Tuesday, May 06, 2008

PERKAWINAN BEDA AGAMA

Makalah
PERKAWINAN BEDA AGAMA
DALAM PERSPEKTIF SOSIOLOGI HUKUM ISLAM
Oleh : Makinudin & Masrokhin



A. PENDAHULUAN
Islam sebagai agama samawi terakhir yang dibawa oleh nabi Muhammad ibn Abdillah, merupakan agama pembawa rahmat untuk sekalian alam (rahmat li al’alamin). Islam tidak hanya mengatur ibadah tetapi juga mengatur hubungan manusia dengan manusia (mu’amalah) baik yang objeknya berupa benda (māl) maupun bukan benda (farj). Bahkan mengatur hal-hal yang berkaitan dengan pidana dan peradilan. Karena itu, dalam kitab-kitab klasik sering dijumpai bab-bab yang sesuai dengan pembagian fiqh, yaitu rub’ al-munākahah dan rub’ al-jināyah.
Hukum Islam yang berada di tengah-tengah masyarakat tidak dapat lepas dari sumbernya yaitu naşş al-Qur’an dan al-Sunnah (sumber primer) dan ijtihad (sumber sekunder). Kedua sumber tersebut tidak dapat dipisahkan karena memahami suatu naşş tidak akan lepas dari pemikiran yang sistematis melalui metode ijtihad baik berupa dark al-ahkam (menemukan hukum) maupun taţbiq al-ahkām (penerapan hukum) yang dilakukan secara individual (ijtihād fard) maupun kolektif (ijtihād jamā’i).
Hukum Islam yang dihasilkan melalui istinbāţ dari suatu naşş atau istidlāl tidak dapat lepas dari illah hukum dan hikmat al-tashri’/himat al-shari’ah. Bahkan jumhur al-ulama’ menyatakan bahwa hukum-hukum Allah dibangun (diciptakan) atas dasar memelihara hikmah-hikmah dan kemaslahatan (kemanfaatan hamba-hamba Allah). Artinya, hukum Islam diciptakaan dengan selalu memperhatikan illah yang ada, baik berupa zaman maupun keadaan. Atau dengan istilah lain al-hukm yadur ma’a ’illatih wa ‘adamih.
Sosiologi hukum, termasuk hukum Islam, merupakan kajian hukum ilmu Sosial yang mengkaji penyebab lahirnya hukum di masyarakat. Dalam hal ini, kehadirannya dapat didahului oleh hukum dan sebaliknya oleh masyarakat, yang secara subtansial gejala sosial menjadi bagian penting dari segala hukum di masyarakat, sebagaimana gejala hukum merupakan gejala sosial.
Oleh karena itu dalam pembahasan ini akan mengarah pada dua pendekatan, yakni memahami hukum Islam sebagai gejala sosial dan memahami gejala sosial yang melahirkan hukum Islam. Hal ini tertuju pada masalah perkawinan beda agama dalam perspektif hukum Islam sebagaimana tercantum dalam al-Baqarah : 221 dan al-Maidah : 5.
B. BAHASAN
1. Perkawinan dalam Islam
Istilah perkawinan dalam Islam tidak dapat dilepaskan dengan kata “nikāh” atau “zawāj”. Karena itu, ada sebagian ulama, terutama golongan Syafi’iyah, yang mengharuskan dalam ijab (perkataan wali atau wakilnya) menggunakan lafal yang berasal dari lafal “tazwīj” atau “inkāh”. Dalam pengertian bahasa, nikah (zawaj) identik dengan al-dham wa al-jam’ (berkumpul). Sedangkan dalam pengertian shara’ (pembuat syari’at) adalah cara agar seorang laki-laki dapat memiliki hak istimtā’ (bersetubuh dan sebangsanya) dengan seorang perempuan dan seorang perempuan halal beristimtā’ dengan seorang laki-laki. Artinya, melalui akad nikah seorang laki-laki mempunyai hak milik secara khusus terhadap seorang perempuan, dan laki-laki lain tidak ada hak sama sekali terhadapnya. Sementara itu, seorang perempuan hanya halal beristimtā’ dengan seorang laki-laki, tetapi dia tidak secara khusus memiliki seorang laki-laki tersebut. Artinya, seorang laki-laki boleh beristri lebih dari satu sehingga seorang laki-laki dapat dimiliki oleh beberapa istri (maksimal empat). Oleh karena itu bersuami banyak dilarang oleh shara’, tetapi beristri banyak diperbolehkan.
