Monday, May 05, 2008

SHAHADAH DALAM AL-QUR’AN

SHAHADAH DALAM AL-QUR’AN
(Suatu Kajian Tafsir Tematik)
Oleh : Makinudin & Masrokhin
rokhinsadja@gmail.com



Pendahuluan
Al-Qur’an merupakan salah satu dari kitab samawi yang diturunkan kepada nabi Muhammad saw melalui malaikat Jibril yang mempunyai sifat i’jaz terhadap para lawan yang selalu memberikan tantangan. Salah satu keistimewaan al-Qur’an adalah jika dibaca, maka pembacanya akan diberi pahala. Ia disusun dengan susunan yang berbeda dengan kitab-kitab sebelumnya, bahkan ia menghimpun isi-isi dari kitab-kitab tersebut sehingga ia dikenal dengan senitam al-kitāb.
Dalam al-Qur’an, sering diketemukan lafal-lafal yang berulang-ulang penyebutannya, yakni ada berupa lafal yang ringkas (ījāz) dalam satu ayat, ada yang panjang (iţnāb), baik masih dalam satu surat maupun dalam surat yang lain. Hal ini tidak boleh dipahami secara sepotong-sepotong, tetapi harus dipahami secara menyeluruh karena ada kesamaan bahasan dari ayat-ayat tersebut. Oleh karena itu, dalam memahami ayat-ayat tersebut harus menggunakan metode tafsir al-Qur’an mawdhū’i atau tematik. Dengan metode ini, pemahaman terhadap al-Qur’an akan mudah dipahami dengan baik dan utuh karena satu dengan yang lainnya saling menunjang.
Tulisan ini akan membahas shahadah dalam al-Qur’an yang terdapat dalam beberapa ayat dan surat yang berbeda. Ayat-ayat itu tidak jarang mempunyai makna yang berbeda sesuai dengan susunan kalimat.
Bahasan
1. Lafal shahadah dalam al-Qur’an.
Dalam kitab Fath al-Rahmān li Ţālib Āyat al-Qur’ān, disebutkan bahwa lafal yang berasal dari tiga huruf shīn hā` dan dāl yang ada dalam al-Qur’an berjumlah kurang lebih 155 kata. Begitu juga dalam kitab Qur’ān Karīm Tafsir wa Bayān. Sedangkan dalam Mu’jam Alfāz al-Qur’ān al-Karīm terdapat 158 kata, dan 64 kata pada al-Mu’jam al-Mufahras li Alfaz al-Qur’ān al-Karīm.
Makna lafal shahida dalam kamus al-Munawwir adalah hadaruhu (menghadiri), ‘āyanuhu (menyaksikan dengan mata kepala), atau al-shahadah (memberikan kesaksian),…. lahu bi kadza aqarra (mengakui), …. bi kadza = halafa (sumpah), …. Allah = ‘alima (mengetahui). Lafal shahadah bermakna bayyinah (bukti), yamīn (sumpah), ‘alam al-akwan al-zahiran (alam lahir). Lafal al-shāhid mempunyai bentuk jama’ shuhadā’ = al-shāhid (saksi), dan orang yang gugur sebagai shahīd di jalan Allah (al-qātil fi sabīl Allāh). Sementara itu, dalam Mu’jam Alfāz al-Qur’ān al-Karīm diterangkan bahwa shahida al-shay`a yashhaduhu shahādah bermakna hadaruhu atau alima bih (hadir atau mengetahui); shahida yashhadu shahādah adalah menunjukkan secara pasti, baik dengan ucapan atau lainnya, dan shahida bi Allāh bermakna bersumpah. Lafal al-shāhid merupakan ism al-fā’il dari lafal shahida yang jama’nya shuhūd dan ashhād; lafal al-shahīd (ha dipanjangkan) merupakan bentuk mubalaghah (superlative) dari lafal al-shāhid (sha dipanjangkan).
