Resensi Disertasi
HAK-HAK PEREMPUAN DALAM RELASI JENDER
PADA TAFSIR AL-SHA'RAWI
Oleh : Makinudin & Masrokhin
A. PENDAHULUAN
Judul tersebut merupakan judul disertasi dari seorang yang bernama Istibsyaroh yang telah dipertahankan dan diujikan pada sidang ujian disertasi pada tanggal 22 Desember 2003 di program Pasca Sarjana Universitas Islam Negeri (UIN) Sjarif Hidayatullah dengan pembimbing I Prof. Dr. H Ahmad Thib Raya, MA dan pembimbing II Prof. DR. H. Nasaruddin umar, MA.
Disertasi ini telah dipertahankan di hadapan para penguji sebagai berikut :
1. Prof. Dr. H Ahmad Thib Raya, MA.
2. Prof. Dr. H. Nasaruddin umar, MA.
3. Prof. Dr. H. Rif'at Syauqi Nawawi, MA.
4. Prof. Dr. H. Hj. Huzaimah T. Yanggo, MA.
5. Prof. Dr. H. Hamdani Anwar, MA.
Isi disertasi terdiri atas enam bab. Bab I berisikan Pendahuluan yang meliputi latar belakang masalah pokok permasalahan, kerangka teori, tujuan dan kegunaan penelitian, telaah kepustakaan, metodologi penelitian dan sistematika penulisan. Bab II berisikan Muhammad Mutawalli al-Sha'rawi dan Tafsirnya yang meliputi riwayat hidup Muhammad Mutawalli al-Sha'rawi yang terdiri atas latar belakang keluarga, pendidikan dan kariernya, karya-karyanya, pandangan ulama tentang Muhammad Mutawalli al-Sha'rawi, dan pengenalan Tafsir al-Sha'rawi. Baba III berisikan Tinjauan Umum tentang Perempuan dalam Relasi Jender yang meliputi pengertian perempuan dan relasi jender, jender dan seks, jender dan perempuan, jender lintas kultural, teori feminis yang terdiri atas feminisme sosial, feminisme radikal, feminisme liberal. Bab IV berisikan Hak Pribadi Perempuan dalam Tafsir al-Sha'rawi yang meliputi hak pribadi yang terdiri atas hak hidup, hak mengembangkan potensi diri dengan belajar, hak waris, hak memperoleh balasan dari perbuatan, dan hak hijab hak dalam pernikahan yang terdiri atas hak memilih pasangan, hak mendapat mas kawin, menjadi istri, mendidik dan memelihara anak, talak, masa iddah dan poligami. Bab V berisikan hak sosial-politik perempuan dalam Tafsir al-Sha'rawi yang meliputi hak sosial terdiri atas hak kemanusiaan, hak kerja di luar rumah dan sebagai saksi, hak politik terdiri atas hak ikut berjihad dan memegang jabatan,. Dan bab IV Penutup yang meliputi kesimpulan dan saran.
B. BAHASAN
Pendahuluan
Di antara isi pendahuluan dalam disertasi ini adalah identifikasi, pembatasan dan perumusan masalah. Identifikasi masalah dalam disertasi ini adalah sekitar karakteristik relasi jender dan kaitannya dengan kodrat, pandangan al-Sha'rawi tentang hak perempuan dalam relasi jender yang mencakup relasi sosial laki-laki dan perempuan. Dari identifikasi ini kemudian hanya dibatasi hanya hak-hak perempuan yang ada hubungannya dengan relasi jender dalam tafsir al-Sha'rawi yang akhirnya dirumuskan sebagai berikut :
a. Bagaimana hak pribadi perempuan.
b. Bagaimana hak dalam pernikahannya.
c. Bagaimana hak sosialnya.
d. Bagaimana hak dalam politiknya.
Pembaca akan mengalami kesulitan dalam memahami rumusan masalah tersebut jika tidak membaca kalimat sebelum atau sesudahnya. Dalam hal ini, membaca kalimat yang berbunyi "sedangkan yang menjadi obyek penelitian adalah penafsiran ayat-ayat al-Qur'an yang berhubungan dengan hak-hak perempuan yang terdapat dalam tafsir al-Sha'rawi. Begitu juga, jika membaca rumusan pada poin b, c, dan d dengan tidak membaca pada poin a. Karena pada rumusan tersebut menggunakan kata ganti "nya" yang kembali ke kata perempuan. Di samping itu, dalam rumusan masalah tersebut tidak menyebutkan tafsir al-Sha'rawi".