Al-Qur’an secara tegas memerintahkan seorang laki-laki untuk menikahi seorang perempuan yang disenangi bahkan dalam kondisi tertentu diberi kelonggaran untuk menikahi lebih dari satu (al-Nisā’ : 3). Begitu juga, seorang wali diperintahkan untuk mencarikan jodoh anaknya baik laki-laki maupun perempuan (al-Nūr : 32). Namun demikian, perintah tersebut dibarengi dengan rambu-rambu tertentu yaitu al-Baqarah : 221 (keharaman menikahi perempuan mushrikah), al-Baqarah : 222 (keharaman menikahi laki-laki mushrik), al-Nisā’: 141 (keharaman seorang perempuan muslim dinikahi seorang laki-laki ahli kitab dari Yahudi dan Nasrani). Sementara itu, al-Māidah : 5 mengatur secara khusus tentang pernikahan antara seorang laki-laki muslim dengan seorang perempuan dari ahli kitab. Dalam hal ini walaupun al-Māidah : 5 secara tegas menghalalkan seorang muslim menikahi seorang kitabiyah, tetapi penerapan ayat tersebut menjadi perbedaan di kalangan ulama fiqh. Bahkan, dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) atau fiqh Indonoesia secara tegas tidak memberlakukan ayat tersebut yakni seorang laki-laki muslim dilarang menikahi seorang perempuan yang tidak beragama Islam. Hal ini sebagaimana termaktub dalam pasal 40 sebagai berikut:
Pasal 40 KHI
Dilarang melangsungkan perkawinan antara seorang pria dengan seorang wanita karena keadaan tertentu :
a. Karena wanita yang bersangkutan masih terikat dengan perkawinan dengan pria lain.
b. Seorang wanita masih berada dalam masa iddah dengan pria lain.
c. Seorang wanita yang tidak beragama Islam.
2. Hikmah Perkawinan dalam Islam
Dalam hukum Islam, hikmah dan illah itu berbeda walaupun dalam prakteknya sering hikmat al-hukm dijadikan sebagai illat al-hukm. Hikmat al-hukm adalah dorongan atau tujuan yang dimaksudkan oleh shara’ untuk mencari kemanfaatan yang harus didayagunakan dan kemafsadatan yang harus dihindari atau dikurangi. Sedangkan illat al-hukm adalah perkara yang sudah jelas lagi pasti yang dijadikan dasar pembinaan dan penentuan ada atau tidaknya suatu hukum. Misalnya mengqasar shslat (empat rakaat menjadi dua rakaat) bagi orang yang mengadakan perjalanan mempunyai hikmah dan illat al-hukm. Hikmahnya ialah untuk memberikan keringanan atau menghilangkan kesulitan. Sedangkan, illahnya ialah menggadakan perjalanan (safar). Oleh karena hikmah itu ialah hal hal yang masih dikira-kirakan dan belum pasti serta tidak dapat untuk membina hukum baik dalam mengadakan hukum atau meniadakannya, maka shari’ menjadikan bepergian sebagai illah hukum sebab ia adalah hal yang sudah jelas dan pasti.
Mayoritas ulama sependapat bahwa sesungguhnya Allah tidak sekali-kali menshari’atkan hukum kecuali semata-mata untuk kemaslahatan hamba-Nya. Mendatangkan kemaslahatan atau kemanfaatan dan menolak kemafsadatan (kerusakan). Begitu juga dalam penshariatan hukum nikah, ketika Allah memerintahkan hamba-Nya untuk melakukan perkawinan (pernikahan) pasti mengandung hikmah atau tujuan yang dicapai atau diperoleh hamba-Nya. Dalam al-Rūm : 21 dijelaskan tentang hal-hal yang ingin dicapai dalam perkawinan yaitu :
وَمِنْ آَيَاتِهِ أَنْ خَلَقَ لَكُمْ مِنْ أَنْفُسِكُمْ أَزْوَاجًا لِتَسْكُنُوا إِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُمْ مَوَدَّةً وَرَحْمَةً إِنَّ فِي ذَلِكَ لَآَيَاتٍ لِقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ
“dan di antara tanda-tanda kekuasaannya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikannya di antaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.”
