Monday, May 05, 2008

resensi irshadul fukhul

Resensi Kitab
IRSHĀD AL-FUHŪL ILA TAHQĪQ AL-HAQ MIN ‘ILM AL-USŪL
KARYA AL-SHAWKANI
Oleh : Makinudin* & Masrokhin **



BIOGRAFI PENULIS
Kelahiran al-Shawkani
Nama lengkapnya Muhammad bin Ali ibn Muhammad ibn Abd Allah al-Shawkani al-Şan’ani. Al-Shawkani lahir di Shawkan, suatu desa di dekat kota Şan’a, Yaman Utara, pada hari Senin 28 Zulqaidah 1173 H/1759 M dan meninggal di Şan’a pada hari Rabu 27 Jumadil Akhir 1250 H/1834 M. Sebelum kelahirannya, orang tuanya tinggal di Şan’a. Ketika musim gugur, mereka pulang ke Shawkan, kampung asal mereka, dan ketika itu al-Shawkani lahir. Namun, tidak berapa lama ia dibawa kembali ke Şan’a.
Ayahnya, Ali ibn Muhammad al-Shawkani, (1130-1211 H) adalah seorang ulama yang terkenal di Yaman. Dia bertahun-tahun dipercaya oleh pemerintahan imam-imam Qasimiyah, sebuah dinasti Zaydiyyah di Yaman, untuk memegang jabatan hakim (qadhi). Ia tidak lagi memegang jabatan itu dua tahun menjelang ajalnya karena mengundurkan diri.
Ketika al-Shawkani lahir, kondisi dan pengaruh dunia Islam sedang berada pada titik nadir di mana tiga kerajaan besar Islam, yaitu Turki Usmani, Safawi, dan Mughal berawal dari abad ke-12 H tidak lagi menghirup napas kejayaannya. Selepas pemerintahan Sulayman al-Qanuni (1566 M), Turki Usmani memasuki masa kemundurannya. Pemerintah tidak mampu lagi mengendalikan wilayah dan kekuasaan yang demikian luas. Berbagai wilayah yang berada di bawah kekuasaan Turki Usmani seperti Suriah, Lebanon, Mesir, Palestina dan tempat lain mulai mengadakan pemberontakan disebabkan ketidak-puasan mereka kepada pemerintah pusat. Wilayah Turki Usmani semakin menciut dengan kekuasaan yang semakin terdesak.
Yaman yang juga berada di bawah kekuasaan Turki Usmani ketika itu juga tidak berdiam diri melihat dunia Islam yang kian tidak menentu. Di bawah pimpinan al-Imam al-Manshur al-Qasim ibn Muhammad pada tahun 1006 H/1598 M, Yaman berhasil melepaskan diri dari kekuasaan Turki Usmani dan berdiri sendiri di bawah pemerintahan dinasti Qasimiyah yang didirikan oleh al-Manshur al-Qasim. Pemerintah Turki Usmani berulang kali melakukan serangan kepada pemerintahan dinasti Qasimiyah yang beraliran Zaydiyyah, namun tidak pernah berhasil. Sekalipun demikian, pemerintah Turki Usmani tetap memandang bahwa Yaman adalah wilayahnya sehingga pada masa pemerintahan dinasti Qasimiyah selalu terjadi konfrontasi antara Yaman dan Turki Usmani. Al-Shawkani sendiri merekam seluruh kejadian itu dalam ingatannya. Dalam kondisi berada dalam lingkar lingkungan pejabat pemerintahan dan situasi politik yang demikian itulah al-Shawkani hidup dan tumbuh. Dan seringkali seorang tokoh besar muncul dari lingkungan yang sedang bergolak.
Kehidupan intelektual al-Shawkani.
Ayah al-Shawkani adalah seorang ulama Zaydiyyah yang sangat populer dan mempunyai reputasi besar dalam kerajaan. Sangat wajar jika dia mengarahkan puteranya untuk menjadi ulama besar Zaydiyyah dan mampu melanjutkan reputasi dan prestasinya sebagai qadi. Oleh karena itu, catatan sejarah pendidikan al-Shawkani menceritakan bahwa al-Shawkani tidak pernah belajar keluar dari Şan’a. Sangat mungkin hal ini disebabkan oleh arahan, bahkan keinginan, ayahnya agar al-Shawkani mempelajari mazhab Zaydiyyah sebagaimana yang dianut ayahnya sedalam-dalamnya. Jika ini benar, maka tentu ayah al-Shawkani akan memfokuskan pendidikan al-Shawkani kepada fiqh mazhab Zaydiyyah yang berpusat di kota Şan’a.
Al-Shawkani sendiri sejak kecil dikenal sebagai anak yang gemar belajar dan aktif mendalalmi berbagai macam ilmu pengetahuan. Di samping fiqh, Uşūl al-Fiqh, bahasa, sastra, sejarah dan sebagainya yang ia dapatkan dari para gurunya, al-Shawkani juga tekun mempelajari dan memperdalam Matematika, pengetahuan alam, Astronomi, dan lain-lain secara otodidak.
Al-Shawkani mendapatkan bimbingan dari banyak guru pada berbagai cabang keilmuan. Orang pertama yang menjadi guirunya adalah ayahnya sendiri, Ali al-Shawkani, yang membimbingnya mendalami fiqh, uşūl al-fiqh dan hadis. Selain itu, ia juga belajar kepada guru-guru yang lain, di antarnya adalah:
1. ‘Abd al-Rahman ibn Qasim al-Madani (1121 – 1211 H) yang membimbing mempelajari fiqh.
2. Ahmad ibn Muhammad ibn al-Harazi yang mengajarnya fiqh dan uşūl al-fiqh.
3. Isma’il ibn Hasan ibn Ahmad ibn al-Imam al-Qasim (1120 – 1206 H) yang mengajarnya nahwu.
4. ‘Abd Allah ibn Isma’il al-Nahmi (w. 1228 H) yang membimbingnya belajar nahwu, mantik, hadis, mustalah hadis, fiqh, Uşūl al-Fiqh dan lain-lain.
5. Al-Qasim ibn Yahya al-Khaulani (1162 -1209 H) yang membimbingnya mempelajari berbagai ilmu, seperti mustalah hadis, hadis, mantik, fiqh, uşūl al-fiqh, adab al-bahth wa al-munazarah (metodologi penalaran dan diskusi) dan lain-lain.
6. Al-Hasan ibn Isma’il al-Maghribi (1140 - 1207 H) yang menjadi guru ilmu mantik, hadis, mustalah hadis, mantik, fiqh, uşūl al-fiqh dan tafsir.
7. ‘Ali ibn Hadi ‘Urhab yang mengajarnya uşūl al-fiqh.
8. ‘Abd al-Qadir ibn Ahmad al-Kaukabani (1135 – 1207 H) yang mengajarnya ilmu kalam, fiqh, uşūl al-fiqh, hadis, bahasa dan sastra Arab, dan sebagainya.
9. Hadi ibn Husain al-Qarini yang membimbingnya membaca Syarh al-Jazariyah yang berisi tentang bermacam qira`at al-Qur’an).
10. ‘Abd al-Rahman ibn Hasan al-Akwa’ (1135 – 1206 H) yang membimbingnya membaca bagian awal kitab al-Shifa’ karya al-Amir al-Husain.
11. ‘Ali Ibrahim ibn ‘Ali ibn Ibrahim ibn Ahmad ibn ‘Amir (1143 – 1207 H) yang membimbingnya membaca beberapa kitab hadis.
12. Yahya ibn Muhammad al-Hautsi (1160 – 1247 H) yang mengajarinya ilmu Faraid, ilmu hitung dan ilmu ukur.
Selain guru-guru yang disebutkan di atas, masih banyak lagi guru al-Shawkani yang lain. Guru yang paling banyak disebut al-Shawkani dan paling banyak memberikan pelajaran kepadanya adalah al-Qasim ibn Yahya al-Khaulani, ‘Abd al-Qadir ibn Ahmad al-Kaukabani, ‘Abd Allah ibn isma’il al-Nahmi, dan al-Hasan ibn Isma’il al-Maghribi.
Dari sekian banyak gurunya, dapat dipahami bahwa ia adalah seorang pemuda yang sangat tekun. Al-Shawkani sendiri menyebutkan bahwa dalam sehari-semalam ia dapat mengikuti tiga belas mata pelajaran. Sebagian berupa pelajaran yang ia terima dari guru-gurunya dan sebagian yang lainmrp pelajaran yang ia ajarkan kepada murid-muridnya.
Di antara murid-murid al-Shawkani yang berhasil memainkan peranan di tengah-tengah masyarakat adalah:
1. Al-Sayyid Muhammad ibn Muhammad Zabarah al-Hasani al-Yamani al-Şan’ani (w. 1381 H) yang menulis biografi para tokoh Yaman abad ke-13 H yang berjudul Nail al-Wathar min Tarajim Rijal al-Yaman fi al-Qarn al-Tsalits ‘Ashar. Murid al-Shawkani yang satu ini termasuk generasi kedua dan turut berperan menyebarkan karya-karya al-Shawkani di Mesir.
2. Muhammad ibn Ahmad al-Sudi (1178 – 1226 H) yang mendapat pujian dari al-Shawkani sebagai salah seorang muridnya yang cemerlang.
3. Muhammad ibn Ahmad Mushhim al-Sa’di al-Şana’ni (1186 – 1223 H) pernah memegang jabatan qadi di Şan’a dan dipuji oleh gurunya.
4. Al-Sayyid Ahmad ibn ‘Ali ibn Muhsin ibn al-Imam al-Mutawakkil ‘ala Allah Isma’il ibn Qasim (1150 – 1223 H) yang belajar kepada al-Shawkani ketika usianya hampir mencapai lima puluh tahun dan menyertai gurunya hampir sepuluh tahun.
5. Al-Sayyid Muhammad ibn Muhammd Hashim ibn Yahya al-Shami (1178 – 1251 H).
Ketekunan al-Shawkani dalam membaca dan belajar telah mengantarkannya menjadi seorang ulama. Pada usia yang masih sangat muda, kurang dari dua puluh tahun, ia telah diminta oleh masyarakat Şan’a dan sekitarnya untuk memberikan fatwa dalam berbagai masalah keagamaan, padahal pada waktu itu guru-guru al-Shawkani masih hidup. Lalu pada usia tiga puluh tahun ia mampu melakukan ijtihad secara mandiri, terlepas dari ikatan mazhab Zaidi yang dianutnya sebelum itu.
Kemampuan intelektual al-Shawkani mengantarnya kepada kedudukan yang terhormat sebagai al-qādi al-kabīr (hakim agung) ketika ia masih berusia 36 tahun pada masa pemerintahan al-Imam al-Manshur bi-Allah ‘Ali ibn Abbas (1151 – 1224 H). Jabatan ini ia duduki hingga pemerintaan dua imam setelah al-Manshur. Sekalipun ia sibuk dengan urusan pemerintahan, di luar jam dinasnya ia tetap melaksanakan tugas keilmuannya dengan mengajar dan menulis. Produktifitas al-Shawkani dapat dilihat dari karya tulisnya yang amat banyak. Karya-karyanya ia sebutkan dalam kitab al-Badr al-Ţāli ada sebanyak sembilan puluh lima judul, di antaranya:
1. Al-Badr al-Ţali’ bi Mahāsin Man ba’d al-Qarn al-Sabi’ sebuah karya tentang biografi sejumlah ulama yang hidup sesudah abad ke-8 H sampai abad ke-12 H. Di dalam karyanya tersebut pengarang juga menuliskan otobiografinya sendiri. Karya ini telah diterbitkan oleh Mathba’ah al-Sa’adah Kairo 1348 H. penulis sendiri menggunakan al-Badr al-Ţali’ yang diberi anotasi oleh muridnya Muhammmad Zabarah al-Yamani dan diterbitkan oleh penerbit Dar al-Ma’rifah Beirut tanpa keterangan tahun terbit.
2. Al-Darari al-Mudhi’ah karya ini merupakan karya fikih berupa komentar al-Shawkani atas karyanya yang lain yang berjudul al-Durar al-Bahiyyah. Buku ini telah diterbitkan oleh Dar al-Kutub al-Ilmiyah Beirut pada 1987.
3. Al-Daw’ al-Ajil fi Daf’ al-‘Aduww al-Şā’il. Karya ini mengandung pandangan-pandangan penulisnya tentang kemerosotan dunia Islam pada masanya serta formula yang diperlukan untuk membangkitkannya kembali, yakni dengan membersihkan aqidah dan menghidupkan kembali ijtihad. Karya ini diterbitkan oleh Dar al-Kutub al-Ilmiyah, Beirut 1930 dan dijadikan satu jilid dengan karyanya yang lain.
4. Al-Durr Nadhid fi Ikhlas Kalimah al-Tauhid. Buku ini adalah karya al-Shawkani yang monumental dalam membicarakan tentang akidah salaf dan tentang kemusyrikan. Karya ini telah pernah pula diterbitkan oleh al-Mathba’ah al-Muniriyyah, Kairo 1351 H.
5. Al-Durar al-Bahiyyah. Buku fikih ringkas yang diterbitkan bersama komentarnya, al-Darari al-Muthi’ah oleh Mathba’ah Mishr al-Hurrah. Kairo 1328 H. Karya ini telah dikomentari pula oleh Sayyid Muhammmad Shiddiq Hasan Khan Bahadur (w.1307 H/1889 M) dengan karyanya al-Raudhah al-Nadyah Syarh al-Durar al-Bahiyyah.
6. Fath al-Khalaq fi Jawab Masā`il Abd al-Razzaq. Karya ini merupakan jawaban al-Shawkani terhadap seratus masalah menyangkut ilmu mantiq yang dikemukakan oleh seorang yang bernama ‘Abd al-Razzaq. Sampai sekarang naskah buku ini belum diterbitkan.
7. Fath al-Qadir al-Jami’ bain Fannai al-Riwayah wa al-Dirayah min ‘Ilm al-Tafsir. Tafsir ini mulai ditulis al-Shawkani pada bulan Rabi’ul Akhir 1223 H dan selesai bulan Rajab 1229 H. Telah diterbitkan oleh beberapa penerbit di antaranya: Mathba’ah Mushthafa al-Babi al-Habibi, Kairo 1349 H dan Dar al-Fikr, Beirut tanpa keterangan tahun terbit. Karya ini telah diringkas oleh sarjana Kuwait Muhammad Sulaiman ‘Abd Allah al-Asyqar dengan judul Zubdah al-Tafsir min Fath al-Qadir diterbitkan oleh Jam’iyah Ihya’ al-Turats al-Islami Kuwait 1414 H/1994 M.
8. Al-Fawa’id al-Majmu’ah fi al-Ahadits al-Maudhu’ah. Sebuah koleksi hadis-hadis maudhu’ (palsu) yang disertai kritikan penulisnya. Karya ini pernah diterbitkan di India tahun 1203 H kemudian diterbitkan di Kairo oleh Mathba’ah al-Sunnah al-Muhammadiyah, 1380 H/1960 M.
9. Irshād al-Fuhūl ila Tahqiq al-Haq min ‘Ilm al- Uşūl. Karya uşūl al-fiqh al-Shawkani yang monumental ringkas tetapi padat. Berbeda dengan karya-karya uşūl al-fiqh sebelumnya dalam karya ini al-Shawkani memaparkan dalili-dalil fikih secara komparatif yang diiringi dengan kritik-kritiknya terhadap pandangan-pandangan para ahli uşūl al-fiqh terdahulu. Karya ini telah diterbitkan oleh beberapa penerbit di Mesir dan Lebanon.
