Wednesday, July 23, 2008

ISLAM DAN PERUBAHAN SOSIAL

ISLAM DAN PERUBAHAN SOSIAL


A. Iftitah.
Yang tergambar pertama kali ketika bertemu dengan sebutan perubahan adalah pasti ada sesuatu yang berbeda dari sebelumnya. Upaya mempertahankan yang lama yang telah usang dan tidak sesuai serupa dengan upaya merekatkan kembali daun-daun yang telah rapuh agar bertahan pada dahannya, atau mengecat kembali daun-daun yang telah menguning dengan warna hijau agar terlihat segar menghijau kembali. Padahal tidak demikian hakikatnya. Semestinya daun yang telah tua dibiarkan rontok agar muncul daun baru yang lebih segar dan menarik. Dengan demikian pohon tetap tumbuh subur, akarnya menghunjam ke tanah dan pucuknya menghasilkan buah tanpa terlepas dari akarnya.
Agar tidak terlepas dari akarnya, manusia sebagai aktor perubahan semestinya tidak melepaskan diri dari bimbingan agama. Agama tidak pernah berubah, yang bisa berubah adalah pemikiran manusia tentang ajaran agama. Pemikiran yang berubah inilah yang memengaruhi perkembangan sejarah manusia dan kemasyarakatan. Dan pilihan untuk perubahan itu diberikan kepada kita, manusia (QS al-Ra’d : 13). Perubahan bisa dibiarkan dinamikanya berkembang sendiri atau diberikan landasan tertentu. Jika dibiarkan dinamika berjalan tanpa dasar, maka akan ada perputaran tanpa bisa kembali. Arus deras perubahan tidak mungkin terelakkan yang melaju tanpa dapat dibendung. Dan dia hanya meninggalkan dua pilihan. Pertama, mandek hingga tergilas olehnya dan mati. Atau kedua, maju bersamanya tanpa melepaskan pelampung yang melindunginya.
Bagaimana Islam menyikapi adanya perubahan dalam hidup dan kehidupan masyarakat? Dapatkah Islam mengawal perubahan yang sedemikian drastis?
B. ISLAM DAN PERUBAHAN SOSIAL
Zaman kita ditandai oleh banyak hal yang antara lain adalah lahirnya aneka perubahan yang menjungkirbalikkan sekian banyak pandangan lama. Kita tentu tidak dapat mengelak dari perubahan, tetapi tidak semua perubahan bersifat positif. Karena itu kita ditantang memilih dan memilah melalui kajian ulang. Islam memandang proses perubahan bukan sebagai hal yang aneh, baru atau luar biasa. Jauh sebelum proses itu ada, Islam sudah diperlengkapi dengan piranti ajaran yang universal sekaligus global, dan eternal, ajaran yang rahmatan lil alalmin. Ajaran Islam bukan ajaran yang anti perubahan. Pedoman pokok ajaran Islam dalam al-Qur`an dan hadis Nabi selalu sesuai untuk semua situasi dan tempat. Ajaran Islam sangat menghargai perubahan, termasuk di dalamnya perubahan karena adanya perbedaan geografis, ekonomi, politis dan sebagainya.
Posisi geografis Indonesia yang berbeda dengan wilayah negara lain, tentu saja, berpengaruh kepada model perubahan di wilayah ini. Kondisi wilayah dengan dua musim dan keadaan alam yang relatif stabil pola hidup bahkan perubahannya jelas berbeda dengan wilayah-wilayah yang ekstrim wilayah kutub, utara-selatan, atau wilayah tandus di benua Afrika misalnya. Begitu pun sistem politk dan ideologi yang dianut tidak kurang memberikan kontribusi yang sangat besar terhadap adanya perubahan. Dalam hal ini syariat Islam bukan tidak dapat diterapkan di tempat-tempat ekstrim ini, karena yang kita tahu bahwa syariat Islam pertama kali muncul di semenanjung Arabia dengan kondisi wilayah yang stabil sehingga berkesan bahwa syariat Islam hanya memberikan pedoman dan hukum untuk wilayah yang normal. Bukan demikian, namun ajaran Islam sanggup mengakomodasi kondisi ekstrim yang ada di mana pun dan kapan pun. Hanya saja kita yang, sedikit-banyak, belum mampu menggali bagaimana ajaran Islam yang sebenarnya karena, sekali lagi, kita tinggal di wilayah yang stabil sebagaimana syariat Islam pertama kali muncul di negara Arab.
Contoh sederhana tentang bagaimana Islam mengakomodasi perubahan dan perbedaan dapat dikemukakan adalah megenai Syariat shalat dan puasa. Syariat “dirikanlah shalat karena adanya pergeseran posisi matahari” dijadikan patokan untuk menandai watu shalat di daerah tropis. Bagaimana di daerah yang bertemu matahari hanya enam bulan sekali seperti di Queensland atau di Rusia yang pada suatu saat dapat melihat matahari dalam waktu 21 jam. Bagaimana syariat shalat di wilayah ini? Syariat shalat dan puasa bukan tidak berlaku, bukan. Pengetahuan tentang ilmu Bumi atau ilmu Geografi dapat menjelaskan di mana posisi lintang dan posisi bujur suatu wilayah. Wilayah dengan posisi lintang yang sama mempunyai waktu yang sama. Sehingga sangat mungkin di penduduk di Irlandia melaksanakan shalat Subuh ketika matahari berada di atas ubun-ubun karena wilayah dengan garis lintang yang sama di daerah tropis menunjukkan waktu shalat Subuh. Demikian seterusnya.
Untuk ajaran-ajaran yang bersifat prinsip dan tidak berubah , al-Qur`an memberikannya dengan gamblang dan tegas. Sedang mengenai persolan yang berkembang dan berubah dari masa ke masa, al-Qur`an hanya memberikan tuntunan umum, berupa prinsip dasar yang dapat dijabarkan umat sepanjang masa sesaui dengan kebutuhan, serta kondisi sosial dan perkembangan masyarakat yang ada. Kita dapat simpulkan bahwa prisnip dasar ajaran Islam adalah pada keyakinan Tauhid, keyakinan adanya prinsip kesatuan. Dari sini lahir prinsip-prinsip bukan saja bidang sosial atau ekonomi semata, namun juga menyangkut segala aspek kehidupan dunia dan akhirat.
Prinsip kesatuan kemanusiaan dalam masalah ekonomi, misalnya, mengantar pengusaha Muslim menghindari eksploitasi terhadap sesama manusia, termasuk kepada non-Muslim. Dari sini dapat dimengerti mengapa Islam mengharamkan riba. Prinsip kesatuan kesinambungan antar generasi mendorong umat untuk berpikir dan mempertimbangkan kepentingan seluruh umat manusia, bukan hanya untuk generasinya namun juga untuk generasi mendatang. Begitu pun dalam sendi kehidupan yang lain, sampai kepada keyakinan kesatuan dunia dan akhirat, mengantar seseorang untuk memilki visi yang jauh ke depan. Tidak hanya berupaya mengejar keuntungan duniawai saja. Dari semua itu dapat melahirkan keyakinan bahwa segala sesuatu bersumber dari Allah dan berkesudahan kepadaNya. Dan karena alllah Maha Adil dan selalu memerhatikan kemaslahatn umat manusia, maka semua ketetapan hukumNya atau produk pemikiran manusia yang dikaitkan dengan namaNya, tentu hgarus bercirikan keadilan dan kemaslahatan.
Dengan prinsip Tauhid ini, proses transformasi sosial budaya, di mana bumi (dunia) dipandang sebagai satu kesatuan sistem yang utuh akibat padatnya arus informasi yang menyebabkan semakin dekatnya hubungan antar bangsa bahkan antar kejadian, dapat disikapi dan diikuti dengan arif dan agama dengan bimbingan Tauhidnya akan memandu manusia menjadi khalifah di muka bumi. Khalifah dalam arti umat yang bergenerasi, satu generasi yang melahirkan generasi berikutnya untuk menjaga amanat memanfaatkan bumi untuk manfaat sebesar-besarnya yang sesuai dengan ajaran Islam.
Harus diakui bahwa tidak mudah menggabungkan antara yang lama dan yang baru. Tidak mudah pula mempertemukan nilai-nilai lama dengan kemajuan kontemporer. Seperti dikatakan oleh Zaki Najib Mahmud, seorang ulama dan filosof dari Mesir, salah satu sebabnya adalah bahwa kemajuan kontemporer bukan produk kita (kaum Muslim), tetapi produk orang lain yang yang masuk ke rumah kita, atau kita persilahkan masuk dan kita menemuinya sebagai raksasa. Kita bingung apa yang harus dilakukan dengan isi rumah kita. Apakah isi rumah kita buang agar sang raksasa dapat masuk, ataukan kita mengatur kebali perabot rumah sehingga sang tamu dapat masuk dan dapat tinggal dengan nyaman serta di saat yang sama tidak ada perabot rumah yang penting yang kita buang.
Agama dalam pengertiannya sebagai wahyu Tuhan tidak akan berubah, tetapi pemikiran manusia tentang ajarannya, terutama dalam hubungan dengan penerapannya di dalam dan di tengah-tengah masyarakat, mungkin berubah. Artinya, perubahan yang dimaksud adalah bukanlah perubahan secara tekstual tetapi perubahan secara kontekstual. Dalam kaitan ini, Fazlur Rahman seorang ilmuwan Pakistan yang kini tinggal di Amerika, menyatakan bahwa suatu penafsiran yang telah diterima tidak harus diterima terus; selalu ada ruang maupun kebutuhan bagi penafsiran-penafsiran baru, karena hal ini sebenarnya adalah proses yang terus berlanjut.
Dalam meyikapi dan mengawal perubahan, sebagaimana dikemukakan, ajaran Islam selalu sanggup menghadapinya. Namun yang perlu diingat tidak semua ajaran Islam dapat dirasionalisasikan. Tayamum sebagai pengganti wudlu. Kalau misalnya kenapa tayamum dengan tanah debu yang dijadikan pengganti wudlu untuk memudahkan, maka kenapa untuk lebih memudahkan syariat wudlu ditiadakan saja dalam kondisi darurat? Ini ghairu ma’qulil ma’na. Atau seperti kata sayyidina Ali :
لو كان الدينُ بالعقل لكان أسفلُ الخُفِّ أولى بالمسح مِن أعلاه, لقد رأيتُ رسولَ الله صلى الله عليه وسلّم يمسح ُخفَّه
“Seandainya agama itu berdasar pertimbangan akal, maka pastilah bagian bawah sepatu lebih pantas diusap dari pada bagian atasnya. (Tetapi) aku melihat Rasulullah saw mengusap (bagian atas) sepatunya”
Penting dikemukakan juga, bahwa upaya rasionalisasi dan reaktualisasi ajaran nabi Muhammad saw di sini adalah dengan selalu memegang nilai-nilai moral al-Qur'an dan ditafsirkan secara kontekstual. Namun bukan berarti meninggalkan begitu saja warisan-warisan ulama terdahulu. Suatu kekeliruan besar dari cendekiawan kontemporer bila mereka meniru secara utuh dan rinci semua pendapat para ilmuwan terdahulu. Ini dapat dinilai sebagai mengingkari amanat ilmiah yang ditinggalkan mereka terdahulu untuk kita pelihara. Memelihara amanah itu adalah memelihara dasar-dasar ilmiah dan metode yang mereka gunakan untuk memandang permasalahan, dan menggunakannya untuk melihat persoalan masa kini. Metodologi dari generasi terdahulu tidak boleh diabaikan walau boleh disempurnakan atau direvisi.
C. Penutup
Kembali kepada al-Qur`an dan al-Sunnah, itulah semboyan yang sering kita dengar walaupun dalam pemahaman dan penerapannya tidak jarang kita saling berbeda atau bahkan berkelahi. Daun yang berguguran mempunyai sisi keindahannya sendiri. Begitu pun putik-putik bunga yang mekar tidak kalah indahnya. Satu yang pasti adalah adanya perubahan dan perubahan tidak mengenal siapa yang di hadapannya. Melawan dan menentang arus untuk kemudian mati tergerus atau maju bersamanya tanpa meninggalkan prinsip ajaran. Demikian sekilas pandang mengenai Islam dan perubahan sosial. Wallahu a’lam.

No comments:

Post a Comment