Dalam al-Rūm : 21 tersebut secara jelas dinyatakan bahwa tujuan yang ingin diperoleh dalam perjodohan ialah terciptanya ketenteraman (sakinah) sebagaimana “lam” yang masuk pada fi’il mudhari’ (taskunū). Lafal “li taskunū” merupakan illah perjodohan yang berupa hikmat al-tashri’ yang lafalnya pendek, tetapi mengandung pengertian yang luas atau panjang lebar. Hal ini ditandai dengan munculnya karya-karya para ulama tentang hikmah dan tujuan dalam perkawinan dalam Islam. Misalnya al-Ghazali dalam kitabnya Ihya' ‘Ulum al-Dīn, menjelaskan hikmah perkawinan yaitu (a) mempunyai keturunan (b) menyalurkan syahwat dan membentengi perbuatan-perbuatan syetan (c) memnbina dan mengatur rumah tangga (d) memperbanyak hubungan keluarga dan (e) memerangi hawa nafsu. Begitu juga al-Zuhayli dalam kitabnya al-Fiqh al-Islami wa Adilatuh, menjelaskan hikmah perkawinan yaitu (a) memelihara diri seseorang dan isterinya dari terjerumus pada keharaman, (b) memelihara kelangsungan hidup manusia dari kepunahan, (c) mengekalkan keturunan dan menjaga nasab, (d) menegakkan keluarga yang dapat menyempurnakan teraturanya masyarakat, dan (e) mewujudkan hubungan saling tolon menolong antara individu-individu yang ada dalam masyarakat.
Bahkan M. Quraish Shihab dalam bukunya Untaian Permata Buat Anakku Pesan al-Qur’an untuk Mempelai menjelaskan fungsi-fungsi keluarga yang digaris-bawahi ulama dan cendekiawan yang kemudian dirumuskan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 1994 yaitu fungsi (a) keagamaan (b) sosial budaya (c) cinta kasih (d) melindungi (e) reproduksi (f) sosialisasi dan pendidikan (g) ekonomi dan (h) pembinaaan lingkungan.
3. Perkawinan Beda Agama
Pasal 1 UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan secara jelas menyebutkan :
Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Dengan ini perkawinan tidak hanya sekedar untuk memenuhi kebutuhan biologis, tetapi suatu ikatan (akad) yang sangat kuat (mithaq ghalizan) baik lahir maupun batin untuk membentuk keluarga yang tangguh dan kekal serta bahagia dunia dan akhirat yang didasari nilai-nilai keagamaan. Oleh karena itu, nikah kontrak walaupun sebagian ulama ada yang memperbolehkannya tidak sesuai dengan tujuan perkawinan lebih-lebih jika pasangan suami isteri itu satu jenis. Bahkan dalam hukum Islam sangat diatur tentang perkawinan beda agama melalui al-Qur’an. Hal ini menunjukkan bahwa aqidah dan agama yang dimiliki pasangan suami isteri sangat berpengaruh dalam mengatur rumag tangga atau keluarga yang harmonis.
Perkawinan Intern Pemeluk Agama Islam
Islam telah mengatur perempuan-perempuan yang harus dinikahi seorang laki-laki (sama-sama beragama Islam) baik yang bersifat kekal maupun sementara sebagaimana termaktub dalam al-Nisā’ : 23. Dalam ayat ini perempuan yang haram dinikahi terdiri dari atas haram karena kerabat (nasab), karena sepersusuan, dan karena dimadu (isteri dengan saudara perempuannya).
Sedangkan keharaman memadu antara isteri dengan bibinya atau keponakannya diatur dalam hadis, berbeda dengan golongan Khawarij yang membolehkannya karena al-Qur’an tidak menjelaskannya. Artinya, al-Qur’an hanya mengharamkan memadu antara dua saudari perempuan. Mereka berhujjah dengan al-Nisā’ : 24.
وَالْمُحْصَنَاتُ مِنَ النِّسَاءِ إِلَّا مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ كِتَابَ اللَّهِ عَلَيْكُمْ وَأُحِلَّ لَكُمْ مَا وَرَاءَ ذَلِكُمْ أَنْ تَبْتَغُوا بِأَمْوَالِكُمْ مُحْصِنِينَ غَيْرَ مُسَافِحِينَ
“Dan (diharamkan juga kamu mengawini) wanita yang bersuami, kecuali budak-budak yang kamu miliki (Allah telah menetapkan hukum itu) sebagai ketetapan-Nya atas kamu. dan Dihalalkan bagi kamu selain yang demikian (yaitu) mencari isteri-isteri dengan hartamu untuk dikawini bukan untuk berzina.
Adapun perempuan yang haram dinikahi dan bersifat sementara terdiri atas (1) isteri laki-laki lain, al-Nisā’ : 24, (2) perempuan yang tunggu masa iddah dari laki-laki lain, al-Baqarah : 228 dan 235 (3) perempuan yang bertalak bāin, al-Baqarah : 229 dan (4) perempuan yang tidak beragama samawi al-Baqarah : 221. Dan ini akan dijelaskan berikut sesuai dengan pokok bahasan makalah ini.
Perkawinan antara ummat beragama (beda Agama)
Al-Qur’an secara tegas mengharamkan seorang laki-laki muslim menikahi seorang perempuan mushrikah. Begitu juga seorang muslimah diharamkan dinikahi oleh seorang laki-laki mushrik. Hal ini sebagaimana dijelaskan dalam al-Baqarah : 221.
وَلَا تَنْكِحُوا الْمُشْرِكَاتِ حَتَّى يُؤْمِنَّ وَلَأَمَةٌ مُؤْمِنَةٌ خَيْرٌ مِنْ مُشْرِكَةٍ وَلَوْ أَعْجَبَتْكُمْ وَلَا تُنْكِحُوا الْمُشْرِكِينَ حَتَّى يُؤْمِنُوا وَلَعَبْدٌ مُؤْمِنٌ خَيْرٌ مِنْ مُشْرِكٍ وَلَوْ أَعْجَبَكُمْ أُولَئِكَ يَدْعُونَ إِلَى النَّارِ وَاللَّهُ يَدْعُو إِلَى الْجَنَّةِ وَالْمَغْفِرَةِ بِإِذْنِهِ وَيُبَيِّنُ آَيَاتِهِ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَذَكَّرُونَ
“dan janganlah kamu nikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik walaupun dia menarik hatimu. Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mu’min) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang musyrik walaupun dia menarik hatimu. Mereka mengajak ke neraka, sedang Allah mengajak ke syurga dan ampunan dengan isinya. Dan Allah menerangkan ayat-ayatnya (perintah-perintah-Nya) kepada manusia supaya mereka mengambil pelajaran.”
Ali al-Şabuni mengartikan mushrik/mushrikah dengan seorang laki-laki atau perempuan penyembah berhala, tidak beragama samawi. Kata musyrik dalam bahasa al-Qur’an dan kebiasaan shara’ ditujukan kepada orang yang menyembah selain Allah baik berhala, matahari atau api seperti agama Majusi, termasuk di dalamnya agama Budha dan Hindu. Dengan demikian, dalam hukum Islam masalah agama seseorang sangat diperhatikan secara tegas dalam perkawinan. Karena itu, bagi seorang muslim/muslimah dilarang dijodohkan dengan non-muslim. Bahkan dalam hadis ditegaskan bahwa seorang dilarang menikahi seorang perempuan karena kecantikan dan hartanya, tetapi yang ditekankan adalah agamanya (wankihhunn ‘Ala al din) atau dalam hadis lain (fazfar bi dhat al-din taribat yadak).
Adapun rahasia seorang muslim dilarang menikahi seorang mushrik, karena shirk merupakan sesuatu yang berat (taghlid) dan juga tidak diketemukan ketenteraman jiwa sebagaimana diisyaratkan pada lafal “litaskunū”. Bahkan dalam ayat 221 al-Baqarah ditegaskan secara tegas yaitu mereka (orang-orang musyrik) dapat menarik orang-orang Islam ke neraka. Hal ini karena perilaku mereka dapat menjerumuskan ke neraka melalui perbuatan dan ucapannya. Sementara itu hubungan perjodohan sebagai faktor terkuat yang sangat berpengaruh dapat menimbulkan hubungan toleransi dan keharmonisan dalam kebanyakan hal. Adanya toleransi terkadang dapat mempengaruhi akidah seorang mukmin sebagaimana terjadi pada orang-orang Islam yang hidup bersama-sama orang-orang mushrik apalagi dalam hubungan rumah tangga.
Dalam hal seorang laki-laki kitabi (Yahudi/Nasrani) menikahi seorang perempuan (muslimah), Islam menerangkan sebagaimana laki-laki penyembah berhala dan Majusi dengan seorang muslimah. Hal ini karena shara’ telah memutus kekuasaan orang-orang kafir terhadap orang-orang yang beriman sebagaimana al-Nisā’ : 141
وَلَنْ يَجْعَلَ اللَّهُ لِلْكَافِرِينَ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ سَبِيلًا
“Allah sekali-kali tidak akan memberi jalan kepada orang-orang kafir untuk memutuskan orang-orang yang beriman”
Artinya pada ayat ini adanya larangan memberikan kekuasaan kepada orang-orang kafir untuk menguasai atau membawahi orang-orang yang beriman termasuk di dalamnya perjodohan. Hal ini akan berpengaruh pada hilangnya hifz al-dīn yang merupakan maqāşid al-shari’ah yang dharuri. Oleh karena itu, keharaman pernikahan mengandung maslahah mu’tabarah, bukan maslahah mursalah, yaitu maslahah yang sudah ditentukan oleh Shari’ melalui al Qur’an.
Adapun seorang muslim menikahi seorang perempuan kitabiyah (Yahudi/Nasrani), mayoritas ulama membolehkannya. Hal ini sesuai dengan petunjuk yang ada pada al-Māidah : 5. Sedangkan illah dibolehkannya menikahi perempuan ahli kitab adalah memberikan kecintaan kepada mereka agar melihat kebaikan pergaulan (muamalah) kita dan kemudahan yang terkandung dalam shari’at kita. Hal tersebut hanya dapat dilihat melalui pernikahan, karena seorang laki-laki adalah orang yang mempunyai kekuasaan atas seorang perempuan. Dalam hal ini, jika laki-laki muslim muslim tersebut berbuat baik kepada perempuan ahli kitab melalui pernikahan, maka dapat dijadikan dalil bahwa agama Islam adalah mengajak kepada kebenaran, keadilan antara sesama muslim dan non-Muslim, dan memberikan keleluasaan dalam bergaul dengan orang-orang yang berbeda agama. Hikmah yang diusung dalam al-Māidah : 5 merupakan maslahah mu’tabarah. Oleh karena itu, al-Şabuni dalam kitab tafsirnya Rawai’ al-Bayān menjelaskan bahwa al-Māidah : 5 secara jelas menerangkan tentang kebolehan menikahkan perempuan kitabiyah.
Walaupun al-Māidah : 5 dalālahnya qaţ’i, tetapi sebagian sahabat yang tidak membolehkan menikahi perempuan kitabiyah, seperti Umar bin Khattab dan ibn Umar. Dalam hal ini, Umar memarahi Talhah bin Ubayd Allah yang telah menikahi perempuan Yahudi dan Khudayfah bin Yaman yang menikahi perempuan Nasrani, bahkan Umar bermaksud menyergap keduanya. Kemudian keduanya berkata : wahai Amir al-Mukminin, kami akan menceraikannya, dan jangan marah. Selanjutnya Umar berkata : jika halal mereka diceraikan, maka halal dinikahi. Akan tetapi kami melepaskan mereka dari kalian karena khawatir mendapatkan kehinaan. Ahmad al-Ghundur dalam hal ini menyatakan bahwa Umar sangat memperhatikan kemaslahatan para perempuan muslim dan dia tidak senang kepada Talhah dan Khudayfah yang telah menikahi perempuan kitabiyah. Oleh karena itu, larangan Umar itu harus dipahami bahwa Umar khawatir jika umat Islam mengikuti keduanya dan tidak memperhatikan perempuan muslimah. Sementara itu, Ibn Umar menggunakan alasan dengan al-Baqarah : 221, dan dia berkata : tidak ada perbuatan shirk yang lebih besar dari pada ucapan seorang perempuan mushrikah, sesungguhnya Tuhannya adalah ‘Isa. Begitu juga, dia menggunakan dalil (istidlal) bahwa Allah mewajibkan umat Islam untuk menjauhi orang-orang kafir sebagaimana al-Mumtahanah : 1
Ali al-Şabuni memahami perkataan Ibn Umar tersebut dengan pemahaman sebagai berikut : barangkali Ibn Umar tidak senang dan melarang muslim menikahi kitabiyah adalah khawatir menimbulkan fitnah bagi suami dan anak-anaknya, karena kehidupan rumah tangga (perjodohan) itu mendorong untuk saling cinta mencintai. Dalam hal ini terkadang kecintaan itu menjadi kuat yang berakibat sebagai penyebab suami condong pada agama istri dan kebanyakan anak selalu condong dan mengikuti ibunya. Oleh karena itu, adanya kekhawatiran tersebut sebagai dasar pengharaman. Sedangkan jika tidak demikian atau diharapkan istri mengikuti agama suami, maka tidak ada jalan untuk mengatakan haram.
Ulama Shi’ah Imamiyah dalam menyikapi pernikahan muslim dengan kitabiyah terbagi menjadi tiga pendapat,yaitu:
1. Tidak boleh, baik dawām maupun inqiţā’ (kekal atau tidak) dengan berpegang pada al-Mumtahanah: 10 dan al-Baqarah: 221 (jika shirk diartikan dengan kufur dan tidak Islam).
2. Boleh, baik dawām maupun inqiţā’ dengan berpegang pada al-Māidah: 5 yang merupakan naşş muhkam tentang kebolehan menikahi kitabiyah.
3. Boleh secara inqiţā’ tidak secara dawām, dengan memadukan kedua dalil yang yang membolehkan dan yang melarang (dalil yng membolehkan untuk inqiţā’, dalil yang melarang untuk dawām).
Sementara itu, Muhammad Jawad Mughniyyah menjelaskan bahwa Shi’ah Imamiyah saat ini tidak melarang menikahi kitabiyah (boleh secara dawām).
M. Quraish Shihab dalam Tafsir al-Misbah menuturkan bahwa larangan perkawinan antar pemeluk agama yang berbeda itu agaknya dilatarbelakangi oleh keinginan menciptakan sakinah dalam keluarga yang merupakan tujuan perkawinan. Perkawinan baru akan langgeng dan tenteram jika terdapat kesesuaian pandangan hidup antara suami dan istri. Jangankan perbedaan agama, perbedaan budaya bahkan tingkat pendidikan pun tidak jarang menimbukkan kesalahapahaman dan kegagalan perkawinan. Lebih lanjut dijelaskan, memang ayat ini membolehkan perkawinan antara pria muslim dengan wanita ahl kitab, tetapi izin ini adalah sebagai jalan keluar mendesak ketika itu, kaum muslimin sering bepergian jauh melaksanakan jihad tanpa mau kembali kepada keluarga mereka dan sekaligus juga untuk tujuan dakwah.
Muhammadiyah melalui Majlis Tarjih telah mebgambil keputusan tentang keharaman seorang pria muslim menikahi seorang perempuan ahl kitab dengan mnenggunakan metode sad al-dzari’ah. Artinya, keharaman ini bukan haram li al-dzati, tetapi li gahyrih. Dalam hal ini demi memelihara agama suami dan memelihara anak-anaknya agar tidak mengikuti agama ibunya. Begitu juga dapat dilihat dalam pasal 40 huruf c Kompilasi Hukum Islam yang melarang pria muslim menikahi seorang wanita yang tidak beragama Islam, bersifat umum termasuk kitabiyah.
Analisis perkawinan beda agama.
Analisis pembahasan ini menggunakan perspektif Sosiologi Hukum Islam. Artinya, perkawinan beda agama antara laki-laki muslim dengan perempuan non muslim (Yahudi/Nasrani), yang dalam hukum Islam diketemukan hukum boleh (halal) dinikahi dan tidak boleh dinikahi, bahkan dalam KHI secara jelas mengharamkannya.
Dalam Islam, budaya dan perubahan sosial itu sangat jelas pengaruhnya terhadap pemikiran hukum. Perubahan masyrakat muslim dapat mempengaruhi perubahan hukum Islam dan begitu juga sebaliknya. Perubahan ini dimiungkinkan oleh sebuah kaidah fiqh yang menjelaskan bahwa perubahan hukum atau fatwa dapat terjadi karena perubahan waktu, tempat, dan keadaan. Oleh karena itu, walaupun al-Qur’an membolehkan seorang muslim menikahi kitabiyah, tetapi ada sebagian dari umat Islam yang mengharamkannya, baik dari kalangan sahabat maupun ulama yang datang kemudian, termasuk Majlis Tarjih Muhammadiyah dan KHI.
Max Weber mengatakan bahwa perubahan-perubahan hukum adalah sesuai dengan perubahan yang terjadi dalam sistem sosial dari masyarakat yang mendukung sistem hukum yang bersangkutan. Karena itu kemaslahatan yang ingin dicapai oleh masyarakat menjadi pertimbangan hukum. Artinya, suatu perbuatan yang semula hukumnya halal menjadi haram dan begitu pula sebaliknya.
Keharaman menikahi perempuan mushrikah bagi laki-laki muslimm sudah tidak diubah lagi, karena al-Qur’an secara tegas melarangnya. Begitu juga, keharaman perempuan muslimah dinikahi laki-laki mushrik. Sementara itu, walaupun dalam al-Qur’an secara tegas membolehkan seorang muslim menikahi seorang perempuan kitabiyah, tetapi sahahabt Umar telah melarang Talhah bin Ubaydilah dan Hudayfah bin Yaman menikahi kitabiyah. Begitu juga Ibn Umar berpendapat sama dengan Umar, termasuk Majlis Tarjih Muhammadiyah dan Kompilasi Hukum Islam.
Perubahan-perubahan sosial merupakan variasi dari cara-cara hidup yang telah diterima yang disebabkan karena perubahan-perubahan kondisi, geografi, kebudayaan materiil, komposisi penduduk, ideologi maupun difusi ataupun penemuan-penemuan baru dalam masyarakat tertentu. Dalam hal ini al-Qur’an membolehkan menikahi kitabiyah, bukan kafir yang mushrikah, artinya keadaan pada saat itu banyak para sahabat yang meninggalkan keluarganya demi berjihad dan berada di wilayah pemeluk agama Yahudi/Nasrani. Pada saat itu mereka berkehendak untuk menikahi perempuan kitabiyah dalam keadaan darurat/hajat, atau mereka ada niat untuk berdakwah melalui pernikahan dan mereka sangat kuat imannya, sehingga walaupun menikahi kitabiyah mereka tetap memegang agama Islam. Lebih-lebih mereka dapat mengislamkan mereka dapat mengislamkan isteri dan keluarganya. Dengan demikian sangat tepat dibolehkannya pernikahan. Akan tetapi, di sisi lain, dikhawatirkan pernikahan para sahabat tersebut akan diikuti oleh sahabat-sahabat yang imannay kurang kuat. Di samping itu, mereka akan meninggalkan perempuan-perempuan muslim dan memilih kitabiyah. Oleh karena kemaslahatan memelihara ahgama harus didahukukan dari memelihara keturunan (nasab).
Ibn Umar melihat bahwa tidak ada sutau pebuatan shirik yang lebih besar dari pada seorang permepaun berkata “tuhannya adalah Isa”. Hal ini dikhawatirkan akan menyeret kepada suami untuk mengikuti agama istrinya berbuat shirik, termasuk anak-anaknya. Artinya, keadaan suami (muslim) harus dipertimbangkan jika istrinya kitabiyah.
Majlis Tarjih Muhammadiyah pada mulanya membolehkan menikahi kitabiyah dengan berpegang ada al-Maidah : 5 dengan alasan berdakwah, dengan harapan dia menjadi muslimah. Akan tetapi, jika keadaan sebaliknya, suami ikut agama istrinya, maka menjadi haram. Dengan demikian, Majlis Tarjih ini melihat akibat mafsadah/madarah dari pernikahan. Oleh karena itu, jalan yang terbaik adalah haram dengan metode sad al-dzari’ah. Artinya, bukan haram li dhatih, tetapi li ghayrih. Begitu juga, KHI secara tegas melarangnya. Hal ini karena di masyarakat sering diketemukan seorang muslim menikah dengan kitabiyah ternyata dia ikut kepada agama istrinya yang masih tetap berpegangan kepada agamanya (Yahaudi/Nasrani) seperti Jamal Mirdad dan Lydia Kandow. Dalam hal ini, Jamal tidak dapat mengislamkan istri dan anak-nakanya, padahal al-Qur’an ada ayat qu anfusakum wa ahlikum naran, agama istri dan anak-anaknya harus dibentengi dengan agama Islam. Oleh karena itu, perubahan dari halal ke haram dalam menikahi kitabuyah adalah menggunakan paradigma fakta sosial.
Paradigmma fakta sosial merupakan teori soisal dari Emile Durkheim. Dalam hal ini, fakta sosial ada yang berbentuk material dan non material. Fakta sosial yang matreioal berupa barang atau sesuatu yang dapat disimak, ditangkap, dan diobservasi seperti arsitektur dan norma hukum. Sedangkan fakta sosial yang non material merupakan fenomena yang terkandung dalam diri manusia sendiri, yang hanya muncul dalam kesadaran manusia, seperti kelompok dan egoisme. Oleh karena menikah beda agama masuk dalam fakta sosial dalam bentuk material, karena berupa norma hukum yang pada mulanya menikah bagi bagi muslim dengan kitabuyah adalah halal/boleh, kemudian berubah menjadi haram. Artinya, dalam fakta sosial memilki asumsi dasar bahwa terdapat keajegan dalam dunia kehidupan manusia, tetapi terdapat perubahan dalam waktu tertentu, dan tak ada sesuatu fakta yang berdiri sendiri kecuali ada fakta penyebabnya.
Memahami masalah nikah beda agama yang semula boleh, kemudian haram adalah sangat memperhatikan teks al-Qur’an, tetapi sewaktu diterapkan ternyata bertentangan dengan nilai yang bersifat universal, yakni kewajiban memelihara keluarga dari terjerumus pada kekafiran (muhafadhah ‘ala al-din) yang merupakan maqāsid al-shari’ah al-dharuriyah. Artinya, tidak memberlakuka maslahah yang ada nas khusus, tetapi mengunakan naşş lain yang bersifat umum dengan memegangi prinsip dan jiwa shari’at Islam atau ruh al-tashri’ wa ushuluh.
C. PENUTUP
Kehalalan seorang muslim menikahi perempuan ahli kitab bersifat ajeg, karena normanya diatur dalam al-Qur’an yang bersifat kekal. Akan tetapi, sewaktu norma dipraktekkan ternyata tidak sesuai dengan tujuan diberlakukannya hukum Islam, akibatnya hukum nikah tersebut yang pada awalnya boleh menjadi tidak boleh. Dengan demikian, dilihat dari sosiologi hukum paradigma fakta yang berasal dari Emile Durkheim, yang terfokus pada pranata sosial berupa aturan-aturan, norma-norma, dan nilai-nilai yang dijadikan sebagai pedoman untuk melakukan serangkaian tindakan adalah tepat untuk menyoroti perkawinan beda agama tersebut.

No comments:

Post a Comment