Tujuan dan kegunaan penelitian
Tujuan penelitian disertasi Istibsyaroh adalah :
1. Untuk menemukan data yang berkaitan dengan hak-hak perempuan dalam relasi jender pada tafsir al-Sha'rawi.
2. Mendiskripsikan apakah al-Sha'rawi mengakui adanya hak-hak perempuan dalam relasi jender.
3. Untuk mengembangkan wawasan penulis tentang hak-hak perempuan dalam relasi jender.
Jika diperhatikan tujuan penelitian tersebut, ternyata tidak sesuai dengan rumusan masalah, yaitu:
a. Bagaimana hak pribadi perempuan.
b. Bagaimana hak dalam pernikahannya.
c. Bagaimana hak sosialnya.
d. Bagaimana hak dalam politiknya.
Kegunaan penelitian
Kegunaan penelitian ini diharapkan tidak hanya terbatas pada pengetahuan tentang obyek penelitian yang terpapat dalam bahasan-bahasannya, tetapi juga dapat memberikan konstribusi bagi perkembangan ilmu, terutama ilmu tafsir, maupun bagi perkembangan masyarakat dalam memahami sumber-sumber ajaran Islam.
Secara akademis penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai titik tolak bagi penelitian lebih lanjut tentang ilmu tafsir, khususnya untuk meneliti kitab-kitab al-Sha'rawi lainnya. Sedangkan secara praktis, hasil penelitian dapat dijadikan dasar dan pijakan dasar bagi usaha-usaha untuk meningkatkan kualitas pemahaman terhadap ajaran Islam merupakan bagian yang tidak terlepas dari revisi lembaga pendidikan tinggi semcam universitas Islam negeri ini.
Jika diperhatikan secara seksama, kegunaan penelitian tersebut sulit dipahami karena penulisannya tidak dikelompokkan. Artinya, akan lebih mudah dipahami jika dikelompokkan menjadi kegunaan teoritis dan praktis.
Telaah kepustakaan
Menurut penulis disertasi, judul ini belum dibahas oleh penulis lain. Artinya, jika ada yang membahas, maka bahasannya berbeda. Seperti Salahuddin (penulis tesis S2 UIN Sjarif Hidayatullah) dengan judul "Dimensi Kalam dalam Pemikiran Muhammad Mutawalli al-Sha'rawi. Dengan demikian perbedan antara keduanya yaitu :
1. Istibsyaroh meneliti pemikiran al-Sha'rawi tentang relasi jender dalam Tafsir al-Sha'rawi.
2. Salahuddin meneliti pemikiran al-Sha'rawi tentang kalam dalam Tafsir al-Sha'rawi.
Adapun yang membahas tentang jender yang dikaitan dengan tafsir al-Qur'an atau dalam al-Qur'an dapat diketemukan dalam disertasi tulisan :
1. Nasaruddin Umar "Perspektif Jender dalam al-Qur'an kemudian diubah dengan "Argumen Kesetaraan Jender Perspektif al-Qur'an".
2. Zaitunah Subhan "Tafsir Kebencian, Studi Bias Jender dalam Tafsir al-Qur'an".
Sumber data penelitian
Sumber data primer penelitian ini adalah Tafsir al-Sha'rawi jilid 1 sampai dengan jilid 13 atau juz 1 al-Qur'an sampai dengan awal juz 15. Sedangkan juz berikutnya belum ditulis.
Sumber data sekunder penelitian ini adalah literatur yang berhubungan langsung dengan permasalahan, antara lain "al-Mar'ah fi al-Qur'an " karya Abbas Mahmud al-Aqqad, "Makanah fi al-Qur'an wa al-Sunnah al-Sahihah karya Muhammad Biltaji, "Argumen Kesetaraan Jender" karya Nasaruddin Umar.
Metode analisis penelitian
Metode analisis yang digunakan adalah metode analisis kritis yang digunakan untuk menghubungkan satu teks dengan teks lainya. Kemudian selanjutnya dihubungkan dengan realitas sosial yang berlaku. Dalam hal ini, kritik ada dua macam yaitu kritik internal digunakan untuk mengkritik terhadap ayat jender dalam al-Sha'rawi dan kritik eksternal digunakan untuk mengkritik pendapat lain tentang relasi jender.
Pendekatan penelitian
Pendekatan penelitian adalah pendekatan kualitatif yang mengacu pada pemikiran Weber yang mengatakan bahwa pokok penelitian bukanlah gejala-gejala sosial, tetapi lebih menekankan pada memahami makna-makna yang terkandung di balik tindakan individu yang mendorong terwujudnya gejala-gejala sosial. Di sampimg itu, menmggunakan pendekatan hermeneutika karena obyek penelitian adalah teks masa silam yang memerlukan pemahaman di saat kini dan di masa yang akan datang. Interaksi simbolik dijadikan pendekatan. Hal ini karena pendekatan ini berasumsi bahwa pengalaman manusia dipengaruhi oleh penafsiran. Pendekatan ini digunakan untuk melihat situasi dengan adanya penafsiran yang bias jender
Karena penelitian ini obyeknya ayat-ayat al-Qur'an, maka pendekatannya menggunakan ilmu tafsir yang tahlili dan mawdhui. Metode tahlili yaitu metode tafsir yang mufassirnya berusaha menjelaskan kandungan ayat-ayat al-Qur'an dari berbagai segi yang memperhatikan runtutan ayat-ayat al-Qur'an sebagaimana dalam mushaf. Sedangkan metode mawdhu'i yaitu menghimpun ayat-ayat al-Qur'an dari berbagai surat yang berkaitan dengan topik yang ditetapkan, kemudian dianalisis kandungan ayat-ayat tersebut sehingga menjadi kesatuan yang utuh. Metode mawdlui lebih banyak dipakai karena lebih sesuai dengan fokus yaitu relasi jender. Penggunaan mawdlui digunakan secara terpadu dengan content analysis, karena keduanya menganalisis secara tuntas dan kritis tentang makna suatu teks.
Kerangka teori
Di antara isi yang terkandung dalam kerangka teori, penulis (Istibsyaroh) menjelaskan tentang makna lafal "nafsin wahidah" lafal ini oleh mufassir tradisioanal diartikan Adam dan lafal "zaujaha" diartikan Hawa' yang berasal dari tulang rusuk Adam. Sedangkan mufassir kontemporer seperti Muhammad Abduh dan Rashid Ridla yang berpendapat bahwa "nafsin wahidah" kepada Adam bukan inti yang terkandung dalam ayat.
Dalam disertasi dijelaskan apabila konteksnya tersebut dipahami sebagai Adam, maka konsekuensinya kata yang datang sesudahnya harus dituliskan dengan bentuk ma'rifah. Tetapi, dalam kenyataannya ayat tersebut ditulis dengan bentuk nakirah. Pernyataan ini sulit dipahami karena dalam kenyataan, ayat tersebut ditulis dengan nakirah padahal di dalam al-Qur'an bukan berbentuk nakirah, tetapi bentuk ma'rifah yaitu zawjaha (lafal sesudah nafsin wahidah).
C. MUHAMMMAD MUTAWALLI AL-SHA'RAWI DAN TAFSIRNYA
Muhammad Mutawalli al-Sha'rawi
Al-Sha'rawi lahir pada hari Ahad 17 Rabi' al-Tsani 1329 H. bertepatan dengan 16 April 1911 M. Di desa Dagadus kecamatan Maitghawair kabupaten Dakhaliyah. Dia diberi gelar ayahnya dengan sebutan al-Amin dan gelar ini dikenal di daerahnya.
Al-Sha'rawi mempunyai tiga anak laki-laki dan dua anak perempuan, yaitu Tsani, Abd al-Rahim, Ahmad, Fatimah dan Shalihah. Sedangkan nasab dia dari ayah dan ibunya berakhir pada imam Khusain Ali keturunan Ahl al-Bayt. Dia tidak menginginkan agar kejelasan nasabnya dibeberkan secara jelas dalam masyarakat karena dia menggetahui tidak semua manusia dapat menerima dan mengerti keberadaan nasab yang disandang. Karena al-Ahram Kairo memberitakan bahwa al-Sha'rawi menangkis kitab-kitab yang memuat dan membicarakan tentang nasabnya panjang lebar dengan penelitian lebih lanjut dan perolehan izin dari dia.
Istibsyaroh memberikan komentar bahwa pada hakikatnya nasab seseorang dapat dilihat dari awalnya. Sejarah meriwayatkan dan mengupas habis kekafiran putra Nuh padahal sudah tidak diragukan lagi anak tersebut keturunan nabi. Juga kisah ayah Nabi Ibrahim. Termasuk kisah Abu Lahab, Abu Jahal sedangkan mereka adalah paman Nabi saw.
Pendidikan al-Sha'rawi dimulai dari hafalan penulis terkenal di daerahnya Syaikh Abd al-Majid Pasha dan diselesaikan pada usia sebelas tahun. Sedangkan pendidikan resminya diawali dengan sekolah dasar al-Azhar Zaghaziq pada tahun 1926 M. Setelah sekolah dasar selesai pada tahun 1932 M dia melanjutkan jenjang sekolah menengah di Zaghaziq dan tamat pada tahun 1936 M. Kemudian melanjutkan pendidikan di Univertsitas al-Azhar jurusan bahasa Arab pada tahun 1937 M sampai dangan 1941 M dan pada tahun 1940 M melanjutkan ke doktoral dan memperoleh gelar alamiyah (sekarang Lc.) dalam bidang bahasa dan sastra Arab.
Karya-karya al-Sha'rawi
Istibsyaroh mengatakan bahwa al-Sha'rawi tidak menul,is karangannya. Beliau berpendapat bahwa kalimat yang disampaikan secara langsung dan diperdengarkan akan lebih mengena dari pada kalimat yang disebarluaskan dengan perantara tulisan, sebab semua manusia akan mendengar dari nara sumber yang asli. Hal ini sangat berbeda dengan bahasa tulisan karena tidak semua orang mampu membacanya. Namun demikian beliau tidak menafikan kebolehan untuk mengalihbasakannya menjadi bahasa tulisan dan tertulis dalam sebuah buku karena tindakan ini membantu program sosialisasi pemikirannya dan mencakup manfaat yang lebih bagi manusia secara keseluruhan.
Al-Sha'rawi tidak memiliki tempat kerja. Di dalam ruangannya hanya terdapat sajadah dan al-Qur'an di sebelahnya atau di tangannya. Pemikiran-pemikirannya disampaikan secara spontan dalam berbagai seminar atau pertemuan khusus. Beliau tidak menulis dan jikalau menulis, beliau melakukannya dengan teliti dan mengolah pemilihan kalimat dengan kecerdasan yang luar biasa.
Ahmad al-Sha'rawi berkata :
Pengumpulan karangan imam al-Sha'rawi bukan perkara yang sangat mudah. Hal ini tidak akan bisa dilakukan dengan rentang waktu sehari semalam karena al-Sha'rawi berkecimpung dalam bidangnya (ceramah) selama 50 tahun. Kendati demikian kami tetap berupaya mewujudkan cita-cita tersebut. Kami nberusaha memperoleh salinan ucapan ayahanda kami dari stasiun televizi Mesir, namun mereka menoilak permintaan kami. Akhirnya kami mnembeli membeli dan mengunpulkannya. Adapun bagian-bagian interpretasi al-Sha'rawi terhadap al-Qur'an yang tidak ditemukan pada siaran televisi, kami memperolehnya dari rekaman siaran radio dengan prosentase 90 % penafsiran tersebut berkenaan dengan juz 'amma dan kami mencoba mengadakan pengumpulan bagian lain.
Di antara karangan al-Sha'rawi diterbitkan oleh Akhbar al-Yaum, dan Maktabah al-Turats al-Islami di bawah naungan Abd Allah Hajjaj. Akan tetapi penerbitan ini tidak terlepas dari pengawasan Majma' al-Sha'rawi al-Islami. Jadi dua lembaga inilah yang mempunyai wewenang publikasi atas karya al-Sha'rawi. Namun sangat disayangkan kami tidak dapat mengadakan pengawasan ekstra karena tidak sedikit pebnerbit yang memalsukan kitab-kitab itu. Di samping itu, karya-karya al-Sha'rawi juga diterbitkan oleh penerbit Dar al-'Audah Beirut.
Pandangan ulama tentang Muhammad Mutawalli al-Sha'rawi
Beberapa ulama dan sarjana memberi komentar dan pendangannya kepada al-Sha'rawi. Di antaranya :
Dr. Abd al-Fattah al-Fawi, dosen falsafah di Unversitas Dar al-Ulum Kairo berkata : Syekh al-Sha'rawi bukanlah orang yang tekstual, beku di hadapan nash, tidak terlalu cbderung kepada akal, tidak pula sufi yang hanyut dalam ilmu kebatinan, akan tetapi beliau menghormati nas. Memakai akal dan terpancar darinya keterbukaan dan kekharimatikannya.
Senada dengan Abd al-Fattah, Dr, Yusuf al-Qardlawi mengatakan : al-Sha'rawi sebagai penafsir yang handal. Penafsirannya tidak terbatas pada ruang dan waktu, tetapi mencakup kisi-kisi kehidupan leinnya, bahkan dalam kesehariannya ia terkesan menggandrungi sufisme, kendati sebagian orang menentang kehidupan sufi. Ia tetap bersikukuh dengan prinsip hidupnya.
D. HAK PRIBADI PEREMPUAN DALAM TAFSIR AL-SHA'RAWI
Hak waris
Dalam tulisan Istibsyaroh dijelaskan tentang penafisran al-Sha'rawi tentang al-Nisa` : 12 sebagai berikut :
"Ayat tersebut menjelaskan tentang haknya satu laki-laki seperti dua orang perempuan, ini merupakan suatu keadilan. Sebab kalau istri meninggal dunia kemudian laki-laki itu menikah lagi, ia tetap menanggung kewajiban memberi nafkah. Kalau suami meninggal dan istri menikah lagi, ia mendapat waris dan mendapat nafkah dari suami yang baru".
Istibsyaroh menyatakan sebagai berikut :
"Tetapi perlu diketahui jika istri meninggal suami juga mendapat waris sehingga pendapat tersebut kurang dapat dipertanggungjawabkan".
Uraian di atas ditanggapi penulis sebagai berikut :
1. Apa benar pendapat tersebut adalah penafsiran al-Sha'rawi. Hal ini, karena ayat tersebut tidak menjelaskan haknya satu laki-laki seperti dua perempuan dengan alasan sebagaimana di atas. Artinya, jika penafsirannya demikian, maka akan lebih tepat jika bahasannya berkaitan dengan al-Nisa : 11. Kemungkinan, Istibsyaroh keliru dalam memahami sumber.
2. Istibsyaroh menyebutkan kata-kata "tetapi perlu diketahui jika istri meninggal suami juga mendapat waris sehingga pendapat tersebut kurang dapat dipertanggungjawabkan", pendapat ini tidak tepat untuk diungkapkan. Hal ini, walaupun dia mempunyai bagian 1/2 atau 1/4, tetapi punya tanggung jawab untuk menjalani hidup. Artinya, jika mendapatkan 1/2 dia mendapat modal untuk berusaha yang pada waktunya dia akan menikah lagi. Atau jika tidak menikah, dia mempunyai tanggung jawab untuk menghidupi keluarganya apalagi mempunyai orang tua yang sudah tua dan sakit. Begitu juga jika dia mempunyai anak dari almarhumah maka dia masih tetap mempunyai tanggungan untuk membesarkan dan mendidik dengan baik yang mebutuhkan biaya banyak.
Dalam hal. 120 Istibsyaroh menyatakan sebagai berikut :
"Yang menjadi persoalan terhadap ayat ini ialah ketentuan bagian waris laki-laki dan perempuan 2 : 1, apakah ketentuan itu bersifat diskriminatif"
Pernyataan tersebut tidak tepat, karena hali waris yang mendapatkan 2 : 1 itu bukan laki-laki, tetapi anak laki-laki.
Al-Sha'rawi menyatakan bahwa bagian 2 : 1 bagi anak laki-laki adalah tidak diskriminatif dengan argumen yang panjang dan lebar. Oleh karena itu, sangat janggal jika kemudian Istibsyaroh menyatakan sebagai berikut :
Menurut hemat penulis (Istibsyaroh) keseluruhan bagian perempuan dalam waris tidak semuanya mencerminkan perbandingan 2 : 1. Hal ini terbukti dalam bagian laki-laki dan perempuan 2 : 1 itu ketika mereka sebagai anak. Ketika perempuan menjadi istri, bagiannya 1/4 kalau suaminya yang meninggal dunia tidak mempunyai anak. Ketika menjadi ibu, bagiannya sama dengan bapak yaitu 1/6 apabila mempunyai anak. Apabila tidak mempunyai anak atau saudara, bagian ibu 1/3. Ketika menjadi saudara, baik perempuan maupun laki-laki, bagiannya sama yaitu seperenam.
Dalam pernyataan Istibsyaroh tersebut terdapat kesalahan yaitu:
1. Apabila tidak mempunyai anak atau saudara, bagian ibu 1/3. Pernyataan ini sebenarnya tidak perlu menyertakan saudara. Artinya, pernyataan yang benar adalah "apabila tidak mempunyai anak, bagian ibu 1/3, tidak perlu menyatakan "atau saudara". Hal ini menimbulkan kekaburan karena hanya menyebut "saudara" tidak menentukan jumlah saudara. Artinya, baru benar jika penyebutan saudara itu satu saudara yakni ibu mendapat 1/3 sedangkan ibu bersama saudara yang lebih dari satu, maka bagiannya 1/6.
2. Ketika menjadi saudara, baik perempuan maupun laki-laki, bagiannya sama yaitu 1/6. Pernyataan ini sulit dipahami sebagaimana pada "ketika menjadi saudara" yang sebenarnya "ketika bersama saudara". Walaupun demikian tetap salah jika "saudara" itu tidak diberi penjelasan "lebih dari satu". Hal ini karena dalam al-Qur'an disebutkan bagian itu adalah 1/6 jika bersama "إخوة" bukan أخ atau أخت.
Pada tulisan berikutnya Istibsyaroh menyatakan sebagai berikut :
Di samping itu, pendapat al-Sha'rawi tentang bagian laki-laki dan perempuan 2 : 1 karena laki-laki memberi nafkah kepada istri tersebut, tidak dapat dipakai sebagai alasan untuk menyatakan keadilan Allah karena bagaimana halnya kalau laki-laki tidak beristri. Bahkan pada tulisan selanjutnya berbunyi :
"Perlu diketahui bahwa al-Sha'rawi dalam menafsirkan ayat 11 dari surat al-Nisa masih menggunakan pendekatan yang sangat tesktual. Oleh karena itu, pertanyaan tersebut tidak dapat terjawab oleh pemikiran al-Sha'rawi di atas. Sebenarnya ayat ini dapat dipahami dalam konteks yang lebih luas dengan melihat lebih jauh terhadap latar belakang kondisi soiologis masyarakat saat itu. Latar belakang sosio hoistorisnya adalah mereka para perempuan dalam masyarakat Arab tidak memiliki hak apapun terhadap warisan. Bahkan, dalam kondisi ekstrem jahiliyyah mereka justru menjadi "harta" warisan ketika suami mereka meinggal. Untuk mengubah kondisi itu al-Qur'an mendobrak cara yang sangat diskriminatif itu menuju tatanan masyarakat yang lebih berkeadilan dengan memberikan hak kepada perempuan atas warisan setengah dari bagian laki-laki. Tentu saja angka perbandingan 2 : 1 itu dengan mempertimbangkan kondisi psikologis masyarakat Arab.
Dengan melihat latar belakang itu ayat tentang pembagian warisan harus dibaca sebagai proses awal menuju kesamaan hak antara laki-laki dan perempuan sehingga pada saat yang telah memungkinkan, bukan suatu hal yang bertentangan dengan nash jika perempuan diberikan bagian diberikan lebih dari setengah bagian laki-laki.
Perempuan mendapat bagian lebih dari setengah bagian laki-laki tersebut dengan cara musyawarah antara ,mereka yang mendapat bagian waris. Tetapi apabila yang mendapat bagian waris itu ada yang belum baligh, musyawarah tidak diperkenankan. Perubahan tersebut tidak berarti teks al-Qur'an.
Dalam tulisan di atas Istibsyaroh tidak setuju atas alasan yang dikemukakan al-Sha'rawi bahwa ia menyatakan tidak dapat dipakai sebagai alasan untuk menyatakan keadilan Allah karena bagaimana kalau laki-laki tidak beristri.
Pernyataan Istibsyaroh itu tidak tepat sebab walupun tidak beristri dia mempunyai tanggung jawab untuk dirinya, oang tuanya, dan masyarakat dalam membangun daerahnya karena laki-lakilah yang menjadi penggerak pembangunan. Bahkan Istibsyaroh menyatakan pembagian waris harus dibaca sebagai proses awal, padahal harus diingat bahwa setelah nabi Muhammad saw. sudah tidak ada ayat lagi tentang warisan. Artinya, jika Istibsyaroh membuat cara lain melalui cara musyawarah, maka hal itu tidak merubah ketentuan waris tetapi hanya ditempuh jika ada keluarganya ada kesepakatan untuk membagi warisan yang perempuan lebih banyak dari laki-laki. Dalam hal ini, pertama harus diketahui pembagian sesuai dengan ayat waris kemudian dilakukan pembagian lain karena warisan tergolong bidang mu'amalah sehingga dapat dilakukan metode saling rela. Oleh karena itu, sangat wajar jika hal ini tidak dapat dilakukan jika ada ahli waris yang belum baligh karena dia belum cakap bertindak (ahliyah).
Dalam hak menjadi istri
Istibsyaroh setelah mengemukakan pendapat dari para mufassir mengenai الرجال قوّمون على النساء kemudian ia meyimpulkan bahwa قوّمون berarti laki-laki adalah penjaga, penanggung jawab, pemimpin, pendidik, penguasa kaum perempuan. Padahal penafsiran yang bercorak demikian pada dasarnya berhubungan dengan situasi kultural waktu tafsir itu dibuat yang sangat merendahkan perempuan.
Istibsyaroh dalam memahami al-Baqarah : 228 menyimpulkan sebagai berikut :
1. Derajat lebih tinggi yang dimaksud dalam ayat di atas menurut al-Sha'rawi dijelaskan oleh al-Nisa` : 34 yang menyatakan bahwa laki-laki (suami) adalah pemimpin terhadap perempuan (istri) sebagaimana penjelasan di atas.
2. Penulis (Istibsyaroh) bahwa derajat laki-laki lebih tinggi daripada perempuan ayat tersebut hubungannya dengan masalah talak karena dalam talak laki-laki berhak menentukan, meskipun perempuan juga mempunyai hak. Bukan masalah kepemimpinan dalam rumah tangga.
3. Di samping kata الرجال pada ayat tersebut menurut Nasaruddin Umar adalah laki-laki tertentu yang mempunyai kapasitas tertentu karena tidak semua laki-laki mempunyai tingkatan lebih tinggi daripada perempuan. Tuhan tidak menyatakan وللذكر بالمعروف عليهن درجة . Karena jika demikian, maka secara alami semua laki-laki mempunyai tingkatan lebih tinggi dariupada perempuan.
4. Sementara menurut Ibn Usfur, para ulama membolehkan kata ال dalam الرجال menjadi na'at atau bayan. Kalau ال menjadi bayan berarti لتعريف الخضور menunjukkan yang datang, bukan jenis. Kalau ال menajadi na'at berati menjadi للعهد menunjukkan pembatasan.
Dari sini menjadi jelas bahwa laki-laki dalam al-Baqarah : 228 berarti tidak semua laki tetapi laki-laki tertentu yang mempunyai kapasitas tertentu.
Apa yang diuraikan di atas ternyata ada yang tidak jelas tatkala menjelaskan pendapat ibn Usfur dalam menjelaskan ال menjadi bayan berati لتعريف الخضور (yang datang) dan menjadi na'at berarti للعهد (berarti pembatasan). Dalam hal ini, Istibsyaroh kurang memberikan penjelasan tentang li لتعريف الخضور dan للعهد sehingga sulit dipahami. Oleh karena yang dimaksud untukl li لتعريف الخضور dan للعهد.
Hak istri dalam masa iddah
Istibsyaroh menyatakan pendapat al-Sha'rawi kurang dapat dipertanggungjawabkan karena bagi perempuan hamil nikahnya sampai melahirkan tidak ada ketentuan iddah terpanjang karena fungsi iddah adalah menjelaskan bahwa kandungannya sudah kosong, artinya tidak hamil. Hal ini pun digunkan untuk menentukan nasab dari anak yang dalam kandungan berarti kalau sudah lahir iddahnya sudah selesai dan dapat nikah lagi kalau perempuan mengingikankannya.
Sebenarnya fungsi iddah sebagai alat untuk mengetahui kandungan adalah tidak tepat. Hal ini karena ada perempuan tunggu iddah yang sudah berhenti haidh yang berarti tidak perlu melihat kandungan. Artinya, ada fungsi iddah yang lain seperti memberikan kesempatan berfikir atau merenungkan kembali apa yang telah terjadi sebelum cerai atau mati.
Hak sebagai saksi
Istibsyaroh menyatakan dalam persperktif hermeneutik ayat 282 al-Baqarah yang berbicara tentang syahadah (saksi) harus dilihat sebagai respon terhadap fakta sejarah pada saat mana ayat tersebut turun. Dengan demikian, ketika fakta sejarah telah berubah, maka tidak tertutup kemungkinan reinterpretasi terhadap ayat-ayat tersebut dengan melihat secara komprehensif terhadap samua lingkar konsentris hermenutisnya yakni hal-hal yang melatar belakangi teks maupun hal-hal melatarbelakangi pembaca (penafsir) yang selalu terkait dengan waktu dan tempat tertentu.
Jadi ayat tersebut harus dipandang secara kontekstual bukan normatif karena ada tujuh ayat lain dalam al-Qur'an yang menyebutkan tentang kesaksian tetapi tidak satu pun yang menyebutkan saksi satu orang laki-laki digantikan dua perempuan yaitu :
a. Al-Maidah : 106 saksi tentang wasiat bagi orang yang akan mati hendaknya disaksikan oleh dua orang saksi tidak dijelaskan jenis kelamin apakah laki-laki atau perempuan dengan kalimat اثنان ذوا عدل . Berati dua saksi itu dapat keduanya laki-laki, keduanya perempuan atau satu laki-laki dan satu perempuan yang penting adil dan dapat dipercaya. Saksi masalah wasiat adalah kewajiban. Seandainya telah memandang rendah kepada perempuan, maka dijelaskan perempuan tidak dapat diberi tanggung jawab. Dengan demikian jelaslah bahwa dua saksi perempuan sebagai ganti satu saksi laki-laki yang tertera dalam al-Qur'an surat al-Baqarah : 282 itu mempertimbangkan situasi dan kondisi serta konteks yang khusus bukan karena interpretasi inferioritas intelektual atau moral perempuan
b. Al-Maidah : 107 menerangkan bahwa apabila keempat saksi itu curang, maka dapat diganti saksi dari kalangan ahli waris tetapi disyaratkan dengan sumpah.
Penyebutan "keempat saksi" dalam al-Maidah : 107 adalah "salah". Hal ini karena yang benar adalah dua orang saksi, bukan empat saksi. Artinya, jika saksi dua yang pertama curang, maka diganti dengan dua orang saksi bukan dengan ditambah dua menjadi empat.
c. Al-Nisa : 15 menerangkan tentang perbuatan keji harus disaksikan empat orang saksi tidak disebutkan jenis kelamin. Memahami kalimat منكم yang berarti laki-laki atau perempuan.
Alasan lafal منكم untuk menunjuk laki-laki atau perempuan tidak tepat karena yang menjadi pembahasan itu bukan منكم tetapi ارحام. Oleh karena menurut kaidah bahasa Arab jika 'adad itu muanats, maka ma'dud mudzakar. Artinya, kata منكم tidak dapat dijadikan alasan untuk laki-laki atau perempuan bahkan lafal sesudah منكم lebih jelas lagi menunjukkan laki-laki dengan bentuk jama muzakar salim (فإن شهدوا.)
d. Al-Nur : 4 menerangkan mereka yang menuduh perempuan berbyat keji hars disaksikan empat saksi.
e. Al-Nur : 6 menyebutkan mereka yang menuduh istrinya berbuat keji dan tidak dapat mendatangkan empat saksi sebagai gantinya adalah mendatangkan empat saksi.
f. Al-Nur : 8 menerangkan istri yang dituduh berbuat keji untuk menyatakan bahwa suamonya berbiohongh adalah memaki sumpah empat kali. Dengan demikian, seorang perempuan tidak mhanya mempunyai hak untuk menjadi saksi, dapat juga membatalkan kesaksian laki-laki karena sumpah dilakukann sebagai ganti saksi.
g. Al-Talak : 2 menjelaksan perempuan yang cerai setelah mendekati habis iddhanya apakah rujuk atau pisah diperintah untuk memakai saksi dua orang yang adil dengan istilah ذوا عدل منكم dan menegakkan kesaksian itu karena Allah. Kata منكم tidak menunjuk jenisn kelamin. Artinya, boleh dua laki-laki, dua perempuan, atau satu laki-laki dan satu perempuan.
Berdasar ketentuan tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa saksi perempuan diakui sama dengan saksi laki-laki, tidak ada perbedaannya diantaranya, khususnya masalah keuangan, kalau perempuan menyaksikannya maka dia berhak menyaksikan sendiri,kalaupun ada perempuan lain fungsinya hanya sebagai pengingat atau penguat.
Pernyataan Istibsyaroh pada al-Talak : 2 tidak tepat karena lafal ذوا عدل itu menjadi sifat dari lafal اثنين yang tersembunyi yang menunjukkan laki-laki. Artinya, lafal منكم dijadikan alasan untuk menunjukkan laki-laki atau perempuan, tetapi harus diambil dari lafal ذوا عدل.
Istibsyaroh selanjutnya menyatakan "berdasarkan ketentuan tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa saksi perempuan diakui sama dengan laki-laki tidak ada perbedaan di antaranya khususnya masalah keuangan. Kalau perempuan menyaksikannya, maka ia berhak menyaksikan sendiri kalaupun ada perempuan lain fungsinya hanya sebagai pengingat atau penguat.
Berdasarkan pernyataan Istibsyaroh tersebut dapat dipahami bahwa dia tidak menggunakan kaidah bahasa Arab terkait dengan adad dan ma'dud yang sejak al-Qur'an diturunkan kaidah tersebut sudah harus dijadikan alat untuk memahami bahasa Arab termasuk al-Qur'an. Artinya, Istibsyaroh tidak menerima penggunaan kaidah adad dan ma'dud lebih baik dia tidak menggunakan dasar lafal " منكم " tetapi lebih baik menggunakan keadaan orang yang menjadi saksi, yaitu adil, tanpa melihat laki-laki dan perempuan. Hal ini apakah dapat dikategorikan menggunakan hermeneutik yang lepas dari kaidah bahasa Arab.
Sunday, May 11, 2008
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment