menggali hukum. Pertama, dapat menjembatani antara “aliran kanan” dan “aliran kiri”. “Aliran kanan” yang dimaksud adalah mereka yang tetap teguh berpegang pada konsep-konsep Ilmu Ushul Fiqh sedangkan “aliran kiri” adalah mereka yang terakhir ini vokal dengan idenya Tajdid Ushul al-Fiqh dalam pengertian perlu adanya dekonstruksi Ushul Fiqh demi menghasilkan produk fiqh yang lebih kapabel. Di antara yang paling vokal menyuarakan konsep ini adalah Hasan al-Turaby dengan bukunya Tajdid Ushul al-Fiqh. Meski sesungguhnya penulis kurang sependapat dengan tayyar al-yasar ini, namun ada hal yang perlu dicatat bahwa apa yang mereka lontarkan adalah karena ketidakpuasannya dengan produk-produk fiqh para ulama yang terlalu terpaku pada teks tanpa mengindahkan konteks. Dengan demikian, produk hukum yang dihasilkan pun menjadi mati, ambigu, bahkan terkadang, menurut mereka, kurang manusiawi.
Keambiguan ini disebabkan methodologi yang ditempuh terlalu ushuli kurang memperhatikan Maqashid al-Syari’ah. Betul, bahwa ulama-ulama Ushul dahulu telah membahas Maqashid al-Syari’ah ini menjadi salah satu bagian dari ilmu Ushul. Hanya saja, perlu dicatat, pembahasan al-mutaqaddimin dengan Maqashid al-Syari’ah ini boleh dikatakan hanya sebagai “lipstik” saja karena pembahasannya yang begitu singkat dan cenderung kurang mewakili. Dengan corak methodologi Imam Syathibi dalam al-Muwafaqat-nya yang mencoba menggabungkan antara teori-teori Ushul dengan Maqashid al-Syari’ah akan menjadi penghubung sekaligus jembatan untuk meng-“ishlahkan” kedua kecenderungan di atas. Memisahkan teori-teori Ushul Fiqh dengan Maqashid al-Syari’ah merupakan kesalahan besar karena tidak semua al-hawadits al-haditsah atau al-qaadimah dapat diselesaikan dengan Maqashid al-Syari’ah an.sich, meskipun Thahir bin Asyur dalam bukunya Maqashid al-Syari’ah al-Islamiyyah secara yakin menjadikan Maqashid al-Syari’ah ini sebagai ilmu mustaqil yang terlepas dari ilmu Ushul Fiqh. Namun, dalam pandangan penulis, sesungguhnya teori-teori dan kerangka yang dikemukakan Thahir bin Asyur sendiri, disadari atau tidak, adalah teori-teori Ushul Fiqh itu sendiri hanya dengan format yang berbeda.
Kedua, model al-Syathibi ini akan lebih menghasilkan produk hukum yang dalam istilah Ibnu Qayyim, al fiqh al-hayy, fiqh yang hidup. Karena itu, fiqh yang terlalu teksbook yang penulis istilahkan dengan Fiqh Ushuly akan berubah menjadi Fiqh Maqashidy. Sedikit penulis mengajak para pembaca untuk bernostalgia ke Indonesia. Dalam pengamatan penulis, ada kesalahan fatal sikap masyarakat Indonesia khususnya terhadap fiqh. Ia lebih dipahami sebagai ilmu yang membahas tentang ritual dan tata cara ibadah an.sich, yang terlepas dari nilai-nilai rububiyyah murni dan nilai-nilai kemanusiaan. Hal ini terlihat misalnya, mereka lebih asyik dengan menempelkan dahi di atas sajadah daripada memperhatikan tetangganya yang bergelut melawan penyakit yang menggerogoti tubuhnya yang kurus kering kurang gizi. Mereka lebih merasa berdosa tidak berdzikir setelah shalat atau makan daging anjing dari pada berbohong, menipu dan korupsi. Paling tidak, kesalahan ini adalah karena fiqh dipahami hanya ibadah yang kaitannya antara manusia dan Tuhan saja.
Ada semacam pembatasan pemahaman fiqh di kalangan masyarakat dewasa ini sehingga lebih mementingakn menghapal syarat sah, syarat wajib, rukun dan lainnya dari pada efek ibadah itu sendiri. Padahal pada awalnya fiqh mencakup pula persoalan tauhid dan akhlak seperti yang terdapat dalam Kitab al-Fiqh al-Akbar karya Imam Abu Hanifah atau Ihya Ulumiddin karya Imam Ghazali.
Dari paparan di atas jelas, kebutuhan untuk memahami dan mengkampanyekan Maqashid al-Syari’ah di samping Ushul Fiqh menjadi sangat penting adanya. Demi menuju ke arah itu, penulis merasa terpanggil untuk mengungkap sekilas perjalanan Imam Sythibi sebagai Bapak Maqashid al-Syari’ah Pertama sekaligus sekilas tentang Maqashid al-Syari’ah versi Syathibi.
B. Biografi Singkat Imam Syathibi
Sebelum memaparkan lebih jauh tentang biografi Imam Syathibi, perlu penulis kemukakan terlebih dahulu bahwa buku yang membahas khusus seputar perjalanan hidup Imam Syathibi ini—sepengetahuan penulis—ada dua buah yaitu yang ditahkik oleh Ustadz Muhammad Abu al-Ajfan: al-Ifadaat wa al-Insyadaat li Syathibi dan Fatawa al-Imam al-Syathibi. Kemudian muridnya, Ahmad Baba Attanbakaty mencoba mengembangkan lebih jauh dalam dua karyanya Nailul Ibtihaj dan Kifayatul Muhtaj. Oleh karena itu, pembahasan kali ini banyak mengacu kepada buku-buku tersebut.
Nama lengkap Imam Syathibi adalah Abu Ishak Ibrahim bin Musa bin Muhammad Allakhami al-Gharnathi. Ia dilahirkan di Granada pada tahun 730H dan meninggal pada hari Selasa tanggal 8 Sya’ban tahun 790H atau 1388 M. Nama Syathibi adalah nisbat kepada tempat kelahiran ayahnya di Sativa (Syathibah=arab), sebuah daerah di sebelah timur Andalusia. Pada tahun 1247M, keluarga Imam Syathibi mengungsi ke Granada setelah Sativa, tempat asalnya, jatuh ke tangan raja Spanyol Uraqun setelah keduanya berperang kurang lebih 9 tahun sejak tahun 1239M.
Granada sendiri awalnya adalah sebuah kota kecil yang terletak di kaki gunung Syulair yang sangat kental dengan saljunya. Karena Granada ini kota kecil dan sangat dingin, maka orang-orang muslim saat itu lebih memilih pindah ke kota Birrah—sebuah kota yang terletek tidak jauh dari Granada—dari pada tinggal di Granada.
Ketika Imam Syathibi hidup, Granada diperintah oleh Bani Ahmar. Bani Ahmar sendiri adalah sebutan untuk keturunan dan keluarga Sa’ad bin Ubadah, salah seorang sahabat Anshar. Sedangkan laqab Ahmar ditujukan kepada salah seorang rajanya yang bernama Abu Sa’id Muhammad as-Sadis (761-763H) karena memiliki warna kulit kemerah-merahan. Orang Spanyol menyebut Abu Sa’id ini dengan al-Barmekho yang dalam bahasa Spanyol berarti warna jeruk yang kemerah-merahan.
Ketika Bani Ahmar berkuasa, kehidupan masyarakat jauh dari kehidupan yang islami bahkan mereka dipenuhi dengan berbagai khurafat dan bid’ah. Kondisi ini semakin parah ketika Muhammad al-Khamis yang bergelar al-Ghany Billah memegang kekuasaan. Bukan hanya seringnya terjadi pertumpahan darah dan pemberontakan, akan tetapi pada masa itu juga setiap ada orang yang menyeru kepada cara beragama yang sebenarnya malah dituding telah keluar dari agama bahkan acap kali mendapat hukuman yang sangat berat. Hampir semua ulama yang hidup pada masa itu adalah orang-orang yang tidak memiliki latar belakang ilmu agama yang cukup dan bahkan tidak jarang meraka yang tidak tahu menahu persoalan agama diangkat oleh raja sebagai dewan fatwa. Oleh karena itu, tidaklah heran apabila fatwa-fatwa yang dihasilkan sangat jauh dari kebenaran.
Imam Syathibi bangkit menentang dan melawan para ulama Granada saat itu. Ia mencoba meluruskan dan mengembalikan bid’ah ke sunnah serta membawa masyarakat dari kesesatan kepada kebenaran. Perseteruan sengit antara Imam Syathibi dan para ulama Granada saat itu tidak dapat dielakkan. Setiap kali Imam Syathibi berfatwa halal, mereka sebaliknya, berfatwa haram tanpa melihat terlebih dahulu kepada nash. Karena itulah, Imam Syathibi kemudian dilecehkan, dicerca, dikucilkan dan dianggap telah keluar dari agama yang sebenarnya.
Hal lain yang disoroti Imam Syathibi adalah praktek tasawwuf para ulama saat itu yang telah menyimpang. Mereka berkumpul malam hari, lalu berdzikir bersama dengan suara sangat keras kemudian diakhiri dengan tari dan nyanyi sampai akhir malam. Sebagian dari mereka ada yang memukul-mukul dadanya bahkan kepalanya sendiri. Imam Syathibi bangkit mengharamkan praktek tersebut karena dinilai telah menyimpang dari ajaran yang sesugguhnya. Menurut Imam Syathibi, setiap cara mendekatkan diri yang ditempuh bukan seperti yang dipraktekkan Rasulullah Saw dan para sahabatnya adalah bathil dan terlarang.
Menurut salah satu riwayat, kecenderungan Hisyam al-Awwal untuk mengambil madzhab Maliki ini adalah ketika dia bertanya kepada dua orang ulama yang satu bermadzhab Hanafi serta yang lain bermadzhab Maliki. Hisyam al-Awwal saat itu bertanya: “Dari mana asalnya Abu Hanifah itu?” Ulama Hanafi menjawab: “Dari Kufah”. Lalu ia bertanya kembali kepada ulama Maliki: “Dari mana asal Imam Malik?” Ulama Maliki ini menjawab: “Dari Madinah”. Hisyam lalu berkata: “Imam yang berasal dari tempat hijrah Rasulullah Saw cukup bagi kami”.
Mulai saat itu, seolah sudah merupakan amar resmi, masyarakat Andalus memegang kokoh madzhab Maliki. Saking berlebihannya ta’asub mereka, mereka tidak lagi mengenal bahkan cenderung tidak bersahabat dengan madzhab-madzhab lainnya terutama madzhab Hanafi sehingga Muhammad Fadhil bin Asyur melukiskan mereka
: “Mereka tidak lagi mengenal selain al-Qur’an dan al-Muwatha’ Imam Malik”. Para ulama yang tidak bermadzhab Maliki saat itu tidak pernah lepas dari cercaan bahkan penyiksaan seperti yang dialami oleh al-Alammah Baqa bin Mukhlid, seorang ulama besar bermadzhab Hanafi. Imam Syathibi melukiskan ulama ini sebagai ulama besar yang tidak ada tandingannya saat itu, ia pernah belajar dari Abu Hanifah, Ahmad bin Hambal dan ulama-ulama lainnya yang berada di luar Andalus. Namun, sayang meninggal karena hukuman dari amir saat itu.
Sekalipun Imam Syathibi seorang ulama Maliki—bahkan Muhammad Makhluf menjadikannya sebagai ulama Maliki tingkatan ke-16 cabang Andalus—namun ia tetap menghargai ulama-ulama madzhab lainnya termasuk madzhab Hanafi yang saat itu selalu menjadi sasaran tembak nomor satu. Bahkan, dalam berbagai kesempatan ia sering menyanjung Abu Hanifah dan ulama lainnya. Kitab al-Muwafaqat sendiri—yang akan kita bahas—sengaja disusun oleh Imam Syathibi dalam rangka menjembatani ketegangan yang terjadi saat itu antara Madzhab Maliki dan Hanafi. Sedangkan sebagai respon terhadap bid’ah dan khurafat yang berkembang saat itu, Imam Syathibi menyusun sebuah karya monumental lainnya yaitu al-I’tisham.
Demikian sekelumit kehidupan Imam Syathibi dan kondisi masyarakat sekitarnya yang melatarbelakangi disusunnya karya-karya agung.
C. Karya-karya Imam Syathibi
Karya-karya Imam Syathibi semuanya mengacu kepada dua bidang ilmu yang menurut istilah Hammadi al-Ubaidy, ulum al- wasilah dan ulum al-maqasid. Ulum al-wasilah adalah ilmu-ilmu bahasa Arab yang merupakan wasilah untuk memahami Ilmu Maqasid. Untuk lebih jelasnya, berikut ini sekilas tentang karya-karya Imam Syathibi:
1. Kitab al-Muwafaqat
Kitab ini adalah kitab paling monumental sekaligus paling dikenal di antara karya-karya Imam Syathibi lainnya. Kitab ini terdiri dari 4 juz dan awalnya kitab ini berjudul al-Ta’rif bi Asrar al-Taklif kemudian setelah Imam Syathibi bermimpi, dirubah menjadi al-Muwafaqat sebagaimana akan dijelaskan lebih jauh di penghujung bahasan ini
2. Kitab al-I’tisham
Buku ini terdiri dari dua juz dan ditulis setelah Kitab al-Muwafaqat. Buku ini mengupas secara panjang lebar tentang bid’ah dan seluk beluknya. Ditulis oleh Imam Syathibi dalam suatu perjalanan khusus dan beliau meninggal terlebih dahulu sebelum merampungkan tulisannya ini.
3. Kitab al-Majalis
Kitab ini merupakan syarah dari Kitab al-Buyu’ yang terdapat dalam Shahih al-Bukhari. Attanbakaty melihat faidah buku ini dengan menyebutnya: “minal fawaid wa al-tahqiqat ma la ya’lamuhu illallah”.
4. Syarah al-Khulashah
Buku ini adalah buku Ilmu Nahwu yang merupakan syarah dari Alfiyyah Ibn Malik. Terdiri dari 4 juz besar dan menurut Attanbakaty buku ini merupakan syarah Alfiyyah Ibn Malik terbaik dari segi kedalaman dan keluasan ilmu yang dipaparkannya.
5. Unwan al-Ittifaq fi ‘Ilm al-Isytiqaq
Buku tentang Ilmu Sharf dan Fiqh Lughah. Buku ini sebanding dengan buku al-Khulashah karya Ibn Jinny. Hanya saja sayang buku ini sudah hilang semenjak Imam Syathibi masih hidup.
6. Ushul an-Nahw
Buku ini membahas tentang Qawaid Lughah dalam Ilmu Sharf dan Ilm Nahwu. Di dalamnya dibahas Qawaid Ashliyyah seputar ilmu tersebut hanya saja sayang buku ini sudah hilang semenjak dahulu.
7. Al-Ifadaat wa al-Insyadaat
Buku ini khusus dibuat sebagai gambaran perjalanan hidup Imam Syathibi sekaligus menyebutkan guru-guru dan murid-muridnya.
8. Fatawa al-Syathibi
Buku ini adalah buku paling bontot. Hanya saja buku ini bukan dikarang langsung oleh Imam Syathibi hanya merupakan kumpulan fatwa-fatwanya yang tersebar dalam Kitab al-I’tisham dan al-Muwafaqat.
Di antara sekian banyak karya Imam Syathibi ini, yang dicetak hanya tiga buah yaitu Kitab al-Muwafaqat, Kitab al-I’tisham dan al-Ifaadat wa al-Insyadaat.
D. Sekilas Tentang al-Muwafaqat
“Qalilun minka yakfiini wa lakin qaliluka la yuqalu lahu qalil”. Demikian salah satu syair yang dikemukakan Rasyid Ridha terhadap dua buah kitab karya Syathibi, yaitu al-Muwafaqat dan al-I’tisham dalam Muqaddimah Kitab al-I’tisham yang ditulisnya. Bahkan ia lebih jauh memberikan dua buah gelar bagi Imam Syathibi yaitu Mujaddid fi al-Islam dengan Kitab al-Muwafaqat-nya dan al-Mushlih dengan Kitab al-I’tisham-nya. Memang layak Imam Syathibi menyandang dua gelar di atas karena dalam al-Muwafaqat ia mencoba memperbaharui pemahaman syari’ah dengan jalan membawa aqal untuk memahami maqasid dan rahasia-rahasia yang terkandung di dalamnya. Sementara dalam al-I’tisham ia mencoba mengembalikan bid’ah kepada sunnah serta mencoba menawarkan konsep untuk membangun sebuah kehidupan masyarakat yang sesuai dengan apa yang dipraktekkan pada masa Rasulullah Saw dan al-Khulafa al-Rasyidun.
Awalnya buku al-Muwafaqat ini diberi judul al-Ta’rif bi Asrar al-Taklif karena mengungkap rahasia-rahasia di balik hukum taklif. Akan tetapi Imam Syathibi merasa kurang cocok dengan nama ini sampai suatu hari ia bermimpi. Dalam mimpinya ini Imam Syathibi bertemu dengan salah seorang syaikhnya, keduanya berjalan dan bercerita dengan seksama. Lalu gurunya itu berkata kepada Imam Syathibi: “Kemarin saya bermimpi melihat kamu membawa sebuah buku hasil karyamu sendiri. Lalu saya bertanya kepadamu tentang judul buku itu dan kamu mengatakan bahwa judulnya adalah al-Muwafaqat. Saya lalu bertanya kembali maknanya dan kamu menjawab bahwa kamu mencoba menyelaraskan dua madzhab yaitu Maliki dan Hanafi”. Setelah mimpi itu, Imam syathibi menggantinya dengan nama al-Muwafaqat.
Dari ungkapan Imam Syathibi di atas tampak bahwa ia mencoba menyamakan kedudukan Imam Malik dan Abu Hanifah. Ia mengangkat kedudukan Imam Malik dan menjadikan Abu Hanifah sejajar dengan kedudukan Ibn al-Qasim, salah seorang murid Imam Malik.
Buku ini terdiri dari 4 juz akan tetapi dilihat dari segi temanya terbagi kepada 5 bagian:
1. Al-Muqaddimah
Ada 13 masalah yang dipaparkan dalam mukaddimah ini sebagai langkah awal dan dasar dalam memahami pembahasan kitab al-Muwafaqat berikutnya.
2. Al-Ahkam
Membahas lima hukum taklifi dan lima hukum wadh’i di samping itu dijelaskan pula keterkaitannya dengan maqasid al-Syari’ah.
3. Al-Maqasid
Pembahasan ini dibahas dalam juz II sampai selesai. Dalam kesempatan ini penulis hanya akan membedah bab ini saja mengingat persoalan ini yang membuat al-Muwafaqat membumbung tinggi.
4. Al-Adillah
Bab ini membahas tentang dua dalil yaitu al-Qur’an dan al-Sunnah serta hukum-hukum lain yang berkaitan dengannya seperti naskh, amr, nahyi dan lainnya.
5. Al-Ijtihad wa al-Tajdid
Bab ini mengupas seputar persoalan ijtihad dan taqlid atau yang lebih dikenal dengan Ahkam al-Ijtihad wa al-Taqlid.
Buku al-Muwafaqat ini pertama kali dikenal di Tunis oleh para mahasiswa dan para ulama Tunis saat itu. Kemudian untuk pertama kalinya dicetak di Tunisia pada tahun 1302 H atau 1884 M di Mathba’ah al-Daulah al-Tunisiyyah dengan tashih dari tiga ulama besar Tunisia saat itu yaitu: Syaikh Ali al-Syanufi, Syaikh Ahmad al-Wartany dan Syaikh Shalih Qayiji. Sedangkan di Mesir baru dicetak pertama kali tahun 1341 H /1922 M atau setelah kurang lebih 38 tahun dicetak di Tunisia. Oleh karena itu, apa yang ditulis Abdullah Darraz dalam Mukaddimah al-Muwafaqat bahwa buku ini pertama kali dicetak di Mesir, menjadi terbantahkan. Kitab ini mulai dikenal di Mesir semenjak Muhammad Abduh mengadakan kunjungan ke Tunisia tahun 1884 M. Sejak kunjungan itulah, Abduh kemudian memperkenalkannnya kepada Mesir dan langsung dicetak dua kali cetakan, yang pertama ditahkik oleh Muhammad Muhyiddin Abdul Hamid (dicetak oleh Maktabah Shabih di Mesir tahun 1969 M ) dan yang kedua ditahkik oleh Syaikh Abdullah Darraz (dicetak oleh al-Maktabah al-Tijariyyah al-Kubra di Mesir tanpa tahun cetakan).
Di antara ulama yang mempunyai peranan sangat penting dalam mempopulerkan kitab ini adalah Muhammad Abduh dan muridnya Muhammad Rasyid Ridha serta murid Rasyid Ridha, Abdullah Darraz. Bahkan Rasyid Ridha melihat kitab al-Muwafaqat ini sebanding dengan al-Muqaddimah-nya Ibn Khaldun. Kitab al-Muwafaqat ini kini menjadi sangat populer bukan hanya di Timur Tengah, tetapi juga di Barat. Di Kanada, Belanda dan Amerika misalnya, al-Muwafaqat menjadi buku pegangan wajib bagi mereka yang mengambil syu’bah Islamic Studies.
Karya-karya besar pun telah banyak dihasilkan, terutama dalam bentuk disertasi dan thesis, dari mengkaji buku ini. Di antara karya-karya dimaksud—sepengetahuan penulis untuk lingkungan Timur Tengah—adalah Ahmad Raisuni; Nadhariyyatul Maqasid Maqasid ‘Inda al-Imam al-Syathibi; Hammadi al-Ubaidhi; al-Syathibi wa Maqasid al-Syari’ah, Abdurrahman Zaid al-Kailani; Qawaid al-Maqasid ‘Inda al-Imam al-Syathibi, Abdul Mun’in Idris; Fikru al-Maqashid ‘Inda al-Syathibi min Khilal Kitab al-Muwafaqat, Abd Majid Najar; Masalik al-Kasyf ‘an Maqasid al-Syari’ah Baina al-Syathibi wa Ibn ‘Asyur, Jailani al-Marini; al-Qawaid al-Ushuliyyah ‘Inda al-Syathibi, Basyir Mahdi al-Kabisi; al-Syathibi wa Manhajatuhu fi Maqasid al-Syari’ah dan Habib Iyad; Maqasid al-Syari’ah fi Kitab al-Muwafaqat li al-Syathibi.
E. Sekilas Tentang Maqashid al-Syari’ah Menurut Imam Syathibi
Imam Syathibi membahas tentang Maqashid al-Syari’ah ini dalam kitabnya al-Muwafaqat juz II sebanyak 313 halaman (menurut buku cetakan Dar al-Kutub al-Ilmiyyah). Persoalan yang dikemukakan di dalamnya sebanyak 62 masalah.
Dalam pembahasannya, Imam Syathibi membagi al-Maqashid ini kepada dua bagian penting yakni Maksud Syari’ (qashdu al-syari’) dan Maksud Mukallaf (qashdu al-mukallaf). Maksud Syari’ kemudian dibagi lagi menjadi 4 bagian yaitu:
1.Qashdu al-Syari’ fi Wadh’i al-Syari’ah (maksud syari dalam menetapakan syariat).
Dalam bagian ini ada 13 permasalahan yang dikemukakan. Namun semuanya mengacu kepada suatu pertanyaan: “Apakah sesungguhnya maksud syari dengan menetapkan syari’atnya itu?”
Menurut Imam Syathibi, Allah menurunkan syariat (aturan hukum) tiada lain selain untuk mengambil kemaslahatan dan menghindari kemadaratan (jalbul mashalih wa dar’ul mafasid). Dengan bahasa yang lebih mudah, aturan-aturan hukum yang Allah tentukan hanyalah untuk kemaslahatan manusia itu sendiri. Syathibi kemudian membagi maslahat ini kepada tiga bagian penting yaitu dharuriyyat (primer), hajiyyat (skunder) dan tahsinat (tersier,lux).
Maqashid atau Maslahat Dharuriyyat adalah sesuatu yang mesti adanya demi terwujudnnya kemaslahatan agama dan dunia. Apabila hal ini tidak ada, maka akan menimbulkan kerusakan bahkan hilangnya hidup dan kehidupan, seperti makan, minum, shalat, shaum dan ibadah-ibadah lainnya. Yang termasuk maslahat atau maqashid dharuriyyat ini ada lima yaitu: agama (al-din), jiwa (al-nafs), keturunan (an-nasl), harta (al-mal) dan aqal (al-aql).
Sebelum penulis memaparkan lebih jauh cara kerja dan aflikasi dari al-dharuriyyat al-khams ini, perlu penulis sampaikan terlebih dahulu urutan kelima dharuriyyat ini baik menurut Imam Syathibi maupun ulama ushul lainnya. Hal ini sangat penting karena berpengaruh pada kesimpulan hukum yang akan dihasilkan.
Urutan kelima dharuriyyat ini bersifat ijtihady bukan naqly, artinya ia disusun berdasarkan pemahaman para ulama terhadap nash yang diambil dengan cara istiqra. Dalam merangkai kelima dharuriyyat ini (ada juga yang menyebutnya dengan al-kulliyyat al-khamsah), Imam Syathibi terkadang lebih mendahulukan aql dari pada nasl, terkadang nasl terlebih dahulu kemudian aql dan terkadang nasl lalu mal dan terakhir aql. Namun satu hal yang perlu dicatat bahwa dalam susunan yang manapun Imam Syathibi tetap selalu mengawalinya dengan din dan nafs terlebih dahulu.
Dalam al-Muwafaqat I/38, II/10, III/10 dan IV/27 urutannya adalah sebagai berikut: ad-din (agama), an-nafs (jiwa), an-nasl (keturunan), al-mal (harta) dan al-aql (akal). Sedangkan dalam al-Muwafaqat III/47: ad-din, an-nafs, al-aql, an-nasl dan al-mal. Dan dalam al-I’tisham II/179 dan al-Muwafaqat II/299: ad-din, an-nafs, an-nasl, al-aql dan al-mal. Perbedaan urutan di atas, menunjukkan bahwa semuanya sah-sah saja karena sifatnya ijtihadi.
Para ulama ushul lainnya pun tidak pernah ada kata sepakat tentang hal ini. Bagi al-Zarkasyi misalnya, urutan itu adalah : an-nafs, al-mal, an-nasab, ad-din dan al-‘aql. Sedangkan menurut al-Amidi: ad-din, an-nafs, an-nasl, al-aql dan al-mal. Bagi al-Qarafi: an-nufus, al-adyan, al-ansab, al-‘uqul, al-amwal atau al-a’radh. Sementara menurut al-Ghazali: ad-din, an-nafs, al-‘aql, an-nasl dan al-mal. Namun urutan yang dikemukakan al-Ghazali ini adalah urutan yang paling banyak dipegang para ulama Fiqh dan Ushul Fiqh berikutnya. Bahkan, Abdullah Darraz, pentahkik al-Muwafaqat sendiri, memandang urutan versi al-Ghazali ini adalah yang lebih mendekati kebenaran.. Cara kerja dari kelima dharuriyyat di atas adalah masing-masing harus berjalan sesuai dengan urutannya. Menjaga al-din harus lebih didahulukan daripada menjaga yang lainnya; menjaga al-nafs harus lebih didahulukan dari pada al-aql dan nasl begitu seterusnya. Salah satu contoh yang dapat penulis kemukakan adalah membunuh diri atau menceburkan diri dalam kebinasaan adalah sesuatu yang dilarang sebagaimana bunyi teks dalam surat al-Baqarah.
Maqashid atau Maslahah Hajiyyat adalah sesuatu yang sebaiknya ada agar dalam melaksanakannya leluasa dan terhindar dari kesulitan. Kalau sesuatu ini tidak ada, maka ia tidak akan menimbulkan kerusakan atau kematian hanya saja akan mengakibatkan masyaqah dan kesempitan. Misalnya, dalam masalah ibadah adalah adanya rukhsah; shalat jama dan qashar bagi musafir.
Maqashid atau Maslahah Tahsinat adalah sesuatu yang sebaiknya ada demi sesuainya dengan keharusan akhlak yang baik atau dengan adat. Kalau sesuatu ini tidak ada, maka tidak akan menimbulkan kerusakan atau hilangnya sesuatu juga tidak akan menimbulkan masyaqah dalam melaksanakannya, hanya saja dinilai tidak pantas dan tidak layak manurut ukuran tatakrama dan kesopanan. Di antara contohnya adalah thaharah, menutup aurat dan hilangnya najis. Ada beberapa qaidah penting yang dikemukakan Imam Syathibi dalam menerangkan keterkaitan atau cara kerja ketiga maslahah di atas yang tidak mungkin penulis kemukakan di sini mengingat panjangnya pembahasan dimaksud. Namun untuk lebih jelasnya dapat dilihat dalam masalah ke-4 halaman 13 buku al-Muwafaqat.
2.Qashdu al-Syari’ fi Wadh’I al-Syari’ah lil Ifham (maksud Syari’ dalam menetapkan syari’ahnya ini adalah agar dapat dipahami).
Bagian ini merupakan pembahasan yang peling singkat karena hanya mencakup 5 masalah. Dalam menetapkan syari’atnya, Syari’ bertujuan agar mukallaf dapat memahaminya, itulah maksud dari bagian kedua.
Ada dua hal penting yang dibahas dalam bagian ini. Pertama, syari’ah ini diturunkan dalam Bahasa Arab sebagaimana firmanNya dalam surat Yusuf ayat 2; as-Syu’ara:195. Oleh kerena itu, untuk dapat memahaminya harus terlebih dahulu memahami seluk beluk dan uslub bahasa Arab. Dalam hal ini Imam Syathibi berkata: “Siapa orang yang hendak memahaminya, maka dia seharusnya memahami dari sisi lidah Arab terlebih dahulu Karena tanpa ini tidak mungkin dapat memahaminya secara mantap. Inilah yang menjadi pokok dari pembahasan masalah ini”. Dengan bahasa lebih mudah, di samping mengetahui bahasa Arab, untuk memahami syari’at ini juga dibutuhkan ilmu-ilmu lain yang erat kaitannya dengan lisan Arab seperti Ushul Fiqh, Mantiq, Ilmu Ma’ani dan yang lainnya. Karenanya, tidaklah heran apabila bahasa Arab, Ushul Fiqh termasuk salah satu persyaratan pokok yang harus dimiliki seorang mujtahid.
Kedua, bahwa syari’at ini ummiyyah, maksudnya untuk dapat memahaminya tidak membutuhkan bantuan ilmu-ilmu alam seperti ilmu hisab, kimia, fisika dan lainnya. Hal ini dimaksudkan agar syari’ah mudah dipahami oleh semua kalangan manusia. Apabila untuk memahami syari’at ini memerlukan bantuan ilmu lain seperti ilmu alam, paling tidak ada dua kendala besar yang akan dihadapi manusia umumnya, yaitu kendala dalam hal pemahaman dan dalam pelaksanaan. Syari’ah mudah dipahami oleh siapa saja dan dari bidang ilmu apa saja karena ia berpangkal kepada konsep maslahah (fahuwa ajraa ‘ala i’tibari al-maslahah).
Di antara landasan bahwa syari’at ini ummiyyah adalah karena pembawa syari’at itu sendiri (Rasulullah Saw) adalah seorang yang ummi sebagaimana ditegaskan dalam firmanNya surat al-Jum’ah ayat 2, al-Araf ayat 158, al-Ankabut 48 dan keterangan-keterangan lainnya. Ada kecenderungan berlebihan dari sebagian ulama yang tidak sesuai dengan sifat syari’ah ummiyyah ini, lanjut Syathibi, yaitu bahwa al-Qur’an mencakup semua bidang keilmuan, baik keilmuan lama ataupun modern. Betul, lanjut Syathibi, al-Qur’an menyinggung dan sesuai dengan berbagai disiplin ilmu, namun tidak berarti al-Qur’an mencakup semuanya, itu semua hanyalah isyarat saja dan bukan sebagai legitimasi semua disiplin ilmu.
Ayat yang sering dijadikan dalil adalah surat an-Nahl 89 yang berbunyi: “Dan Kami turunkan kepadamu al-Qur’an untuk menjelaskan segala sesuatu”, dn surat al-An’am ayat 38 yang berbunyi: “Tidaklah Kami lewatkan sesuatupun dari al-Qur’an”. Menurut Syathibi, kedua ayat di atas mempunyai makna tertentu. Ayat pertama dimaksudkan mengenai masalah taklif dan ibadah sedangkan maksud al-kitab dalam ayat kedua adalah allauh al-mahfudz
3.Qashdu al-Syari’ fi Wadh’I al-Syari’ah li al-Taklif bi Muqtadhaha
Bagian ini dimaksudkan bahwa maksud Syari’ dalam menentukan syari’at adalah untuk dilaksanakan sesuai dengan yang dituntutNya. Masalah yang dibahas dalam bagian ini ada 12 masalah, namun semuanya mengacu kepada dua masalah pokok yaitu: Pertama, taklif yang di luar kemampuan manusia (at-taklif bima laa yuthaq).Pembahasan ini tidak akan dibahas lebih jauh karena sebagaimana telah diketahui bersama bahwa tidaklah dianggap taklif apabila berada di luar batas kemampuan manusia. Dalam hal ini Imam Syathibi mengatakan: “Setiap taklif yang di luar batas kemampuan manusia, maka secara Syar’i taklif itu tidak sah meskipun akal membolehkannya”. Apabila dakan teks Syari’ ada redaksi yang mengisyaratkan perbuatan di luar kemampuan manusia, maka harus dilihat pada konteks, unsur-unsur lain atau redaksi sebelumnya. Misalnya, furman Allah: “Dan janganlah kalian mati kecuali dalam keadaan muslim”. Ayat ini bukan berarti larangan untuk mati karena mencegah kematian adalah di luar batas kemampuan manusia. Maksud larangan ini adalah larangan untuk memisahkan antara keislalman dengan kehidupan di dunia ini karena datangnya kematian tidak akan ada yang mengetahui seorangpun. Begitu juga dengan sabda Nabi: “Janganlah kamu marah” tidak berarti melarang marah, karena marah adalah tabiat manusia yang tidak mungkin dapat dihindari. Akan tetapi maksudnya adalah agar sedapat mungkin menahan diri ketika marah atau menghindari hal-hal yang mengakibatkan marah.
Kedua taklif yang di dalamnya terdapat masyaqah, kesulitan (al-taklif bima fiihi masyaqqah). Persoalan inilah yang kemudian dibahas panjang lebar oleh Imam Syathibi. Menurut Imam Syathibi, dengan adanya taklif, Syari’ tidak bermaksud menimbulkan masyaqah bagi pelakunya (mukallaf) akan tetapi sebaliknya di balik itu ada manfaat tersendiri bagi mukallaf. Bila dianalogkan kepada kehidupan sehari-hari, obat pahit yang diberikan seorang dokter kepada pasien, bukan berarti memberikan kesulitan baru bagi sang pasien akan tetapi di balik itu demi kesehatan si pasien itu sendiri pada masa berikutnya.
Dalam masalah agama misalnya, ketika ada kewajiban jihad, maka sesungguhnya tidak dimaksudkan dengannya untuk menceburkan diri dalam kebinasaan, tetapi untuk kemaslahatan manusia itu sendiri yaitu sebagai wasilah amar makruf nahyil munkar. Demikian pula dengan hukum potong tangan bagi pencuri, tidak dimaksudkan untuk merusak anggota badan akan tetapi demi terpeliharanya harta orang lain. Apabila dalam taklif ini ada masyaqah, maka sesungguhnya ia bukanlah masyaqah tapi kulfah, sesuatu yang tidak mungkin dapat dipisahkan dari kegiatan manusia sebagaimana dalam kacamata adat, orang yang memikul barang atau bekerja siang malam untuk mencari kehidupan tidak dipandang sebagai masyaqah, tetapi sebagai salah satu keharusan dan kelaziman untuk mencari nafkah. Demikian juga halnya dengan masalah ibadah. Masyaqah seperti ini menurut Imam Syathibi disebut Masyaqah Mu’tadah karena dapat diterima dan dilaksanakan oleh anggota badan dan karenanya dalam syara’ tidak dipandang sebagai masyaqah.
Yang dipandang sebagai masyaqah adalah apa yang disebutnya dengan Masyaqah Ghair Mu’tadah atau Ghair ‘Adiyyah yaitu masaqah yang tidak lazim dan tidak dapat dilaksanakan atau apabila dilaksanakan akan menimbulkan kesulitan dan kesempitan. Misalnya, keharusan berpuasa bagi orang sakit dan orang jompo. Semua ini adalah masyaqah ghair mu’tadah yang dikecam oleh Islam. Untuk mengatasi masyaqah ini, Islam memberikan jalan keluar melalui rukhshah atau keringanan.
4.Qashdu al-Syari’ fi Dukhul al-Mukallaf Tahta Ahkam al-Syari’ah
Pembahasan bagian terakhir ini merupakan pembahasan paling panjang mencakup 20 masalah. Namun semuanya mengacu kepada pertanyaan: “Mengapa mukallaf melaksanakan hukum Syari’ah?” Jawabannya adalah untuk mengeluarkan mukallaf dari tuntutan dan keinginan hawa nafsunya sehingga ia menjadi seorang hamba yang dalam istilah Imam Syathibi disebut: hamba Allah yang ikhtiyaran dan bukan yang idthiraran. Atau dalam istilah Dr. Ahmad Zaid: Ikhrajul ‘abd min da’iyatil hawa ila dairatil ‘ubudiyyah
Untuk itu, setiap perbuatan yang mengikuti hawa nafsu, maka ia batal dan tidak ada manfa’atnya. Sebaliknya, setiap perbuatan harus senantiasa mengikuti petunjuk Syari’ dan bukan mengikuti hawa nafsu. Ada beberapa kaidah penting yang perlu dipahami dalam bagian ini dan penulis tidak dapat menjelaskannya dalam bahasa Indonesia. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat dalam al-Muwafaqat Juz II hal. 128-150.
F. Penutup
Demikian sekilas tentang Maqashid al-Syari’ah menurut Imam Syathibi. Gambaran di atas tentunya tidak memberikan pemahaman yang menyeluruh tentang Maqashid Syari’ah itu sendiri, namun paling tidak tergambar bahwa rumusan Imam Syathibi ini lebih sistematis dan lengkap dibandingkan rumusan-rumusan para ulama Ushul sebelumnya.
Apa yang tertulis dalam al-Muwafaqat khususnya dan karya-karta Imam Syathibi lainnya betul-betul telah mempengaruhi pemikiran para ulama. berikutnya semisal Muhammad Abduh, Muhammad Rasyid Ridha, Abdullah Darraj, Muhammad Thahir bin Asyur dan ‘Allal Fasy.
Muhammad Abduh adalah orang pertama yang mengumumkan pentingnya ulama-ulama dan para mahasiswa Timur Tengah untuk mempelajari karya-karya Imam Syathibi terutama al-Muwafaqat. Sama halnya dengan muridnya, Rasyid Ridha. Bahkan bukan saja terpengaruh dengan ide maqashidnya Imam Syathibi, ia juga sangat terpengaruh dengan al-I’tishamnya demi menghidupkan kembali harakah salafiyyah yang sejak lama diusungnya.
Demikian juga dengan Thahir bin Asyur. Ulama asal Tunis ini telah mengarang sebuah buku berjudul Maqashid al-Syari’ah al-Islamiyyah yang sempat menggegerkan ulama Ushul Timur Tengah karena idenya yang mencoba mengenyampingkan Ushul Fiqh dan menggantinya dengan Maqashid al-Syari’ah. Baginya, Maqashid al-Syari’ah merupakan ilmu yang berdiri sendiri (‘ilm mustaqil) dan terlepas dari Ilmu Ushul bahkan Ilmu Ushul dipandangnya sebagai ilmu yang telah usang dan produk fiqhnya cenderung kurang manusiawi. Namun demikian, idenya lahir karena pengaruh dari Imam Syathibi, bahkan Abdul Majid Turki memandang buku Thahir bin Asyur ini sebagai mustalhaman min kitab al-Muwafaqat (jiplakan dari kitab al-Muwafaqat).
Allal Fasy, ulama asal Maroko, juga termasuk meraka yang terpengaruh oleh ide Syathibi. Bukunya Difa’ ‘an al-Syari’ah dan Maqashid al-Syari’ah al-Islamiyyah wa Makarimuha merupakan perluasan dan terkadang pengulangan dari apa yang tertulis dalam al-Muwafaqat. Karena besarnya pengaruh Syathibi dengan al-Muwafaqatnya inilah, ulama-ulama Ushul kemudian sepakat menjadikan Imam Syathibi sebagai Bapak Maqashid al-Syari’ah pertama yang telah menyusun teori-teorinya secara lengkap, sistematis dan jelas. Wallahu a’lam bis shawab.
Selengkapnya...