Sunday, May 18, 2008

Principles of Islamic Jurisprudence

Book Review

Nama buku: Principles of Islamic Jurisprudence (The Islamic Texts Society).
Penulis: Mohammad Hashim Kamali, alih bahasa: Noorhaidi.
Penerbit: Pustaka Pelajar Yogyakarta.
Tebal: xxi + 302 halaman

Ushūl al-fiqh selalu menduduki posisi penting dalam kurikulum pelajaran di lembaga kajian hukum Islam. Sebagai salah satu bidang syariah, ushūl al-fiqh mencakup kajian tentang sumber-sumber hukum dan metodologi pengembangannya. Tetapi di luar paradigma spesifiknya ini, orang bisa mengatakan bahwa ushūl al-fiqh memberikan pedoman-pedoman bagi pengkajian dan pemahaman yang benar hampir semua kajian Islam.
Mengingat pengaruh yang bermacam-macam dan gerak cepat perubahan sosial yang terjadi di dalam masyarakat Islam, maka agaknya tidaklah dapat dielakkan upaya untuk menghadapi adanya ketidakpastian dalam menentukan keseimbangan nilai-nilai yang hakiki. Tetapi upaya meminimalisasi ketidakpuasan ini harus tetap menjadi perhatian utama dari ilmu jurisprudensi. Upaya untuk mencari jalan keluar yang lebih baik dan altenatif-altenatif yang lebih tepat menempati jantung ijtihad, yang menurut formulasi-formulasi klasik ushūl al-fiqh tidak pernah boleh berhenti.
Kebutuhan terhadap buku rujukan yang komprehensif yang melengkapi kepustakaan dalam khazanah wacana ilmu ushūl al-fiqh dirasakan semakin mendesak. Kebutuhan itu sedikit terpenuhi dengan hadirnya buku ini. Karya-karya ushūl al-fiqh berbahasa Inggris cenderung singkat dan dangkal dalam pembahasan materi serta cenderung menguraikan topik-topik yang relevan saja hingga pokok bahasan tertentu cenderung terabaikan. Sebagai contoh, tidak diuraikannya bab-bab mengenai kaidah-kaidah interpretasi, amr dan nahyi, al-dalalat. Berbeda dengan buku ini.
Gaya tulisan yang digunakan dalam buku ini tidak seperti gaya konvensional yang membosankan, akan tetapi karya ini tetap didasarkan dan digali dari sumber-sumber asli berbahasa Arab bidang ini. Pengalaman pribadi belajar penulis buku ini dalam bidang hukum Islam dan hukum modern tercermin dalam karya ini, di mana dia sering membuat perbandingan-perbandingan dengan konsep-konsep dan prinsip-prinsip jurisprudensi Barat. Disamping penggunaan istilah teknis ushūl al-fiqh yang menggunakan istilah ilmiah modern yang dapat dengan mudah dipahami oleh para pengkaji hukum Islam utamanya yang agak lemah dalam penguasaan bahasa Arab.
Misalnya penggunaan kata/kalimat ilmiah atau istilah umum jurisprudensi untuk menyebut materi bahasan tertentu. Ijma’ dipadankan dengan konsensus pendapat (h. 217), Qiyās dipadankan dengan deduksi analogis (h. 255), mafhum (implikasi, h. 174-176), interpretasi alegoris digunakan sebagai padanan kata dari ta’wil (h. 111). Akan tetapi pemberian padanan kata ini tidak selalu terjadi. Kata-kata Arab yang dapat dengan diubah ke dalam bahasa Inggris langsung diubah tanpa disertai alasan teknis. Apabila padanan kata dalam bahsa Inggris sulit ditemukan maka penulis membuat padanan katanya dengan disertai alasan teknis pembuatannya. Seperti interpretasi alegoris digunakan sebagai padanan kata dari ta’wil untuk membedakan dengan tafsir yang dipadankan dengan interpretasi saja (h. 111), meskipun pada akhirnya penulis tetap memakai istilah arabnya dalam materi tulisannya.
Kedalaman bahasan dan ketajaman analisis menjadi ciri utama dari karya Prof. Kamali ini. Dalam pengantar pendekatan kajian ushūl al-fiqh, Kamali mendeskripkan perbedaan dua pendekatan kajian ushūl al-fiqh secara teoritis yang dipegangi oleh golongan Syafi’iyyah (mutakallimun) dan kajian deduktif yang dimotori oleh golongan Ahnaf (tarīqat al-fuqaha). Dikatakannya “…perbedaan utama dari kedua pendekatan ini lebih pada masalah orientasi ketimbang substansi (h. 9). …..kajian teoritis Syafi’iyyah cenderung menganggap ushūl al-fiqh sebagai bidang yang berdiri sendiri di mana fiqh harus menyesuaikan, sementara pendekatan deduktif Ahnaf berusaha mengkaitkan ushūl al-fiqh secara lebih dekat kepada masalah-masalah detil furū’ al-fiqh (h. 10).
Materi bab II tentang al-Qur an, Prof . Kamali mendiskusikannya secara detail dan hampir mencakup sebagian besar materi ulum al-tafsir termasuk contoh proses rasionalisasi (ta’lil) dalam al-Qur an (h. 43-47) demikian juga ketika meyinggung materi tentang al-Sunnah sebagi sumber syariah kedua sangat terlihat kecemeralangn analisis dalam diri Prof. Kamali.
Keistimewaan buku ini juga terekam dalam kajian diskusi dalam bab VIII tentang ijma’ (konsesus pendapat). Ketika mendiskusikan ijma’, Prof. Kamali mengetengahkan materi menarik tentang polemik eksistensi ijma’ dalam wacana ilmu ushūl al-fiqh. Pada satu sisi, beliau sepakat bahwa ijma’ merupakan salah satu sumber hukum dalam rangkaian hukum syariat. Namun di sisi lainmempertanyakan eksistensi ijma’ yang didasarkan dari segi teoritis dan syarat teknis dapat terwujudnya ijma’ menurut definii klasik. Begitu juga ketika menyinggung dalil-dalil yang dikemukakan untuk menjustifikasi ijma’ sebagai sumber ketiga setelah al-Qur an dan Sunah. Menurutnya dalil-dalil tersebut, baik al-Qur an maupun Sunah, lebih cenderung menjelaskan kepada materi penyatuan politis umat serta kesatuan akidah dan ajaran ketimbang materi konsensus menyeluruh tentang masalah juridis, sebab kesatuan pendapat dalam masalah-masalah ijtihadi sangat sulit terjadi (h. 218).
Di akhir pembicaraan materi ijma’, tidak hanya polemik berkepanjangan yang diulas tetapi juga gagasan-gagasan serta saran-saran brilian dari para pembaharu dalam ushul al-fiqh, seperti pandangan Shah Wali Allah al-Dihlawi (w.1762), Muhammad Iqbal, dan Mahmud Syaltut.
Pada bagian akhir buku ini didiskusikan materi qiyas. Dalam bab ini banyak terjadi komparasi antara analogi dalam jurisprudensi Islam dengan jurisprudensi Barat.
Apresiasi akhir untuk buku ini dapat dikemukakan bahwa buku ini sangat menarik dikaji dan dijadikan rujukan untuk semua kalangan yang menggeluti kajian syariat Islam.

rokhinsadja@gmail.com

No comments:

Post a Comment