Wednesday, May 13, 2009

Sabili Rabbik

ud'u ila sabili rabbika bil hikmati wal maw'idhatil hasanati wajadilhum billati hiya ahsan
Kita diformat untuk menjadi makelar, calo, broker, dan sejenisnya. Calo tiket di terminal Bungurasih, misalnya, tidak akan menunjukkan bahwa Semarang itu ke arah barat dari Surabaya kepada calon penumpang. Tidak. Si calo hanya akan menunjuk bis yang bertrayek Surabaya-Semarang. Jika si calon penumpang menuruti kata si calo dan naik bis jurusan Semarang dia pasti akan sampai di tujuan. Yang ditunjuk oleh calo hanya sabil-nya atau cara menuju ke Semarang. Calon penumpang yang naik bis jurusan Semarang akan sampai di Semarang jika ketika dia naik sudah membawa tiket. Tiket akan menunjukkan bahwa dia betul-betul akan bepergian ke arah yang ditunjukkan oleh tiket. Jika calon penumpang hendak menuju ke suatu tujuan dan menaiki bis yang menuju tujuan tersebut sesuai petunjuk si calo sebelum bis berangkat dia akan dikeluarkan dari mobil tersebut. Atau di tengah jalan dia akan diturunkan bahkan dalam keadaan kendaraan sedang melaju. Jika begini, nomor satu dia akan terluka berikutnya mungkin dia akan tertabrak oleh mobil lain. Relevansi dengan ayat adalah bahwa kita diinstruksikan untuk menunjukkan kepada sabil menuju tuhan, bukan menunjukkan kepada tuhan.
Jalan menuju Tuhan amat beragam, segaris dengan jalan menuju Semarang, misalnya dalam kasus di atas. Jika sudah sesuai arahan penunjuk arah, ketika dia menemui sabil menuju Semarang terserah pilihan dia kalo mau naik bis super ekonomi dengan tarif amat ekonomis dengan fasilitas berkonsekuensi. Atau naik bus super executive dengan harga tarif paling mahal untuk mendapat fasiltas ternyaman. Begitu juga setelah berada di sabil-Nya. Bolehlah dia menuju kepada-Nya dengan tarif ekonomi misalnya dengan jarang bersedekah, tidak sholat dan puasa sunnah. Atau dengan tarif agak mahal bahkan juga harus membayar DP misalnya sudah mulai booking surga dengan bersodaqoh jariyah, membiayai anak untuk dicetak menjadi anak sholeh dengan dipondokkan disekolahkan dan lain-lain. Terserah. Sabil-Nya terserah situ asal sesuai arahnya.
Tugas mengajak (ud'u) adalah tugas yang ditunjuk dengan bentuk murni fi'il amar, bukan mudhori dengan lam amar atau bentuk amar lainnya. Entah juga dampak hukumnya. Yang jelas amar berkonsekuensi wujub. Hanya saja jadinya wajib 'ayn atau kifayah. Jika wajib 'ayn seperti bentuk fi'il amarnya yang menunjuk waqi' mufrod muzakkar mukhottob adalah tugas per satu orang. Atau mungkin juga wajib kifayah seperti terindikasi dari cara ud'u-nya yang variatif. Namun keduanya, baik wajib 'ayn atau kifayah, tetap harus dilaksanakan. Wajib 'ayn ukurannya adalah kewajiban itu gugur jika person yang berkewajiban melaksanakan sudah melaksanakan kewajibannya. Jadi, ukurannya adalah pelaku. Wajib kifayah ukurannya adalah kewajiban menjadi gugur jika sudah ada person yang melaksanakan. Ukuran gugurnya kewajiban adalah perbuatannya. Pekerjaan itu sudah dilaksanakan atau belum, bukan orangnya sudah melaksanakan atau belum. Sama dengan mengebumikan jenazah yang berhukum kifayah. Jika jenazah sudah ada yang menguburkan, ya sudah gugur kewajiban semua orang karena sudah terwakili. Jika tidak, jenazah siapa lagi yang harus dipendem ? Kalo sholat ? Ya jangan ngomong untuk diwakili
Ayat menunjuk cara mengajak yang pertama dengan hikmah. What the meaning of hikmah ? Al-Qur'an menggambarkan wa man yu'tal hikmata faqod utiya khoiron katsiro. Apa itu khoiron katsiro ? Yo mbuh. Cara kedua adalah maw'idhoh hasanah. Grand contextnya, maw'idhoh hasanah jelas ditujukan untuk orang yang belum berada pada sabil-Nya, kafir kepet-kepet itu. Untuk muslim tentunya bukan bertitel maw'idhoh hasanah, tetapi wa innaha latadzkirotun lil muttaqin. Tarik saja penjelasan kedua hal hikmah dan maw'idhoh hasanah pada cerita Musa dan Harun ‘alayhimas sholatu was salam.
Cerita Musa dan Harun ditampilkan Allah sewaktu keduanya harus menghadapi model yang bernama Fir'aun, laknatullah 'alayh. Musa terkenal dengan ketidakfasihannya dalam berbicara. Sedang Harus ditunjuk oleh Musa dengan huwa afsohu minni lisanan. Porsi berdakwah mereka berbeda dan saling melengkapi. Musa tidak pandai bicara sehingga ketika harus menyampaikan wahyu termasuk melayani ajakan berdebat pasti Musa selalu mendelegasikan kepada Harun. Musa wiridannya sangat kuat, tidak bisa untuk dihadapkan dalam arena perdiskusian. Umat yang telah menerima penjelasan wahyu dari Harun, mereka akan taat kepada Musa dan Harun. Jika mereka tidak taat, maka acungan kepalan tangan Musa akan ditunjukkan. Hanya kepalan tangan walaupun pernah sekali waktu kepalan tangan meninju seseorang dan akibatnya sudah jelas, knock out untuk yang ditinju. Kepalan tangan Musa sangat ditakuti walaupun tidak sampai berfungsi meninju. Umat sudah sangat takut kepalan tangan itu mengarah kepadanya karena kepalan tangan penuh dengan aura wiridan yang sangat hebat.
Ketika Musa harus beraudiensi dengan Tuhan di bukit Thursina, Musa meninggalkan kampung selama 40 hari dan kepemimpinan umat didelegasikan kepada Harun, sang orator itu. Sekembalinya ke kampung, di sana sudah ada tuhan baru karya Samiri. Ternyata sang orator tidak mampu membendung njagani ketaatan umat. Beda dengan Musa, si ahli hikmah, yang begitu ditaati. Pelajarannya adalah : jika tidak bisa wiridan kuat ya belajarlah menjadi orator untuk mengambil peran sebagaimana Harun. Jika tidak berbakat orasi, ya belajar wiridan yang kuat untuk mengambil peran sebagaimana Musa. Dan ini punya peran masing-masing.
Cara ud'u ketiga adalah wa jadilhu, ajak mereka berdebat berdiskusi. Ini bukan porsi untuk tukang wirid atau porsi untuk orator. Wa jadilhum adalah porsi untuk ilmuwan, meskipun ilmuwan yang mengambil jatah berdikusi haruslah ahli wirid dan juga orator. Bayangkan jika tukang diskusi tidak berwirid dan dia dikerjai lawannya yang kebetulan tukang wirid, mandeglah dia dari kemampuan berbicara. Atau tukang diskusi tidak pandai berorasi menyampaikan ide di fikirannya, kacaulah struktur kata dari lisannya. Bayangkan juga jika yang diajukan untuk diskusi adalah pure tukang wirid. Pengaplah arena diskusi. Atau yang diajukan untuk berdiskusi adalah pure orator, jadilah arena diskusi seperti riuh ramainya calo di terminal. Debat kusir, dan penumpang harus minggir.
Wa jadilhum yang porsi ilmuwan ditunjuk dengan perintah baru. Perintah yang tidak digandeng disamakan dengan perintah sebelumnya meski muncul huruf penyambung di antaranya. Jika digandeng disamakan dengan perintah sebelumnya, akan berbunyi bil hikmah wal maw'idhoh hasanah wal mujadalah al-husna. Al-Qur'an yang karya Tuhan ini menunjuk dengan perintah baru. Apa konsekuensinya ?

No comments:

Post a Comment