TERJEMAH AL-QUR'AN
A. Pendahuluan
Al-Qur'an merupakan petunjuk bagi seluruh umat. Al-Qur'an menegskan dirinya bahwa dia adalah bukan hanya petunjuk bagi mereka yang muttaqin (QS al-Baqarah : 2), namun ia juga petunjuk bagi siapa saja yang yang ia harus dapat dipahami oleh umat manusia yang bahasanya berbeda dengan bahasa al-Qur'an, bahasa Arab. Bahkan, tidak sedikit orang-orang yang ada di wilayah Arab dan hidup dengan menggunakan bahasa Arab tetapi mereka tidak mengerti apa yang dimaksud dalam al-Qur'an sebab al-Qur'an mempunyai keindahan bahasa yang sangat tinggi.
Al-Qur'an juga berulang kali menekankan supaya pembaca al-Qur'an tidak hanya sekedar membaca teks tanpa memehami isinya, namun juga agar pembaca mampu memahami isi maupun pesan teks tersebut. Penekanan itu dalam bentuk yang sharih berupa afala yatadabbarun (QS Muhammad : 24), afalam yudabbiru (QS al-Mu'minun : 68), dan afala tatafakkarun atau afala ta'qilun pada banyak tempat. Untuk dapat melaksanakan perintah tadabbur, tafakkur, dan lain sebagainya terhadap ayat-ayat al-Qur'an seseorang yang tidak menguasai bahasa Arab terlebih mereka yang berbahasa ibu bahasa Arab tentu membutuhkan sarana terjemah al-Qur'an. Di samping bentuk sharih untuk tadabbur atau memahami pesan al-Qur'an, terdapat juga perintah tidak langsung akan hal tersebut.
Dalam makalaha ini akan disajikan terjemah al-Qur'an dalam dua karya besar ilmuwan 'Ulum al-Qur'an dari kitab Manahil al-Irfan karya al-Zarqani dan Mabahith fi 'Ulum al-Qur'an karya al-Qattan.
B. Terjemah al-Qur'an dalam Karya al-Qattan
Bab ini diawali oleh al-Qattan dalam kitabnya Mabahits fi Ulum al-Qur'an, dengan paparan bahwa al-Qur'an yang bi lisanin 'arabiyyin mubin namun tidak dikhususkan hanya bagi mereka yang bercakap dengan bahasa Arab. Al-Qur'an ditujukan kepada siapa saja mereka "yang mau" dengan al-Qur'an, baik Arab maupun 'ajam. Juga paparan mengenai bahasa Arab yang kemudian menjadi "bahasa Islam" mengingat al-Qur'an yang diturunkan dalam bahasa itu.
Bahasan terkemudian adalah tentang maksud dari terjemah al-Qur'an, baik terjemah harfiyyah maupun tafsiriyyah.
Terjemah harfiyyah menurut al-Qattan adalah memindah bahasa dari bahasa satu ke bahasa lainnya dengan kosa kata yang semaksud sesuai dengan susunan bahasa asalnya. Sedang terjemah tafsiriyyah adalah menjelaskan makna al-Qur'an dengan bahasa yang berbeda tanpa terikat dengan susunan bahasa aslinya. Terjemah seperti ini dikenal pula dengan terjemah ma'nawiyyah. Menterjemah al-Qur'an ke dalam bahasa lain adalah hal yang mungkin, namun al-Qattan mengingatkan bahwa terjemah al-Qur'an tetap bukan al-Qur'an.
Dalam terjemah ma'nawiyyah, al-Qattan sebagaimana al-Zarqani nanti juga menunjukkan bahwa bahasa Arabnya al-Qur'an mempunyai dua makna, makna asliyyah dan makna tsanawiyah. Ini disebabkan bahwa al-Qur'an merupakan kalam yang baligh. Untuk terjemah ma'nawiyyah, secara hakiki juga dimungkinkan sebagaimana juga terjemah harfiyyah, namun terjemah ini tetap tidak mencukupi dalam mewakili pengungkapan kemu'jizatan al-Qur'an meski hanya dalam sisi susunan bahasa manusia, dalam arti bahasa Arab. Tekanan uatama al-Qattan sekalipun setuju dengan terjemah adalah mengupayakan al-Qur'an disampaikan dalam bahasa aslinya mengingat kandungan huruf-hurf al-Qur'an yang seluruhnya adalah mu'jizat.