10. Irshād al-Tsiqat ila Tafalluq al-Syara’i’ala al-Tauhid wa al-Mi’ad wa al-Nubuwwat. Karya ini memaparkan kesamaan persepsi agama-agama Samawi tentang tauhid, eksistensi kenabian dan hari berbangkit. Karya ini telah diterbitkan oleh Dar al-Nahdhah al-Arabiyyah Kairo 1395 H.
11. Kashf al-Syubuhat ‘an al-Musytabihat. Karya al-Shawkani yang membicarakan tentang halal dan haram. Diterbitkan oleh Dar al-Kutub al-‘ilmiyyah, Beirut, 1348 H/1930 M.
12. Nail al-Auţār (dalam satu edisi berjumlah empat jilid tebal dan dalam edisi yang lain terdiri atas sembilan juz delapan volume). Merupakan komentar al-Shawkani atas kitab hadis hukum al-Muntaqā al-Akhbār oleh Abu al-Mubarakat ‘Abd al-Salam ibn Taymiyah (w. 652 H). Karya ini merupakan kajian komprehensif tentang hukum Islam.
13. Al-Qawl al-Mufid fi Adillah al-Ijtihad wa al-Taqlid. Karya ini ditulis oleh al-Shawkani dalam bentuk dialog yang menyangkut hukum ijtihad dan taqlid. Telah diterbitkan oleh Mathba’ah al-Ma’ahid Kairo 1340 H dan oleh Musthafa al-Babi al-Halabi Kairo 1347 H.
Lingkungan Kehidupan al-Shawkani
Al-Shawkani tumbuh dan dididik dalam tradisi Zaidi. Mazhab Zaidi berasal dari Zaid ibn ‘Ali Zain al-‘Abidin ibn al-Husain ibn ‘Ali ibn Abi Talib (80 – 122 H) dan kemudian dikembangakn oleh beberapa mujtahid dari kalangan anak-cucunya sendiri atau keturunan ‘Ali dan Fatimah pada umumnya. Mazhab Zaidi merupakan salah satu cabang dari Syi’ah dan biasa disebut aliran Zaydiyyah. Dalam bidang fiqh, mazhab Zaidi lebih dekat kepada mazhab-mazhab fiqh ahl al-sunnah daripada kepada mazhab-mazhab fiqh Syi’ah. Muhammad Abu Zahrah menyebutkan bahwa dalam bidang mu’amalah, mazhab Zaidi dekat dengan mazhab Hanafi. Ringkasnya, diakui bahwa fiqh Zaidi sebagai suatu bentuk fiqh yang memiliki ciri-ciri tersendiri, namun dalam pandangan-pandangannya tidak jauh berbeda dengan fiqh mazhab empat. Suatu hal yang istimewa dalam mazhab Zaidi adalah bahwa mazhab ini tidak pernah menutup pintu ijtihad selamanya, kendati bentuk ijtihad yang mereka lakukan bukan ijtihad mutlak. Dan al-Shawkani tumbuh dalam tradisi mazhab ini.
Meski demikian, al-Shawkani juga mempelajari beberapa buku di luar tradisi mazhab Zaidi. Dalam bidang fiqh, sejak berusia kurang dari tiga puluh tahun, al-Shawkani telah merasa mampu untuk melakukan ijtihad sendiri. Oleh karena itu, ia tidak merasa terikat dengan mazhab Zaidi maupun mazhab-mazhab lain dalam menetapkan suatu hukum. Baginya yang mengikat seorang nujtahid dalam berijitihad hanyalah al-Qur’an dan sunnah. Dari pandangan di atas, tidak mengherankan kalau dalam beberapa masala furu’ (fiqh), al-Shawkani terlihat berbeda pendapat dengan mazhab Zaidi dan bahkan dengan jumhur.
CAKUPAN KITAB IRSHĀD AL-FUHŪL
Irshād al-Fuhūl merupakan salah satu kitab Uşūl al-Fiqh yang dapat dijadikan rujukan dalam kajian perbandingan Uşūl al-Fiqh. Dalam kitab ini tidak hanya dijelaskan tentang kaidah-kaidah Uşūl al-Fiqh dalam satu mazhab, tetapi juga mengungkap kaidah-kaidah dan pengertian berkaitan dengan metode istinbāţ dan istidlāl dari banyak mazhab.
Al-Shawkani, penulis kitab Irshād al-Fuhūl ini, membuat sitematika penyusunannya atas (1) muqaddimah atau pendahuluan, (2) maqāşid atau kelompok pembahasan semacam bab yang terdiri atas tujuh maqāşid, dan (3) khatimah atau penutup. Dalam muqaddimah, terdapat empat pasal yang terdiri atas beberapa pembahasan dan beberapa permasalahan. Pasal pertama berkaitan dengan definisi (pengertian) Uşūl al-Fiqh, obyek (mawdū’), kegunaan (faedah) mempelajari, dan sumber pengambilan Uşūl al-Fiqh. Pasal kedua berkaitan dengan hukum yang terdiri atas bahasan hukm, hākim, dan mahkūm bih. Pasal ketiga berkaitan dengan prinsip-prinsip kebahasaan (al-mabādi` al-lughawiyyah). Pasal keempat berkaitan dengan pembagian lafal (lafal mufrad dan murakkab).
Maqāşid kitab ini terdiri atas maqāşid atau bab yang membicarakan tentang (1) al-kitāb, (2) al-sunnah, (3) al-ijma’, (4) amr, nahy, ‘ām, khāşş, muţlaq dan muqayyad, mujmal dan mubayan, zāhir dan muawwal, manţūq dan mafhūm, dan naskh, (5) qiyās dan hal-hal yang berkaitan dengan istidlāl (6) ta’adul dan tarjih. Sedangkan pada penutup terdiri atas dua masalah, yaitu mengenai apakah sesuatu itu asalnya boleh atau dilarang, dan perbedaan ulama atas kewajiban bersyukur secara rasio.
Bahasa yang dipakai al-Shawkani dalam sistematika penyususnan terkesan kurang teratur karena di dalamnya ia menggunakan kata al-maqşad, al-bahth, al-bab, al-fasl dan al-masalah. Hal ini dapat dimaklumi mengingat bahwa yang ditekankan dalam kitab ini adalah pembahasan materi Uşūl al-Fiqh, bukan pembahasan bahasa.
Jika dilihat dari materi pembahasan yang ada dalam kitab Irshād al-Fuhūl, maka dapat diperoleh gambaran sebagai berikut:
1. al-Shawkani sangat peduli terhadap kaidah-kaidah kebahasaan (Qawāid al-Lughawiyah) sebagai kaidah istinbāţ yaitu istikhraj al-ma’āni min al-nusūs bi farţ al-dhihn wa quwwat al-qarīhah (menggali makna-makna yang terkandung dalam nas dengan hati yang semangat dan akal yang kuat). Kaidah ini sangat berguna dalam memahami nas al-Qur’an dan al-sunnah. Artinya, jika penguasaan sesorang dalam kaidah ini lemah, maka akan sulit baginya dalam beristinbāţ. Kaidah-kaidah yang ada dalam kitab ini banyak dijadikan rujukan dalam mata kuliah kaidah Uşūl al-Fiqh walaupun terkadang penulis tidak menyebutkan bahwa pengambilannya berasal dari kitab Irshād al-Fuhūl, tetapi dari kitab yang isinya berasal dari kitab tersebut, seperti kitab yang ditulis oleh Abd al Hamid Hakim, yaitu Mabādi` Awwaliyah, al-Sulam, dan al Bayān. Karena itu, sebagian isi dari kitab ini sudah memasyarakat bagi sebagian santri walaupun bernama salafiyah melalui karya Abd al-Hamid Hakim tersebut.
2. al-Shawkani dalam kitab ini tidak memasukkan metode petunjuk lafal atas suatu makna dari kelompok Hanafiyah (‘ibārat al-naşş, ishārat al-naşş, dalālat al-naşş, dalālat al-naşş). Akan tetapi, hanya memasukkan metode dari Shafi’iyah (mutakallimin), yaitu mantūq dan mafhūm. Karena itu pengertian lafal naşş dan zahir yang merupakan bagian mantūq tidak sama dengan lafal naşş dan zahir dalam pengertian Hanafiyah. Begitu juga, dalam kitab ini tidak dibahas tentang maqāşid al-sharī’ah, tujuan diundangkannya suatu hukum secara berdiri sendiri, yakni hanya mengikuti pembahasan masālik al-‘illah yang berupa al-munasabah.
3. Al-Shawkani dalam kitab ini menjelaskan tentang pengertian istidlāl (ma laysa bi naşş wa la ijma’ wa la qiyas), mencari dalil dengan tidak menggunakan nas al-Qur’an dan al-Sunnah, ijma’ dan qiyās. Misalnya istihsān, istishāb dan maslahah mursalah. Hal ini menunjukkan bahwa al-Shawkani membedakan istinbāţ dengan istidlāl. Hal ini berbeda dengan Abu Zahrah dalam kitabnya, ‘ilm Uşūl al-Fiqh, yang menjelaskan metode istinbāţ dari nas itu ada metode ma’nawiyah dan metode lafziyyah. Metode ma’nawiyyah, yaitu beristidlāl dengan tanpa melalui nas, seperti qiyas, istihsān, masālih mursalah dan sad dharai’. Sementara itu metode lafziyyah yaitu berpijak pada mengetahui makna-makna dari lafal-lafal nas dan makna-makna yang ditunjukkan oleh lafal tersebut serta metode penunjukannya.
MATERI KITAB IRSHĀD AL-FUHŪL
Nama lengkap kitab ini adalah Irshād al-Fuhūl ila Tahqiq al-Haq min ‘Ilm al- Uşūl. Jika kitab ini dibahas secara utuh, maka tidak akan selesai hanya beberapa pertemuan pada program pasca sarjana. Oleh karena itu, di sini hanya akan dibahas sebagian isi kitab tersebut, terutama sebagian isi dari muqaddimah, maqāşid, dan khatimah.
1. Bagian muqaddimah
Dalam pasal pertama dari muqaddimah dibahas mengenai ta’rīf (definisi) Uşūl al-Fiqh, obyek Uşūl al-Fiqh (mawdhu’), kegunaan mempelajari Uşūl al-Fiqh (faedah), dan sumber pengambilan Uşūl al-Fiqh (istinbāţ).
Kata “uşūl al-fiqh” dapat dilihat dari dua segi, yakni segi idāfah (gabungan antara mudāf dan mudāf ilayh) dan dari segi ilmiyah. Dilihat dari segi idāfah, lafal Uşūl al-Fiqh terdiri atas dua lafal atau kata, yaitu lafal “uşūl” dan lafal “al-fiqh”. Lafal “uşūl”, berupa mudāf, merupakan bentuk jama’ dari lafal “aşl”, bentuk mufrad (tunggal). Sedangkan lafal al-fiqh berupa mudāf ilayh. Kedua lafal tersebut masing-masing harus diketahui maknanya karena untuk memahamai lafal berbentuk tarkīb tidak akan dapat diketahui tanpa mengetahui masing-masing kata.
Lafal aşl dalam pengertian bahaaa berarti sesuatu yang diatasnya dibangun (ditetapkan) sesuatu yang lain, baik berupa sesuatu yang dapat diindra seperti membangun atap di atas tembok, maupun sesuatu yang tidak dapat ditangkap oleh akal seperti ditetapkannya hukum berdasarkan atas dalil. Sedangkan dalam pengertian istilah, lafal aşl mempunyai beberapa arti, yaitu al-rājih (makna yang kuat/maknk hakiki), al-mustashab, al-qāidah al-kulliyah, dan al-dalīl. Bahkan, pada kitab lain ada yang menambah dengan al-maqīs alayh. Dari makna-makna tersebut yang sesuai dengan bahasan ini adalah aşl dengan makna dalil.
Lafal al-fiqh dalam pengertian bahasa bermakna al-fahm (mengerti). Bahkan dalam tulisan lain ditambah dengan al-fahm al-daqīq (mengerti sesuatu secara mendalam). Sedangkan lafal al-fiqh dalam pengertian istilah bermakna suatu ilmu tentang hukum shara’ yang diperoleh dari dalil-dalil secara rinci (tafşili) dengan menggunakan metode istidlāl. Bahkan dalam tulisan lain ditambahkan lafal al-amaliyah, bersifat praktis, sebagai sifat dari al-ahkām al-shar’iyyah. Dan kata istidlāl berarti fiqh itu didapatkan berdasar ijtihad yang berakibat hasil fiqh bersifat zann, bukan qaţ’i (pasti).
Adapun pengertian Uşūl al-Fiqh secara ilmiyah yang berupa kesataun antara dua lafal uşūl dan al-fiqh adalah memahami kaidah-kaidah yang dijadikan sarana untuk menggali (istinbāţ) hukum-hukum shara’ yang bersifat far’i (al-ahkām al-shar’iyyah al-far’iyyah) dari dalil-dalil yang rinci (tafşili). Adapun yang dimaksud dengan masalah tertentu beserta hukumnya, al-adillah al-muta’aliqah bi masalah wahidah ma’a hukmiha.
Al-Shawkani menyebutkan bahwa obyek bahasan uşūl al-fiqh adalah kembali kepada penetapan sifat-sifat yang essensial bagi dalil dan dari segi menetapkan dalil untuk memperoleh (menggali) hukum dan tetapnya (adanya) hukum berdasarkan dalil. Artinya, obyek uşūl al-fiqh adalah al-ithbāt wa al-thubūth. Bahkan, ada sebagian pendapat yang mengatakan bahwa obyek ‘ilm uşūl al-fiqh adalah dalil samā’i, dari segi bahwa ilmu ini dapat dijadikan sarana untuk mengetahui keadaan dari dalil tersebut pada kemampuan menetapkan hukum bagi perbuatan orang mukallaf. Dalam hal ini, al-Shawkani berpendapat bahwa pendapat yang terdahulu lebih utama, yakni al-ithbāt dan al-thubūth merupakan mawdū’ uşūl al-fiqh.
Al-Shawkani menjelaskan bahwa kegunaan memeplajari uşūl al-fiqh adalah mengetahui hukum-hukum Allah secara qaţ’i/yakin atau zann (tidak pasti). Sedangkan sumber/pengambilan uşūl al-fiqh ini diambil dari tiga komponen, yaitu (1) ilmu kalam (tauhid) karena dalil-dalil shara’ bergantung dari pengetahuan dan kepercayaan kepada Allah (al-bāri) dan membenarkan orang yang menyampaikan (nabi Muhammad saw), (2) bahasa Arab, karena untuk memahmai al-kitab dan al-sunnah dan beristidlāl dengan keduaya bergantung kepada bahasa tersebut sebab keduanya berbahasa Arab, dan (3) hukum-hukum shara’ dari segi pendiskripsian, karena tujuan dari ilmu ini adalah menetapkan atau meniadakan hukum-hukum shara’ tersebut sebagaimana perkataan al-amr li al-wujūb (setiap perintah menunjukkan wajib), al-nahy li al-tahrīm (setiap larangan menunjukkan haram) shalat adalah wajib dan riba adalah haram.
2. Al-maqşad al-khams
Al-Shawkani dalam kitabnya menjelaskna qiyās pada bahasan kelima dalam lingkup al-maqāşid. Kata qiyās dalam pengertian bahasa bermakna mengukur sesuatu atas sesuatu yang lain dan menyamakan sesuatu atas sesuatu yang lain (taqdir shay’ ‘ala shay’ ākhar wa taswiyyatuh bih). Karena itu, timbangan (mikyāl) disebut miqyas (alat menimbang). Sedangkan dalam pengerian istilah, al-Shawkani mengemukakan beberapa definisi yang dirumuskan oleh para ulama sebagai berikut:
a. qiyās ialah membawa (menghadapkan) sesuatu yang ma’lūm (obyek diketahui) kepada obyek yang lain untuk menetapkan hukum atau meniadakannya bagi keduanya dengan memperhatikan sesuatu yang menghimpun keduanya (‘illah yang berupa hukum atau sifat) rumusan Abu al-Bayhaqi). Dalam definisi ini ada kata haml ma’lūm ‘ala ma’lūm kata ma’lūm kedua bukan ma’lūm pertama (pengulangan isim nakirah). Ma’lūm yang perama sama dengan far’/maqis dan ma’lūm kedua sama dengan aşl/maqīs alayh/mushabbah bih (penjelasan pemakalah).
b. Qiyās adalah menerapkan hukum yang terdapat pada aşl/pokok untuk far’ (cabang) karena terdapat kesamaan ‘illah hukum atara keduanya (rumusan Abu Husayn al-Basri).
c. Qiyās ialah menyamakan maskūt ‘anh (peristiwa yang tidak ada nasnya) dengan mantūq bih (ada nasnya). Di sini tidak disebutkan kesamaan antara keduanya (‘illah hukum).
Selain definisi yang dikemukakan oleh para ulama uşūl al-fiqh, al-Shawkani juga membuat definisi yang dianggap paling baik, yaitu istikhrāj mithl al-hukm al-madhkūr li ma lam yudkar bi jami baynahuma (suatu usaha mengeluarkan hukum atas sesuatu yang belum ada hukumnya sebanding dengan sesuatu yang telah ada hukumnya dengan memeperhatikan kesamaan sifat antara keduanya/‘illah hukum) . Kata al-madkūr sama dengan aşl/maqīs alayh/musabbah bih/mahmūl bih. Sedangkan ma lam yudkar adalah sama dengan far’/maqis/musabbah/ mahmul; kata jami’ sama dengan ‘illah hukum.
‘Illah merupakan unsur pokok dalam qiyās. Artinya, selama ia belum diketemukan, metode penetapan hukum melalui qiyās tidak dapat dilaksanakan. Al-Shawkani mengemukakan beberapa definisi ‘illah dari para ulama uşūl al-fiqh tetapi ia tidak menyebutkan secara jelas tentang definisinya, yaitu hanya menyebut syarat-syarat ‘illah. Hal ini berbeda dengan penulis kitab lain seperti Fadil Abd al-Wahid ‘Abd al-Rahman dalam kitab al-Anmuzaj fi Uşūl al-Fiqh yang menyebutkan bahwa qiyās adalah al-wasf al-zahir al-mundabit al-mushramil ‘ala al-ma’na al-munāsib li shar’iyyat al-hukm (sifat yang jelas, dapat ditentukan tolok ukrunya, dan mengandung sifat yang sesuai dengan diundangkannya hukum).
Al-Shawkani dalam kitabnya menjelaskan tentang beberapa metode pencarian ‘illah hukum dalam qiyās sebanyak sebelas metode. Sementara al-Razi dalam al-Mahşūl menyebutkan sepuluh metode. Adapun kesebelas metode tersebut sebagai berikut:
Pertama, ijma’, baik ijma tentang ‘illah yang sudah ditentukan maupun ijma’ tentang sumber menetukan ‘illah.
Kedua, nas al-Qur’an/al-sunnah yang menunjukkan ‘illah, biak secara pasti (qaţ’iyyah) maupun secara tidak pasti (muhtamilah). Lafal yang menunjukkan pasti seperti li ‘illah kadha, li ajl kadha, sebagaimana dalam al-Qur’an min ajl zālik. Sedangkan lafal yang tidak jelas ada tiga, yaitu lam seperti … li ya’budun, lafal inna seperti innahā min al-tawwāfin, dan ba’ seperti bi annahum shāqqu Allah.
Ketiga, al-imā` wa al-tanbīh (isyarat dan peringatan), yang terdiri atas;
(1) Menggantungkan adanya hukum melalui ‘illah dengan menggunakan huruf fa’ yang caranya:
a. huruf fa’ masuk pada ‘illah dan penyebutan hukum lebih dahulu, sebagaimana tentang orang ihram yang meninggal dunia akibat terinjak unta dengan lafal fa innahu yushar yamw al-qiyāmah mulabbiya.
b. huruf fa’ masuk pada hukum dan penyebutan ‘illah lebih dahulu. Terdiri atas huruf fa’ masuk pada kalam al-shari’ seperti firman Allah … faqta’u sebagaimana hadis nabi sahā rasūlullah salla Allah alayh wa sallam fa sajada.
(2) shari tidak menyebut sifat berbarengan dengan hukum, jika sifat ini tidak menjadi ‘illah, maka tidak ada gunanya. Hal ini sebagaimana perkataan orang Badui waqa’tu ahli fi ramadān fa qāla a’tiq raqabah.
(3) Adanya pemisahan sifat antara dua hukum, seperti sabda nabi saw li al-rajil sahm wa li al-faris sahman.
(4) Al-sabr wa al-taqsīm, yaitu menghimpun sifat-sifat yang dapat dijadikan ‘illah pada maqīs alayh. Kemudian sifat-sifat tersebut dilakukan pengujian untuk maqīs yang dianggap tepat dan membatalkan yang tidak tepat.
(5) Al-munāsabah, ada juga yang menyebut al-ikhalah, al-maslahah, istidlāl, ri’āyat al-maqāsid (memelihara tujuan diundangkannya hukum).
Pada bagian al-munāsabah, kemaslahatan dapat dijadikan ‘illah. Artinya, ‘illah yang berupa memelihara maqāşid al-sharī’ah (tujuan diundangkannya hukum).
3. Khatimah (Penutup) Kitab Irshād al-Fuhūl
Al-Shawkani dalam mengakhiri uraian dari tujuan-tujuan (maqāshid) yang terdapat dalam kitab Irshād al-Fuhūl yaitu dengan membahas dua masalah sebagai berikut :
1. المسألة الأول هل الأصل فيما وقع الخلاف و لم يرد فيه دليل يخصه أو يخص نوعه الإباحة أو المنع أو الإباحة ؟
2. المسألة الثانية اختلفوا فى وجوب شكر النعم عقلا ؟
Sebelum menjelaskan tentang dua masalah tersebut, al-Shawkani memberikan penjelasan tentang khatimah li maqāsid hādhā al-kitāb sebagai berikut :
(1) Ketahuilah bahwa sesungguhnya kami telah menjelaskan, pada permulaan kitab ini tentang khilāf (perbedaan) mengenai keberadaan akal sebagai hakim atau tidak. Dalam hal ini kami telah menjelaskannya bahwa sesungguhnya tidak ada perbedaan pendapat mengenai bahwa sebagian dari sesuatu itu dapat diketemukan atau dipahami oleh akal, dan akal dapat menetapkannya seperti sifat-sifat yang sempurna dan yang kurang, sesuatu yang sesuai dengan tujuan dan yang tidak sesuai.
(2) Berdasarkan atas sumbernya, hukum yang dapat dipahami oleh akal ada lima, sebagaimana pembagian hukum shara' (hukum Islam) menjadi lima bagian yaitu (a) wujub, seperti membayar utang, (b) tahrim, seperti perbuatan penganiayaan (dhulm), (c) nadb, seperti berbuat baik kepada orang lain (ihsan) (d) karāhah, seperti budi pekerti (akhlak) yang jelek, dan (e) ibāhah, seperti pemilik barang yang menggunakan barang dimilikinya.
Masalah pertama
Apakah hukum asal tentang sesuatu yang diperselisihkan oleh ulama dan tidak diketemukan dalil yang mentakhsisnya atau mentakhsis macamnya adalah boleh (ibahah) atau dilarang (mamnu') atau didiamkan (waqf) ?
Dalam menjawab masalah tersebut terdapat tiga pendapat, yaitu :
(1) Kelompok ahli fiqh, Shafi'iyah, dan Muhammad bin Abdillah bin Abd al-Salam, serta sebagian ulama muta`akhirin menghubungkan pendapat tersebut kepada pendapat jumhur (mayorits ulama) berpendpat bahwa hukum asal dari sesuatu adalah boleh.
(2) Mayoritas ulama (jumhur) berpendapat bahwa sesungguhnya hukum tentang sesuatu adalah tidak dapat diketahui kecuali dengan dalil yang mentakhsisnya atau mentakhsis macamnya. Sedangkan, jika tidak diketemukan dalil, maka hukum asal dari sesuatu tersebut adalah dilarang.
(3) Abu Bakar al-Syarafi dan sebagian Shafi'iyah berpendapat bahwa asal dari sesuatu adalah tertunda (waqf). Artinya, di sini tidak dapat diketahui apakah sesuatu itu ada hukumnya atau tidak. Dalam hal ini, al-Razi dalam kitabnya al-Mahsul, menjelaskan bahwa hukum asal dari sesuatu yang bermanfaat adalah dibolehkan (diizinkan), sedangkan hukum asal dari sesuatu yang berbahaya adalah dilarang.
Masalah kedua
Para ulama berbeda pendapat mengenai kewajiban bersyukur bagi orang yang telah diberi nikmat menurut akal. Dalam hal ini, terdapat pendapat sebagai berikut :
(1) Golongan Mu'tazilah dan orang yang sepaham dengan mereka mewajibkan bersyukur bagi orang yang telah diberi nikmat dan ditujukan kepada orang yang belum tersentuh aturan shara, belum ada ajakan dar rasul (muballigh).
(2) Mayoritas Ash'ariyah dan orang yang sepaham dengan mereka berpendapat bahwa akal tidak dapat memberikan atau menetapkan hukum terhadap orang yang belum tersentuh ajakan kenabian. Karena itu, mereka tidak berdosa jika mereka tidak bersyukur.
Perbedaan kedua kelompok tersebut ditujukan bagi orang-orang yang belum terkena ajakan seorang wali atau rasul yang membawa shari'at. Sedangkan, jika sudah datang shari'ah, maka tidak ada perbedaan antara mereka. Hal ini, al-Qur'an telah menjelaskan mengenai perintah bersyukur bagi hamba kepada tuhannya. Bahkan, bersyukur merupakan sebab ditambahkannya nikmat bagi mereka, kebahagiaan berupa kebaikan dunia dan akhirat.
PENUTUP
Apa yang ditulis dalam tulisan ini hanya sebagian dari apa yang penulis mampu sampaikan pada forum ini berkaitan dengan kitab Irshād al-Fuhūl karya al-Shawkani. Mudah-mudahan membawa manfaat. Amin.

No comments:

Post a Comment