Lafal berbentuk fil al-amr yang menggunakan lafal ishhād terdapat dalam Ali Imrān : 52 dan 64, al-Māidah : 111 dan Hūd : 54; menggunkaan lafal ashhidū terdapat dalam al-Baqarah : 282, al-Nisā’ : 6, dan al-Ţalāq : 2; dan yang lafal ishtashhidū terdapat pada al-Baqarah : 282 dan al-Nisā` : 15.
2. Klasifikasi ayat yang berasal dari lafal shahida
a. Lafal shahida bermakna hadara (hadir)
- al-Baqarah : 185
- al-Naml : 49
- al-Zukhruf : 19
- Al-Hajj : 28
- Al-Mutaffifin : 21
b. Lafal shahida bermakna ‘alima (mengetahui)
- ‘Ali Imrān : 70
- ‘Ali Imrān : 98
- ‘Ali Imrān : 99
- Al-Nisa' : 33
c. Lafal shahida bermakna aqsam (sumpah)
- al-Nūr : 6 dan 8
d. Lafal shahida/shahadah sebagai lawan ghaba (ghayb)
- al-An’ām : 73
- al-Tawbah : 94
- al-Ra’d : 9
- al-Sajdah : 6
- al-Zumar : 46
- al-Taghābun : 18
- al-Muminūn : 92
- al-Jumua’ah : 8.
e. Lafal shahida bermakna menyaksikan
3. Penerapan makna lafal shahida
Lafal-lafal yang berasal dari shahida yang bermakna hadaruhu yaitu pada al-Baqarah : 185, al-Naml : 49, al-Zuhrūf : 19, ‘Ali Imrān : 70, al-Anbiyā : 61, dan al-Isrā : 78. Dari lafal-lafal tersebut akan dibahas makna shahida yang bermakna hadaruhu dalam al-Baqarah : 185 sebagai berikut:
“Barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, Maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu, dan Barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), Maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain.”
Terjemah al-Qur’an tersebut mengikuti pada umumnya kitab-kitab tafsir, yakni shahida = hadara. Sedangkan lafal al-shahr dijadikan sebagai dzaraf (fi al-shahr/Ramadān) dengan mengira-ngirakan lafal al-balād atau baytah yang brmakna tidak bepergian. Artinya, barangsiapa hadir (tidak bepergian) pada bulan itu (Ramadān), maka baginya wajib berpuasa; atau barangsiapa yang hadir (tidak bepergian) pada awal bulan Ramadān, maka wajib baginya berpuasa. Dengan pemahaman ini, adanya kewajiban puasa pada bulan Ramadān tidak lain atau lazimnya adalah karena telah melihat tanggal satu Ramadān, baik secara langsung melihat sendiri atau mendengar informasi dari orang lain. Mayoritas ulama (jumhūr) menjelaskan kewaijiban puasa pada bulan Ramadān itu hanya melihat (ru’yah) tanggal satu bulan Ramadān atau dengan menyempurnakan 30 hari bulan Sha’bān, tidak boleh dengan hitungan (hisāb) atau ilmu Astronomi, sebagaimana sabda nabi Muhammad saw :
صُومُوا لِرُؤْيَتِهِ وَأَفْطِرُوا لِرُؤْيَتِهِ فَإِنْ غُبِّيَ عَلَيْكُمْ فَأَكْمِلُوا عِدَّةَ شَعْبَانَ ثَلَاثِينَ (رواه البخاري و مسلم)
Adapun jika lafal al-shahr dijadikan maf’ūl bih, maka lafal shahida bermakna shāhada yang bermakna ‘ayyana (menyaksikan dengan mata kepala sendiri). Artinya, barangsiapa menyaksikan dengan mata kepalanya sendiri, maka wajib berpuasa. Pemahaman ini masih tetap menggunakan bahwa penentuan awal Ramadān masih tetap dengan ru’yat al-hilāl, bukan dengan hisāb. Dalam hal ini, penyebutan lafal pada lafal al-shahr adalah menggunakan dalālat al-iltizām.
Bahkan, Sayyid Qutb dalam tafsirnya, fi Zilāl al-Qur'ān, menjelaskan tentang makna dari فمن شهد منكم الشهر dengan فمن حضر منكم الشهر dan فمن رأى منكم الشهر. Artinya, lafal shahida dapat bermakna hadir dan dapat bermakna melihat tanggal 1 bulan Ramadan. Lebih dari itu, Sayyid Qutb berpendapat :
والمستيقن من مشاهدة الهلال بأي وسيلة أخرى كالذي يشهده فى إيجاب الصوم عليه عدة أيام رمضان
"orang yang meyakini menyaksikan tanggal satu dengan bantuan sarana apa saja adalah sama dengan orang yang langsung menyaksikan tanggal tersebut dalam hal kewajiban berpuasa"
Dengan pemahaman tersebut, penetapan awal Ramadān dan awal Shawwal hanya dengan ru’yat al-hilāl. Akan tetapi, jika tertutup atau dalam keadaan mendung, maka dalam hadis terdapat redaksi fakmilū al-adad, fa’uddū thalāthiha, dan faqdurū lah. Dalam memahami ketiga redaksi tersebut, yang menjadi perbedaan adalah lafal faqdurū lah. Bagi ulama yang mengharuskan tiga puluh hari, mereka mengartikan dengan “tentukan tiga puluh hari”. Sedangkan bagi yang menggunakan hisāb (perhitungan), mereka melakkukan ta`wīl (qādiru al-manāzil), yakni “tentukan posisi bulan”. Hal ini sebagaimana pendapat Mutarrif bin Abdillah bin al-Shikhyar (tabi’in besar) dan ibn Qutaybah, keduanya dari ulama bahasa. Artinya, walaupun hilāl itu tidak tampak jika cuaca cerah, tidak mendung, maka akan terlihat. Al-Dawudi menyatakan bahwa kami tidak pernah mengetahui seseorang mengatakan boleh dengan hisāb kecuali sebagisn ashhāb al-Shāfi’i. Bahkan, ada riwayat yang menyatakan bahwa ibn Nafi meriwayatkan dari Malik tentang seorang imam yang tidak puasa karena melihat hilāl dan tidak berbuka karena tidak melihat juga, tetapi dia berpuasa dan berbuka melalui hisāb. Pendapat ini tidak dapat dipegangi dan diikuti.
Ulama yang menggunakan ru’yat al-hilāl juga menggunkaan lafal shahida dengan ‘alima (mengetahui) dengan memberi makna “barangsiapa mengetahui hilāl al-shahr, maka dia wajib berpuasa”. Hal ini akan berbeda jika lafal shahida bermakna i’taqada sebagaimana lafal ashhadu pada lafal shahādat al-tawhīd dan shahādat rasūl. Artinya, hilāl al-shahr akan dapat diketahui dengan meyakini bahwa hilāl dapat diketahui melalui hisāb, lebih-lebih sekarang menggunakan peralatan canggih.
Bagi kelompok yang menggunkan ru’yah sebaiknya tidak hanya ru’yah satu kali ketika hendak menentukan awal bulan Ramadan dan Shawwal, tetapi sebaiknya dalam satu tahun lebih dari tiga kali sehingga dapat diketahui ketinggian bulan. Al-Razi menjelaskan bahwa shuhūd al-shahr terkadang dengan ru’yah (melihat hilāl) langsung dan terkadang mendengarkan informasi dari orang lain. Seseorang melihat hilāl bulan Ramadān terkadang sendirian dan terkadang tidak sendirian. Jika ru’yah dilakukan sendiri dan pemerintah menolak, maka ia wajib berpuasa karena Allah telah menjadikan shuhūd al-shahr sebagai sebab dirinya wajib berpuasa. Sedangkan jika shuhūdnya diterima pemerintah atau jika ia tidak sendirian dalam ru’yah, maka tidak perlu membahas kewajiban puasa.
Sementara itu jika shuhūdnya melalui informasi, maka dirinci sebagai berikut :
1. Jika ru’yat al-hilāl disaksikan oleh dua orang yang adil, maka wajib berpuasa dan berbuka.
2. Jika ru’yat al-hilāl disaksikan oleh seorang yang adil, maka tidak dapat ditetapkan. Sedangkan jika untuk penetapan Ramadān, maka ditetapkan karena berhati-hati (ihtiyāt) dalam masalah puasa. Perbedaan antara keduanya adalah bahwa bahwa hilāl Ramadān untuk memasuki ibadah, sedang hilāl Shawwal untuk keluar dari ibadah. Artinya, ucapan satu orang dapat diterima dalam penetapan ibadah, sedang keluar dari ibadah tidak diterima kecuali ucapan dari dua orang. Walaupun demikian, sebenarnya secara hakiki tidak ada perbedaan antara keduanya, yakni diterima ucapan satu orang tentang hilāl Ramadan karena agar orang-orang berpuasa, tidak berbuka (ihtiyāt). Begitu juga ucapan satu orang tidak diterima tentang hilāl Shawwal, karena agar mereka berpuasa, tidak berbuka (ihtiyāt).
Lafal yang berasal dari shahida yang bermakna lafal ‘alima dapat diketemukan pada ‘Ali Imrān : 70, 98, 99, al-Nisā : 33. Dari ketiga ayat ini, hanya ‘Ali Imrān: 70 yang dijelaskan.
Hai ahli Kitab, mengapa kamu mengingkari ayat-ayat Allah, Padahal kamu mengetahui (kebenarannya). Hai ahli Kitab, mengapa kamu mencampur adukkan yang haq dengan yang bathil, dan Menyembunyikan kebenaran, Padahal kamu mengetahuinya?
M. Quraish Shihab dalam tafsir al-Mishbah menjelaskan sebagai berikut:
“Jika demikian latar belakang dan tingkah laku mereka, maka pada tempatnyalah mereka dikecam. Ahli kitab yang mereka seharunya paling mengetahui tentang kebenaran, mengapa kamu terus menerus dan dari saat ke saat, sebagaimana dipahami dari lafal takfurūn yang menggunakan mudāri’/kata kerja masa kini dan mendatang, mengingkari ayat-ayat Allah. Yakni menutup-nutupi kebenaran, padahal kamu menyaksikan (kebenarannya). Maksudnya, mengetahui secara jelas dan pasti. Dalam hal ini lafal tashhadūn bermakna ta’lamūn. Pada ayat 70 ‘Ali imrān, kecaman ditujukan kepada ahli kitab, karena mereka sesat. Sedangkan, pada ayat 71 dari surat yang sama, kecaman ditujukan lagi kepada mereka karena mereka menyesatkan. Dalam hal ini, tokoh dari kelompok Yahudi datang membujuk sahabat-sahabat Nabi, seperti Mu’adh bin Jabal, Hudayfah bin Yaman, dan ‘Ammar ibn Yasir agar mereka meninggalkan agama Islam. Mereka selalu dikecam karena mencampakkan kebenaran dengan kebatilan melalui penta’wilan, aneka dalih, dan menyembunyikan kebenaran dengan penghapusan dan pengubahan kandungan kitab suci padahal mereka mengetahui yakni mereka memiliki pengetahuan atau mengetahui apa yang disembunyikan”.
Lafal yang berasal shahida yang bermakna aqsama (bersumpah) shahida bi Allah dapat diketemukan pada al-Nūr : 6 dan 8 terkait dengan sumpah li’an yang diucapkan oleh suami atau istri karena istri dituduh oleh suaminya berbuat zina dengan tidak ada bukti 4 orang saksi. Dalam hal ini suami bersumpah empat kali dan pada kelimanya diucapkan lafal yang mengandung laknat Allah. Begitu juga jika istri tidak menerima tuduhan suami, maka dia menguacpkan lafal yang sama dengan suami. Jika ia tidak melakukan, maka akan terkena sanksi. Melalui sumpah tersebut, keduanya telah terjadi pisah dengan tanpa mengucapkan ikrar talak dan tidak dapat kembali untuk selama-lamanya. Bunyi ayat tersebut sebagai berikut:
“Dan orang-orang yang menuduh isterinya (berzina), Padahal mereka tidak ada mempunyai saksi-saksi selain diri mereka sendiri, Maka persaksian orang itu ialah empat kali bersumpah dengan nama Allah, Sesungguhnya Dia adalah Termasuk orang-orang yang benar. Dan (sumpah) yang kelima: bahwa la'nat Allah atasnya, jika Dia Termasuk orang-orang yang berdusta. Istrinya itu dihindarkan dari hukuman oleh sumpahnya empat kali atas nama Allah Sesungguhnya suaminya itu benar-benar Termasuk orang-orang yang dusta. Dan (sumpah) yang kelima: bahwa laknat Allah atasnya jika suaminya itu Termasuk orang-orang yang benar”.
Melalui pemaknaan shahida bi Allah dengan sumpah, orang yang bersumpah meyakini bahwa Allah mengetahui dan menyaksikan perbuatannya sesuai dengan apa yang diucapkan melalui sumpahnya.
Lafal shuhadā` bentuk jama’ dari mufrad shāhid yang madinya tetap menggunakan shahida yang bermakna orang yang meninggal dunia dalam keadaan berjuang di jalan Allah. Hal ini sebagaimana dalam al-Hadīd : 19 dan al-Nisā` : 69.
“Dan Barangsiapa yang mentaati Allah dan Rasul(Nya), mereka itu akan bersama-sama dengan orang-orang yang dianugerahi nikmat oleh Allah, Yaitu: Nabi-nabi, para shiddiiqiin, orang-orang yang mati syahid, dan orang-orang saleh. Dan mereka Itulah teman yang sebaik-baiknya.
Sejalan dengan al-Nisā`: 69, al-Hadīd : 19 juga menjelaskan bahwa orang-orang yang beriman kepada Allah dan para rasul-Nya ditempatkan pada tempatnya shiddiqin dan para orang-orang yang mati syahid. Dikatakan shahīd karena disaksikan dan dihadiri oleh para malaikat bahwa dia sebagai orang yang mati membela agama melalui peperangan dengan orang kafir. Begitu juga dia menyaksikan atau mengetahui sesuatu yang telah dijanjikan oleh Allah untuk dirinya, berupa balasan yang besar dan agung.
Adapun lafal shahadah sebagai lawan ghayb dapat juga diketemukan pada al-An’ām : 73, al-Tawbah : 94, al-Ra’d : 9, al-Sajdah : 6, al-Hashr : 22, al-Zumar : 46, al-Taghābun : 18, al-Muminūn : 92, al-Jumua’ah : 8.
Lafal shahadah yang bermakna sesuatu yang diketahuui para hamba (mā ’alimahu al-‘ibād) lawan dari ghayb yang bermakna sesuatu yang tidak dapat diketahuui para hamba Allah (mā ghāba ‘an al-‘ibād) atau juga dengan istilah mā kāna untuk shahadah dan ma yakūnu untuk ghayb. Hal ini sebagaimana dapat diketahui dalam al-An’ām : 73 sebagai berikut :
“Dan Dialah yang menciptakan langit dan bumi dengan benar. dan benarlah perkataan-Nya di waktu Dia mengatakan: "Jadilah, lalu terjadilah", dan di tangan-Nyalah segala kekuasaan di waktu sangkakala ditiup. Dia mengetahui yang ghaib dan yang nampak. dan Dialah yang Maha Bijaksana lagi Maha mengetahui”.
Berdasarkan arti tersebut, shahadah di sini merupakan alam lahir yang dapat disaksikan dan dilihat dengan mata kepala sendiri atau apa yang dapat dilihat di alam dunia.
4. Shahadah dalam ayat ahkām.
Jika shahadah sebagai bagian dari bayinah, maka shahadah dapat diarikan:
a. Shahadah (kesaksian) adalah suatu pernyataan tentang pemberitahuan seseorang yang benar di depan pengadilan dengan ucapan kesaksian untuk menetapkan suatu hak terhadap orang lain.
b. Shahadah (kesaksian) adalah memberitahukan dengan sebenarnya tentang hak seseorang terhadap orang lain dengan ucapan saya bersaksi.
c. Shahadah (kesaksian) adalah pemberitahuan yang benar untuk menetapkan suatu hak dengan ucapan kesaksian di depan sidang pengadilan.
Dari pengertian tersebut dapat dipahami bahwa unsur-unsur dalam kesaksian sebagai berikut:
a. Adanya suatu perkara sebagai suatu obyek.
b. Obyek tersebut mengandung hak yang harus ditegakkan.
c. Ada orang yang memberitahukan tentang obyek tersebut.
d. Orang tersebut benar-benar melihat atau mengetahui.
e. Pemberitahuan tersebut diberikan kepada orang yang berwenang atau berhak untuk menyatakan adanya hak bagi orang yang seharusnya berhak.
Orang yang memberikan kesaksian disebut shāhid. Dalam hal ini al-Jawhari menyatakan bahwa shāhid (saksi) ialah orang yang mempertanggungjawabkan kesaksian dan mengemukakannya karena dia menyaksilan sesuatu yang orang lain tidak menyaksikannya.
Adapun dasar hukum kesaksian dalam al-Qur’an adalah al-Baqarah : 282, al-Nisā`: 135, al-Māidah : 8.
……dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki (di antaramu)………dan persaksikanlah apabila kamu berjual beli…”
“Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang yang benar-benar penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah biarpun terhadap dirimu sendiri atau ibu bapa dan kaum kerabatmu. jika ia kaya ataupun miskin, maka Allah lebih tahu kemaslahatannya. Maka janganlah kamu mengikuti hawa nafsu karena ingin menyimpang dari kebenaran. dan jika kamu memutar balikkan (kata-kata) atau enggan menjadi saksi, Maka Sesungguhnya Allah adalah Maha mengetahui segala apa yang kamu kerjakan”.
“Hai orang-orang yang beriman hendaklah kamu Jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk Berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. dan bertakwalah kepada Allah, Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan”.
….dan hendaklah kamu tegakkan kesaksian itu karena Allah
Redaksi al-Nisā` : 135 serupa dengan redaksi al-Māidah : 8. Perbedaan redaksi tersebut boleh jadi disebabkan karena al-Nisā` dikemukakan dalam konteks ketetapan hukum dalam pengadilan yang disusul dengan pembicaraan tentang kasus seorang muslim yang menuduh sorang Yahudi secara tidak sah. Selanjutnya dikemukakan uraian tentang hubungan pria dan wanita sehingga ada sesuatu yang ingin digarisbhawahi oleh ayat itu. Yaitu pentingnya keadilan kemudian disusul dengan kesaksian. Oleh karena itu, redaksi pada ayat tersebut mendahulukan lafal al-qisţ (adil), kemudian baru lafal shuhadā (saksi-saksi). Adapun redaksi pada al-Māidah : 8 ini ingin mengingatkan perjanjian-perjanjian dengan Allah dan rasul-Nya sehingga yang ditekankan adalah pentingnya melaksanakan secara sempurna seluruh perjanjian itu dan itulah yang dikandung ayat qawwāmin li Allāh. Namun demikian, ada juga yang berpendapat bahwa al-Nisā` dikemukakan dalam konteks kewajiban berlaku adil terhadap diri sendiri, kedua orang tua, dan kerabat sehingga wajar jika lafal al-qisţ yang didahulukan. Sedangkan al-Māidah: 8 dikemukakan dalam konteks permusuhan dan kebencian sehingga yang perlu lebih dahulu diingatkan adalah keharusan melaksanakan segala sesuatu demi karena Allah karena hal ini yang akan mendorong untuk meninggalkan permusuhan.
Al-Nisā` : 135 berupa didahulukannya perintah penegakan keadilan atas kesaksian karena Allah. Hal ini karena tidak sedikit orang yang hanya pandai memerintahkan yang ma’rūf, tetapi ketika tiba gilirannya untuk melaksankan ma’rūf yang diperintahkannya itu, dia lalai. Oleh karena itu, ayat ini memerintahkan mereka bahkan semua orang untuk melaksanakan keadilan atas dirinya baru menjadi saksi yang mendukung atau memberatkan orang lain.
5. Bilangan saksi
Saksi dalam penentuan awal Ramadan
Al-Qur’an tidak menjelaskan tentang jumlah minimal saksi dalam penentuan awal Ramadān. Akibatnya, ulama berbeda pendapat tentang hal tersebut. Imam Malik berpendapat harus dua orang saksi (tidak boleh kurang dari dua), sebagaimana saksi dalalm penentuan hilal Shawwal dan Dzulhijjah. Sedangkan mayoritas ulama berpendapat bahwa penentuan hilāl Ramadān dapat diterima satu orang saksi.
Saksi dalam zina
Dalam hal zina, al-Qur’an telah menentukan batas minimal yaitu 4 orang saksi laki-laki. Hal ini ditegaskan pada al-Nisā’ : 15 tentang wanita yang melakukan perbuatan keji dengan hukuman kurungan rumah sampai ia meninggal dunia. Begitu juga, persaksian tersebut dipakai untuk menentukan fahishah bagi dua orang laki-laki (al-Nisā : 16). Sedangkan jika dilakukan oleh dua orang yang bebeda jenis, maka dikenai sanksi hukuman 100 kali dera dengan melalui pembuktian empat orang saksi laki-laki sebagaimana keharusan membuktikan empat orang saksi laki-laki agar orang yang menuduh zina tidak dikenai sanksi berupa 100 kali dera. Artinya, jika tuduhan tersebut terbukti melalui empat orang saksi, maka pihak tertuduh dikenai sanksi 100 kali dera. Sedangkan jika tidak terbukti, maka penuduh akan dikenai sanksi 80 kali dera. Selain Khawarij, memberlakukan hukum rajam untuk janda atau duda. Sedangkan khawarij tidak memberlakukan hukum rajam yang ketetapan hukumnya melalui hadis. Artinya, Khawarij tidak membedakan antar bujangan/perawan dengan janda/duda yang melakukan zina, yakni sama-sama dikenai hukuman 100 kali dera.
Saksi dalam utang-piutang/bentuk transaksi benda.
Al-Qur’an menentukan secara tegas tentang saksi dalam transaksi utang-piutang, termasuk di dalamnya seluruh bentuk transaksi dengan dua orang saksi laki-laki atau satu orang laki-laki dan dua orang perempuan, sebagaimana dalam al-Baqarah : 282. Termasuk juga dalam penyerahan harta kepada anak yatim setelah baligh dari seorang walinya (al-Nisa’ : 6). Sementara itu akad yang berobyek farj (nikah) persaksiannya tidak diatur dalam al-Qur’an, tetapi dalam hadis yang keberadaannya masih diperselisihkan. Artinya, ada yang mengatakan dalam pernikahan diharuskan ada dua orang saksi laki-laki dan ada pula yang tidak menjadikan saksi sebagai rukun nikah.
Saksi dalam talak dan ruju’
Al-Qur’an telah mengatur secara jelas tentang saksi dalam talak dan ruju’, yaitu dua orang saksi laki-laki yang adil (al-Talaq : 2). Akan tetapi, dalam penerapannya ada yang mengatakan wajib dan ada yang mengatakan sunnah. Dalam hal ini, dapat dirinci sebagai berikut:
a. Seluruh mazhab tidak mewajibkan saksi dalam ruju’, baik mazahib al-arba’ah maupun shi’ah, kecuali pendapat al-shafi’i pada qawl qadim dan al-Zahiri termasuk ibn Hazm (dipakai dalam hukum Indonesia).
b. Seluruh mazhab tidak mewajibkan saksi dalam menjatuhkan talak, kecuali kelompok al-Zahiri dan Shi’ah berdasarkan riwayat dari ahli bayt yang digunakan di Indonesia. Bahkan harus diikrarkan di hadapan sidang pengadilan agama oleh suami. Hal ini sebagaimana pasal 131 (3) KHI, pasal 66 UU No. 7 Tahun 1989, pasal 33 UU No. 1 Tahun 1974, pasal 16 PP No. 9 tahun 1975, dan Permenag No. 3 Tahun 1975.
Saksi dalam wasiat
Al-Qur’an secara tegas mengatur persaksian sewaktu melakukan wasiat, yaitu dua orang laki-laki baik melalui minkum atau min gahyrikum. Adapun yang menjadi perselisihan adalah memahami lafal aw akharani min gahyrikum sebagaimana dalam al-Māidah : 106, yakni min ghayri ahli dinikum atau min ghayri ‘ashiratikum.
Kesaksian seorang laki-laki dan penggugat.
Kesaksian seorang laki-laki dan sumpah penggugat, dan juga kesaksian khusus perempuan tidak diatur dalam al-Qur’an, tetapi diatur dalam hadis dan menjadi bahan kajian dalam fiqh.
Kesaksian dengan alat teknologi
Pada zaman sekarang ini, alat teknologi yang berkaitan dengan informasi telah bekembang dengan pesat sehingga dimungkinkan alat ini dapat dijadikann sebagai alat dalam pembuktian. Misalnya, di tempat-tempat tertentu telah dipasang kamera atau alat yang sebangsa dengannya sehingga jika ada suatu peristiwa, maka akan dapat direkam dan disimpan. Dengan demikian, orang yang berbuat zina atau membunuh seseorang dapat diketahui dengan alat tersebut.
Menyikapi hal tersebut, dalam hukum Islam mempunyai hukum sendiri. Artinya, al-Qur'an telah menentukan bahwa kesaksian harus dilakukan oleh seorang yang cakap bertindak sebagai bukti primer, sedangakn alat teknologi hanya bersifat sekunder. Oleh karena itu, alat teknologi tidak dapat dijadikan alat persaksian karena tidak mukallaf. Artinya, dalam hukum Islam pertanggungjawaban itu tidak hanya sekedar duniawi, tetapi juga ukhrawi. Dengan demikian hanya manusia yang mukallaf (berakal dan baligh) yang dapat menjadi saksi.
PENUTUP
Melalui penelusuran makna-makna yang terkandung di dalam lafal shahida yang jika dipahami betul akan membawa pemahaman bahwa satu lafal dalam al-Qur’an akan membawa pengaruh dalam dalam tafsir al-Qur’an. Karena itu, perlu pendekatan metodologi tafsir mawdū’i yang secara terus menerus sehingga dapat dipahami secara utuh terhadap satu topik pembahasan seperti shahadah dalam al-Qur’an.
Akhirnya, kritik, saran, dan tambahan wawasan sangat dibutuhkan dalam penulisan tafsir mawdū’i.

No comments:

Post a Comment