Wednesday, May 13, 2009

jamaah

Pilih Ngendi
JAMA’ATAN NOPO MUNFARIDAN

Lebih utama mana sholat sendirian di awal waktu atau sholat berjama’ah pada akhir waktu ? Ndak tahu. Kita pilih saja sendiri salah satu di antaranya. Hanya saja pilihan itu atas dasar alasan yang meyakinkan dan bertanggung jawab. Beragama berdasar ilmu. Pilihan untuk itu adalah masalah afdholiyyah, pilihan bagus yang mana. Artinya tidak ada pilihan jelek. Yang jelas dengan melaksanakan dengan cara salah satunya kita sudah melakukan perintah mendirikan sholat dari bunyi instruksi Tuhan…. wa aqimus sholat… Instruksi ini bersifat kewajiban. Apapun-siapapun jika membebankan suatu kewajiban tidak mungkin beban itu tidak dapat dilaksanakan. Kewajiban harus dapat dilaksanakan, bahkan pemberi beban harus menyediakan seperangkat sarana bantu sehingga kewajiban itu terselesaikan. Jika ada instruksi yang bersifat wajib dan kewajiban itu mustahil dapat dilaksanakan karena alokasi waktu, sarana, pelaksana yang bukan porsinya dan kemungkinan lain dari dapat dilaksanakannya instruksi itu, maka bukan salah calon pelaksana yang tidak merealisasikannya.
Sebuah contoh, sebagai satu pilihan permisalan. Anak usia TK ketika dia masuk sekolah diwajibkan membawa minuman dalam botol sendiri. Jika botol minuman yang diinstruksikan untuk dibawa adalah ukuran 500 ml tiap anak, maka perintah ini dapat dan menjadi harus dilaksanakan si anak. Sebaliknya, jika si anak harus membawa botol minuman seukuran satu galon 19 liter/anak, perintah ini adalah perintah yang bukan salah si anak jika dia tidak membawa air minum dalam botol. Berbeda jika anak ini diwajibkan membawa air minum dalam botol ukuran 19 liter dan pihak sekolahan memfasilitasi dengan fasilitas keterangan bahwa air itu akan dijadikan air minum bersama setelah acara senam pagi seluruh siswa TK Permata Bunda tempat dia bersekolah. Kewajiban ini menjadi tetap wajib dilaksanakan sebab si anak hanya berkewajiban menyampaikan permintaan pihak sekolahan ke orang tuanya untuk membelikan air minum satu galon untuk dibawa ke sekolahan sebagai giliran mingguan dia untuk itu.
Instruksi melaksanakan sholat adalah instruksi wajib dilaksanakan. Dan instruktur (pemberi perintah) memberikan fasilitas atau sarana bantu untuk itu. Orang sholat wajib bersuci. Berwudlu. Jika tidak bisa, ganti dengan tayammum. Jika tidak bisa disholatilah dia. Sholat harus dilaksanakan pada range waktu yang telah ditentukan. Laksanakan pada awal waktunya. Jika tidak, laksanakan sebelum waktu habis. Jika pada range waktu yang ditentukan tetap tidak bisa melaksanakan karena ada sebab yang dapat diterima, kumpulkan (jama’) sholat itu dengan sholat lain. Jika tidak, laksanakan sholat itu di luar range waktu yang telah ditentukan (diqadla’). Jika tetap tidak bisa melaksanakan, sudah gilirannya dia disholatkan. Sholat kudu menghadap kiblat. Jika karena sebab tertentu musholli tidak tahu arah kiblat, sholatlah dia ke arah mana saja. Tugasnya adalah melaksanakan sholat sesuai ketentuan. Jika ada yang ketentuan dan prosedur yang betul-betul tidak dapat dia penuhi, ini di luar kekuasaan dan kemampuan dia. Selesai.
Yang begini ini disebut dengan kewajiban melaksanakan (ahliyatul wujub) dan kemungkinan bisa melaksanakan kewajiban sesuai prosedur (ahliyatul ada’). Ini istilah sangat teknis. Artinya, biarlah orang di bidangnya yang tahu istilah itu. Akan tetapi dalam setiap sesuatu, dua hal ini selalu terbawa. Gambaran awamnya adalah, wanita muslimah baligh sehat jasmani rohani tidak sedang bepergian dan dalam keadaan haidh pada bulan romadlon dia tetap sebagai orang yang wajib melaksanakan puasa romadlon. Wajib, tidak bisa ditawar. Mau atau tidak mau. Kondisi muslimah yang sedang haidh ini yang menyebabkan dia tidak harus melaksanakan puasa bulan romadlon, bahkan wajib tidak melakukan. Puasa romadlon tetap wajib bagi muslimah karena muslimah ini adalah ahliyyatul wujub (yang dibebani kewajiban) sedangkan kemampuan-ketidakmampuan dia melaksanakan pada waktunya menjadi dasar pelaksanaannya. Saya muslim, wajib melaksanakan ibadah haji. Tetapi itu belum mungkin saya lakukan sekarang karena kemampuan saya melaksanakan sekarang (ahliyyatul ada’) tidak memungkinkan. Hajinya tetap wajib untuk saya, hanya saja saya-nya belum mampu. Yang disebut pertama adalah karena saya adalah ahliyyatul wujub (memenuhi kriteria kudu melaksanakan) dan yang disebut terakhir saya berada di luar kondisi kemampuan melaksanakan sekarang (bukan ahliyyatul ada’).
Pada jam 15.00 sampai jam 17.20 waktu Tebuireng setiap muslim di Tebuireng wajib melaksanakan sholat Ashar. Tetapi Kang Paydjo tidak wajib sholat sekalipun alokasi waktunya tersedia karena dia mengidap penyakit gila. Ahliyyah ada’-nya ada tetapi ahliyyah wujubnya yang bermasalah. Jam 15.00 sampai jam 17.20 adalah jatah orang untuk sholat Ashar, hanya saja dia punya kewajiban atau tidak.
Ketemu dech jawabannya dari opsi sholatnya mau berjamaah atau mau sholat sendirian. Afdhol yang mana ? Nilainya tinggi mana ? Yo takono panitiane. Aku dudu panitia penilai. Aku mung iso ngakal-ngakali.
Ketika Nabi Muhammad ditanya aktifitas apa yang paling disenangi Allah dari hambanya. Jawabnya adalah sholat pada waktunya, al-sholat ‘ala waqtiha. Bandingannya adalah bahwa sholat pada waktunya lebih bernilai dari pada birrul walidayn dan jihad fi sabilillah.
Ditinjau dari rutinitas pelaksanaan sholat lima kali sehari semalam kesanggupan menunaikannya dengan baik dari segi pemenuhan syarat/rukun/cara dan mengupayakan kondisi jiwa yang benar-benar konsentrasi serta out put yang dihasilkannya berupa ketahanan mental terhadap segala perilaku nahi ‘an fahsya’ dan munkar, nilai usaha keras yang rutin dan nilai hasil yang luar biasa itu menjadikan sholat dengan disiplin waktu layak dinomorsatukan. Lagi pula tuntutan menunaikan sembahyang menjadi beban setiap muslim/muslimah sepanjang hayat dikandung badan sampai dengan kondisi jasmani teramat kritis sehingga harus melaksanakn bil isyarah. Jihad jauh dari gambaran pra-syarat kondisional pencapain hasil yang mampu dilahirkan oleh disiplin sholat.
Berbakti kepada kedua orang tua mirip dalam hal rutinitas pelaksanannya dengan rentang waktu yang bukan saja berakhir ketika keduanya meninggal, tetapi masih berlanjut sesudah itu sekalipun mengambil bentuk manifestasi yang lain. Pelaksanaan ajaran birul walidain harus ditangani sendiri secara individual menuntut pengerahan dana/tenaga/perhatian yang relatif besar dan target sasaran yang harus dicapai merupakan hal yang nisbiy ridho (sikap puas dalam ukuran psikologi dan perasaan) kedua orang tua. Ukuran yang tidak dapat diukur. Uluran tangan oleh anak kandung dalam hal melayani kebutuhan kesejahteraan lahir bathin, dukungan moral (doa) dan ketekunan menjalin hubungan kedua ibu bapak hanya didambakan datangnya dari anak kandung. Seorang anak bertanggung jawab sepenuhnya pelaksanaan birul walidain dengan bertumpu kepada kemampuan dirinya. Kemampuan pribadi, diri sendiri. Berbeda dengan jihad yang nilai hukum tuntutannya adalah kifayah , insidentil, diupayakan ramai-ramai dengan perangkat dana segenap umat Islam, target kemenangan dicapai secara kolektif sekalipun sasarann akhirnya berat namun bersifat kongkrit dan orang boleh berperasaan optimis walau tidak ambil bagian dalam jihad fisik karena unsur uzur syar’i. Selain itu kepatutan orang mengikuti jihad fi sabilillah bergantung pada rekomendasi dari kedua orang tua yang beragama Islam. Karenanya wajar bila birul walidain bersanding dengan ibadah lillah. Dalail persandingan dimaksud dapat ditelusuri melalui maksud QS al-Isra’ 23 dan informasi hadis semacam “ridhollahi fi ridhal walidain” serta riwayat “fa inn al-jannata tahta rijlaiha”.
Betapa hebatnya ibadah sholat yang dilaksanakan pada waktunya. Bagaimana kalau sholat berjamaah di akhir waktu ? Pertanyaan ini hanya bermasalah jika penanya mengemukakan hadis yang menyebut ayyul a’mal afdholu (amal apa yang paling hebat nilanya?) Dijawab oleh Nabi al-sholat fi ‘awwali waqtiha. Pada kesempatan lain nabi memberi support bahwa sholat berjamaah mempunyai 27 level lebih tinggi daripada sholat sendirian. Sholat yang berjamaah berarti mendapat 27 + 1. Nilai 27 dari nilai berjamaah. Nilai 1 dari nilai sholat dia. Belum lagi ada unsur lain yang harus dipertimbangkan. Bagaimana kalau jamaahnya banyak orang. Bagaimana kalau berjamaahnya di masjid, bukan di rumah. Bagaimana kalau masjidnya masjid jami’, bukan musholla. Bagaimana kalau masjidnya masjidil haram. Bagaimana kalau yang jamaah suami-istri-anak-anak. Bagaimana kalau qur’an yang dibaca dalam sholat panjang-panjang. Bagaimana kalau ….
Apapun, sholat jama’ah jelas lebih hebat dengan ngakali bahwa kita hanya diperintah untuk sholat pada waktunya. Mau di awal atau di tengah atau di akhir waktu yang tersedia, silahkan saja. Hanya itu. Selesai.

No comments:

Post a Comment