Bahasan selanjutnya adalah membaca al-Qur'an berbentuk terjemah dalam sholat. Dalam kaitan ini, al-Qattan meunujuk pendapat yang pro dan kontra, seperti biasa dan ikhtilaf fiqh. Terlepas kepada pendapat yang pro atau yang kontra tentang ini al-Qattan setuju, namun bahasan al-Qattan tentang terjemah tidak sedetail apa yang diungkapkan oleh al-Zarqani.
C. Terjemah al-Qur'an dalam Karya al-Zarqani
Panjang sekali al-Zarqani membahas bab terjemah dalam kitab Manahil al-'Irfan ini. Tertampung dalam juz terakhir dalam karya 2 juz ini, bab terjemah mendapat porsi sekian puluh halaman dan dibahas pada mabhas ketiga belas.
Sebelum memulai bahasannya, al-Zarqani mengantarkan bahwa pembahasan tentang terjemah adalah pembahasan yang penting mengingat bahasan terjemah menjadi perdebatan para pakar, dahulu hingga kini, utamanya berkaitan dengan hukum menterjemah kitab suci termasuk juga kaitannya dengan hukum membaca al-Qur'an sebagai kitab suci dalam versi terjemahnya, apalagi dibaca sebagai bacaan shalat di antara mereka yang pro dan mereka yang kontra. Menunjukkan pula ragam variasi terjemahan al-Qur'an dalam sekian banyak bahasa, di antaranya dalam bahasa Inggris, Perancis, Jerman, dan Itali sebagai versi terjemah al-Qur'an yang paling banyak diterbitkan. Juga bahasa Persia, Turki, China, Latin, Urdu, bahkan dalam bahasa Jawa. Hanya saja terjemah bahasa Jawa ditunjukkan baru diterbitkan dalam satu terbitan, seperti juga yang lain tidak ditunjuk karya siapa dan kapan-dimana diterbitkan.
Diawali dengan pembahasan makna terjemah dari sisi bahasa dan kemudian dalam pengertian 'urf. Bahwa terjemah dalam bahasa Arab tarjamah setidaknya memiliki empat makna yang terfokus pada makna menjelaskan, namun ternyata makna terjemah berbeda dengan makna tafsir, juga ta`wil, yang bermakna menjelaskan pula. Dalam pengertian 'urf, tafsir di sini merupakan bagian dari terjemah di mana dalam terjemah terdapat terjemah harfiyah dan terjemah tafsiriyah. Terjemah dalam pengertian 'urf sendiri bermakna penjelasan atas makna suatu kalimat dari satu bahasa dengan bahasa yang lain tanpa meninggalkan tujuan utama atas makna sempurna kalimat yang dijelaskan.
Dengan pengertian ini, maka menurut al-Zarqani terjemah tafsiriyah merupakan penjelasan atas makna suatu kalimat dengan penjelasan yang memadai sekalipun harus menyalahi kalimat asal demi memenuhi tercapainya maksud penjelasan. Hal ini berbeda dengan terjemah harfiyah yang berusaha menjelaskan dengan tetap terikat susunan kalimat asal.
Dalam kedua cara terjemah, terdapat hal-hal yang mesti dipenuhi yaitu :
1. Penterjemah mutlak harus memahami penggunaan kedua bahasa.
2. Memahami karakter susunan kalimat.
3. Terjemahan harus memenuhi makna termaksud dalam susunan kalimat.
4. Terjemahan harus terpisah dari kalimat asal.
Meskipun sama-sama bermaksud menjelaskan, terdapat perbedaan mencolok di antara keduanya, yaitu ;
1. Dalam terjemah pengguanaan kalimat terjemahnya merupakan susunan tersendiri, lepas dari kaidah kalimat asal. Berbeda dengan tafsir yang masih berusaha menjaga, setidaknya mempertimbangkan, kesesuaian dengan kalimat asal.
2. Dalam terjemah tidak mungkin terjadi istidrod (pembuangan kalimat) sehingga jika dalam kalimat asal terjadi kesalahan, maka dalam terjemahan juga mengikuti. Sementara dalam tafsir, memungkinkan adanya istidrod demi memenuhi maksud dari tafsir dari sisi fiqhnya saja, akidahnya saja, sastranya saja atau lainnya sehingga apa yang tidak ingin dibahas dalam tafsir tidak dihiraukan.
3. Dalam terjemah harus memenuhi kesempurnaan makna termaksud. Sedang dalam tafsir hanya mengacu pada keinginan menjelaskan maksud kalimat sesuai dengan sudut pandang penafsir meskipun harus meninggalkan sudut yang lain.
4. Dalam terjemah diusahakan kesesuaian dengan seluruh makna kalimat asal.
Al-Zarqani mengingatkan tentang terjemah dan tafsir dengan bahasa yang jauh berbeda dengan bahasa asal. Dalam hal ini, antara tafsir yang menggunakan bahasa asing dengan terjemah tafsiriyah cenderung sama. Akan tetapi, kata al-Zarqani, perlu juga disampaiakan bahwa :
1. Tidak ada perbedaan yang urgen antara terjemah harfiyyah dan terjemah tafsiriyah secara hakikat, di mana keduanya berusaha menjelaskan makna.
2. Tafsir dengan bahasa yang sesuai dengan bahasa asal tidak berbeda dengan tafsir dalam bahasa asing.
Mengingat al-Qur'an adalah kalam suci, maka seperti apapun usaha penterjemahan dan penafsiran tentu bukanlah kalam suci. Terjemah tetap terjemah dan tafsir tetap tafsir pula. Kalam al-Qur'an adalah mu'jizat dan terjemah maupun tafsir bukanlah mu'jizat. Kedua usaha dalam terjemah dan tafsir adalah usaha menangkap makna al-Qur'an yang terdiri atas makna asli dan makna tsanawi. Usaha ini adalah dalam rangka menemukan hidayah al-Qur'an yang oleh al-Zarqani terdiri atas hidayah 'ammah, hidayah tammah, dan hidayah wadhihah. Bahasan hidayah ini mengungkap nilai tingginya usaha terjemah dan tafsir bagi pemahaman umat manusia, bahkan jin, atas al-Qur'an.
Pembahasan terpanjang dalam karya al-Zarqani tentang terjemah ini setelah mengemukakan tentang segala sesuatu yang berkaitan dengan terjemah dan tafsir beserta sedikit contohnya adalah pembahasan tentang pro-kontra terjemah dan pembacaanya dalam shalat atau dalam kesempatan lain. Hal ini mengingat bahwa apa yang ada dalam al-Qur'an yang ditunjuk bi lisanin 'arabiyyin mubin secara keseluruhan adalah mu'jizat. Tidak sebagaimana pandangan Mu'tazilah yang menganggap al-Qur'an adalah mu'jizat jika berupa 30 juz penuh, al-Zarqani menunjuk bahwa tiap huruf al-Qur'an adalah mu;jizat sehingga dalam bahasannya al-Zarqani juga mengetengahkan bahasan al-ta'abbud bi tilawatil qur`an.
Sebelum mengakhiri bahasan ini, al-Zarqani memaparkan pendapat para ulama tentang terjemah al-Qur'an. Juga pandangan ulama al-Azhar. Seperti dalam bab lainnya setelah akhir pembahasan, al-Zarqani selalu menutup dengan untaian do'a. Begitu pun dalam bab terjemah ini, al-Zarqani menutup dengan senandung permohonan kepada Dia yang serba Maha.
أحسن الله لنا الخاتمة وجمعنا جميعا على الحق والرشد وجعلنا ممن يستمعون القول فيتبعون أحسنه أولئك الذين هداهم الله وأولئك هم أولوا الألباب
Sunday, May 11, 2008
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment